Beranda / Lain / IBU YANG KAU BUANG / Pertemuan Tak Terduga

Share

Pertemuan Tak Terduga

Penulis: Uci ekaputra
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Mas Darman, maafkan aku karena aku telah lalai pada Risma dan putramu, Mas. Aku terlalu fokus untuk membahagiakan anak-anakku saja. Aku terlalu fokus bekerja untuk memenuhi apa yang mereka inginkan, sehingga aku telah abai pada Risma dan putramu," lirihku sembari mengusap-usap batu nisan yang bertuliskan nama mendiang suamiku.

Setelah dari rumah Risma tadi aku langsung menuju makam Mas Darman. Aku sungguh merasa buruk karena tidak pernah mengunjungi Risma dan juga putra sambungku itu.

Kesibukan membuatku lupa dengan mereka. Ya Allah ... ampunilah hamba-Mu ini. Andai aku tidak mengabaikan Risma dan putranya, tentu aku masih sempat melihat wajah Risma sebelum kematiannya. Aku menangis tersedu. Menyesal karena tidak sempat bertemu dengan Risma.

Mungkin sikap kurang ajar anak-anakku adalah teguran untukku karena telah mengabaikan putra sambungku.

Air mataku semakin mengalir dengan derasnya. Aku sangat merasa bersalah sekarang. Tapi aku harus bagaimana? Semua sudah terlambat, Risma telah meninggal dunia. Sementara aku juga tidak tahu caranya menemukan Dani. Andai aku bisa bertemu dengannya walau hanya satu kali saja. Aku pasti akan meminta maaf padanya atas kelalaianku selama ini.

Tiba-tiba, angin berhembus dengan kencangnya. Awan mendung mulai berjajar rapi. Nampak hujan akan segera turun. Sebenarnya aku ingin berlama-lama di sini. Tapi sepertinya cuaca sedang tidak mendukung. Padahal hari belum beranjak sore, tapi sudah mendung saja. Memang cuaca sudah masuk musim penghujan. Wajar jika jam segini sudah akan turun hujan.

Aku merapatkan sweater berwarna coklat yang sedang aku pakai. Udara menjadi bertambah dingin karena mendung datang. Dinginnya terasa menembus ke dalam kulitku.

"Mas, aku pamit dulu. Aku pasti akan menemukan Dani untukmu, Mas. Aku akan mencarinya sampai ketemu. Aku janji," ucapku masih mengusap-usap batu nisan Mas Darman.

Sedetik kemudian aku terperanjat ketika merasakan tepukan lembut di pundakku. Seketika aku langsung menolehkan kepala demi melihat siapa yang menepuk pundakku. Padahal tidak kurasakan kedatangan sesorang sama sekali.

"I-bu Rat-mi ...." Sosok lelaki muda tampak mencondongkan tubuhnya di belakangku. Sepertinya dialah yang telah menepuk pundakku. Tapi aku tidak mengenalnya.

"Si-apa?" tanyaku terbata melihat sosoknya.

Wajah pemuda tersebut mengingatkanku dengan sosok Mas Darman saat muda dulu. Garis wajahnya sama persis dengan mendiang suamiku itu. Tung-gu ... jangan-jangan dia ... dia adalah Dani? Anak sambungku.

"Ibu ... ini Dani, Buk," jawabnya dengan mata berkaca-kaca.

"Astaghfirullah ... Dani," pekikku, lalu aku langsung berdiri dari posisiku, kemudian aku memeluk putra sambungku itu sambil berderai air mata.

Ya Allah, terima kasih. Engkau telah begitu baik pada hamba-Mu yang hina ini. Aku berharap bertemu dengan Dani, dan kini dia telah berada di sini bersamaku. Dia tiba-tiba muncul saat aku benar-benar sedang ingin bertemu dengannya.

Aku mengurai pelukanku pada Dani, "MasyaAllah, kamu sudah besar, Nak?" Aku membelai wajah yang bagai duplikat Mas Darman dengan lembut.

