"Pertanyaan kamu tuh kok ya aneh. Disana kan ada kebun Bapak, juga ada anak Bapak," kata Bapak membuatku nyengir. Ternyata Bapak tetap menganggap Satria anaknya. Padahal Bapak tau, kalau Satria bukan anak kandungnya. Bapak yang memang tulus, atau … ada sesuatu di sebaliknya. "Bapak nggak marah sama Satria?" Kucoba bertanya, ingin tau seperti apa jawaban Bapak. "Marah buat apa?" "Dia kan–" Mau meneruskan bilang kalau Satria kan bukan anak Bapak, kok rasanya nggak enak ya. Kok kayak sentimen sama Satria. Bagaimanapun dia adekku, terlepas kami ada hubungan darah atau tidak. Kami sudah terikat sejak kecil, tak ada yang bisa mengubah itu. Meski aku akui, aku sendiri masih syok mengetahui kebenaran tentang diri kami. Ditambah pengakuan Satria yang bilang menyukaiku bukan sebagai kakaknya."Bukan anak Bapak," kata Bapak santai saja, sambil tetap menikmati makanannya. "Kamu saja, bukan anak kandung Bapak." Aku jadi serba salah mendengar Bapak bilang gitu.Kalau aku kan beda sama Satria.
"Sudah kamu suruh pulang ibumu?" tanya Kakek pada cucu Om Barri yang kembali masuk ke kamar."Sudah Kek," kata anak itu. Dia mendekati Om Barri lalu membuka kancing baju bagian depan Om Barri.Nafas Om Barri semakin tersengal, kami tak tau harus berbuat apa. Terutama aku, yang hanya bisa berdiri melihat kondisi Om Barri yang ngedrop.Cucu Om Barri mengambil kayu putih yang ada di atas nakas di samping tempat tidur berdampingan dengan banyaknya obat-obatan Om Barri. Diolesnya minyak kayu putih di sepanjang dada Om Barri. Om Barri berusaha keras untuk bisa memompa oksigen di paru-parunya."Sebaiknya kita bawa ke rumah sakit," kata Bapak. Om Barri menggeleng lemah."Bar, nggak mungkin cuma didiamkan begini. Kamu perlu ditangani oleh dokter," kata Bapak, tapi Om Barri tetap menggeleng seperti tak mau kalau dibawa ke rumah sakit. "Saya sudah menghubungi Dokter Budi, Kek. Dia dokter yang menangani Kakek. Mungkin sebentar lagi sampai. Tempat prakteknya nggak jauh dari sini," kata cucu Om Ba
Kak Mala tampak tak bisa menegakkan kepalanya di hadapan Bapak. Seperti menanggung beban malu yang teramat besar. Apa ya, yang sudah diperbuat Om Barri di masa lalu? "Semua sudah terjadi. Barri juga sudah meninggal. Om maafkan dia," kata Bapak. Namun aku merasa tersirat kesedihan yang mendalam di kalimat Bapak. "Terima kasih Om, Mala sebenarnya malu. Ibu juga sakit karena hal ini. Sejak tau hal itu, Ibu jadi bersikap dingin sama Bapak. Mungkin karena terlalu sedih, Ibu jadi sering sakit-sakitan. Dulu, Mala juga nggak tau, kenapa Ibu jadi bersikap lain sama Bapak. Mala baru mengerti semua, setelah Bapak meminta Mala menulis surat ini." Kak Mala berbicara dengan sangat hati-hati sekali. Bapak menarik nafas dalam dan menghembuskan dengan kuat. Kulihat tangannya meremas kuat surat itu. Bapak seakan menahan emosi yang tak bisa diluapkan. Pak, jangan disobek suratnya, Divya belum baca. "Om, mengenai Tante Rafika. Sebelum dia meninggalkan rumah ini. Tante Rafika pernah bilang, dia sangat
