"Sebentar Dek," bisikku, tetap tak mau beranjak dari tempatku berdiri. Satria tak lagi membujukku, dia keluar lagi. Biarin aja dulu. Sebentaran doang. Sebelum azan Maghrib kami baru jalan."Saya sudah kasih apa yang kamu mau waktu itu, lalu kenapa kamu datang lagi sekarang? Masalah itu, sudah sangat lama berlalu." Aku semakin penasaran, ada apa sebenarnya ini?"Tapi Pak, Bu Malikah, masih suka berhubungan dengan suami saya," kata Bu Niken. "Sembarangan kamu! Kapan saya menghubungi suamimu lagi?" tanya Ibu dengan nada suara yang terdengar marah."Buktinya, saya lihat di hape suami saya. Ada panggilan atas nama Malikah," sengit Bu Niken."Belum tentu itu saya kan? Enak aja kamu! Yang namanya Malikah banyak." "Tapi cuma kamu yang pernah jadi pelakor suami saya!" Hah! Aku nggak salah dengar? Berarti benar laporan Bik Sum tadi. Gila! Ibu maniak ternyata. Apa ini, penyebab Bu Niken pindah tiba-tiba dulu?"Sudah-sudah! Tunggu suamimu datang. Biar dia yang menjelaskan. Bu, jujur sama Bapa
Cepat aku berjalan keluar rumah. Benar saja, Mas Bima dan Satria udah saling tendang, kayak jagoan. Kalau Satria, aku tau sih, dia itu memang pemegang sabuk hitam taekwondo. Tapi Mas Bima, dia asal aja bertarung. Pengen dibiarin aja sih, biar Mas Bima bonyok dihajar sama Satria. Tapi kalau ada apa-apa, aku juga yang repot. "Stop!" teriakku. Tapi suaraku tak didengar sama sekali. Huff, terpaksa turun tangan nampaknya. Bak pahlawan kesiangan, aku berusaha melerai mereka. Tapi mereka tetap saja membabi buta, saling pukul juga saling tendang. Sampai tiba-tiba, aku terhuyung ke belakang. Pipiku sakit sekali, kepalaku mendadak pusing. Bibirku terasa perih."Kak!""Divya!"Kudengar Mas Bima dan Satria berteriak histeris melihatku. Tau-tau aku sudah ada di pelukan Satria."Maafkan Mas, Divya. Mas nggak sengaja," kata Mas Bima berusaha mendekatiku, tapi tangannya ditepis oleh Satria.Tadi Mas Bima mengarahkan bogemnya ke wajahku. Mungkin hendak memukul Satria, tapi karena aku menghalangi, j
Meski raut wajahnya tak ceria seperti biasa, habis juga mi yang kusuguhkan untuknya. Lapar mungkin. Kuangkat piring bekas kami makan dan mencucinya. Kali ini, Satria harus buka mulut. Tapi bagaimana caranya ya? Apa aku saja yang duluan cerita sama dia, tentang masalah rumah tanggaku."Kamu kok kelihatan gusar sekali. Cerita lah sama Kakak. Apalagi itu menyangkut Mas Bima. Bagaimanapun, Mas Bima, Ayah Arsen, ponakan kamu." Satria malah bangkit, berjalan perlahan masuk ke dalam area kebun kecilku. Dia mengguyar rambutnya dengan kasar, juga mengusap wajahnya. Sepinya di kebun malam ini, bahkan bisa membuat aku mendengar suara helaan nafasnya. Meski kami tak duduk bersebelahan. "Belum saatnya Kakak tau. Tapi Satria janji, Satria akan cerita suatu saat nanti," katanya. Ya sudahlah, akan percuma memaksanya untuk cerita."Ya udah, kalau nggak mau cerita. Mungkin kamu butuh waktu. Kakak masuk dulu, capek banget, seharian terus saja melihat orang berantem. Besok, temani Kakak ya." "Kemana?
