"Kita udah dipesankan kursi bisnis Gas, tapi cuma buat kita ber-lima, mereka pesankan sesuai data perusahaan," ujar Arga sambil menunjukkan sebuah email kepada Bagas. Bagas terdiam, "Nanti Kara saya pesankan pesawat terpisah aja," sahut Bagas bimbang. Kara yang menguping pembicaraan Bagas dan Arga menerobos masuk ke dalam, "Gas, saya gak ikut gak pa pa kok! Lagian kan ada Nadine, nanti saya bisa minta tolong dia buat sesekali nginep nemenin saya," tukas Kara yang tidak ingin membuat urusan bisnis Bagas dan perusahaan rintisan-nya yang diberi nama BAGGG menjadi ruwet karena Kara. "Kamu yakin?" tanya Bagas ragu. Kara mengangguk sambil tersenyum meyakinkan Bagas, "Yakin!" sahut Kara riang, ia tak ingin Bagas merasa bahwa Kara akan merasa sedih jika nanti ditinggalkan. Bagas terdiam, tampak berpikir. Lalu ia menatap Kara lagi, "Untuk Presentasi Program satu minggu, Kalau mereka tertarik, mungkin bisa molor sampai dua minggu, atau lebih," tukas Bagas yang merasa sangat berat meninggalkan
Baru sehari setelah keberangkatan Bagas, Kara dikejutkan oleh sebuah panggilan telepon dari Mama Mertuanya. Dengan perasaan campur aduk, Kara menekan tombol hijau. "Ya Ma?" sapa Kara pelan. Di seberang sana Mama Bagas sempat terdiam selama beberapa lama. "Ma?" tanya Kara lagi. "Saya mau ketemu kamu, nanti sore bisa?" ujar Mama Bagas dengan suara datar dan serak. Kara mengigit bibirnya, haruskah ia menemui mertuanya? Ia takut jika hal buruk akan terjadi, tapi bagaimanapun beliau adalah mertua Kara. "Dimana Ma?" tanya Kara akhirnya setelah mengumpulkan keberanian. "Di Carol & Lewiss, jam empat sore," jawab Mama Bagas singkat. "Okay Ma," jawab Kara tak kalah singkatnya. Tak ada kata-kata 'see you there' atau apapun karena Mama Bagas langsung memutuskan sambungan telepon. [Gas, Mama kamu ngajak saya untuk ketemu di Carol & Lewiss sore ini, saya udah mengiyakan, gak pa pa kan?] [Gak pa pa Kar, she's my Mum, dia gak akan pernah melukai kamu, jangan khawatir, malah mungkin Mama mau memper
"Kar! PIMCO tertarik dengan produk kita, tapi..." suara Bagas terdengar menggantung di udara. Kara mengernyitkan keningnya, "Tapi apa?!" desak Kara dengan penasaran. Bagas menghela nafas panjang, "Tapi, kita harus pindah ke California Amerika!" seru Bagas dengan semangat. Kara tahu, harusnya ia bersemangat, tapi ia baru saja memulai kariernya di dunia kepenulisan naskah. "Kar?" tanya Bagas yang tak mendengar reaksi Kara sama sekali. "Eh iya Gas sorry sinyalnya jelek banget! Wahhhh So happy! Jadi kalian akan jadi bagian dari perusahaan mereka?" tanya Kara berpura-pura semangat, padahal otaknya melayang ke rencana project besar yang akan dikerjakannya dengan Andromeda. "Iya! Tebak kita dapat suntikan dana berapa?" goda Bagas yang sama sekali tak mendengar nada suara Kara yang berbeda. "Berapa?!" tanya Kara sambil menahan nafas. "Tiga Ratus Milyar Dollar! Kita bisa bayar Papa Kar! Kita BEBAS!" Kara tak pernah mendengar Bagas sesemangat ini sebelumnya. Mungkin sebaiknya Kara melupakan s