"I-ya, Buk. Dani sudah besar." Dani memegang tanganku yang membelai wajahnya.

Aku masih belum percaya dengan apa yang terjadi. Dani, sekarang dia ada di depanku. Dia sudah sebesar ini? Ya Allah. Dia tumbuh menjadi lelaki yang gagah dan tampan. Risma pasti sangat bangga membesarkan Dani hingga menjelma menjadi lelaki yang rupawan.

Rintik hujan mulai berjatuhan, seolah langit sedang menyambut pertemuan kami berdua dengan turunnya hujan.

"Hujan, Buk. Ayo ikut Dani ke mobil," tutur Dani sembari menggandeng tanganku. Menuntunku berjalan menuju mobilnya yang parkir tak jauh dari pemakaman. Aku pun hanya menurut saja padanya.

Setelah tiba di samping mobil, Dani pun membukakan pintu mobil untukku. Kemudian dia memutari mobil, lalu masuk ke dalamnya setelah aku masuk ke mobil dan menutup pintu kembali. Perlakuan Dani sungguh membuat hatiku terenyuh. Putra sambungku itu memperlakukanku dengan begitu baik. Andai Damar juga bisa sepertinya. Ya Allah, rasanya miris sekali melihat perbedaan Dani dan juga Damar. Risma benar-benar telah berhasil dalam mendidik putranya itu.

Dani terlihat fokus mengemudi. Sementara hujan pun mulai bertambah deras. Mobil Dani membelah jalanan di tengah guyuran hujan.

Setelah kurang lebih setengah jam perjalanan, Dani membelokkan mobilnya ke arah rumah yang terlihat mewah dengan tiga lantainya. Aku memandang takjub rumah tersebut.

Dani pun memarkirkan mobilnya setelah sampai. Kemudian dia tampak bergegas turun terlebih dahulu. Sementara aku masih takjub dengan rumah yang bercat putih itu.

"Buk, ayo turun," tutur Dani, membukakan pintu untukku.

Aku tersentak, lalu aku pun beranjak turun dari mobil.

"Hati-hati, lantainya sedikit licin, Buk," ucap Dani memperingatkanku.

Aku menganggukkan kepala menanggapinya. Memang lantainya sedikit licin karena tetesan air hujan yang menbasahinya.

Dani menggandeng tanganku menuju ke arah pintu. Lalu dia pun membuka pintu tersebut setelah sampai.

"Assalamu'alaikum ...," ucapnya saat kami berada di ambang pintu.

"Wa'alaikumussalam. Sudah pulang, Mas?" Seorang wanita dengan balutan hijab panjang datang tergopoh-gopoh, menyambut kedatangan kami.

"Iya, Dek. Oh iya, tolong buatkan minuman hangat untuk ibu ya," ucap Dani padanya. Netra wanita muda itu pun beralih menatapku. Lalu kemudian dia tersenyum ke arahku.

"Maaf, Ibu. Saya Nada, istri Mas Dani," ucapnya memperkenalkan diri, lalu meraih tanganku dan mengecup punggung tanganku.

Aku melebarkan senyumku, lalu memeluknya. Nada ... nama yang indah. Seindah sikap lembutnya. Beruntung Dani memiliki istri sepertinya.

Aku pun melepaskan pelukanku. "Kamu sungguh cantik, Nak," pujiku membuat rona di pipinya memerah.

"Terima kasih, Buk. Mari masuk, Buk. Saya buatkan minum dulu," tuturnya sopan.

"Iya, Buk. Sebaiknya Ibu duduk dulu," ucap Dani menimpali ucapan sang istri.

Aku menganggukkan kepala, lalu mulai melangkahkan kaki menuju sofa yang terlihat mahal. Sepertinya semua yang ada di dalam rumah ini terlihat mahal.

