Berat langkah Kara meninggalkan Desa Giethoorn, meninggalkan Eline yang masih berduka. Tapi ia dan Bagas sudah memperpanjang kunjungan mereka sampai satu minggu lamanya, bukannya tidak ingin menemani Eline, tapi ada pekerjaan yang menanti Bagas di California. Rasa sedih ditambah hormon kehamilan membuat Kara terus menerus menangis saat berpamitan dengan Eline. Kara berjanji pada Eline, jika semuanya sudah berjalan dengan baik, ia dan Bagas akan datang lagi untuk berkunjung. "Eline, jaga kesehatanmu ya, jika ada apa-apa hubungi saja saya atau Bagas, kami dengan senang hati akan membantu,"' ucap Kara setengah tersedu. Eline memeluk Kara hangat, "Terimakasih nak, hati-hati di jalan, tetaplah saling mencintai satu sama lain, jika bukan kalian yang memperjuangkan cinta kalian, siapa lagi yang akan memperjuangkan?" nasihat Eline membuat hati Kara menghangat. Kali terakhir Bagas memeluk Eline hangat, setelah itu mereka melompat ke atas speed boat yang akan membawa mereka menuju ke gerbang
Kara terbangun pagi hari dengan suasana hati yang berbeda. Ia terbangun di atas tempat tidur baru dan di negara yang baru, Amerika. Di sebelahnya Bagas masih tertidur pulas, pantas saja, jam masih menunjukkan pukul 6.00 pagi. Kara yang over excited tak dapat memejamkan matanya lagi. Ia tidak sabar mencoba dapur barunya yang baru tadi malam ia isi sendiri dengan perlengkapan masak yang dibelinya di IKEA. Setelah melakukan rutinitas di kamar mandi, Kara beranjak ke dapur, ia tersenyum kecil sambil memeriksa panci-panci dan piring-piring baru yang masih mengkilap. Astaga, kemarin mereka belum sempat belanja kebutuhan dapur, bagaimana Kara akan memasak! Kara membuka kesal dengan wajah muram, padahal perutnya sudah terasa lapar sekali. Ia membuka website, mencari supermarket yang buka, tak ada. Hampir seluruh supermarket buka pada pukul 9.00 atau 10.00 pagi. Namun tiba-tiba Kara teringat di depan Apartemen ada sebuah mini market yang buka 24 jam. Dengan perlahan Kara membuka dompet, meng
"Oh iya Kar, saya lupa kenalin kamu ke Yumi, Yumi this is Kara, Kara this is Yumi," tukas Bagas saat mereka sudah siap menuju restoran untuk makan siang bersama. Kara tersenyum terpaksa kepada Yumi, sementara Yumi tersenyum sangat manis membuat Kara merasa sangat mual. Setelah itu mereka bersama-sama berjalan menuju restoran tempat seluruh tim akan makan siang bersama. Terdapat kurang lebih 16 orang di dalam Tim BAGGG, mereka berjalan beriringan sambil mengobrol. Kesalnya Kara setiap kali dia akan berbicara kepada Bagas, Yumi selalu menyela dan berbicara tentang pekerjaan. Akhirnya Kara hanya berdiam diri karena merasa tak mengerti apa yang mereka semua bicarakan. Sepuluh menit berjalan, akhirnya mereka sampai di sebuah restoran Jepang terkemuka. Bagas membukakan pintu untuk Kara, Kara masuk ke dalam restoran lalu menoleh ke belakang dan merasa kesal saat Bagas masih menahan pintu untuk Yumi dan beberapa staf perempuan lainnya. "Kar, kamu mau makan apa?" tanya Bagas setelah mereka