Sampai di kamar, aku duduk bersandar di kepala tempat tidur. Kubuka perlahan, lembaran buku harian ibuku dengan jantung yang berdebar-debar.Lembaran pertama dia menulis kata. RINDU INI SUNGGUH MENYIKSA. Dadaku sesak membacanya. Aku sekarang sudah menjadi seorang Ibu. Aku bisa merasakan, betapa sakit hati seorang Ibu saat harus dipisahkan dengan anak kandungnya. Lembaran kedua, kubuka dengan lebih hati-hati. Buku ini sudah lumayan lama ditinggalkan pemiliknya. Bahkan ada beberapa lembarannya yang lengket. Kalau tak hati-hati membuka lembaran nya, pasti akan sobek. Menurut cerita Bapak dan Kak Mala. Ibu hanya tinggal satu tahun lebih di sini. Lalu pergi entah kemana. Mungkin dia terburu-buru hingga buku ini tertinggal. Isi lembaran kedua, dan seterusnya menggambarkan betapa rindunya dia padaku. Mataku terus berkaca-kaca membaca setiap tulisan tangan ibu yang ditulis dengan rapi.Lembaran berikutnya lebih menyesakkan dadaku. SELAMAT ULANG TAHUN SAYANG. MAAF BUNDA NGGAK BISA MENEMANI
Wajahnya merasa heran melihatku. "Boleh. Tapi nggak bisa lama-lama ya," katanya. Ini lah sosok Buk Niken yang kukenal dulu. Orangnya memang ramah, makanya agak aneh melihat dia yang mengamuk waktu itu."Nggak papa ya, kita ngobrolnya berdiri saja. Agak ke pinggir situ aja yuk," ajaknya. Caranya bicara padaku, seolah tak pernah ada masalah di antara keluarga kami."Apa yang kamu tanya?" tanyanya langsung padaku, setelah kami agak menepi agar tak mengganggu orang yang lewat."Ini mengenai pertengkaran Ibuk sama Ibu saya waktu itu," kataku. Sebenarnya terdengar tak sopan ya, mengulik hal yang sudah ditutup lama. "Hm, iya. Ada apa rupanya?" "Buk, saya penasaran dengan kata-kata Pak Danu waktu itu? Apa yang dimaksud anak Pak Danu itu, Satria?" tanyaku, hati-hati sekali. Aku takut, Buk Niken akan tersinggung."Bukan." "Lalu siapa?" tanyaku, dahiku mengkerut. Padahal aku sudah yakin benar, kalau Satria adalah anak Pak Danu. Kalau bukan, lalu siapa? Ah, kepalaku jadi pusing memikirkannya.
Sudah malam, tapi mataku masih tak mau dipejamkan. Suasana rumah begitu sunyi, hanya terdengar suara jangkrik, yang saling sahut bersahutan. Kulihat jam di dinding kamarku, sudah jam sembilan malam.Aku bangkit, mungkin diluar akan membuatku sedikit rileks. Ya aku sangat gelisah. Tak bisa tidur memikirkan semua yang terjadi. Belum ada kepastian, siapa sebenarnya anak Pak Danu. Kalau bukan Satria, kenapa Bapak diam saja, saat aku menduga kalau Satria lah anak Pak Danu?Kubenahi selimut Arsen sebelum aku keluar dari kamar. Kuambil gawaiku dari atas nakas. Aku belum cek ulang lagi statusku yang share foto-foto tulisan tangan Bunda di diarynya. Tadi saat baru pulang, aku sudah cek tapi belum ada komentar yang bisa jadi petunjuk. Sebagian besar komentarasuk adalah mendoakan semoga aku cepat bertemu Bunda. Dan aku aminkan, bukan hanya lewat ketikan ibu jariku. Tapi juga hatiku. Sambil keluar dari kamar, aku melihat gawaiku. Langkah kakiku menuju ke teras rumah. "Aduh!" Karena tak melihat j
Bapak menarik nafasnya. "Yah, kamu benar. Ibumu sudah terlalu jauh, Bapak tak bisa lagi memberi nasehat padanya. Dia terus menyalahkan Bapak atas semuanya. Tadi Bapak sudah bicara sama Ibu. Bapak akan menceraikan dia, dan dia sudah bisa menerima," kata Bapak.Jujur saja, aku lega mendengarnya. Akhirnya Bapak bisa mengambil sikap. Bukan aku berpikir kejam pada Ibu karena sudah tau dia bukan ibu kandungku. Tidak. Aku hanya tak mau, Bapak dan Ibu terus saling menyakiti dalam diam. Aku juga tak mau Bapak tak bisa lagi mengontrol emosinya seperti malam itu. Terus berpura-pura di depan masyarakat, berlagak harmonis padahal menyimpan bara di dalam rumah tangga mereka."Pasti ada syarat yang harus Bapak penuhi kan?" tanyaku. Aku jadi ingat dengan pembicaraan Bapak sama Ibu beberapa hari lalu. "Ya, ibumu minta semua harta dibagi dua. Sebenarnya Bapak nggak setuju, karena sebagian adalah hak kamu. Milik Hendra. Tapi Bapak yang mengelola semua, karena Hendra udah nggak ada. Lagipula, sebagian k