Setelah tiba, aku pun mendaratkan tubuhku di atas sofa. Empuk. Berbeda sekali dengan sofa yang ada di rumahku. Walaupun sofa di rumahku termasuk bagus, tapi rasanya tidak seempuk sofa yang sedang aku duduki ini.

"Buk, Dani tinggal mandi terlebih dahulu. Jika perlu apa-apa, jangan sungkan untuk memberi tahu Dani atau Nada ya, Buk," tukas Dani.

Aku pun menganggukkan kepala menanggapinya. Lalu kemudian Dani mulai beranjak pergi. Meninggalkanku sendiri yang masih merasa takjub dengan kemewahan yang ada di depan mataku.

Pertemuan tak terduga antara aku dan Dani, membuatku sangat bersyukur. Aku bahagia karena kehidupan Dani terlihat sangat baik. Dia pasti sukses sekali hingga mempunyai rumah sebagus ini. Aku senang, kekhawatiranku padanya langsung hilang. Kini berganti dengan rasa bangga. Walaupun Dani bukan anak kandungku, tapi aku juga merasa bangga padanya yang sudah sukses seperti ini.

Bab terkait

  • IBU YANG KAU BUANG   Sandiwara

    "Ibu dari mana saja hari ini? Kenapa baru pulang?" tanya Damar begitu aku masuk ke dalam rumah.Aku terdiam tidak menjawab pertanyaan bungsuku itu. Aku hanya memandangnya tanpa ekspresi. Di benakku terdapat pertanyaan. Kenapa Damar sangat berbeda dengan Dani, yang sopan padaku. Padahal dia hanya anak sambungku. Sikap dan perlakuan mereka padaku sangatlah berbeda.Apakah aku yang gagal dalam mendidik anak-anakku? Sedang Risma berhasil mendidik Dani hingga menjadi pribadi yang lembut. Hormat pada orangtuanya.Aku menghela napas panjang. Aku terlalu sibuk menyenangkan anak-anakku hingga aku lupa cara mendidik mereka untuk hormat padaku. Kini aku telah memetik sendiri apa yang telah aku tanam pada mereka."Kenapa diam saja, Buk?" tanyanya lagi.Aku tersentak, tersadar dari lamunanku. Kemudian aku meneruskan langkahku menuju kamar tanpa menjawab pertanyaan bungsuku itu. Hati, pikiran, dan tubuhku sedang lelah saat ini. Aku ingin segera beristirahat."Buk ... Ibu belum menjawab pertanyaanku

  • IBU YANG KAU BUANG   Perbedaan

    "Ibu mau kemana lagi? Pagi-pagi sudah rapi sekali?" tanya Damar saat aku melintas di depannya. Dia sedang menikmati kopi di teras.Aku menghentikan langkahku, lalu menatap bungsuku itu dalam. Anak lelaki yang selalu aku sayangi, aku besarkan dengan sepenuh hatiku, yang kelak akan menjadi tumpuanku ketika aku sudah tidak bisa apa-apa lagi. Tapi ternyata dia telah membuat sandiwara demi mendapatkan uangku."Ibu mau pergi sebentar, Mar," sahutku."Kemana, Buk?" tanyanya lagi. Dia tampak ingin tahu kemana wanita tua yang melahirkannya ini pergi."Ibu ingin mendaftar umroh," jawabku sembari tetap menatapnya. Ada perubahan di raut muka Damar. Tampak dia tidak senang dengan jawaban dariku.Aku tersenyum miris. Anak lelakiku itu tampak benar-benar tidak senang dengan jawabanku. Raut wajahnya yang tadi tampak ramah kini berganti dengan raut masam. Tapi memang itu tujuanku. Aku ingin melihat ekspresinya saat aku menjawab pertanyaannya.Damar ... Damar. Sebegitu tidak senangnya dirimu jika ibumu