Pukul 9.00 malam, Bagas belum juga pulang. Kara yang sudah susah payah memasak makan malam dengan melihat tutorial di YouTube merasa sangat kesal. Sejak tadi pesannya belum di balas oleh Bagas, ada keinginan untuk menelepon, tapi Kara takut jika Bagas menganggapnya posesif. Kara duduk di meja makan menatap dua porsi grill salmon dengan baked potato dan saus lemon yang terlihat sangat menggoda. Dengan gusar Kara menelepon Bagas, masih juga tak di angkat. Ia mengelus perutnya yang mulai kelaparan, karena tak tahan Kara memutuskan untuk memakan sebuah apel ukuran besar. Sambil menunggu Bagas Kara menyalakan TV dan menonton tayangan serial TV secara acak sampai tak sadar jika tiba-tiba saja ia tertidur dengan posisi setengah duduk. "Kar, Karaaa," Bagas menepuk pipi Kara pelan. Kara membuka matanya dan terkejut saat mendapati Bagas susah berada di hadapannya. Ia melirik jam di dinding, pukul 11.00 malam. Kara beranjak duduk dan diam saja karena merasa sangat kesal. "Maaf ya Kar, tadi m
Kara duduk dan menunduk sambil menatap jemari kakinya yang pucat. Di depannya Mama Bagas sedang menatapnya dengan seksama, entah apa yang ada di kepalanya. "Bagas pulang jam berapa?" tanya Mama Bagas datar. Kara berdehem pelan, entah mengapa sejak tadi seperti ada tulang yang tersangkut di tenggorokan Kara, mungkin karena ia terlalu nervous. "Sebentar lagi Ma, tadi saya udah telepon Bagas," jawab Kara pelan. "Diminum dulu Ma teh nya," tukas Kara tanpa berani menatap mata Mama mertuanya. Kara bisa membayangkan Mama Bagas akan mendengus, tapi ternyata Mama Bagas tetap mengangkat cangkir dan menyeruputnya pelan, membuat Kara menghembuskan nafas dengan lega. Rasanya Kara ingin bertanya bagaimana bisa Mama tiba-tiba muncul di LA, tapi membuka mulut saja Kara tak berani. Ia memilih diam saja sambil sesekali melirik jam, berharap Bagas segara datang dan membebaskannya dari kecanggungan ini. Tuhan menjawab doa Kara, beberapa menit kemudian pintu depan terdengar dibuka. Langkah kaki yang ak
"Bagas, uang untuk bayar hutang ke Papa kapan cairnya?" tanya Kara saat mereka sedang sarapan pagi. Kali ini Kara membuat English Breakfast yang berupa toast bread dengan telur mata sapi, beef bacon dan sosis. "Tiga hari lagi Kar, kemarin saya udah cek ke bagian finance PIMCO memang ada sedikit kendala karena masalah kontrak kerja sama dan lain sebagainya," jawab Bagas dengan mulut penuh dengan roti. Kara manggut-manggut, "Oh iya Gas, saya mesti check up kandungan nih," ujar Kara seraya mengelus perutnya dengan lembut. "Astaga! Iya dong! Kamu udah coba browsing Obgyn yang bagus di sekitar sini?" tanya Bagas antusias. Kara mengangguk, "Udah! Tapi belum final sih, masih searching nyari yang paling bagus! Tapi kamu harus temenin loh!" seru Kara setengah melotot. "Pasti dong!" sahut Bagas seraya mengacungkan ibu jarinya. "Kamu hari ini mau ngapain aja?" tanya Bagas seraya mengenakan jaketnya. "Belum tau, paling nulis, kalau bosen palingan jalan-jalan aja di deket sini," jawab Kara lalu
Kara menggigit bibir dan menundukkan kepalanya. Ia tak berani beradu pandang dengan Bagas. "Kar?" tanya Bagas pelan. Kara mendongak, "Iya, tadi saya mau buka HP kamu, tapi gak jadi karena kamu keburu datang," jawab Kara dengan wajah kikuk. Bagas memiringkan kepalanya, "Kenapa? Kamu mulai gak percaya sama saya?" tanya Bagas dengan mata yang terus menatap Kara dalam. Kara menggeleng, "Gak gitu Gas, saya cuma penasaran aja sama isi HP kamu, bukan berarti saya gak percaya," tukas Kara yang bingung harus menjawab apa, karena sebenarnya jauh di lubuk hatinya ada rasa 'insecure' pada dirinya yang akhirnya membuat Kara tidak terlalu percaya terhadap suaminya sendiri. Bagas mengulurkan ponselnya pada Kara, "Ini, kamu mau liat isinya?" ujar Bagas nyaris tanpa amarah. Kara terkejut melihat reaksi Bagas, ia jadi kehilangan selera untuk melihat isi ponsel Bagas. Kara menggeleng pelan, "Gak jadi," sahut Kara pelan. "Yakin?" tanya Bagas setengah menggoda. Kara mengangguk pelan. Bagas menyimpan ke