Gavin membawa Kara ke sebuah penginapan milik temannya di kawasan puncak Jawa Barat. Yang jelas penginapan tersebut tidak diketahui lokasinya oleh Papa Bagas, sehingga cukup aman. Kara menghubungi Bagas, lalu ia dan Gavin berdiskusi dengan Bagas melalui sambungan video call. "Sepertinya Papa udah dengar tentang kabar BAGGG yang akan dapat suntikan dana dari PIMCO," tukas Bagas dengan wajah mengeras. Alis Kara beradu, "Terus kalau Papa tau kenapa? Bukannya malah bagus, bukannya Papa maunya kamu bayar semua uang yang udah kamu keluarin selama pernikahan dengan saya?" tanya Kara bingung. "Papa bohong Kar, saya pernah dengar Papa bilang kalau itu cuma akal-akalan Papa aja, karena Papa pikir Bagas gak akan mampu mengembalikan uang itu, inti sebenarnya adalah Papa gak mau kamu dan Bagas bersatu," jelas Gavin sambil menundukkan kepalanya. "Sejak Papa tau tentang siapa Kara sebenarnya, dia selalu bilang kalau anak dalam kandungan kamu akan menjadi masalah, makanya waktu kemarin Thalita men
Bandara Schiphol, Amsterdam tampak sama, namun perasaan Kara saat menginjakkan kaki di sana, sama sekali berbeda. Bulan ini, bulan Maret adalah awal dari pergantian dari musim dingin ke musim semi. Kara melihat langit yang berbeda dari terakhir kali ia melihatnya. Kara melangkah menyeret koper kecil yang di packing sembarang oleh Nadine menuju Coffee Shop tempat pertama ia dan Bagas bertemu. Ia berdiri di depan bar memesan es caramel machiato extra whipped cream kesukaannya. "Decaf please," tukas Kara yang baru tahu jika ia bisa mengkonsumsi kopi decaf alih-alih menghilangkan kebiasaan mengopi nya. Ia menatap ke arah sofa tempat yang pernah diduduki oleh Bagas. Senyum lebar menghiasi bibirnya saat teringat pertama kali Bagas menegurnya dan meminta Kara untuk memberikan hotelnya pada Bagas dengan imbalan bayaran 10 kali lipat yang akhirnya berakhir di angka 50 kali lipat karena Kara yang terlalu matre saat itu. Ia tidak pernah menyangka jika hal konyol itu dapat membawanya menjadi is
"Rasanya dulu kalian persis sekali seperti Tom & Jerry, tapi sekarang? Astaga bahkan saya dan Eline kalah mesra!" seru Curtis sambil menuang wine ke gelas Eline dan Bagas, ia melewatkan gelas Kara karena tahu Kara sedang hamil. Bagas dan Kara saling tatap sambil tersenyum kecil, "Saya juga tidak pernah menyangka kalau kami akan berakhir seperti ini," tukas Bagas sambil menatap Kara dalam."Wah Wah bahasa Belanda kamu sudah jauh lebih baik sekarang!" puji Eline yang sebelumnya tahu jika Bagas tidak terlalu pandai berbahasa Belanda. Dulu kali pertama mereka bertemu, Bagas selalu menjawab semua pertanyaan Eline dan Curtis dengan bahasa prancis. "Hahaa iya saya belajar banyak dari Kara!" jawab Bagas riang. Selanjutnya mereka menikmati makan malam sambil mengobrol hangat dan tertawa. Rasanya sudah lama sekali sejak mereka bisa tertawa selepas ini. Bagas seringkali menyentuh tangan Kara, seolah untuk menyadarkan Kara bahwa semua ini bukan mimpi belaka. Malam datang menyapa, Bagas mengajak
Berat langkah Kara meninggalkan Desa Giethoorn, meninggalkan Eline yang masih berduka. Tapi ia dan Bagas sudah memperpanjang kunjungan mereka sampai satu minggu lamanya, bukannya tidak ingin menemani Eline, tapi ada pekerjaan yang menanti Bagas di California. Rasa sedih ditambah hormon kehamilan membuat Kara terus menerus menangis saat berpamitan dengan Eline. Kara berjanji pada Eline, jika semuanya sudah berjalan dengan baik, ia dan Bagas akan datang lagi untuk berkunjung. "Eline, jaga kesehatanmu ya, jika ada apa-apa hubungi saja saya atau Bagas, kami dengan senang hati akan membantu,"' ucap Kara setengah tersedu. Eline memeluk Kara hangat, "Terimakasih nak, hati-hati di jalan, tetaplah saling mencintai satu sama lain, jika bukan kalian yang memperjuangkan cinta kalian, siapa lagi yang akan memperjuangkan?" nasihat Eline membuat hati Kara menghangat. Kali terakhir Bagas memeluk Eline hangat, setelah itu mereka melompat ke atas speed boat yang akan membawa mereka menuju ke gerbang