  • IBU YANG KAU BUANG   Hendri

    "Ibu ada apa? Kenapa wajah Ibu terlihat bermuram durja?" tanya Dani saat aku hanya diam saja sedari tadi.Aku menatap Dani dengan mata berkaca-kaca. Sisi rapuhku kembali saat melihat wajah yang bak duplikat Mas Darman itu. Setiap melihat wajah Dani, aku merasa melihat Mas Darman kembali hidup lagi. Ingin sekali aku tumpahkan semua dukaku padanya. Tapi aku bingung, aku tidak bisa menceritakan aib anak-anakku sendiri pada orang lain."Ibu ... Ibu kenapa? Jangan buat Dani khawatir, Buk." Dani terlihat khawatir padaku. Hatiku semakin terenyuh dibuatnya. Raut khawatir tergambar jelas di wajahnya."Iya, Buk. Ada apa? Katakan pada kami apa yang sedang menggangu pikiran Ibu. Jika sanggup, kami pasti membantu Ibu." Kini ganti Nada yang berbicara.Aku pun menoleh ke arah wanita dengan balutan hijab berwarna abu muda di sampingku itu. Aku selalu takjub melihat perilaku dan tutur katanya yang lembut. Dia sangat berbeda sekali dengan Feni. Bukan maksudku membandingkan mereka berdua, tapi mereka be

  • IBU YANG KAU BUANG   Jual Mobil

    Matahari mulai menurunkan eksistensinya, langit pun telah berubah kemerahan, pertanda senja telah mulai datang. Aku telah selesai menunaikan ibadah wajibku.Sejak sampai dari rumah Dani tadi, aku hanya berada di dalam kamar saja. Aku hanya berdiam diri di kamar. Memikirkan apa yang tadi Dani ucapkan tentang Hendri. Ada sedikit rasa was-was di hatiku, jika Damar benar-benar menginvestasikan uangnya pada suami kakak iparnya itu. Aku takut dia akan tertipu jika investasi yang dimiliki Hendri hanyalah tipuan saja. Tapi aku juga tidak bisa berbuat apa-apa jika Damar tetap bersikeras untuk berinvestasi pada Hendri.Saat aku sampai di rumah tadi, tidak ada siapapun di rumah, Feni dan Damar tampaknya sedang pergi. Bahkan hingga sekarang mereka belum juga pulang. Dalam hati aku bertanya-tanya kemana mereka pergi, hingga sekarang belum juga kembali. Mobil dan juga motor Damar pun tidak ada. Apa mereka pergi dengan berkendara sendiri-sendiri? Feni naik mobil, sementara Damar naik motor?Keningku

  • IBU YANG KAU BUANG   Telepon Dina

    "Ah, sudahlah, Buk. Damar capek, lebih baik Ibu pergi saja!" sentakknya, lalu langsung menutup pintu tanpa menungguku bicara lagi.Brak ....Bunyi pintu ditutup dengan kerasnya. Aku tersentak ketika pintu tertutup tepat di depan mukaku.Aku hanya bisa mengelus dada ketika Damar menutup pintu dengan begitu tidak sopan. Lalu aku memutar tubuhku, beranjak pergi dari kamar putraku itu. Kelakuan Damar semakin menjadi saja. Dia sampai membanting pintu di depan wajah ibunya sendiri.Sejenak aku lupa, jika Dani berpesan padaku untuk membiarkan Damar melakukan apapun yang diinginkannya. Harusnya tadi aku tidak langsung menanyai Damar tentang keberadaan mobilnya. Harusnya aku selalu ingat pesan Dani. Agar tidak bertambah sakit hatiku mendapat perlakuan yang kasar dari anakku sendiri.Aku menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan. Mencoba untuk menetralkan rasa sakit di hatiku akibat kekurangan ajaran bungsuku itu. Lebih baik sekarang aku menelepon Dani untuk memberitahunya jika Damar