"Selamat datang Bu Kara, silahkan kamar Ibu di sebelah ini," tukas seorang kepala pelayan saat Kara muncul di depan pintu. Di belakang Kara dua orang body guard terlatih mengikuti. Pagi tadi Bagas dan Mamanya bergegas menuju ke rumah sakit segera setelah mereka mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Bagas meminta Kara untuk menunggu di rumah karena tak ingin Kara kelelahan. Mama Bagas yang sudah berjanji akan melindungi Kara dan calon cucunya, mengutus dua orang bodyguard untuk mengawal Kara selama 24 jam. "Silahkan Ibu," ujar kepala pelayan tersebut setelah pintu kamar terbuka. Kara masuk dengan ragu-ragu, ia masih belum terbiasa dengan semua pelayanan ini karena selama ini walaupun sudah menikah dengan Bagas ia terbiasa melakukan segala sesuatunya seorang diri. "Saya Frida Bu, kepala pelayan disini. Jika ada apa-apa Ibu bisa panggil saya, cukup tekan interkom nomor lima ya bu. Kemarin Bu Hera juga sudah meminta saya untuk belanja beberapa keperluan Ibu, semuanya ada di dalam kloset,
Seolah semuanya sudah diatur, Papa berpulang tepat ketika Kara berkunjung ke Indonesia. Serangan jantung karena komplikasi katanya, persis seperti penyakit Papa mertuanya. Papa Kara yang tidak pernah keluar masuk rumah sakit sama sekali, justru berpulang lebih dulu. Tak ada pesan terakhir yang terucap, namun Kara tahu, Papa hanya ingin Kara pulang, untuk menemani Papa di hari akhirnya. Semuanya terasa seperti mimpi, Kara merasa seperti melayang. Namun keberadaan Bagas dan Brie selalu bisa membuat Kara sadar bahwa hidup harus terus berlanjut. Orang yang paling terlihat terpukul adalah tante Nia, baru tiga tahun pernikahan, ia sudah harus kembali menjanda. Walau hanya tiga tahun, tapi ikatan cinta mereka seolah mengalahkan hubungan suami istri yang sudah terjalin bertahun-tahun lamanya. Tante Nia seperti kehilangan cahaya di wajahnya, ia berduka lebih dari Kara. Empat hari sudah berlalu sejak meninggalnya Papa dan ditengah rasa dukanya Kara harus hadir di pernikahan Gavin. Kara bisa
Satu Tahun Kemudian, "Itu Juan!" teriak Kara seraya menunjuk Juan yang mengangguk ke arahnya. "Apa kabar Ju?" sapa Bagas lalu menjabat tangan Juan dengan ramah. "Baik Pak, mari Pak mobilnya di sebelah sini," tukas Juan mengarahkan Bagas, Kara dan Brianna menuju mobil yang akan membawa mereka ke rumah orang tua Bagas. "Wah, tiga tahun gak pulang, ternyata cukup banyak yang berubah yaaa..." cetus Kara takjub melihat perubahan kota Jakarta. Bagas mengangguk, "Iya, kangen juga sama Jakarta! Brie ini hometown kamu nihh, Jakarta!" seru Bagas sambil mengamit tangan Brie. Brie yang sedang asik dengan mainannya tak begitu peduli. Hari ini Bagas dan Kara membawa Brie kembali ke Jakarta untuk mengunjungi keluarga mereka, sekaligus untuk menghadiri resepsi pernikahan Gavin dengan gadis pilihannya yang belum pernah dikenalkan kepada Kara ataupun Bagas. Mobil berhenti tepat di depan rumah orang tua Bagas. Papa dan Mama Bagas tampak menyambut di teras dengan wajah tak sabar. Mereka bukannya tak
