"Nyuk kenapa gak cerita dari kemaren sih!" tukas Nadine setelah ia sampai di rumah Kara. Kara hanya terdiam sambil memainkan ponsel di tangannya. "Lo gak mau ngelakuin sesuatu?!" desak Nadine dengan gemas. Kara mengigit bibirnya, "Bagas nyuruh gue buat percayain aja semua ke dia," jawab Kara sambil berpikir. Nadine menghempaskan tubuhnya di atas sofa di sebelah Kara. "Kalo ternyata Bagas gak ngelakuin apa-apa gimana?" pancing Nadine. "Gak mungkin lah Nyuk! Bagas pasti ngelakuin sesuatu!" sanggah Kara dengan agak kesal, tapi jauh di lubuk hati Kara sejujurnya ia menanyakan hal yang sama. "Sekarang gini, seandainya Bagas gak ngelarang lo, apa yang mau lo lakuin di situasi ini?" tanya Nadine yang terlalu mengenal Kara. Ia tahu betul jika Kara bukan tipe orang yang bisa berpangku tangan ditengah situasi yang merugikan dirinya. "Gue pengen nemuin Papanya Bagas! Gue mau tau kenapa dia gak bisa ngebiarin aja Bagas bahagia sama gue! Kalau sampai dia ngancem gue, gue bakal ngancem dia balik
Kara merasa seperti berada di atas angin sekarang, namun kata-kata yang keluar dari mulut Papa Bagas justru membuat Kara menjadi lemas seketika. "Saya akan lepaskan Bagas, saya beri kalian waktu enam bulan untuk mengembalikan Seratus Milyar saya, jika kalian gagal Bagas akan saya pidanakan dengan pasal penipuan!" tukas Papa Bagas tegas, tak ada lagi wajah ramah palsu yang seringkali ia tunjukkan. Kara menggigit bibirnya, mengumpulkan uang Seratus Milyar dalam tempo enam bulan sama tak mungkinnya dengan kehidupan di planet Mars. "Apa yang akan terjadi jika Bagas gagal bayar dan tak ingin di pidanakan?" tanya Kara berusaha tidak terlihat takut sama sekali. Papa Bagas mendengus, "Bagas akan kembali ke tempat asalnya dan kamu akan kembali ke tempat asal kamu," ujar Papa Bagas dengan tatapan yang sangat membuat Kara merasa di remehkan.Kara berpikir cepat, ia bisa mengulur waktu sampai enam bulan ke depan. Ia akan berusaha keras untuk membayar kembali Seratus Milyar tersebut kepada Papa
Pagi harinya, Kara dan Bagas sudah sibuk membersihkan kembali lantai atas yang akan digunakan untuk kantor perusahaan startup yang akan dijalankan oleh Bagas dan teman-temannya. Mereka sangat bersemangat sampai tak merasakan lelah sama sekali. Sesekali Bagas mengingatkan Kara untuk tidak bekerja terlalu keras karena janin yang sedang dikandungnya. Pukul 9.00 pagi, bel rumah berbunyi, Kara dan Bagas bergegas membuka pintu dan mendapati empat orang pria berdiri di sana dengan pakaian kasual. "Hai Bro!" sapa si orang yang paling depan yang Kara kenali sebagai Arga yang sempat ditemuinya di Mall beberapa waktu lalu. Arga juga menyapa Kara dan memperkenalkan tiga orang lainnya. "Mereka bertiga ini adalah pengembang kita, Gio, Gery dan Gani, orang biasa menyebut mereka 3G," tukas Arga sambil tertawa. Kara menyalami mereka satu persatu. Gio si kribo, Gery si kalem tapi cukup tampan dan Gani si preman karena tatto yang memenuhi lengannya. Setelah itu mereka kembali ke mobil dan membawa per