  • IBU YANG KAU BUANG   Menantu Berbakti

    "Ada apa tadi menelepon Dani, Buk? Maaf tadi tidak tahu Ibu menelepon. Seharian Dani sibuk terus, Buk. Jadi ada apa, Buk?" tanya Dani melalui sambungan telepon.Dani baru saja menelepon, setelah satu jam yang lalu aku menghubunginya tapi tak ada jawaban darinya."Tidak, Dan. Tadi rencananya ibu mau minta bertemu denganmu besok, ada yang ingin ibu sampaikan padamu, tapi sepertinya tidak bisa," jawabku."Memangnya kenapa tidak bisa, Buk?""Besok ibu diminta Dina untuk ke rumahnya. Dia akan berlibur dengan keluarga suaminya. Lalu dia meminta ibu untuk mengawasi karyawannya di toko."Hening. Tidak ada sahutan dari Dani. Entah apa yang sedang dipikirkannya mendengar jawaban dariku, hingga dia tidak menyahutinya. Apa ada perkataanku yang salah hingga diam saja? Tapi apa? Aku pun mengernyitkan kening, tidak mengerti dengan apa yang salah pada jawabanku."Ada apa, Dan? Kenapa diam saja?" tanyaku ketika Dani, saat dia tak juga membuka suaranya setelah beberapa detik berlalu."Hmm ... tidak apa

  • IBU YANG KAU BUANG   Dua Ibu

    "Baiklah. Biarkan saja, Buk. Jangan melarang Damar melakukan apapun. Cukup Ibu perhatikan saja, biar Dani yang mengurus sisanya." Dani menggenggam tangan keriputku lembut, tampaknya dia sedang mencoba membuatku tenang.Aku baru saja menceritakan tentang Damar yang menjual mobilnya pada Dani. Dan kekhawatiranku kalau Damar menginvestasikan uangnya pada Hendri.Dani menepati janjinya menjemputku di toko Dina. Dia datang tepat setelah toko tutup."Baik, Dan. Ibu akan mengikuti perkataanmu," sahutku.Dani tersenyum menatapku, tapi tiba-tiba senyumnya berhenti ketika melihat punggung tanganku. "Ini kenapa, Buk?" tanyanya sembari mengangkat tanganku, memperlihatkan tanganku yang membiru.Aku langsung menarik tanganku dari genggaman Dani. "Tidak apa-apa, Dan. Tadi ibu hanya tidak hati-hati saja waktu di toko Dina."Netra Dani memicing, "Katakan apa yang sebenarnya terjadi pada tangan Ibu," tegas Dani."I-bu ti-dak apa-apa, Dan. Sungguh." Aku tergagap. Tapi aku masih mencoba meyakinkan putra

  • IBU YANG KAU BUANG   Tidak Peduli

    "Din, hari ini ibu tidak bisa buka toko. Tolong kamu hubungi karyawanmu untuk tidak usah datang hari ini," ucapku pada Dina melalui sambungan telepon."Ibu apa-apaan sih? Kenapa tidak bisa membuka toko?" Suara Dina sedikit meninggi.Aku menghela napas panjang. Seperti dugaanku. Dina pasti akan marah jika aku tidak menuruti keinginannya. Tapi aku juga kadung janji pada Dani untuk tidak pergi ke toko Dina hari ini."Ibu lagi tidak enak badan, Din," jawabku, tidak sepenuhnya berbohong. Aku memang sedang tidak enak badan. Seharian mondar mandir ikut melayani pembeli membuat kakiku sedikit nyeri. Mungkin karena efek usia, hingga tubuhku jadi seperti ini."Halah, Ibu pasti hanya alasan saja! Padahal aku meminta tolong pada Ibu juga tidak gratis, aku pasti akan membayar Ibu." Dengan entengnya Dina mengatakan hal yang menyakitkan padaku."Ya Allah ... aku tidak pernah mengharapkan uangmu, Din. Aku membantumu juga ikhlas, tidak pernah aku menuntut balasan atas semua yang telah kulakukan untuk