Dua tahun kemudian, "Gimana menurut kamu jadinya?" tanya Bagas sambil melipat kedua tangan di depan dadanya. Kara tampak berpikir sejenak, "Yah susah juga sih Gas, dia kan ngelakuin hal kayak gitu karena tamunya kurang ajar, Kita gak bisa pecat orang hanya karena dia mempertahankan harga dirinya," tukas Kara tegas. Bagas menghela nafas panjang, "Ya saya setuju sih sama kamu, tapi kita harus siap kehilangan pelanggan dari Froil, which is mereka adalah salah satu company yang rutin kerjasama dengan restoran kita..." ujar Bagas dengan berat hati. Kara mendekat pada Bagas, memegang kedua tangan Bagas. "Whenever you stuck with this kind of situation just remember apa tujuan awal kita ngejalanin bisnis, it's never about money Gas, kita ngejalanin bisnis ini karena kita suka dan kita mau terus sama-sama, iya kan?" tukas Kara lembut. "Yeah, you're right... Ini nih kenapa kamu mesti sesekali kunjungan ke kantor, untuk ngingetin saya mana yang baik dan mana yang buruk!" seru Bagas lalu mena
"Gas! Brie kok kayak kuning gitu sih?" seru Kara saat ia sedang berjemur bersama Brie di halaman rumah. Bagas yang sedang memeriksa tanaman terkejut lalu menghampiri Kara. "Masa sih?!" tukas Bagas tak percaya, ia mengamati wajah Brie dengan seksama, "Iya sih Kar, waduh kenapa yah?" tanya Bagas dengan khawatir. "Kayaknya gara-gara bilirubin-nya tinggi deh, kita bawa ke dokter aja deh Gas!" tukas Kara merasa takut. Sebagai ibu baru, Kara masih meraba-raba bagaimana caranya menjadi ibu yang baik bagi Brianna, sehingga segala hal kecil tidak akan luput dari perhatiannya. Pagi itu setelah mandi dan sarapan, Bagas dan Kara bergegas menuju St. Pauls dan langsung mendaftar di poli anak. "Brianna Rose Mahendra!" panggil seorang perawat. Bagas dan Kara segera bangkit dan masuk ke dalam ruang periksa. Dokter mengatakan jika Brie mengalami breastfeeding jaundice yang membuatnya menjadi kuning. Dokter menyarankan Kara untuk lebih sering menyusui Brie dan makan makanan yang bergizi serta menghin
Dunia seakan runtuh bagi Bagas saat ia melihat Kara terkulai lemas. Dokter mengatakan Kara mengalami perdarahan hebat sehingga dokter perlu memberikan Kara alat bantu nafas dan transfusi darah karena HB kara yang anjlok ke angka 7.Bagas diminta untuk menunggu di luar agar ia tidak panik, sementara bayi perempuan mereka sudah di urus oleh perawat dan di masukan ke dalam inkubator karena kondisinya yang prematur. Di sela doa dan tangisnya Bagas teringat Mamanya, ia menghubungi Mamanya dan menceritakan apa yang terjadi, Mama sangat terkejut dan memberi wejangan untuk membesarkan hati Bagas. "Ma makasih ya udah lahirin aku ke dunia, selama ini aku gak tau kalau perjuangan Mama dulu mungkin juga seberat ini. Aku minta maaf kalau selama ini selalu bikin Mama kecewa, sekarang aku minta tolong sama Mama buat do'ain Kara supaya dia bisa lalui semua dengan baik..." ujar Bagas sambil sesekali menyeka air matanya. "Aku gak akan bisa hidup bahagia kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk sama K
Dengan panik Bagas menggendong Kara ke dalam mobil. Kara merasakan sedikit mulas pada perutnya, "Okee Kara relaks atur nafas... atur nafas... everything will be alright..." Kara mencoba menenangkan diri sementara Bagas sedang sibuk mencari rumah sakit terdekat di mesin pencarian google. "Oke Kar, let's do this! Hang in there baby!" seru Bagas lalu menginjak pedal gas dan melaju menuju St. Pauls Hospitals. Baik Kara maupun Bagas sama sekali tidak mengira bahwa Kara akan mengalami pecah ketuban di usia kandungan yang baru menginjak 33 minggu. Keringat dingin mulai membasahi kening dan leher Kara, Bagas merasa sangat gugup dan panik karena ia tidak menyangka hal ini akan terjadi lebih awal. Ia hanya terus menerus mengatakan pada Kara bahwa semua akan baik-baik saja. Sampai di rumah sakit, Bagas segera menghentikan mobil di depan IGD dan meminta bantuan staf medis untuk membawa Kara ke dalam. Kara terlihat sudah sangat pasrah sambil terus menerus mencoba mengatur nafasnya. Seorang per