Kusandarkan punggungku di kepala tempat tidur. Kuelus lembut pipi Arsen yang gembul. Gemas sekali melihatnya. TINGSuara notifikasi, pertanda ada pesan masuk di aplikasi gagang telepon. "Bulek Ratmi," gumamku. Segera ku klik pesannya.[Divya] isi pesan Bulek Ratmi. Mungkin dia hanya ingin memastikan, aku sudah tidur apa belum, makanya hanya mengetik namaku.Bulek Ratmi memang sangat perhatian. Hampir setiap hari dia selalu bertanya kabarku. Aku juga selalu saja merasa nyaman, mencurahkan isi hatiku padanya. Apalagi sekarang, tak ada lagi yang perlu kututupi darinya.[Ya Bulek] balasku.[Kok belum tidur?] tanyanya.[Lagi suntuk] balasku lagi. Bulek Ratmi [Bima berulah lagi?]Aku [Tidak dengan Divya, tapi sama Satria] Bulek Ratmi [Kok bisa?]Aku [Divya juga nggak tau, Bulek. Satria seperti menyembunyikan sesuatu]Bulek Ratmi [Menyembunyikan apa maksudnya?]Aku [Entahlah Bulek. Satria belum mau cerita]Seperti biasa, kami terus berbalas pesan. Aku ceritakan semua sama Bulek, tentang
Jujur saja, hatiku girang bukan kepalang dapat pesan dari penulis favorit. Cepat kubuka aplikasi bergambar petir itu. [Assalamualaikum] Dia hanya mengirimkan itu saja.[Waalaikum salam] Cepat langsung kubalas salamnya. Hatiku berdebar-debar menunggu balasan darinya.[Apakah saya mengganggu?] pesan darinya lagi. [Tidak sama sekali. Kebetulan saya juga belum tidur] balasku.[Oh, saya juga sedang menulis. Tadi membuang rasa jenuh, saya berselancar ke fb. Tak sengaja nemu postingan Mbak. Hati saya tergelitik untuk support Mbak. Sepertinya Mbak sedang dalam masalah berat ya? Maaf, kalau saya kepo] Ternyata dia orang yang peka. Apakah semua penulis sama? Punya rasa peka yang tinggi seperti dia. [Nggak kok Mbak. Iseng aja] balasku dengan menyematkan emot senyum.[Alhamdulillah kalau begitu. Saya pernah di titik terendah dalam dalam saya. Tapi sejak saya menulis, segala rasa itu bisa saya alihkan ke tulisan saya. Saya jadi tak fokus lagi pada masalah saya. Apa Mbak ada keinginan jadi penu
Arsen telungkup di atas tilam kecilnya. Aku lupa kalau Arsen mulai belajar menelungkupkan badannya. Cepat kuraih tubuh mungil anakku. Menyusuinya sebentar. Biar sajalah, Mas Bima dan Satria diurus Lek Noto dan yang lain. Aku lebih baik fokus pada Arsen saja. Kuelus lembut rambut anakku yang basah. Pasti dia tadi cukup lama telungkup, makanya sampai menangis kencang. Arsen belum bisa membalik badannya lagi, pastinya dia kelelahan, hingga kepalanya keringatan. Sembari mengelus kepala Arsen, aku berdoa dalam hati, agar kelak dia tak mewarisi sifat jahat ayahnya. Tak lama, Arsen tidur dengan posisi masih menempel di dadaku. Untunglah dia tak terganggu dengan suara ribut-ribut di luar. Entah apalagi yang terjadi? Apa Lek Noto berhasil menarik tubuh Satria tadi?Kuangkat tubuh mungil Arsen. Kubawa ke kamar. Dengan perlahan, kuletakkan di atas tilam. Di sisi sebelah kanan dan bawah kuletakkan guling. Sebagai pembatas. Walaupun Arsen baru pandai menelungkupkan badan saja, tetap saja, aku kh
"Pak, maksud Bapak apa, bilang Satria bukan muhrim Divya?" selidikku.Kulihat Satria menatap tajam sekali pada Bapak. Sampai rahangnya tampak mengeras. Dia sepertinya sangat marah mendengar Bapak bilang kami bukan muhrim. "Maksud Bapak, kalian sudah bukan anak kecil lagi. Tak pantas kalau tinggal serumah, kalau tak ada suamimu di rumah." Aku tak percaya dengan apa yang Bapak bilang. Apalagi Bapak bicara tanpa menatap wajahku. Beliau mengalihkan pandangan keluar rumah. Takut aku akan melihat kebohongan di matanya."Bapak yakin, setelah kejadian ini. Bima tak akan pulang," sambung Bapak."Divya nggak peduli sama dia! Pak, kenapa Bapak jadi seperti ini? Mana Bapak Divya yang tegas dan berwibawa. Laki-laki itu! Laki-laki yang selalu Bapak bela itu! Dia sudah melempari wajah Bapak dengan banyak kotoran! Kenapa Bapak diam saja! Bertindak Pak! Penjarakan dia! Divya yakin, Bapak sudah cukup punya banyak bukti kan? Kenapa Bapak justru mengasingkan anak-anak Bapak karena dia!" cecarku. Dadaku