Bab terbaru

  • IBU YANG KAU BUANG   Akhir

    Pov Dani. [Dan, bagaimana dengan nama 'Afnan Alfiansyah'? Bagus tidak? Ibu sudah berpikir panjang, tapi ibu bingung sendiri memikirkannya. Bagaimana dengan nama itu? Kalau kamu dan Nada kurang suka, kalian bisa mencari nama lain. Oh iya, nanti jangan tunggu ibu. Mulai saja acaranya tanpa ibu, mungkin ibu akan datang terlambat.]"Afnan Alfiansyah? Emm ... nama yang bagus," gumamku setelah membaca pesan dari ibu.Baru pukul tiga dini hari tapi ibu sudah mengirimkan pesan padaku. Tumben sekali. Apa beliau terjaga sepertiku? Entah kenapa putra kecilku rewel sekali malam ini. Tidak seperti malam-malam sebelumnya yang selalu anteng dan tidak pernah rewel sama sekali. Aku pun heran dibuatnya. "Istirahatlah, Mas. Biar aku yang gantian menjaga anak kita." Suara Nada terdengar, aku pun menoleh ke arahnya. Wajah Nada terlihat pucat, dia pasti kelelahan karena menjaga putra kami sepanjang malam."Kamu saja yang istirahat, Dek. Kasihan kamu kalau tidak bisa beristirahat, tubuhmu pasti belum puli

  • IBU YANG KAU BUANG   Terlalu Cepat

    Pov Author. "Masya Allah ... Tabarakallah, dia ganteng sekali, Dan. Dia benar-benar mirip denganmu," ucap Bu Ratmi memuji bayi mungil yang ada di dalam gendongannya. Netranya memindai wajah si bayi yang masih terlelap, tampak tidak terganggu dengan percakapan orang-orang di sekitarnya."Alhamdulillah, Buk. Dani sudah sangat bersyukur Nada dan bayi kami selamat. Dani sudah tidak tahu lagi bagaimana mengucap syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala," sahut Dani sembari menggenggam erat tangan sang istri yang masih terbaring di ranjangnya.Sementara Nada hanya bisa tersenyum melihat wajah sang suami yang terlihat sembab. Dia tahu sekali jika suaminya itu pasti sudah menangis sejak dia ditangani oleh dokter. Di dalam hati, Nada merasa sangat lega, tugasnya sebagai ibu baru saja dimulai. Putranya terlahir dengan sehat tanpa kekurangan apapun, walaupun sempat terjadi pendarahan padanya akibat terjatuh di kamar mandi. Dia merasa bersalah karena tidak berhati-hati saat ke kamar mandi. Andai t

  • IBU YANG KAU BUANG   Tak Lagi Sendiri

    Pov Author."Kenapa, Buk?" tanya Damar melihat sang ibu sedang memijit keningnya. Dia pun beranjak duduk di samping sang ibu."Eh ... nggak, Mar. Ibu nggak kenapa-napa," sahut Bu Ratmi. Dia hanya merasa pusing saja semenjak bangun dari tidurnya. Padahal selama ini dia jarang sekali sakit, tapi tidak tahu kenapa pagi ini setelah bangun tidur kepalanya terasa berat."Benar, Ibuk nggak apa-apa?" tanya Damar lagi memastikan jika sang ibu memang baik-baik saja.Bu Ratmi menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan, "Iya, Mar. Ibu baik-baik saja. Kamu tidak usah khawatir. Bukankah kamu tahu sendiri jika ibu jarang sekali sakit?""Iya, Buk. Damar hanya khawatir saja, wajah Ibu terlihat pucat, tidak seperti biasanya," sahut Damar sembari memindai wajah sang ibu yang terlihat pucat."Benarkah, Mar? Mungkin ibu masih kelelahan akibat perjalanan jauh kemarin," ucap Bu Ratmi sembari memaksakan senyumnya, berharap agar sang putra tidak perlu khawatir terhadapnya. Dia hanya merasa pusing bi