Semalaman Kara sangat gelisah sampai tidak bisa tidur. Sementara di sebelahnya Bagas tampak sudah terlelap karena kelelahan bekerja seharian. Dengan gusar Kara bangkit dari tempat tidur menuju dapur, mungkin setelah meminum segelas susu almond ia akan segera mengantuk. Dengan lemas Kara beranjak menuju kulkas, mengambil sebotol susu almond lalu menenggaknya sampai habis. Pikiran Kara berputar-putar, memikirkan siapa kira-kira yang sangat berani mengancam Kara seperti itu. Hati kecilnya mengatakan jika sang pengancam pasti salah satu dari keluarga Bagas, tapi kenyataan bahwa mereka keluarga, membuat Kara ragu. Papa Bagas mungkin memang terlihat kejam dan menyebalkan tapi ia tak mungkin akan membunuh putranya sendiri. Mama Bagas? Apalagi! Dia adalah satu-satunya orang yang selama ini selalu mendukung dan menyayangi Bagas. Kemungkinan bahwa Mama Bagas akan menyakiti putra semata wayangnya sama tak mungkinnya dengan kemungkinan akan turun salju di Indonesia. Kara mengacak rambutnya yan
Kara membuka mata perlahan, yang pertama dilihatnya adalah Bagas yang menunduk di atasnya dengan wajah khawatir, lalu ia menoleh dan mendapati Nadine dan Arga yang juga sedang menanti Kara siuman. "Kar, ada yang sakit?" tanya Bagas memeriksa tubuh Kara. Kara menatap Bagas lalu tangisnya pecah. Arga memilih untuk menjauh setelah menepuk bahu Bagas pelan. "Gas, ini serius banget, lo mesti ngelakuin sesuatu," tukas Nadine lalu berjongkok di sisi Kara. "Lo gak pa pa kan Nyuk?" tanya Nadine sambil mengusap lengan Kara pelan. Kara mengangguk, dengan dibantu Bagas ia bangkit duduk bersandar pada sofa. "Saya juga dapet kiriman pesan aneh Kar, tapi sebaliknya dari yang kamu terima, dia ngancem akan nyakitin kamu bukan saya," ujar Bagas seraya duduk di sebelah Kara. "Siapa yang kira-kira ngelakuin ini Gas? Kamu ada gambaran?" tanya Kara menoleh menatap Bagas masih dengan matanya yang basah. Hidungnya mencium aroma amis yang ternyata berasal dari t-shirt putihnya yang belum diganti. "Saya ga
"Lo istirahat Nyuk, kalo lo gak mau tidur juga gue panggil dokter juga nih biar lo dikasih obat tidur!" omel Nadine karena Kara masih saja terjaga padahal jam sudah menunjukkan pukul 01.00 pagi. "Bagas gimana Nyuk, dia belum juga bales pesan gue, telepon gue juga gak nyambung, HP nya mati, gimana kalo ada apa-apa sama dia!" oceh Kara dengan wajah ketakutan. Nadine memejamkan mata, sesungguhnya ia juga berpikiran sama dengan Kara. Tapi menimpali Kara hanyalah akan membuat Kara bertambah khawatir dan akan mengganggu kesehatannya. "Kar, lo percaya aja sama Bagas, dia akan baik-baik aja, dia gak akan ngebiarin dirinya terluka karena ada lo dan janin lo yang mesti dia jaga, trust me!" tukas Nadine berusaha keras membuat Kara tenang. Kata-kata Nadine cukup meyakinkan Kara, benar kata Nadine, Bagas tidak akan membiarkan dirinya terluka, karena Kara dan janin dalam perut Kara membutuhkannya! Setelah berkali-kali berdoa untuk keselamatan Bagas, akhirnya Kara mencoba untuk memejamkan mata w
"Gila kalian ya! Mana mungkin Ibu saya ngelakuin hal semacam itu? Bahkan seumur hidupnya dia gak pernah terobsesi dengan uang! Hubungan dengan Papa murni karena Ibu saya mencintai Papa!" seru Gavin pada Kara, Bagas dan Nadine. Wajah Bagas mengeras, "Jangan berbicara seolah mencintai laki-laki beristri adalah hal yang membanggakan!" bentak Bagas yang kesal mendengar kata-kata Gavin. Kara menyentuh lengan Bagas seolah mengatakan bahwa ini bukan waktunya untuk meributkan hal semacam itu. Kara yang hari ini sudah merasa lebih baik duduk tegak di atas tempat tidur rumah sakit. Ia menatap Gavin tajam, "kamu bisa buktikan?" tanya Kara. Gavin menghela nafas panjang, ia mengambil ponsel di saku celananya. "Liat! Ibu saya selama satu bulan belakangan berada di Magelang menjaga Eyang saya yang sedang sakit keras! Kalian bisa liat rekaman CCTV day by day, karena selama sebulan penuh Ibu saya tidak pergi kemana-mana!" jelas Gavin panjang lebar dengan nada gusar. "Kirim ke saya data CCTV-nya!
