DIA BUKAN IBUKU 18Lis?Aku menatap perempuan yang dipanggil Lis oleh Nenek itu dari belakang. Dia seorang perempuan dewasa, mungkin seusia Kak Tiara. Wajahnya manis khas perempuan daerah pulau Jawa. Dan dia adalah yang termuda di antar pelayan lain yang rata rata usianya empat puluhan ke atas. Perempuan itu tampak salah tingkah melihatku menatapnya tak berkedip. Dia lalu meraih tangan Nenek yang terulur, menuntunnya berjalan menuju ruang tamu yang cukup jauh."Hey, siapa namamu?!"Pelayan itu berbalik, menatapku heran. Bahkan Nenek pun seperti menanti apa yang akan terjadi karena selama ini aku jarang sekali bersuara."Aku tanya siapa namamu Mbak. Aku risih jika harus memanggil kalian Hey hey saja." Ujarku beralasan. Perempuan itu masih diam sejenak."Nama saya Lisa."Aku meneliti wajahnya. Menatap rambut ikal yang dicepol di atas kepala, menyisakan sedikit ikal di bawah leher. Benarkah dia perempuan misterius di kamar atas tadi? Aku tak boleh gegabah. Mungkin sebaiknya aku perlu b
DIA BUKAN IBUKU 19Malam telah larut sempurna, di luar suara binatang nocturnal mulai terdengar. Nyanyian jangkrik, suara burung yang bersahutan bersama kesiur angin kencang. Cuaca memang sedang tidak baik-baik saja. Mungkin, seperti hatiku saat ini yang masih terus berdenyut nyeri. Wajah sedih Mama dan raut bersalah Alesha tak serta merta hilang dari ingatan. Apa yang akan dikatakan Mama pada Papa yang menunggu? Aku tahu semua yang Mama katakan benar, tentang rasa sayang mereka padaku, tentang penerimaan mereka yang tanpa syarat. Hanya saja, entah mengapa aku merasa harus tetap berada disini. Aku tak mau hal yang menimpa Papa terulang lagi pada salah satu orang yang kusayangi.Rasa kantuk seakan menjauh dariku. Kuraih ponsel di atas nakas, bertepatan dengan suara pesan masuk melalui WA. Aku mengerutkan kening, siapa yang mengirimiku pesan selarut ini?(Naura, maafkan aku.)Bisma. Wajahnya terbayang seketika itu juga. Aku menghela nafas. Setelah dua hari tanpa komunikasi, dan pertemu
DIA BUKAN IBUKU 20Aku nyaris tertidur ketika suara pintu dibuka terdengar di belakangku. Kupaksa mataku yang terasa lengket untuk terbuka lebar. Sesosok perempuan berbaju pelayan masuk ke kamar Nenek. Aku tahu itu Lisa. Apa yang akan dilakukannya sepagi ini? Bahkan adzan subuh belum lagi terdengar.Tiba-tiba saja, suara teriakan Lisa dari dalam kamar terdengar. Aku terkesiap, bangun dari sofa dengan mata terbuka sempurna. Kantukku telah hilang. Aku nyaris berlari kalau tak ingat ada cairan yang terlihat licin itu di depan pintu kamarku. Botolnya telah kosong."Nona Naura, Tuan Gilang! Tolong Nyonya!" Teriaknya begitu tiba di depan pintu kamar. Dan dia langsung terkejut melihatku berdiri di sana. Seperti melihat hantu, wajahnya langsung pucat pasi memandangiku yang kini tengah menatapnya dengan tajam."Nenek kenapa?" Tanyaku sambil menyeruak tubuhnya dan masuk ke kamar Nenek. Perempuan itu masih terdiam, seperti orang yang kehilangan kata-kata. Sesaat aku berhenti, menatap Lisa lekat.
