Harimau itu mendekati Faruq, bersiap untuk menerkamnya. Faruq gemetar, dia memejamkan matanya menunggu terjadinya sesuatu.
"Tamatlah riwayatku hari ini," desis Faruq. "Mak, ampuni anakmu," ratap Faruq lagi.
Faruq membuka matanya sedikit, mengintip posisi harimau itu berada. Tubuhnya sudah basah oleh keringat yang membanjir. Tidak ada jalan baginya untuk melarikan diri. Harimau itu berdiri tepat di mulut goa.
"Uk uk uk uk ... ek ek ek ek." Onet bersuara dengan gelisah. Ia melirik ke kiri dan kanan sambil menggaruk-garuk kepalanya. Sementara Galuh mengangkat kepalanya, seperti Onet ia juga melihat kiri-kanan dengan gelisah.
Harimau itu melangkah semakin dekat, tatapannya masih menyala-nyala. Faruq menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Badannya menggeletar, pemuda itu merasa inilah akhir hidupnya.
Harimau itu semakin mendekat, lalu menggesek-gesek bulunya ke badan Faruq. Menjilati tangan Faruq, kemudian lanjut menjilat muka Faruq.
<"Berani-beraninya kau menurunkan ilmu itu tanpa seizinku!" teriaknya marah. Nenek yang berjuluk Dewi Kematian itu menyerang Eyang Astamaya. Dia nampak begitu marah. Serangannya membabi-buta. Eyang Astamaya hanya berusaha menghindari serangan tanpa membalasnya. "Untari, tenanglah dulu," kata Eyang Astamaya. Dia berusaha membujuk nenek yang sedang mengamuk itu. "Dulu kau menghianati hatiku. Sekarang ilmu yang aku ciptakan bersamamu, kau berikan kepada orang lain tanpa sepengetahuanku!" teriak Nenek Untari. Bernama asli Dewi Untari, dulunya seorang pendekar wanita yang terkenal karena kecantikannya, juga kesadisannya dalam menghadapi musuh. Sejak Eyang Astamaya mengkhianatinya, tabiatnya berubah. Setiap musuh yang berhadapan dengannya akan menemui ajal. Itulah sebabnya dunia persilatan memberinya julukan Dewi Kematian. Wanita itu tak pernah memberi ampun musuhnya untuk menghirup udara kembali. Sang Dewi Kematian masih menyerang Eyang Astama
Wisaka memandang ekspresi Eyang Astamaya yang sedang melihat jauh ke depan. Entah apa yang dilihatnya, mungkin terkenang kembali dengan masa-masa indahnya dulu. "Siapakah Gayatri itu, Eyang?" Wisaka mengulang kembali pertanyaannya. "Mendekatlah! Aku akan memperlihatkan sesuatu," perintah Eyang Astamaya. Wisaka beringsut mendekati kakek tua itu. Eyang Astamaya mengusap wajah Wisaka. Ajaib, Wisaka seperti terlempar kembali ke suatu masa puluhan tahun silam. Pemuda itu seperti melihat sebuah tontonan film hitam putih. "Apa yang kau lihat, Wisaka?" "Seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan sedang berlatih silat bersama," jawab Wisaka tanpa menoleh. "Bisakah kau mengenalinya?" Wisaka menajamkan pandangannya, berusaha mengenali keduanya. Perlahan-lahan Wisaka bisa tahu siapa anak laki-laki itu, tetapi anak perempuan itu dia tidak mengenalnya. "Anak laki-laki itu adalah Eyang, aku mengenalinya dari tahi lalat di
Astamaya menundukkan kepalanya. Dia merasa bingung karena sesungguhnya tidak mencintai Gayatri, hanya menganggap Gayatri sebagai adik angkatnya, tidak lebih. "Guru, saya … saya ..." jawab Astamaya ragu-ragu. Dia ingin berterus-terang tetapi takut gurunya akan marah kalau dia menolak Gayatri untuk menjadi istrinya. "Baiklah ... aku mengerti, aku beri waktu 3 hari untuk memikirkannya," jawab gurunya. Astamaya berlalu dari hadapan gurunya. Gayatri diam-diam mengintip dari celah-celah dinding biliknya. Gadis semampai itu kecewa mendengar jawaban Astamaya. Entah mengapa dia merasa pemuda gagah itu tidak mencintainya. Gayatri menangis diam-diam. Rasa yang tiba-tiba berubah ini tak rela kalau harus kehilangan tempat berlabuhnya. Gadis itu menyesali takdir yang mesti bersama-sama dari kecil sehingga Astamaya menganggapnya sebagai adik saja. Air matanya mengalir di pipi mulusnya. Dadanya sesak menahan haru, yang tiba-tiba meminta untuk dilampiaskan. Bulir-buli