Kara terbangun pagi hari dengan suasana hati yang berbeda. Ia terbangun di atas tempat tidur baru dan di negara yang baru, Amerika. Di sebelahnya Bagas masih tertidur pulas, pantas saja, jam masih menunjukkan pukul 6.00 pagi. Kara yang over excited tak dapat memejamkan matanya lagi. Ia tidak sabar mencoba dapur barunya yang baru tadi malam ia isi sendiri dengan perlengkapan masak yang dibelinya di IKEA. Setelah melakukan rutinitas di kamar mandi, Kara beranjak ke dapur, ia tersenyum kecil sambil memeriksa panci-panci dan piring-piring baru yang masih mengkilap. Astaga, kemarin mereka belum sempat belanja kebutuhan dapur, bagaimana Kara akan memasak! Kara membuka kesal dengan wajah muram, padahal perutnya sudah terasa lapar sekali. Ia membuka website, mencari supermarket yang buka, tak ada. Hampir seluruh supermarket buka pada pukul 9.00 atau 10.00 pagi. Namun tiba-tiba Kara teringat di depan Apartemen ada sebuah mini market yang buka 24 jam. Dengan perlahan Kara membuka dompet, meng
Seolah semuanya sudah diatur, Papa berpulang tepat ketika Kara berkunjung ke Indonesia. Serangan jantung karena komplikasi katanya, persis seperti penyakit Papa mertuanya. Papa Kara yang tidak pernah keluar masuk rumah sakit sama sekali, justru berpulang lebih dulu. Tak ada pesan terakhir yang terucap, namun Kara tahu, Papa hanya ingin Kara pulang, untuk menemani Papa di hari akhirnya. Semuanya terasa seperti mimpi, Kara merasa seperti melayang. Namun keberadaan Bagas dan Brie selalu bisa membuat Kara sadar bahwa hidup harus terus berlanjut. Orang yang paling terlihat terpukul adalah tante Nia, baru tiga tahun pernikahan, ia sudah harus kembali menjanda. Walau hanya tiga tahun, tapi ikatan cinta mereka seolah mengalahkan hubungan suami istri yang sudah terjalin bertahun-tahun lamanya. Tante Nia seperti kehilangan cahaya di wajahnya, ia berduka lebih dari Kara. Empat hari sudah berlalu sejak meninggalnya Papa dan ditengah rasa dukanya Kara harus hadir di pernikahan Gavin. Kara bisa
Satu Tahun Kemudian, "Itu Juan!" teriak Kara seraya menunjuk Juan yang mengangguk ke arahnya. "Apa kabar Ju?" sapa Bagas lalu menjabat tangan Juan dengan ramah. "Baik Pak, mari Pak mobilnya di sebelah sini," tukas Juan mengarahkan Bagas, Kara dan Brianna menuju mobil yang akan membawa mereka ke rumah orang tua Bagas. "Wah, tiga tahun gak pulang, ternyata cukup banyak yang berubah yaaa..." cetus Kara takjub melihat perubahan kota Jakarta. Bagas mengangguk, "Iya, kangen juga sama Jakarta! Brie ini hometown kamu nihh, Jakarta!" seru Bagas sambil mengamit tangan Brie. Brie yang sedang asik dengan mainannya tak begitu peduli. Hari ini Bagas dan Kara membawa Brie kembali ke Jakarta untuk mengunjungi keluarga mereka, sekaligus untuk menghadiri resepsi pernikahan Gavin dengan gadis pilihannya yang belum pernah dikenalkan kepada Kara ataupun Bagas. Mobil berhenti tepat di depan rumah orang tua Bagas. Papa dan Mama Bagas tampak menyambut di teras dengan wajah tak sabar. Mereka bukannya tak
