"Ini ukiran huruf sunda kuno," jawab Wisaka.
"Coba lihat ini, Kang! Banyak gambar," seru Faruq. Wisaka mendekati Faruq yang sedang membersihkan dinding, terlihat olehnya ukiran-ukiran indah.
"Uk uk uk uk." Onet bersuara sambil menunjuk satu gambar.
Terlihat oleh Wisaka gambar rusa dengan permata di kening. Wisata mengernyitkan kening tanda berfikir keras. Dia mencoba mengeja huruf demi huruf yang ada di dinding.
"Ga-lu-h ...." Wisaka berhasil membaca tulisan di atas gambar kepala rusa. "Oh, rusa itu bernama Galuh, Onet," kata Wisaka.
Wisaka dan Faruq sibuk membersihkan dinding-dinding yang lainnya. Banyak terdapat gambar jurus-jurus silat. Ada satu gambar yang menarik perhatian Wisaka. Gambar seorang kakek yang nampak memancarkan aura magis. Dengan garis-garis wajah yang tercetak jelas sebagai sosok berwibawa. Di belakang gambarnya nampak pemandangan matahari terbenam. Wisaka kembali mengeja kata demi kata di bawah gambar.
"As-ta-ma-ya
Wisaka kaget mendengarnya, dia segera bangun dan duduk sambil menoleh ke kiri-kanan. Pemuda itu melihat seorang kakek sedang duduk bersila di pojok goa. Wisaka mengamati caranya duduk, kakek itu duduk dengan alas kulit macan tetapi melayang di atas batu. 'Ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna,' pikir Wisaka. Dia segera menjawab salam sang kakek. "Waalaikumsalam, Kek, bukankah Kakek Eyang Astamaya?" tanya Wisaka. "Benar sekali, anak muda, siapa namamu?" "Wisaka, Kek," jawab Wisaka. Wisaka kemudian menceritakan mengapa dirinya sampai ke goa Eyang Astamaya ini. Dia menceritakan misteri kematian-kematian sahabatnya itu menjelang pernikahan mereka. Eyang Astamaya diam mendengarkan. Wisaka juga menceritakan tentang perjumpaannya dengan binatang aneh yang belum pernah dilihat sebelumnya. "Kalau benar itu yang kau lihat, binatang itu adalah Iprit yang sedang menyamar. Makhluk itu sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu, dan selalu bere
"Tampakkan wujudmu!" seru Wisaka. Suara tawa itu semakin nyaring. Wisaka kembali melihat Eyang Astamaya dalam mimpinya. Datang dengan suara tawanya yang menyakitkan telinga, tiba-tiba saja sudah duduk di hadapan Wisaka. "Ilmu apalagi ini, Eyang?" tanya Wisaka sambil menutup telinganya. "Hentikan!" teriak Wisaka. Wisaka merasa telinganya pekak dan berdengung demi mendengar suara tawa yang aneh itu. Eyang Astamaya menghentikan suara tawanya. "Tutup pendengaranmu, pakai jurus Kabut Tameng Matahari, fokuskan pikiran ke hal lain, dengan begitu suara itu tidak akan merusak gendang telingamu!" suruh Eyang Astamaya. "Aku tidak punya jurus itu, Eyang, jurus apakah itu? Apa yang akan terjadi kalau kita terkena jurus itu?" tanya Wisaka. "Anak bodoh, mengapa masih bertanya? Gendang telingamu bisa pecah dan mengalirkan darah, merambat ke pembuluh darah di otakmu, itu namanya jurus Tanduk Kijang Mengorek Telinga," kata Eyang Astamaya. "Mengapa tak kau
Harimau itu mendekati Faruq, bersiap untuk menerkamnya. Faruq gemetar, dia memejamkan matanya menunggu terjadinya sesuatu. "Tamatlah riwayatku hari ini," desis Faruq. "Mak, ampuni anakmu," ratap Faruq lagi. Faruq membuka matanya sedikit, mengintip posisi harimau itu berada. Tubuhnya sudah basah oleh keringat yang membanjir. Tidak ada jalan baginya untuk melarikan diri. Harimau itu berdiri tepat di mulut goa. "Uk uk uk uk ... ek ek ek ek." Onet bersuara dengan gelisah. Ia melirik ke kiri dan kanan sambil menggaruk-garuk kepalanya. Sementara Galuh mengangkat kepalanya, seperti Onet ia juga melihat kiri-kanan dengan gelisah. Harimau itu melangkah semakin dekat, tatapannya masih menyala-nyala. Faruq menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Badannya menggeletar, pemuda itu merasa inilah akhir hidupnya. Harimau itu semakin mendekat, lalu menggesek-gesek bulunya ke badan Faruq. Menjilati tangan Faruq, kemudian lanjut menjilat muka Faruq.