Hari ini untuk pertama kalinya setelah beberapa hari belakangan, Kara merasakan kelegaan yang luar biasa. Ia tidak lagi merasa takut karena orang yang selama ini berniat mencelakai janinnya sudah mendekam di balik jeruji besi. Setelah melalui proses interogasi selama berjam-jam lamanya akhirnya Thalita mengakui semua perbuatannya. Motifnya seperti yang sudah Kara dan Bagas duga adalah untuk membuat Kara keguguran sehingga Bagas akan kembali lagi padanya. Kesehatan Kara sudah pulih seperti sedia kala, ia sudah kembali ke rumah dan Bagas juga sudah kembali sibuk dengan aktivitas kerjanya. Di kandungan Kara yang sudah menginjak usia tiga bulan, Kara masih tetap produktif dengan menghasilkan berlembar-lembar naskah skenario yang siap ia kirim ke production house terkemuka di Indonesia. Kara tahu jalannya tidak akan mudah, tapi demi bisa menambah penghasilannya dan Bagas, Kara tak akan menyerah. "Hari ini kamu kemana Gas?" tanya Kara sambil menyodorkan kopi yang baru dibuatnya pada Ba
Seolah semuanya sudah diatur, Papa berpulang tepat ketika Kara berkunjung ke Indonesia. Serangan jantung karena komplikasi katanya, persis seperti penyakit Papa mertuanya. Papa Kara yang tidak pernah keluar masuk rumah sakit sama sekali, justru berpulang lebih dulu. Tak ada pesan terakhir yang terucap, namun Kara tahu, Papa hanya ingin Kara pulang, untuk menemani Papa di hari akhirnya. Semuanya terasa seperti mimpi, Kara merasa seperti melayang. Namun keberadaan Bagas dan Brie selalu bisa membuat Kara sadar bahwa hidup harus terus berlanjut. Orang yang paling terlihat terpukul adalah tante Nia, baru tiga tahun pernikahan, ia sudah harus kembali menjanda. Walau hanya tiga tahun, tapi ikatan cinta mereka seolah mengalahkan hubungan suami istri yang sudah terjalin bertahun-tahun lamanya. Tante Nia seperti kehilangan cahaya di wajahnya, ia berduka lebih dari Kara. Empat hari sudah berlalu sejak meninggalnya Papa dan ditengah rasa dukanya Kara harus hadir di pernikahan Gavin. Kara bisa
Satu Tahun Kemudian, "Itu Juan!" teriak Kara seraya menunjuk Juan yang mengangguk ke arahnya. "Apa kabar Ju?" sapa Bagas lalu menjabat tangan Juan dengan ramah. "Baik Pak, mari Pak mobilnya di sebelah sini," tukas Juan mengarahkan Bagas, Kara dan Brianna menuju mobil yang akan membawa mereka ke rumah orang tua Bagas. "Wah, tiga tahun gak pulang, ternyata cukup banyak yang berubah yaaa..." cetus Kara takjub melihat perubahan kota Jakarta. Bagas mengangguk, "Iya, kangen juga sama Jakarta! Brie ini hometown kamu nihh, Jakarta!" seru Bagas sambil mengamit tangan Brie. Brie yang sedang asik dengan mainannya tak begitu peduli. Hari ini Bagas dan Kara membawa Brie kembali ke Jakarta untuk mengunjungi keluarga mereka, sekaligus untuk menghadiri resepsi pernikahan Gavin dengan gadis pilihannya yang belum pernah dikenalkan kepada Kara ataupun Bagas. Mobil berhenti tepat di depan rumah orang tua Bagas. Papa dan Mama Bagas tampak menyambut di teras dengan wajah tak sabar. Mereka bukannya tak