Dua tahun kemudian, "Gimana menurut kamu jadinya?" tanya Bagas sambil melipat kedua tangan di depan dadanya. Kara tampak berpikir sejenak, "Yah susah juga sih Gas, dia kan ngelakuin hal kayak gitu karena tamunya kurang ajar, Kita gak bisa pecat orang hanya karena dia mempertahankan harga dirinya," tukas Kara tegas. Bagas menghela nafas panjang, "Ya saya setuju sih sama kamu, tapi kita harus siap kehilangan pelanggan dari Froil, which is mereka adalah salah satu company yang rutin kerjasama dengan restoran kita..." ujar Bagas dengan berat hati. Kara mendekat pada Bagas, memegang kedua tangan Bagas. "Whenever you stuck with this kind of situation just remember apa tujuan awal kita ngejalanin bisnis, it's never about money Gas, kita ngejalanin bisnis ini karena kita suka dan kita mau terus sama-sama, iya kan?" tukas Kara lembut. "Yeah, you're right... Ini nih kenapa kamu mesti sesekali kunjungan ke kantor, untuk ngingetin saya mana yang baik dan mana yang buruk!" seru Bagas lalu mena
"Gas! Brie kok kayak kuning gitu sih?" seru Kara saat ia sedang berjemur bersama Brie di halaman rumah. Bagas yang sedang memeriksa tanaman terkejut lalu menghampiri Kara. "Masa sih?!" tukas Bagas tak percaya, ia mengamati wajah Brie dengan seksama, "Iya sih Kar, waduh kenapa yah?" tanya Bagas dengan khawatir. "Kayaknya gara-gara bilirubin-nya tinggi deh, kita bawa ke dokter aja deh Gas!" tukas Kara merasa takut. Sebagai ibu baru, Kara masih meraba-raba bagaimana caranya menjadi ibu yang baik bagi Brianna, sehingga segala hal kecil tidak akan luput dari perhatiannya. Pagi itu setelah mandi dan sarapan, Bagas dan Kara bergegas menuju St. Pauls dan langsung mendaftar di poli anak. "Brianna Rose Mahendra!" panggil seorang perawat. Bagas dan Kara segera bangkit dan masuk ke dalam ruang periksa. Dokter mengatakan jika Brie mengalami breastfeeding jaundice yang membuatnya menjadi kuning. Dokter menyarankan Kara untuk lebih sering menyusui Brie dan makan makanan yang bergizi serta menghin
Dunia seakan runtuh bagi Bagas saat ia melihat Kara terkulai lemas. Dokter mengatakan Kara mengalami perdarahan hebat sehingga dokter perlu memberikan Kara alat bantu nafas dan transfusi darah karena HB kara yang anjlok ke angka 7.Bagas diminta untuk menunggu di luar agar ia tidak panik, sementara bayi perempuan mereka sudah di urus oleh perawat dan di masukan ke dalam inkubator karena kondisinya yang prematur. Di sela doa dan tangisnya Bagas teringat Mamanya, ia menghubungi Mamanya dan menceritakan apa yang terjadi, Mama sangat terkejut dan memberi wejangan untuk membesarkan hati Bagas. "Ma makasih ya udah lahirin aku ke dunia, selama ini aku gak tau kalau perjuangan Mama dulu mungkin juga seberat ini. Aku minta maaf kalau selama ini selalu bikin Mama kecewa, sekarang aku minta tolong sama Mama buat do'ain Kara supaya dia bisa lalui semua dengan baik..." ujar Bagas sambil sesekali menyeka air matanya. "Aku gak akan bisa hidup bahagia kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk sama K
Dengan panik Bagas menggendong Kara ke dalam mobil. Kara merasakan sedikit mulas pada perutnya, "Okee Kara relaks atur nafas... atur nafas... everything will be alright..." Kara mencoba menenangkan diri sementara Bagas sedang sibuk mencari rumah sakit terdekat di mesin pencarian google. "Oke Kar, let's do this! Hang in there baby!" seru Bagas lalu menginjak pedal gas dan melaju menuju St. Pauls Hospitals. Baik Kara maupun Bagas sama sekali tidak mengira bahwa Kara akan mengalami pecah ketuban di usia kandungan yang baru menginjak 33 minggu. Keringat dingin mulai membasahi kening dan leher Kara, Bagas merasa sangat gugup dan panik karena ia tidak menyangka hal ini akan terjadi lebih awal. Ia hanya terus menerus mengatakan pada Kara bahwa semua akan baik-baik saja. Sampai di rumah sakit, Bagas segera menghentikan mobil di depan IGD dan meminta bantuan staf medis untuk membawa Kara ke dalam. Kara terlihat sudah sangat pasrah sambil terus menerus mencoba mengatur nafasnya. Seorang per