DIA BUKAN IBUKU 21"Naura, kau terlihat lebih kurus." Om Alfian menyambut jabatan tanganku. "Duduklah."Aku tersenyum dan mengangguk. Aku terpaksa minta bertemu dengan Om Alfian di kantornya karena rasanya aku tak mungkin menangani ini semua sendiri.Aku duduk di sofa empuk di dalam ruang pribadi Om Alfian di kantornya. Sesaat, kutatap wajahnya yang sangat mirip Papa, merasa sedih mengingat hingga hari ini, dan mungkin seterusnya, aku tak akan lagi bisa menatap lelaki yang selama ini kuakui sebagai Papaku."Maaf Om, aku kesini ingin minta tolong. Om mungkin sudah mendengar dari Mama, bahwa aku kembali pada keluarga kandungku."Om Alfian mengangguk. Dia masih tak mengucapkan apa-apa, tampak menunggu keterangan lanjutan dariku. "Pertama-tama, aku minta Om membuat surat pengalihan hak adopsi diriku dari Mama kepada Nenek."Bahkan saat mengucapkan hal itu, hatiku sendiri terasa sakit. Membayangkan jika sebentar lagi aku tak akan punya hubungan dengan Mama. Tapi semua ini harus kulakukan
DIA BUKAN IBUKU 22"Pagi Nona Naura."Sapa Janeeta di meja makan. Aku tersenyum, menarik kursi makan di depanku. Pagi ini aku mengumpulkan pelayan di rumah Nenek di ruang makan merangkap dapur yang amat luas ini. Sementara Nenek ditemani Om Gilang dan seorang sopir serta pelayan sedang check up ke rumah sakit. Nenek melarangku ikut karena katanya tak boleh meninggalkan rumah tanpa seorangpun pemilik rumah. Agak aneh sebetulnya mengingat selama ini Nenek sendirian, hanya dikelilingi orang-orang asing yang tak punya hubungan dengannya."Pagi Jani, pagi semuanya."Mereka menyahut serempak. Dari sudut mata kulihat Janeeta mengedip mendengarku memanggilnya Jani."Saya hendak menyampaikan apa yang telah disepakati oleh saya dan Nenek. Karena Nenek sakit dan saya adalah satu satunya ahli waris, mulai hari ini, saya yang akan memegang kendali atas rumah ini."Gumaman terdengar dari mulut mereka. Aku menatap Lisa melalui sudut mata, mendapati wajahnya yang tampak tak enak dipandang."Pertama,
DIA BUKAN IBUKU#23Aku menerima surat alih adopsi itu dengan hati perih. Terbayang Mama menangis sambil menandatanganinya. Tentu mereka akan menilaiku sebagai anak yang tak tahu diri. Aku tumbuh sehat hingga sebesar ini berkat air susu Mama. Dan betapa rajinnya Mama membawaku check up, memastikan aku minum obat dan vitamin setiap hari. Aku mendesah. Biarlah, suatu saat, mereka akan tahu bahwa aku melakukan ini semua untuk mereka. Jika aku masih tinggal bersama mereka, Om Gilang akan melakukan berbagai cara agar aku datang dengan sukarela. Tidak. Itu tak boleh terjadi. Cukup Papa saja yang hingga kini belum sepenuhnya pulih."Mamamu berpesan, meski secara hukum kau bukan lagi anaknya, kau tetap anak dan keluarga yang mereka kasihi. Kau bisa pulang kapan saja Naura."Aku mengangkat kepalaku yang sejak tadi tertunduk, menyembunyikan air mata yang nyaris meluncur dari Om Alfian."Terimakasih Om. Aku titip Papa, Mama dan adik adikku." Aku tak dapat menahan suaraku yang bergetar.Om Alfian
DIA BUKAN IBUKU 24"Nauraaaa!"Jantungku langsung terasa merosot ke dasar perut. Aku nyaris berlari menuruni tangga, lalu teringat bahwa di bawah ada Lisa yang bisa melakukan apa saja untuk mencelakaiku. Rasanya aku tak bisa lagi membiarkan dua ular ini untuk tinggal di sini lebih lama. Aku akan cepat kena serangan jantung karena mereka. Jadi aku menuruni tangga dengan hati-hati meski rasanya tak sabar untuk segera tiba di kamar nenek."Hati-hati Naura." Janeeta berjalan lebih cepat mendahuluiku. Dia tiba di kamar Nenek lebih dulu, dan ketika tiba disana, aku terkejut melihat pemandangan itu. Nenek jatuh telentang di atas lantai, kepala bagian belakangnya sepertinya membentur lantai dengan keras. Sementara itu, kamar Nenek seperti habis terkena badai. Lemari dan laci laci terbuka dan isinya berhamburan di lantai."Ya Allah Nenek!"Aku memburu tubuh Nenek dan mencoba mengangkatnya. "Jangan Naura. Biarkan dulu. Aku khawatir Nenek kena stroke. Kita tak boleh merubah posisinya sampai per