Dua tahun kemudian, "Gimana menurut kamu jadinya?" tanya Bagas sambil melipat kedua tangan di depan dadanya. Kara tampak berpikir sejenak, "Yah susah juga sih Gas, dia kan ngelakuin hal kayak gitu karena tamunya kurang ajar, Kita gak bisa pecat orang hanya karena dia mempertahankan harga dirinya," tukas Kara tegas. Bagas menghela nafas panjang, "Ya saya setuju sih sama kamu, tapi kita harus siap kehilangan pelanggan dari Froil, which is mereka adalah salah satu company yang rutin kerjasama dengan restoran kita..." ujar Bagas dengan berat hati. Kara mendekat pada Bagas, memegang kedua tangan Bagas. "Whenever you stuck with this kind of situation just remember apa tujuan awal kita ngejalanin bisnis, it's never about money Gas, kita ngejalanin bisnis ini karena kita suka dan kita mau terus sama-sama, iya kan?" tukas Kara lembut. "Yeah, you're right... Ini nih kenapa kamu mesti sesekali kunjungan ke kantor, untuk ngingetin saya mana yang baik dan mana yang buruk!" seru Bagas lalu mena
"Gas! Brie kok kayak kuning gitu sih?" seru Kara saat ia sedang berjemur bersama Brie di halaman rumah. Bagas yang sedang memeriksa tanaman terkejut lalu menghampiri Kara. "Masa sih?!" tukas Bagas tak percaya, ia mengamati wajah Brie dengan seksama, "Iya sih Kar, waduh kenapa yah?" tanya Bagas dengan khawatir. "Kayaknya gara-gara bilirubin-nya tinggi deh, kita bawa ke dokter aja deh Gas!" tukas Kara merasa takut. Sebagai ibu baru, Kara masih meraba-raba bagaimana caranya menjadi ibu yang baik bagi Brianna, sehingga segala hal kecil tidak akan luput dari perhatiannya. Pagi itu setelah mandi dan sarapan, Bagas dan Kara bergegas menuju St. Pauls dan langsung mendaftar di poli anak. "Brianna Rose Mahendra!" panggil seorang perawat. Bagas dan Kara segera bangkit dan masuk ke dalam ruang periksa. Dokter mengatakan jika Brie mengalami breastfeeding jaundice yang membuatnya menjadi kuning. Dokter menyarankan Kara untuk lebih sering menyusui Brie dan makan makanan yang bergizi serta menghin
Dunia seakan runtuh bagi Bagas saat ia melihat Kara terkulai lemas. Dokter mengatakan Kara mengalami perdarahan hebat sehingga dokter perlu memberikan Kara alat bantu nafas dan transfusi darah karena HB kara yang anjlok ke angka 7.Bagas diminta untuk menunggu di luar agar ia tidak panik, sementara bayi perempuan mereka sudah di urus oleh perawat dan di masukan ke dalam inkubator karena kondisinya yang prematur. Di sela doa dan tangisnya Bagas teringat Mamanya, ia menghubungi Mamanya dan menceritakan apa yang terjadi, Mama sangat terkejut dan memberi wejangan untuk membesarkan hati Bagas. "Ma makasih ya udah lahirin aku ke dunia, selama ini aku gak tau kalau perjuangan Mama dulu mungkin juga seberat ini. Aku minta maaf kalau selama ini selalu bikin Mama kecewa, sekarang aku minta tolong sama Mama buat do'ain Kara supaya dia bisa lalui semua dengan baik..." ujar Bagas sambil sesekali menyeka air matanya. "Aku gak akan bisa hidup bahagia kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk sama K
Dengan panik Bagas menggendong Kara ke dalam mobil. Kara merasakan sedikit mulas pada perutnya, "Okee Kara relaks atur nafas... atur nafas... everything will be alright..." Kara mencoba menenangkan diri sementara Bagas sedang sibuk mencari rumah sakit terdekat di mesin pencarian google. "Oke Kar, let's do this! Hang in there baby!" seru Bagas lalu menginjak pedal gas dan melaju menuju St. Pauls Hospitals. Baik Kara maupun Bagas sama sekali tidak mengira bahwa Kara akan mengalami pecah ketuban di usia kandungan yang baru menginjak 33 minggu. Keringat dingin mulai membasahi kening dan leher Kara, Bagas merasa sangat gugup dan panik karena ia tidak menyangka hal ini akan terjadi lebih awal. Ia hanya terus menerus mengatakan pada Kara bahwa semua akan baik-baik saja. Sampai di rumah sakit, Bagas segera menghentikan mobil di depan IGD dan meminta bantuan staf medis untuk membawa Kara ke dalam. Kara terlihat sudah sangat pasrah sambil terus menerus mencoba mengatur nafasnya. Seorang per