Bapak memanggilku dari depan pintu kamarnya. "Itu pintu kok nggak ditutup?" Aku langsung melihat pintu rumah yang masih terbuka lebar. "Hehe, lupa Pak," jawabku. Bapak mendengus melihatku yang cuma nyengir. Cepat kututup dan kukunci pintu ruang utama, lalu segera masuk ke kamarku. Mataku belum mengantuk banget, sambil rebahan aku kembali ke rencana awal tadi, mau ngecek postinganku di grup menulis kemarin. Huft, belum ada petunjuk juga. Sebagian besar komentar berisi doa agar aku bisa segera dipertemukan dengan Bunda. Setiap doa yang baik tetap kuaminkan. Kemana lagi harus mencari bundaku? Tak ada lagi petunjuk tentangnya. Ah lebih baik aku membaca novel Anakku Sayang Anakku Malang milik R Wulandari. Dahiku berkerut. Kisahnya kali ini tentang Dewi yang berusaha mencari keberadan ibu kandungnya sampai ke kota Jakarta. Dewi tak menemukan ibunya, hanya mendapatkan sebuah diary milik ibunya. Hei, kenapa ceritanya mirip dengan yang kualami?Cepat aku beralih ke aplikasi bergambar pet
"Mbak Divya, Arsen sepertinya haus. Dia nggak mau minum susu lagi," kata Bik Sum gang baru datang dari arah dalam rumah. "Oh iya Bik. Sebentar lagi saya ke kamar," sahutku. "Maaf ya Bripda, saya mau ke dalam dulu," pamitku pada Bripda Farhan. Agak sedikit sungkan juga sih. "Oh silahkan. Tapi sebelumnya, saya boleh minta izin?" Kutahan langkah kakiku yang hendak pergi dari hadapannya. "Minta izin apa Bripda?" "Maaf sebelumnya kalau pertanyaan saya kurang sopan. Apakah masa iddah kamu sudah selesai? Kalau sudah, bolehkah saya menjalin silaturahim melalui hape?" Agak lucu aku mendengar pertanyaannya. Mungkin maksudnya, dia ingin menelepon aku. "Um … maksudnya sebagai sahabat," katanya agak gugup. "Baru saja selesai. Boleh saja kalau ingin menjadi sahabat saya," jawabku. Senyumannya langsung merekah sempurna. "Saya ke dalam dulu ya Bripda." Aku pamit. Takut Arsen mengamuk karena terlalu lama menunggu. Saat sampai di kamar, Arsem yang melihatku langsung menangis manja. Kuraih t
Bu Mega sangat aktif mengajak Bunda berbincang. Cukup membuatku terharu juga. "Kami nggak bisa lama-lama Divya. Takut kemalaman di jalan," kata Bu Mega padaku."Oh iya Bu. Sebentar saya ambilkan surat kuasanya." Aku segera bergegas mengambil surat kuasa yang sudah selesai kubuat tadi sore dan sudah ditanda tangani di atas materai. Aku kembali lagi ke ruang tamu dan memberikan surat itu ke tangan wanita berkacamata minus yang cukup tebal ini. Bu Mega memeriksa isi surat kuasa yang kubuat. "Ok. Berdoa ya, semoga besok hakim bisa memutuskan hukuman yang tepat untuk para tersangka," kata Bu Mega. "Aamiin. Semoga Bu. Saya terima apapun keputusan hakim. Kalau dirasa tak sebanding dengan perbuatannya, biarkan saja, tak perlu ajukan banding lagi. Saya capek, saya hanya ingin tenang sekarang. Mudah-mudahan, hukuman yang mereka terima, benar-benar menjadi pelajaran berharga buat mereka, supaya tidak mengulangi lagi di kemudian hari," kataku. Bu Mega tersenyum. "Kamu besar hati sekali. Jaran