Cepat kuhabiskan sisa nasiku, dan meletakkan piring bekas makan di meja begitu saja. Segera kubasuh tanganku. Berulang kali kudengar suara yang sama di atas atap rumah. Ini sudah hampir tengah malam. Siapa yang iseng melempari atap rumah dengan kerikil? Baru lagi aku akan melangkah keluar, suara itu hilang. Ah, mungkin aku salah dengar. Lebih baik aku ke kamar, mencoba untuk tidur, agar segar besok. Besok aku jadi ingin mengajukan gugatan cerai pada Mas Bima ke kantor pengadilan agama. Tak perlulah mengikuti cara yang dianjurkan R Wulandari. Saat ini, kadar keimananku sedang diuji. Jangan sampai aku menjadi musyrik karena rasa benciku pada Mas Bima. Jujur saja, berdamai dengan diri sendiri saja masih sangat sulit kurasa. Tapi aku juga tak mau, mengorbankan imanku. Saat membuka pintu kamarku, aku melirik Satria yang masih sangat lelap. Dia terlihat sangat lelah. Kubuka pintu kamarku perlahan, agar Arsen tidak terganggu. Kututup lagi dengan pelan. Berjalan pun sangat hati-hati, begi
"Mbak Divya, Arsen sepertinya haus. Dia nggak mau minum susu lagi," kata Bik Sum gang baru datang dari arah dalam rumah. "Oh iya Bik. Sebentar lagi saya ke kamar," sahutku. "Maaf ya Bripda, saya mau ke dalam dulu," pamitku pada Bripda Farhan. Agak sedikit sungkan juga sih. "Oh silahkan. Tapi sebelumnya, saya boleh minta izin?" Kutahan langkah kakiku yang hendak pergi dari hadapannya. "Minta izin apa Bripda?" "Maaf sebelumnya kalau pertanyaan saya kurang sopan. Apakah masa iddah kamu sudah selesai? Kalau sudah, bolehkah saya menjalin silaturahim melalui hape?" Agak lucu aku mendengar pertanyaannya. Mungkin maksudnya, dia ingin menelepon aku. "Um … maksudnya sebagai sahabat," katanya agak gugup. "Baru saja selesai. Boleh saja kalau ingin menjadi sahabat saya," jawabku. Senyumannya langsung merekah sempurna. "Saya ke dalam dulu ya Bripda." Aku pamit. Takut Arsen mengamuk karena terlalu lama menunggu. Saat sampai di kamar, Arsem yang melihatku langsung menangis manja. Kuraih t
Bu Mega sangat aktif mengajak Bunda berbincang. Cukup membuatku terharu juga. "Kami nggak bisa lama-lama Divya. Takut kemalaman di jalan," kata Bu Mega padaku."Oh iya Bu. Sebentar saya ambilkan surat kuasanya." Aku segera bergegas mengambil surat kuasa yang sudah selesai kubuat tadi sore dan sudah ditanda tangani di atas materai. Aku kembali lagi ke ruang tamu dan memberikan surat itu ke tangan wanita berkacamata minus yang cukup tebal ini. Bu Mega memeriksa isi surat kuasa yang kubuat. "Ok. Berdoa ya, semoga besok hakim bisa memutuskan hukuman yang tepat untuk para tersangka," kata Bu Mega. "Aamiin. Semoga Bu. Saya terima apapun keputusan hakim. Kalau dirasa tak sebanding dengan perbuatannya, biarkan saja, tak perlu ajukan banding lagi. Saya capek, saya hanya ingin tenang sekarang. Mudah-mudahan, hukuman yang mereka terima, benar-benar menjadi pelajaran berharga buat mereka, supaya tidak mengulangi lagi di kemudian hari," kataku. Bu Mega tersenyum. "Kamu besar hati sekali. Jaran