  • IBU YANG KAU BUANG   Terwujud

    Pov Author Bu Ratmi melambaikan tangan pada anak-anaknya, dia baru saja pulang dari Tanah Suci. Setelah hampir satu setengah bulan dia menjalankan ibadah haji, kini dia telah kembali.Bu Ratmi berangkat ke Tanah Suci bersama dengan putra sambungnya. Dani menemani ibu sambungnya itu sebagai ganti Bu Risma, sang ibu kandung yang telah tiada dan belum mempunyai kesempatan untuk bertandang ke Tanah Suci. Sementara Nada berada di rumah, tidak bisa ikut dengannya, mengingat usia kandungannya yang sudah mendekati waktu lahiran. Tapi Nada tidak sendirian di rumah, Dina diminta Bu Ratmi untuk menemani menantunya itu. Dia takut jika terjadi sesuatu dengan Nada sementara sang suami tidak ada di rumah.Damar dan Dina menjemput ibu mereka dengan wajah yang semringah. Terlihat dari wajah mereka yang sangat antusias menyambut kedatangan sang ibu. Ada sorot kerinduan yang terpancar dari keduanya setelah hampir satu setengah bulan tidak melihat wajah sang ibu."Ibu ...!" seru Dina sembari berlari ke

  • IBU YANG KAU BUANG   Mimpi

    "Ada apa, Buk? Dari tadi Ibu tidak menyentuh makanan Ibu sama sekali," tanya Dani membuatku menoleh ke arahnya.Aku menerbitkan senyum ke arahnya. "Tidak apa-apa, Dan. Hanya saja hari ini ibu bahagia sekali. Kita bisa berkumpul semua di sini dengan keadaan yang jauh lebih baik. Melihat kalian semua berkumpul dan akur seperti ini sudah membuat ibu bahagia, rasanya makanan yang tersedia sekarang ini tidak bisa menandingi rasa bahagia di hati ibu."Netraku berkaca-kaca, tidak pernah aku bayangkan hari ini akan tiba, hari di mana kami semua berkumpul dalam suasana kekeluargaan. Ada Damar yang sudah sembuh dari luka-luka yang dideritanya dan ada juga Feni, Dina pun duduk manis di sampingku. Sementara kehadiran Dani dan Nada melengkapi kebahagiaan keluarga kami. Aku bahagia, bahkan sangat-sangat bahagia.Kami sedang makan malam di rumahku yang dulu, kini aku telah kembali tinggal bersama dengan Damar dan juga Dina. Damar memintaku kembali untuk tinggal bersamanya setelah dia keluar dari rum

  • IBU YANG KAU BUANG   Sadarkan Diri

    "Berikan ibu waktu, Din. Semua yang terjadi saat ini membuat hati ibu sangat terguncang. Ibu sudah memaafkanmu dari lama, tapi untuk menyembuhkan luka di hati ibu, itu butuh waktu, Din." Aku menatap manik hitam legam milik putriku dalam.Dina menundukkan kepalanya mendengar ucapanku, air matanya pun jatuh kembali. Bahu ringkihnya tampak berguncang bersamaan dengan lolosnya isak tangisnya lagi. Dia menangis lagi, suara isak tangisnya terdengar memilukan.Allah ... rasanya aku sudah tidak kuasa lagi melihat putriku menangis seperti itu. Aku ingin memeluknya, mendekapnya agar tangisnya mereda.Tanganku perlahan terulur meraih tubuh ringkih putriku itu ke dalam pelukanku. Aku mendekapnya, mendekap putri yang pernah menyakiti hatiku itu dengan erat. Setelah memeluknya, kini dia seperti kembali menjadi kecilku lagi, saat dulu dia menangis tersedu karena sang ayah telah meninggalkannya di usia yang masih belia.Hatiku terenyuh, rasanya aku telah menemukan kembali putri kecilku yang telah lam