Bukan hal mudah untuk berbicara pada Mama dan Papa Bagas perkara keinginan Bagas dan Kara untuk pindah ke negara lain. Tapi setelah mereka mengatakan ini semua demi keselamatan dan kenyamanan hidup cucu mereka, akhirnya Papa dan Mama Bagas setuju, bahkan Papa Bagas berjanji akan membantu untuk memblokir akses Visa Thalita ke negara tersebut. "Konyol ya Gas kita..." gumam Kara seraya memandang ke sekeliling penthouse. Bagas menoleh, menatap Kara dengan tatapan penuh tanda tanya. "Selama dua tahun pernikahan, kita udah berapa kali pindah rumah, ini penthouse baru di renov terus mau kita tinggalin lagi," tukas Kara setengah tertawa. Bagas ikut mendengus tertawa, "Gak pa pa lah, ikutin insting aja, yang penting happy!" seru Bagas yang sudah merasa sangat yakin dengan keputusannya. Kara mengangguk, "Semoga di tempat yang baru kita bisa lebih bahagia ya Gas..." ucap Kara seraya merangkul leher Bagas dengan kedua tangannya. "Semoga..." sahut Bagas lalu mengecup bibir Kara lembut. *****Sa
"Gas, kamu yakin mau melanjutkan perkara ini?" tanya Kara pelan. Saat itu ia dan Bagas sedang duduk berdua di kitchen bar. Bagas melamun, menatap piring di depannya dengan tatapan kosong. "Saya takut Kar, saya takut dia akan bertindak lebih jauh..." tukas Bagas tanpa menatap Kara. "Kemaren Theo bilang Thalita bisa aja dijerat hukuman sampai lima belas tahun penjara, kamu yakin kamu gak akan merasa bersalah sama dia seumur hidup kamu?" tanya Kara dengan perasaan yang campur aduk. Bagas mendongak, "Memangnya kamu bisa memaafkan?" Bagas balik bertanya, matanya menatap Kara dalam. "Saya lebih baik memaafkan Thalita dari pada harus ngeliat kamu berkubang dalam rasa bersalah seumur hidup kamu," tukas Kara, tak ada keraguan di matanya. "Kamu yakin Kar? Dia gila Kar, dia bisa bertindak nekat!" seru Bagas, bayangan Thalita yang histeris kemarin melintas di benaknya. "Saya justru mau tanya sama kamu, kamu yakin setelah menjebloskan Thalita ke penjara lagi untuk waktu yang lama kamu bisa hi
"Nemuin Thalita?!" tanya Kara dengan wajah terkejut. Bagas mengangguk pelan. Saat itu mereka sudah berada di Penthouse yang interiornya sudah selesai dirubah menjadi lebih ramah anak. "Emang gak bahaya?" tukas Kara dengan wajah gamang. Bagas menghela nafas panjang, "Kar, dia jadi kayak gitu karena saya..." gumam Bagas sambil menunduk. Dua tahun yang lalu di positano, Bagas berjanji akan kembali ke Thalita setelah kontrak pernikahannya dengan Kara selesai. Thalita dengan segala kehidupan bebasnya mempercayakan hatinya kepada Bagas, satu-satunya pria di dunia yang pernah dicintainya, tapi Bagas mengecewakannya. Seumur hidup Thalita ia tidak pernah dicampakkan. Puluhan kali berpacaran dengan banyak pria, Thalita adalah pihak yang selalu mencampakkan. Namun Bagas merubah semuanya. Bagas menyakitinya dan meninggalkannya tepat di saat ia memilih untuk mempercayakan hidupnya pada Bagas. Tak ada lagi yang tersisa bagi Thalita, bagi Thalita hidupnya berakhir tepat saat Bagas memilih untuk