#Menjelang sidang keduaAku sudah menghubungi Bu Mega, membicarakan tentang rencanaku untuk mencabut gugatanku terhadap Bu Malikah. Sebenarnya prosesnya lebih rumit, karena kasus sudah sampai ke meja persidangan. Aku harus menyatakan langsung di depan hakim kalau aku mencabut gugatan terhadap Bu Malikah. Itupun kalau hakim berkenan mengabulkan atas persetujuan tergugat. Mengingat juga, tersangka lebih dari satu orang. Tak apalah sedikit repot, kalau memang begitu prosedurnya. Hari demi hari terus berlalu. Aku juga masih tetap di kampung. Urusan kebun kuserahkan sepenuhnya pada Mas Bagus, agar aku bisa fokus dengan sidang, juga fokus menghabiskan sisa waktu bersama Bunda. Semakin hari kondisi Bunda semakin drop. Dia bersikeras tak mau dibawa ke rumah sakit. Katanya, dia ingin meninggal dengan seluruh keluarga ada di sampingnya. Bunda beralasan, percuma ke rumah sakit. Tak ada lagi obat yang bisa mengatasi penyakitnya. Dia tak mau jauh dari Arsen. Tau sendiri, kalau Bunda dirawat di r
#Ibu depresiTak perlulah aku menceritakan semuanya kasihan Bunda bila terseret dalam kasus ini. Biar semua itu menjadi rahasia bagi kami yang sudah mengetahuinya. Aku juga tak mau mengungkap, kalau karena masalah itu, Ibu Malikah sampai berulangkali melakukan perselingkuhan dengan orang-orang yang berbeda. "Saya nggak tau Bu. Hal seperti itu sangat pribadi. Hanya Ibu saya yang mengetahuinya," jawabku menutupi hal yang sebenarnya. Aku juga tak mau bilang, kalau Bu Malikah berbohong. Aku bertumbuh sebagai anaknya, bagaimanapun, di sudut hatiku yang lain, aku merasa tak sampai hati padanya setelah aku mengetahui cerita yang sebenarnya. Bu Mega bangkit dari duduknya. "Keberatan Yang Mulia," kata Bu Mega pada hakim, untuk menentang kata-kata Ibu. "Hal yang diungkapkan oleh Bu Malikah adalah masalah intern dia dan Pak Chandra. Seharusnya, sebagai seorang istri, Bu Malikah mencari solusi atas permasalahan yang mereka hadapi. Bukan justru menghancurkan suaminya," papar Bu Mega. Aku sang
#Semakin membaikUstad Mahmud sudah pulang kembali ke rumahnya. Kini hanya tinggal kami saja di rumah. Mas Bagus kuminta melihat kebun yang ada di sini, daripada dia bosan menunggu kami."Mbak. Arsen sudah bangun," kata Bik Sum. Kebetulan dia sedang melintas Dari dapur, aku sengaja membiarkan pintu kamar terbuka, jadi kalau Arsen bangun, kami akan segera mengetahuinya. Aku bangkit meninggalkan Bunda yang kembali tidur. Sementara Nenek juga masuk ke kamarnya. Tak bisa dipungkiri, pasti Nenek merasa terpukul atas kenyataan yang baru didengar. Tinggal Bulek Ratmi yang masih menemani Bunda sambil membaca masalah wanita zaman dulu yang sudah entah berapa kali dia baca. Yang kupahami dari pengakuan Bunda. Bundalah penyebab semua ini. Ini seperti kasus berantai, saling terkait antara satu dan yang lainnya. Bunda yang sakit hati sama Kakek, membuat Bapak menjadi suami yang tak bisa memenuhi nafkah batin Ibu Malikah. Ibu Malikah yang kecewa, menduga Bapak tak bisa mencintainya dan tak bisa m
#Bunda diruqyahSetelah berbasa basi sebentar. Ustad Mahmud permisi numpang sholat. Setiap akan mulai mengobati, Ustad Mahmud memulainya dengan sholat Sunnah terlebih dahulu. "Kita mulai ya Bu. Ingat, ikhlaskan semua hal yang membebani hati Ibu. Lepaskan semuanya, maafkan orang-orang yang Ibu anggap telah menyakiti Ibu. Sejatinya, kalau Ibu benar-benar mau sembuh, harus Ibu sendiri yang memohon dengan hati Ibu kepada Allah untuk menyembuhkan. Saya hanya membantu saja," kata Ustad Mahmud pada Bunda. Bunda hanya mengangguk menjawabnya. Ustad Mahmud menggunakan sarung tangan, beliau mulai mengarahkan tasbihnya ke arah Bunda dan mulai melantunkan ayat-ayat suci. Bacaannya begitu tartil dan merdu, hingga membuat merinding yang mendengar.Bunda tampak biasa saja, tidak ada reaksi apapun. Sampai saat dipertengahan Ustad Mahmud membaca doa ruqyah, Bunda mulai gelisah. Matanya liar kesana kemari. Agak terkejut kami melihat reaksinya. "Errgghhh errggghhh." Bunda tiba-tiba menggeram, seperti