  • IBU YANG KAU BUANG   Bukan Yang Diinginkan

    Tanganku gemetar menyentuh wajah Damar yang lebam, mungkin karena terbentur sesuatu saat kecelakaan. Kepala Damar juga dibungkus perban. Dari keterangan dokter, luka di kepalanyalah yang paling parah, hingga membuatnya belum juga sadarkan diri.Air mataku menetes tanpa henti melihat bungsuku terbaring dengan berbagai macam alat medis di tubuhnya. Hatiku bagai diremas melihatnya.Ibu tetaplah seorang ibu. Dia akan bersedih ketika melihat anaknya dalam keadaan yang mengenaskan. Walaupun pernah disakiti sedemikian rupa, tapi seorang ibu tidak akan tega melihat kondisi anaknya seperti itu."Ya Allah ... bukan ini yang aku inginkan. Aku tidak pernah berharap melihat anakku dalam keadaan yang memilukan seperti ini. Biar aku saja yang menderita, jangan anakku, Ya Allah." Aku tergugu, sudah tidak mampu lagi rasanya kakiku menopang bobot tubuhku melihat kondisi Damar.Duniaku rasanya telah runtuh karena kesedihan melihat keadaan putraku yang mengenaskan. Matanya terpejam rapat sejak aku masuk

  • IBU YANG KAU BUANG   Kecelakaan

    Aku menatap langit-langit kamar, sudah sedari tadi aku mengunci diri di kamar. Bahkan aku tidak keluar untuk sekedar makan siang. Nada pasti sedang khawatir di luar sana. Tapi aku juga tidak bisa menelan makanan dalam keadaan seperti ini. Ternyata hatiku tidak baik-baik saja setelah bertemu dengan Damar. Masih terbayang bagaimana penampilannya tadi saat kami bertemu."Ibu ... Ibu, buka pintunya, Buk." Suara Dani terdengar bersamaan dengan ketukan pintu.Keningku berkerut ketika mendengar suaranya, lalu aku menoleh ke arah jam yang tergantung di dinding. Waktu masih menunjukkan pukul satu siang, tapi Dani sudah pulang? Aneh sekali."Buk, tolong buka pintunya. Dani mohon, ada hal penting yang harus Ibu ketahui," ucapnya lagi.Aku pun bangkit dari pembaringan mendengar nada khawatir dari suara Dani. Aku takut terjadi sesuatu pada Nada ataupun Dani.Aku melangkah tergesa menuju pintu, setelah sampai, aku langsung membukanya tanpa menunggu. Wajah Dani muncul dari balik pintu."Ada apa, Dan

  • IBU YANG KAU BUANG   Permintaan Maaf

    "I-bu ...." Bibir putra bungsuku itu berbisik memanggil namaku ketika aku sedang berdiri berhadapan dengannya.Netraku memindai penampilan putra bungsuku itu dari dekat. Penampilannya sungguh-sungguh memprihatinkan. Wajahnya terlihat sangat tirus, lingkar hitam terlihat jelas menghiasi kedua matanya, rambutnya pun dibiarkan sedikit memanjang, di sekitar dagunya tumbuh jenggot yang tampak belum tercukur. Benar-benar sangat kontras dengan penampilannya yang dulu, yang selalu rapi. Dulu Damar selalu menjaga penampilannya.Satu minggu setelah mendengar kabar tentang putra putriku dari Dani, aku merenung. Batinku berperang dengan pikiranku sendiri. Jujur hatiku masih teramat sakit dengan perlakuan mereka dulu padaku.Aku telah patah hati pada putra bungsuku itu. Tapi mau bagaimanapun, tidak ada yang namanya mantan anak. Mereka tetaplah anak-anakku walau aku sakit hati pada mereka. Rasa sakit hatiku kalah dengan rasa sayangku pada mereka.Aku selalu melangitkan do'a agar Yang Kuasa membukak

DMCA.com Protection Status