#Menjelang sidang keduaAku sudah menghubungi Bu Mega, membicarakan tentang rencanaku untuk mencabut gugatanku terhadap Bu Malikah. Sebenarnya prosesnya lebih rumit, karena kasus sudah sampai ke meja persidangan. Aku harus menyatakan langsung di depan hakim kalau aku mencabut gugatan terhadap Bu Malikah. Itupun kalau hakim berkenan mengabulkan atas persetujuan tergugat. Mengingat juga, tersangka lebih dari satu orang. Tak apalah sedikit repot, kalau memang begitu prosedurnya. Hari demi hari terus berlalu. Aku juga masih tetap di kampung. Urusan kebun kuserahkan sepenuhnya pada Mas Bagus, agar aku bisa fokus dengan sidang, juga fokus menghabiskan sisa waktu bersama Bunda. Semakin hari kondisi Bunda semakin drop. Dia bersikeras tak mau dibawa ke rumah sakit. Katanya, dia ingin meninggal dengan seluruh keluarga ada di sampingnya. Bunda beralasan, percuma ke rumah sakit. Tak ada lagi obat yang bisa mengatasi penyakitnya. Dia tak mau jauh dari Arsen. Tau sendiri, kalau Bunda dirawat di r
#Ibu depresiTak perlulah aku menceritakan semuanya kasihan Bunda bila terseret dalam kasus ini. Biar semua itu menjadi rahasia bagi kami yang sudah mengetahuinya. Aku juga tak mau mengungkap, kalau karena masalah itu, Ibu Malikah sampai berulangkali melakukan perselingkuhan dengan orang-orang yang berbeda. "Saya nggak tau Bu. Hal seperti itu sangat pribadi. Hanya Ibu saya yang mengetahuinya," jawabku menutupi hal yang sebenarnya. Aku juga tak mau bilang, kalau Bu Malikah berbohong. Aku bertumbuh sebagai anaknya, bagaimanapun, di sudut hatiku yang lain, aku merasa tak sampai hati padanya setelah aku mengetahui cerita yang sebenarnya. Bu Mega bangkit dari duduknya. "Keberatan Yang Mulia," kata Bu Mega pada hakim, untuk menentang kata-kata Ibu. "Hal yang diungkapkan oleh Bu Malikah adalah masalah intern dia dan Pak Chandra. Seharusnya, sebagai seorang istri, Bu Malikah mencari solusi atas permasalahan yang mereka hadapi. Bukan justru menghancurkan suaminya," papar Bu Mega. Aku sang
#Semakin membaikUstad Mahmud sudah pulang kembali ke rumahnya. Kini hanya tinggal kami saja di rumah. Mas Bagus kuminta melihat kebun yang ada di sini, daripada dia bosan menunggu kami."Mbak. Arsen sudah bangun," kata Bik Sum. Kebetulan dia sedang melintas Dari dapur, aku sengaja membiarkan pintu kamar terbuka, jadi kalau Arsen bangun, kami akan segera mengetahuinya. Aku bangkit meninggalkan Bunda yang kembali tidur. Sementara Nenek juga masuk ke kamarnya. Tak bisa dipungkiri, pasti Nenek merasa terpukul atas kenyataan yang baru didengar. Tinggal Bulek Ratmi yang masih menemani Bunda sambil membaca masalah wanita zaman dulu yang sudah entah berapa kali dia baca. Yang kupahami dari pengakuan Bunda. Bundalah penyebab semua ini. Ini seperti kasus berantai, saling terkait antara satu dan yang lainnya. Bunda yang sakit hati sama Kakek, membuat Bapak menjadi suami yang tak bisa memenuhi nafkah batin Ibu Malikah. Ibu Malikah yang kecewa, menduga Bapak tak bisa mencintainya dan tak bisa m
#Bunda diruqyahSetelah berbasa basi sebentar. Ustad Mahmud permisi numpang sholat. Setiap akan mulai mengobati, Ustad Mahmud memulainya dengan sholat Sunnah terlebih dahulu. "Kita mulai ya Bu. Ingat, ikhlaskan semua hal yang membebani hati Ibu. Lepaskan semuanya, maafkan orang-orang yang Ibu anggap telah menyakiti Ibu. Sejatinya, kalau Ibu benar-benar mau sembuh, harus Ibu sendiri yang memohon dengan hati Ibu kepada Allah untuk menyembuhkan. Saya hanya membantu saja," kata Ustad Mahmud pada Bunda. Bunda hanya mengangguk menjawabnya. Ustad Mahmud menggunakan sarung tangan, beliau mulai mengarahkan tasbihnya ke arah Bunda dan mulai melantunkan ayat-ayat suci. Bacaannya begitu tartil dan merdu, hingga membuat merinding yang mendengar.Bunda tampak biasa saja, tidak ada reaksi apapun. Sampai saat dipertengahan Ustad Mahmud membaca doa ruqyah, Bunda mulai gelisah. Matanya liar kesana kemari. Agak terkejut kami melihat reaksinya. "Errgghhh errggghhh." Bunda tiba-tiba menggeram, seperti