DIA BUKAN IBUKU 25Aku tiba di rumah sakit dan terkejut mendapati banyak orang berkumpul di ruang rawat Nenek. Mama, Tante Ria, si kembar Adit dan Arsen, juga Alesha. Langkah kakiku terhenti melihat mereka semua menatapku. Yang pertama kali berlari menghampiriku adalah Alesha, yang langsung menubruk tubuhku sambil menangis."Kakak…"Aku tertegun, mataku langsung terasa panas menatap orang-orang terkasih yang selama ini kurindukan setengah mati. Padahal belum sebulan aku berada di rumah Nenek, rasanya sudah seabad lamanya aku tak bertemu dengan mereka.Perlahan, kuangkat tanganku, balas memeluk adik bungsuku yang mungil itu. Isaknya makin keras. Dipeluknya aku erat-erat."Maafkan aku Kak. Tolong maafkan aku."Aku mengusap kepalanya yang tertutup jilbab merah muda. Bagaimana mungkin aku tak memaafkannya? Setelah agak lama, isakannya terhenti. Kuurai pelukan Alesha, menatap mata bening yang terlihat sembab itu."Jangan minta maaf terus. Kau tidak salah apa-apa."Alesha justru terisak lag
DIA BUKAN IBUKU 30 (ENDING)Aku menatap tubuh beku Om Gilang untuk terakhir kalinya sebelum dibawa dengan ambulans. Nenek memutuskan memakamkan Om Gilang di tanah makam keluarga. Bagaimanapun dia telah dianggap anak oleh Nenek. Sungguh miris, sementara makan Mama Meisya berada jauh di pemakaman umum."Kita akan memindahkan makam Mamamu kesini." Ujar Nenek setelah pemakaman Om Gilang selesai. Tak ada yang hadir, hanya kami, pelayan dan satpam yang mengenal Om Gilang. Baru kali inilah aku menyaksikan pemakaman tanpa air mata dan sedu sedan.Aku menggeleng."Tidak Nek, jangan. Makam Mama dan Papa berdampingan. Mereka sudah bahagia di alam sana, biarkan saja seperti itu. Aku telah meminta penjaga untuk merawat makam Mama dan Papa secara khusus."Nenek mengangguk sambil memegang tanganku."Baiklah jika itu keinginanmu Naura. Nenek akan mengikuti semua saranmu. Kau telah dewasa. Zaman Nenek tinggal dan dibesarkan tentu jauh berbeda dengan zaman ini."Aku tersenyum dan menuntun Nenek meningg
DIA BUKAN IBUKU 29PoV GILANG"Gi, apa kau sudah gila? Naura itu anakku!"Wajah Meisya terlihat sedih. Aku tercenung menatapnya. Dia tampak tak bahagia mengetahui semua yang kulakukan untuknya."Tapi dia mengkhianatimu Mei. Dia hidup bersama musuhmu, Vivian. Dia bahkan terlihat sangat mencintai perempuan itu."Meisya menggeleng."Kau tak mengerti Gi. Aku memang menitipkan Naura pada Vivian. Hanya Vivian yang mau dan bisa merawat Naura, mencintainya dengan tulus seperti anaknya sendiri.""Aku tak percaya itu keinginanmu.""Gi, tolong terima saja kenyataan, bahwa kita sudah berpisah. Bukan hanya jarak, tapi juga ruang dan waktu. Hati kita bahkan telah terpisah lama. Lupakan aku dan hiduplah dengan baik."Aku menggeleng. "Aku ingin bersamamu Mei."Meisya tersenyum. Dua dekikan dalam di pipinya terlihat dengan jelas dan aku tak pernah tak terpesona melihatnya."Aku menyayangimu sebagai sahabat dan saudara. Tak lebih. Kuharap kau berhenti menyakiti Naura dan juga Mama."Meisya berbalik, k
DIA BUKAN IBUKU 28Ibu Ismi, Ibunya Lisa akhirnya dibawa ke rumah sakit setelah diberi pertolongan pertama. Nenek berpesan kepada dokter Inka untuk melakukan apa saja yang sekiranya bisa menyelamatkan nyawa tanpa perlu memikirkan biaya. Arsen dan Adit yang mengantar ke rumah sakit sekaligus menyelesaikan administrasi. Mama melarangku ikut ke rumah sakit. Saat ini keselamatanku adalah prioritas bagi semua orang."Jenazah Lisa baru selesai diotopsi. Dia jelas mati karena cekikan sehingga tak ada oksigen yang masuk." Jelas Om Alfian. Aku terdiam, membiarkan Mama menggenggam tanganku yang terasa dingin. Mengapa setelah bertemu Nenek hidupku berubah bak sinetron? Kulihat Nenek terpekur di kursinya. Beliau sudah pulih dan mulai bisa berjalan meski masih terlihat sulit. Menurut dokter, Nenek selama bertahun-tahun minum obat yang melemahkan syaraf dan otot kakinya. Obat itu diberikan oleh Lisa atas perintah Om Gilang agar mudah mengendalikan Nenek. Sungguh, mereka benar-benar manusia biad*b.