#Bunda bersedia diobatiYa Allah. Arsen semakin panas dan rewel. Tadi kata bidan, gapapa. Arsen hanya demam. "Cup cup Sayang." Aku mencoba membuat Arsen tenang. Ini sudah larut malam. Takut mengganggu istirahat yang lain, terutama Bunda. "Divya!" Bulek memanggilku dari luar kamar. "Nopo Are, Ndok?" Nenek juga terbangun. Suara tangisnya Arsen sangat menggelegar, jelas saja terdengar kemana-mana. Kubuka pintu kamarku. Nenek dan Bulek segera masuk, disusul Bik Sum."Nopo Arsen?" tanya Nenek sambil memegang pipi Arsen."Oalah, anget banget! Sum, gawe minyak bawang. Kasih air jeruk nulis." Nenek terkejut mendapati suhu tubuh Arsen yang panas dan meminta Bik Sum membuatkan minyak bawang. Bik Sum.bergegas keluar, sementara aku masih sibuk menenangkan Arsen yang terus rewel. Tubuhnya tak bisa diam di gendonganku, seolah dia merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Bik Sum datang kembali membawa sebuah piring kecil berisi minyak bawang."Sini, Arsen sama Uyut yo Ngger." Nenek mengulurkan tan
POV RafikahIngin sekali rasanya Bunda menceritakan semua ini langsung pada Divya. Tapi Bunda tak ingin Divya menjadi seorang pembenci seperti Bunda, Nak. Kebencian ini sudah mengakar kuat di hati Bunda. Mungkin karena Bunda juga sudah mengundang setan untuk menolong Bunda. Bunda sangat sakit hati sekali dengan perbuatan Tuan Rajasa yang terhornat itu! Bunda menemui Mang Pur, dan memintanya untuk melakukan sesuatu agar keluarga Rajasa tak bisa memiliki keturunan yang lain selain kamu. Bunda serahkan semua urusan padanya. Mang Pur mengenal seorang yang dianggap sakti di kampung. Yang lebih dikenal, sebagai Dukun. Bunda hanya membekali dia ongkos untuk pulang kampung dan syarat yang dia minta. Dia hanya minta biodata lengkap Bapak Chandra. Awalnya Bunda tak mengerti. Bunda ingin dia melakukan sesuatu untuk kakekmu, bukan dengan Bapak Chandra. Tapi dia meyakinkan Bunda untuk bermain halus, agar tak ada yang curiga. Dan tujuan Bunda juga tercapai. Caranya, dengan membuat kejantanan ba
POV RafikahMaafkan Bunda Divya. Sesungguhnya, Bunda sangat ingin memeluk erat Divya. Mencium Divya, seperti saat Divya kecil. Bunda sengaja bersikap jutek, agar saat Bunda pergi lagi nanti, Divya tak akan merasa kehilangan. Divya tak tau kan, selama ini Bunda selalu memantau Divya, lewat Ratmi? Bunda tau semua cerita tentang Divya dari Ratmi. Setiap kerinduan Bunda pada Divya, Bunda tuliskan lewat sebuah tulisan. Kalau dulu, Bunda hanya menuliskan semua di sebuah buku saja. Tapi sekarang, Bunda menuliskannya menjadi sebuah karya. Ada yang Bunda jadikan novel untuk menyambung hidup, ada juga yang Bunda jadikan koleksi pribadi Bunda saja. Dulu, saat akhirnya Bunda terpaksa meninggalkan Divya atas permintaan si Tuan Tanah kejam! Hati Bunda hancur, Nak. Bukan hanya tentang kehilangan Divya, tapi juga suami Bunda. Meninggalnya Bapak kandung Divya, berhasil membuat dunia Bunda terasa jungkir balik. Hingga akhirnya Bapak Chandra berhasil membangkitkan semangat Bunda lagi. Dia menawarkan