#Bunda bersedia diobatiYa Allah. Arsen semakin panas dan rewel. Tadi kata bidan, gapapa. Arsen hanya demam. "Cup cup Sayang." Aku mencoba membuat Arsen tenang. Ini sudah larut malam. Takut mengganggu istirahat yang lain, terutama Bunda. "Divya!" Bulek memanggilku dari luar kamar. "Nopo Are, Ndok?" Nenek juga terbangun. Suara tangisnya Arsen sangat menggelegar, jelas saja terdengar kemana-mana. Kubuka pintu kamarku. Nenek dan Bulek segera masuk, disusul Bik Sum."Nopo Arsen?" tanya Nenek sambil memegang pipi Arsen."Oalah, anget banget! Sum, gawe minyak bawang. Kasih air jeruk nulis." Nenek terkejut mendapati suhu tubuh Arsen yang panas dan meminta Bik Sum membuatkan minyak bawang. Bik Sum.bergegas keluar, sementara aku masih sibuk menenangkan Arsen yang terus rewel. Tubuhnya tak bisa diam di gendonganku, seolah dia merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Bik Sum datang kembali membawa sebuah piring kecil berisi minyak bawang."Sini, Arsen sama Uyut yo Ngger." Nenek mengulurkan tan
POV RafikahIngin sekali rasanya Bunda menceritakan semua ini langsung pada Divya. Tapi Bunda tak ingin Divya menjadi seorang pembenci seperti Bunda, Nak. Kebencian ini sudah mengakar kuat di hati Bunda. Mungkin karena Bunda juga sudah mengundang setan untuk menolong Bunda. Bunda sangat sakit hati sekali dengan perbuatan Tuan Rajasa yang terhornat itu! Bunda menemui Mang Pur, dan memintanya untuk melakukan sesuatu agar keluarga Rajasa tak bisa memiliki keturunan yang lain selain kamu. Bunda serahkan semua urusan padanya. Mang Pur mengenal seorang yang dianggap sakti di kampung. Yang lebih dikenal, sebagai Dukun. Bunda hanya membekali dia ongkos untuk pulang kampung dan syarat yang dia minta. Dia hanya minta biodata lengkap Bapak Chandra. Awalnya Bunda tak mengerti. Bunda ingin dia melakukan sesuatu untuk kakekmu, bukan dengan Bapak Chandra. Tapi dia meyakinkan Bunda untuk bermain halus, agar tak ada yang curiga. Dan tujuan Bunda juga tercapai. Caranya, dengan membuat kejantanan ba
POV RafikahMaafkan Bunda Divya. Sesungguhnya, Bunda sangat ingin memeluk erat Divya. Mencium Divya, seperti saat Divya kecil. Bunda sengaja bersikap jutek, agar saat Bunda pergi lagi nanti, Divya tak akan merasa kehilangan. Divya tak tau kan, selama ini Bunda selalu memantau Divya, lewat Ratmi? Bunda tau semua cerita tentang Divya dari Ratmi. Setiap kerinduan Bunda pada Divya, Bunda tuliskan lewat sebuah tulisan. Kalau dulu, Bunda hanya menuliskan semua di sebuah buku saja. Tapi sekarang, Bunda menuliskannya menjadi sebuah karya. Ada yang Bunda jadikan novel untuk menyambung hidup, ada juga yang Bunda jadikan koleksi pribadi Bunda saja. Dulu, saat akhirnya Bunda terpaksa meninggalkan Divya atas permintaan si Tuan Tanah kejam! Hati Bunda hancur, Nak. Bukan hanya tentang kehilangan Divya, tapi juga suami Bunda. Meninggalnya Bapak kandung Divya, berhasil membuat dunia Bunda terasa jungkir balik. Hingga akhirnya Bapak Chandra berhasil membangkitkan semangat Bunda lagi. Dia menawarkan