DIA BUKAN IBUKU 27POV GILANGLisa terjatuh kembali ke atas kasur akibat kerasnya tamparanku. Ada darah mengalir dari sudut bibirnya yang pecah. Suaranya yang merengek dan berisik itu sungguh-sungguh membuatku kesal."Tuan, anda jahat sekali." Ujarnya sambil menyeka bibirnya. "Berhenti bicara jika kusuruh berhenti. Suaramu membuatku tak bisa berpikir.""Aku hanya mengkhawatirkan Ibuku.""Naura tidak mungkin mencelakainya. Dia anak yang baik.""Jangan terlalu yakin Tuan. Bukankah dia anak Meisya? Dia punya sifat kejam yang sama dengan Meisya. Aku yakin."Aku terkejut mendengar kata-katanya. Di satu sisi, aku mengakui bahwa apa yang Lisa katakan benar. Tapi di sisi lain, ada rasa tak terima mendengar orang lain mengatakan hal buruk tentang orang yang kucintai."Meisya, si jal*ng itu, yang suka mengobral tubuhnya pada lelaki lain hingga tertular HIV. Bukankah dia terlibat banyak kejahatan sebelum mati? Dia juga tega melaporkan Sofyan ke…"PLAK!"Jangan lancang Lisa! Berhenti mengatakan
DIA BUKAN IBUKU 26Kamarku tak berubah, tetap rapi dan bersih seperti biasa saat aku masih tinggal di sini. Puluhan buku koleksiku berjajar rapi di rak kecil yang terbuat dari kayu dan menempel di dinding. Itu adalah buku-buku favorite yang kujaga sepenuh hati sementara buku lainnya bergabung di perpustakaan keluarga yang berada di sudut lantai atas ini. Aku merebahkan diri di atas kasur, memandang seisi kamar. Seandainya tidak ingat bahwa Om Gilang dan Lisa sedang mengincarku, tentu aku akan merasakan hidupku kembali normal disini. Tapi kenyataan itu pupus begitu aku ingat, Nenek dan Ibu Lisa berada di kamar lain, menanti kepastian untuk kembali.Aku mendesah, rasanya nyaman sekali tidur bergelung di kamarku sendiri. Kamar yang sudah kutempati selama lebih dari dua puluh tahun. Aku ingin terus berada disini. "Naura?"Mama melongokkan kepala dari celah pintu yang sedikit terbuka. Aku menoleh, dan bangun dari kasur. Mama, di usianya yang sudah melewati lima puluh tahun, tetap energik
DIA BUKAN IBUKU 25Aku tiba di rumah sakit dan terkejut mendapati banyak orang berkumpul di ruang rawat Nenek. Mama, Tante Ria, si kembar Adit dan Arsen, juga Alesha. Langkah kakiku terhenti melihat mereka semua menatapku. Yang pertama kali berlari menghampiriku adalah Alesha, yang langsung menubruk tubuhku sambil menangis."Kakak…"Aku tertegun, mataku langsung terasa panas menatap orang-orang terkasih yang selama ini kurindukan setengah mati. Padahal belum sebulan aku berada di rumah Nenek, rasanya sudah seabad lamanya aku tak bertemu dengan mereka.Perlahan, kuangkat tanganku, balas memeluk adik bungsuku yang mungil itu. Isaknya makin keras. Dipeluknya aku erat-erat."Maafkan aku Kak. Tolong maafkan aku."Aku mengusap kepalanya yang tertutup jilbab merah muda. Bagaimana mungkin aku tak memaafkannya? Setelah agak lama, isakannya terhenti. Kuurai pelukan Alesha, menatap mata bening yang terlihat sembab itu."Jangan minta maaf terus. Kau tidak salah apa-apa."Alesha justru terisak lag