Bukan hal mudah untuk berbicara pada Mama dan Papa Bagas perkara keinginan Bagas dan Kara untuk pindah ke negara lain. Tapi setelah mereka mengatakan ini semua demi keselamatan dan kenyamanan hidup cucu mereka, akhirnya Papa dan Mama Bagas setuju, bahkan Papa Bagas berjanji akan membantu untuk memblokir akses Visa Thalita ke negara tersebut. "Konyol ya Gas kita..." gumam Kara seraya memandang ke sekeliling penthouse. Bagas menoleh, menatap Kara dengan tatapan penuh tanda tanya. "Selama dua tahun pernikahan, kita udah berapa kali pindah rumah, ini penthouse baru di renov terus mau kita tinggalin lagi," tukas Kara setengah tertawa. Bagas ikut mendengus tertawa, "Gak pa pa lah, ikutin insting aja, yang penting happy!" seru Bagas yang sudah merasa sangat yakin dengan keputusannya. Kara mengangguk, "Semoga di tempat yang baru kita bisa lebih bahagia ya Gas..." ucap Kara seraya merangkul leher Bagas dengan kedua tangannya. "Semoga..." sahut Bagas lalu mengecup bibir Kara lembut. *****Sa
"Gas, kamu yakin mau melanjutkan perkara ini?" tanya Kara pelan. Saat itu ia dan Bagas sedang duduk berdua di kitchen bar. Bagas melamun, menatap piring di depannya dengan tatapan kosong. "Saya takut Kar, saya takut dia akan bertindak lebih jauh..." tukas Bagas tanpa menatap Kara. "Kemaren Theo bilang Thalita bisa aja dijerat hukuman sampai lima belas tahun penjara, kamu yakin kamu gak akan merasa bersalah sama dia seumur hidup kamu?" tanya Kara dengan perasaan yang campur aduk. Bagas mendongak, "Memangnya kamu bisa memaafkan?" Bagas balik bertanya, matanya menatap Kara dalam. "Saya lebih baik memaafkan Thalita dari pada harus ngeliat kamu berkubang dalam rasa bersalah seumur hidup kamu," tukas Kara, tak ada keraguan di matanya. "Kamu yakin Kar? Dia gila Kar, dia bisa bertindak nekat!" seru Bagas, bayangan Thalita yang histeris kemarin melintas di benaknya. "Saya justru mau tanya sama kamu, kamu yakin setelah menjebloskan Thalita ke penjara lagi untuk waktu yang lama kamu bisa hi
"Nemuin Thalita?!" tanya Kara dengan wajah terkejut. Bagas mengangguk pelan. Saat itu mereka sudah berada di Penthouse yang interiornya sudah selesai dirubah menjadi lebih ramah anak. "Emang gak bahaya?" tukas Kara dengan wajah gamang. Bagas menghela nafas panjang, "Kar, dia jadi kayak gitu karena saya..." gumam Bagas sambil menunduk. Dua tahun yang lalu di positano, Bagas berjanji akan kembali ke Thalita setelah kontrak pernikahannya dengan Kara selesai. Thalita dengan segala kehidupan bebasnya mempercayakan hatinya kepada Bagas, satu-satunya pria di dunia yang pernah dicintainya, tapi Bagas mengecewakannya. Seumur hidup Thalita ia tidak pernah dicampakkan. Puluhan kali berpacaran dengan banyak pria, Thalita adalah pihak yang selalu mencampakkan. Namun Bagas merubah semuanya. Bagas menyakitinya dan meninggalkannya tepat di saat ia memilih untuk mempercayakan hidupnya pada Bagas. Tak ada lagi yang tersisa bagi Thalita, bagi Thalita hidupnya berakhir tepat saat Bagas memilih untuk