"Banyak mulut kau, Orang Tua!" teriak Setan Topeng Merah menyembunyikan rasa kagetnya. "Rasakan ini!" Satu serangan kilat menerjang Eyang Wisesa. Eyang Wisesa sangat terkejut, dia tidak bisa menghindari serangan tersebut. Eyang Wisesa terjajar limbung ke belakang. Orang tua itu terluka dalam, rasa panas menjalar pada organ dalam tubuhnya. Rasa asin terasa samar di pangkal lidahnya. Eyang Wisesa tidak menyangka ilmu itu sudah berkembang begitu dahsyat dan melukai dirinya, ilmu yang sesungguhnya dia juga punya. Orang tua itu cepat mengatur aliran darahnya dan memperkokoh kuda-kudanya. Dirinya tidak boleh menganggap enteng anak muda ini. Dengan ilmu yang sama dia menyerang balik, tapi dapat dimentahkan oleh Setan Topeng Merah. Sekali lagi Setan Topeng Merah bersiap untuk serangan berikutnya. Gayatri yang melihat kalau bapaknya terluka, cepat-cepat keluar dari persembunyiannya. "Kau tidak boleh melukai ayahku, pergilah kau ke neraka!" Gayatri berter
Gayatri menutup matanya untuk selamanya. Astamaya mengguncang-guncang badan Gayatri. Secara tidak sengaja kitab Naga Geni jatuh dari balik pinggang Gayatri. Astamaya mengambilnya, kemudian menyimpan di balik bajunya. Astamaya sedikitnya tahu tentang kitab itu. Dulu dia dan Gayatri pernah bersama-sama mempelajarinya. Namun, kini adik angkatnya itu telah pergi dan tak mungkin bersama lagi. Astamaya duduk terpekur di pusara Gayatri. Sayang Gayatri tidak sempat menceritakan siapa yang menyerangnya. Kalau tahu dia pasti akan membalaskan dendam adiknya itu. Astamaya bergegas pergi menuju padepokan gurunya. Dirinya harus memberi tahu kepada Eyang Wisesa, apa yang menimpa Gayatri. Astamaya tidak memperdulikan kepergian Untari, toh nanti juga dia akan pulang dengan sendirinya, begitu pikirnya. Astamaya kaget dengan keadaan padepokan yang porak-poranda. Dia berlari menuju ke dalam pondok, tidak terdapat gurunya di dalam pondok. Astamaya berlari kembali ke luar pondok.
Eyang Astamaya melihat ke arah Wisaka yang tengah memandangnya. Matanya menyiratkan tanda tanya. Eyang Astamaya maklum dengan keheranan Wisaka dengan semua yang dialaminya. "Kamu baru saja melakukan perjalanan waktu ke masa lalu, dan mulai sekarang kamu akan sering mengalaminya," kata Eyang Astamaya. "Apa itu, Eyang?" "Itu artinya kamu bisa melihat apa saja yang terjadi di masa lalu, akan tetapi kamu tidak bisa mengubah apa pun, hanya menjadi penonton saja," jelas Eyang Astamaya. "Aku tidak mengerti, Eyang," kata Wisaka. "Kamu sedang mengalaminya, mengapa masih bingung?" tanya Eyang Astamaya. Wisaka menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia memang sedang mengalami sesuatu yang tidak dia mengerti, perjalanan waktu ke masa lalu. "Mungkin nanti setiap malam kau akan mengalami perjalanan waktu ini, kau akan menganggapnya mimpi, tapi itulah kenyataan hidup di masa dahulu," ucap Eyang Astamaya. "Iya, Eyang," Wisaka mengangguk
Wisaka berjanji bahwa dia akan menolong hantu tanpa kepala itu. "Katakan, apa maumu?" "Aku hanya minta, satukan kepala serta badanku dalam satu liang kubur." Satu suara terdengar di telinga Wisaka. "Pergilah, aku akan mencoba menolongmu dan jangan pernah kembali meneror kami," pinta Wisaka. Brugh ... brugh ... brugh. Seolah-olah mengerti hantu menyeramkan itu pergi, kemudian menghilang di pintu goa meninggalkan bau anyir darah. Begitu pula kepala yang matanya melotot itu raib dari pandangan Faruq. "Aaa ...." Faruq kembali menjerit, rupanya kepala hantu itu kembali meneror Faruq. Ia menggelinding lagi, terasa ada basah-basah dan dingin mengenai kakinya. "Pergi! Atau tubuhmu aku biarkan tanpa kepala selamanya!" seru Wisaka. Kali ini kepala itu benar-benar lenyap. Mungkin takut jika Wisaka tidak menolongnya, menyatukan kepala kepada jasadnya. Rupanya masih ada rasa khawatir biarpun sudah menjadi hantu. "Hhhah
"Iya nih, Kang, cuacanya dingin sekali," jawab gadis itu sambil mengerling manja. Merasa mendapat respon positif, lelaki kekar itu segera meremas jemari tangan gadis misterius itu. "Sini merapat, Nyai," katanya sambil memeluk bahu sang gadis. "Ih, Akang ... genit," ujar gadis itu pura-pura menolak. "Namamu siapa, Cantik?" Jurus rayuan gombal akhirnya keluar dari mulut laki-laki itu. "Aku Mawar, Kang," jawab gadis cantik itu. "Aku Badrun, berkelana dari kampung ke kampung demi mencari kesenangan hidup," katanya pongah. "Banyak uangnya dong, Akang," ujar Mawar. "Tentu saja, Nyai, asal Nyai mau menuruti keinginan Akang," kata Badrun. Dia mulai memeluk Mawar, kemudian mencium pipinya. "Jangan, Kang, aku malu," kata Mawar sambil menunduk. Pipinya yang merona kemerahan semakin nampak menggemaskan di mata Badrun. Badrun sudah tidak sabar ingin mencumbu Mawar yang sepertinya sudah sangat pas