DIA BUKAN IBUKU 24"Nauraaaa!"Jantungku langsung terasa merosot ke dasar perut. Aku nyaris berlari menuruni tangga, lalu teringat bahwa di bawah ada Lisa yang bisa melakukan apa saja untuk mencelakaiku. Rasanya aku tak bisa lagi membiarkan dua ular ini untuk tinggal di sini lebih lama. Aku akan cepat kena serangan jantung karena mereka. Jadi aku menuruni tangga dengan hati-hati meski rasanya tak sabar untuk segera tiba di kamar nenek."Hati-hati Naura." Janeeta berjalan lebih cepat mendahuluiku. Dia tiba di kamar Nenek lebih dulu, dan ketika tiba disana, aku terkejut melihat pemandangan itu. Nenek jatuh telentang di atas lantai, kepala bagian belakangnya sepertinya membentur lantai dengan keras. Sementara itu, kamar Nenek seperti habis terkena badai. Lemari dan laci laci terbuka dan isinya berhamburan di lantai."Ya Allah Nenek!"Aku memburu tubuh Nenek dan mencoba mengangkatnya. "Jangan Naura. Biarkan dulu. Aku khawatir Nenek kena stroke. Kita tak boleh merubah posisinya sampai per
DIA BUKAN IBUKU#23Aku menerima surat alih adopsi itu dengan hati perih. Terbayang Mama menangis sambil menandatanganinya. Tentu mereka akan menilaiku sebagai anak yang tak tahu diri. Aku tumbuh sehat hingga sebesar ini berkat air susu Mama. Dan betapa rajinnya Mama membawaku check up, memastikan aku minum obat dan vitamin setiap hari. Aku mendesah. Biarlah, suatu saat, mereka akan tahu bahwa aku melakukan ini semua untuk mereka. Jika aku masih tinggal bersama mereka, Om Gilang akan melakukan berbagai cara agar aku datang dengan sukarela. Tidak. Itu tak boleh terjadi. Cukup Papa saja yang hingga kini belum sepenuhnya pulih."Mamamu berpesan, meski secara hukum kau bukan lagi anaknya, kau tetap anak dan keluarga yang mereka kasihi. Kau bisa pulang kapan saja Naura."Aku mengangkat kepalaku yang sejak tadi tertunduk, menyembunyikan air mata yang nyaris meluncur dari Om Alfian."Terimakasih Om. Aku titip Papa, Mama dan adik adikku." Aku tak dapat menahan suaraku yang bergetar.Om Alfian
DIA BUKAN IBUKU 22"Pagi Nona Naura."Sapa Janeeta di meja makan. Aku tersenyum, menarik kursi makan di depanku. Pagi ini aku mengumpulkan pelayan di rumah Nenek di ruang makan merangkap dapur yang amat luas ini. Sementara Nenek ditemani Om Gilang dan seorang sopir serta pelayan sedang check up ke rumah sakit. Nenek melarangku ikut karena katanya tak boleh meninggalkan rumah tanpa seorangpun pemilik rumah. Agak aneh sebetulnya mengingat selama ini Nenek sendirian, hanya dikelilingi orang-orang asing yang tak punya hubungan dengannya."Pagi Jani, pagi semuanya."Mereka menyahut serempak. Dari sudut mata kulihat Janeeta mengedip mendengarku memanggilnya Jani."Saya hendak menyampaikan apa yang telah disepakati oleh saya dan Nenek. Karena Nenek sakit dan saya adalah satu satunya ahli waris, mulai hari ini, saya yang akan memegang kendali atas rumah ini."Gumaman terdengar dari mulut mereka. Aku menatap Lisa melalui sudut mata, mendapati wajahnya yang tampak tak enak dipandang."Pertama,