Bukan hal mudah untuk berbicara pada Mama dan Papa Bagas perkara keinginan Bagas dan Kara untuk pindah ke negara lain. Tapi setelah mereka mengatakan ini semua demi keselamatan dan kenyamanan hidup cucu mereka, akhirnya Papa dan Mama Bagas setuju, bahkan Papa Bagas berjanji akan membantu untuk memblokir akses Visa Thalita ke negara tersebut. "Konyol ya Gas kita..." gumam Kara seraya memandang ke sekeliling penthouse. Bagas menoleh, menatap Kara dengan tatapan penuh tanda tanya. "Selama dua tahun pernikahan, kita udah berapa kali pindah rumah, ini penthouse baru di renov terus mau kita tinggalin lagi," tukas Kara setengah tertawa. Bagas ikut mendengus tertawa, "Gak pa pa lah, ikutin insting aja, yang penting happy!" seru Bagas yang sudah merasa sangat yakin dengan keputusannya. Kara mengangguk, "Semoga di tempat yang baru kita bisa lebih bahagia ya Gas..." ucap Kara seraya merangkul leher Bagas dengan kedua tangannya. "Semoga..." sahut Bagas lalu mengecup bibir Kara lembut. *****Sa
"Gas, kamu yakin mau melanjutkan perkara ini?" tanya Kara pelan. Saat itu ia dan Bagas sedang duduk berdua di kitchen bar. Bagas melamun, menatap piring di depannya dengan tatapan kosong. "Saya takut Kar, saya takut dia akan bertindak lebih jauh..." tukas Bagas tanpa menatap Kara. "Kemaren Theo bilang Thalita bisa aja dijerat hukuman sampai lima belas tahun penjara, kamu yakin kamu gak akan merasa bersalah sama dia seumur hidup kamu?" tanya Kara dengan perasaan yang campur aduk. Bagas mendongak, "Memangnya kamu bisa memaafkan?" Bagas balik bertanya, matanya menatap Kara dalam. "Saya lebih baik memaafkan Thalita dari pada harus ngeliat kamu berkubang dalam rasa bersalah seumur hidup kamu," tukas Kara, tak ada keraguan di matanya. "Kamu yakin Kar? Dia gila Kar, dia bisa bertindak nekat!" seru Bagas, bayangan Thalita yang histeris kemarin melintas di benaknya. "Saya justru mau tanya sama kamu, kamu yakin setelah menjebloskan Thalita ke penjara lagi untuk waktu yang lama kamu bisa hi
"Nemuin Thalita?!" tanya Kara dengan wajah terkejut. Bagas mengangguk pelan. Saat itu mereka sudah berada di Penthouse yang interiornya sudah selesai dirubah menjadi lebih ramah anak. "Emang gak bahaya?" tukas Kara dengan wajah gamang. Bagas menghela nafas panjang, "Kar, dia jadi kayak gitu karena saya..." gumam Bagas sambil menunduk. Dua tahun yang lalu di positano, Bagas berjanji akan kembali ke Thalita setelah kontrak pernikahannya dengan Kara selesai. Thalita dengan segala kehidupan bebasnya mempercayakan hatinya kepada Bagas, satu-satunya pria di dunia yang pernah dicintainya, tapi Bagas mengecewakannya. Seumur hidup Thalita ia tidak pernah dicampakkan. Puluhan kali berpacaran dengan banyak pria, Thalita adalah pihak yang selalu mencampakkan. Namun Bagas merubah semuanya. Bagas menyakitinya dan meninggalkannya tepat di saat ia memilih untuk mempercayakan hidupnya pada Bagas. Tak ada lagi yang tersisa bagi Thalita, bagi Thalita hidupnya berakhir tepat saat Bagas memilih untuk