"Berani-beraninya kau menurunkan ilmu itu tanpa seizinku!" teriaknya marah. Nenek yang berjuluk Dewi Kematian itu menyerang Eyang Astamaya. Dia nampak begitu marah. Serangannya membabi-buta. Eyang Astamaya hanya berusaha menghindari serangan tanpa membalasnya. "Untari, tenanglah dulu," kata Eyang Astamaya. Dia berusaha membujuk nenek yang sedang mengamuk itu. "Dulu kau menghianati hatiku. Sekarang ilmu yang aku ciptakan bersamamu, kau berikan kepada orang lain tanpa sepengetahuanku!" teriak Nenek Untari. Bernama asli Dewi Untari, dulunya seorang pendekar wanita yang terkenal karena kecantikannya, juga kesadisannya dalam menghadapi musuh. Sejak Eyang Astamaya mengkhianatinya, tabiatnya berubah. Setiap musuh yang berhadapan dengannya akan menemui ajal. Itulah sebabnya dunia persilatan memberinya julukan Dewi Kematian. Wanita itu tak pernah memberi ampun musuhnya untuk menghirup udara kembali. Sang Dewi Kematian masih menyerang Eyang Astama
Wisaka memandang ekspresi Eyang Astamaya yang sedang melihat jauh ke depan. Entah apa yang dilihatnya, mungkin terkenang kembali dengan masa-masa indahnya dulu. "Siapakah Gayatri itu, Eyang?" Wisaka mengulang kembali pertanyaannya. "Mendekatlah! Aku akan memperlihatkan sesuatu," perintah Eyang Astamaya. Wisaka beringsut mendekati kakek tua itu. Eyang Astamaya mengusap wajah Wisaka. Ajaib, Wisaka seperti terlempar kembali ke suatu masa puluhan tahun silam. Pemuda itu seperti melihat sebuah tontonan film hitam putih. "Apa yang kau lihat, Wisaka?" "Seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan sedang berlatih silat bersama," jawab Wisaka tanpa menoleh. "Bisakah kau mengenalinya?" Wisaka menajamkan pandangannya, berusaha mengenali keduanya. Perlahan-lahan Wisaka bisa tahu siapa anak laki-laki itu, tetapi anak perempuan itu dia tidak mengenalnya. "Anak laki-laki itu adalah Eyang, aku mengenalinya dari tahi lalat di
Astamaya menundukkan kepalanya. Dia merasa bingung karena sesungguhnya tidak mencintai Gayatri, hanya menganggap Gayatri sebagai adik angkatnya, tidak lebih. "Guru, saya … saya ..." jawab Astamaya ragu-ragu. Dia ingin berterus-terang tetapi takut gurunya akan marah kalau dia menolak Gayatri untuk menjadi istrinya. "Baiklah ... aku mengerti, aku beri waktu 3 hari untuk memikirkannya," jawab gurunya. Astamaya berlalu dari hadapan gurunya. Gayatri diam-diam mengintip dari celah-celah dinding biliknya. Gadis semampai itu kecewa mendengar jawaban Astamaya. Entah mengapa dia merasa pemuda gagah itu tidak mencintainya. Gayatri menangis diam-diam. Rasa yang tiba-tiba berubah ini tak rela kalau harus kehilangan tempat berlabuhnya. Gadis itu menyesali takdir yang mesti bersama-sama dari kecil sehingga Astamaya menganggapnya sebagai adik saja. Air matanya mengalir di pipi mulusnya. Dadanya sesak menahan haru, yang tiba-tiba meminta untuk dilampiaskan. Bulir-buli
"Banyak mulut kau, Orang Tua!" teriak Setan Topeng Merah menyembunyikan rasa kagetnya. "Rasakan ini!" Satu serangan kilat menerjang Eyang Wisesa. Eyang Wisesa sangat terkejut, dia tidak bisa menghindari serangan tersebut. Eyang Wisesa terjajar limbung ke belakang. Orang tua itu terluka dalam, rasa panas menjalar pada organ dalam tubuhnya. Rasa asin terasa samar di pangkal lidahnya. Eyang Wisesa tidak menyangka ilmu itu sudah berkembang begitu dahsyat dan melukai dirinya, ilmu yang sesungguhnya dia juga punya. Orang tua itu cepat mengatur aliran darahnya dan memperkokoh kuda-kudanya. Dirinya tidak boleh menganggap enteng anak muda ini. Dengan ilmu yang sama dia menyerang balik, tapi dapat dimentahkan oleh Setan Topeng Merah. Sekali lagi Setan Topeng Merah bersiap untuk serangan berikutnya. Gayatri yang melihat kalau bapaknya terluka, cepat-cepat keluar dari persembunyiannya. "Kau tidak boleh melukai ayahku, pergilah kau ke neraka!" Gayatri berter
Gayatri menutup matanya untuk selamanya. Astamaya mengguncang-guncang badan Gayatri. Secara tidak sengaja kitab Naga Geni jatuh dari balik pinggang Gayatri. Astamaya mengambilnya, kemudian menyimpan di balik bajunya. Astamaya sedikitnya tahu tentang kitab itu. Dulu dia dan Gayatri pernah bersama-sama mempelajarinya. Namun, kini adik angkatnya itu telah pergi dan tak mungkin bersama lagi. Astamaya duduk terpekur di pusara Gayatri. Sayang Gayatri tidak sempat menceritakan siapa yang menyerangnya. Kalau tahu dia pasti akan membalaskan dendam adiknya itu. Astamaya bergegas pergi menuju padepokan gurunya. Dirinya harus memberi tahu kepada Eyang Wisesa, apa yang menimpa Gayatri. Astamaya tidak memperdulikan kepergian Untari, toh nanti juga dia akan pulang dengan sendirinya, begitu pikirnya. Astamaya kaget dengan keadaan padepokan yang porak-poranda. Dia berlari menuju ke dalam pondok, tidak terdapat gurunya di dalam pondok. Astamaya berlari kembali ke luar pondok.