"Kita berhenti di sini saja, Pak," ucapku pada sopir yang dipekerjakan Dani untuk mengantarku berbelanja.Sebenarnya tadi aku beralasan ingin pergi berbelanja sebentar. Setelah berbelanja, aku ingin mencari tahu kabar Damar dan juga Dina. Apalagi setelah mendengar pembicaraan Dani dan istrinya, aku jadi penasaran dengan kabar anak-anakku."Baik, Bu," sahutnya.Aku membenahi masker yang telah aku pakai. Lalu membuka kaca jendela sedikit, netraku melihat rumah yang telah aku tinggalkan beberapa bulan yang lalu. Tampak tidak ada yang berubah dari rumah itu. Semuanya nampak sama, tanaman yang selalu aku rawat pun masih terlihat sama, tidak ada yang nampak layu ataupun mati. Tampaknya mereka merawatnya.Aku rindu sekali suasana di rumah itu. Rumah yang walaupun kecil tapi menyimpan banyak kenangan tentang Mas Darman dan juga anak-anak. Di sanalah aku berjuang keluar dari keterpurukan ketika Mas Darman pergi meninggalkanku karena maut telah memisahkan kami. Dan di sanalah aku membesarkan Di
"Ibu, kenapa?" tanya Dani.Aku tersentak, lalu menatap putra sambungku itu dalam. "I-bu tidak apa-apa, Dan."Dani meletakkan sendok di tangannya, lalu mengambil air minum yang ada di depannya. Kemudian dia meneguknya hingga tinggal separuh. Setelah selesai, dia meletakkan sisa minumnya ke tempatnya kembali."Ibu jangan berbohong. Dani tahu jika Ibu sedang tidak jujur. Katakanlah, Buk. Katakan apa yang sedang Ibu pikirkan," ucap Dani."Iya, Buk. Katakan saja, siapa tahu kami bisa membantu." Kini ganti Nada yang berbicara.Aku menatap mereka berdua bergantian. Ada keraguan dalam hatiku ketika aku ingin menanyakan tentang kabar Damar dan juga Dina.Kami sedang menikmati makan malam. Tapi sedari tadi aku hanya mengaduk makanan di piringku. Aku tidak mempunyai selera makan sama sekali setelah mengetahui keadaan Dina dan juga Damar.Sungguh, walau bagaimanapun logikaku ingin mengabaikan keadaan mereka, tapi hatiku tidak bisa. Seorang ibu tetaplah seorang ibu, walau disakiti sedemikian rupa
"I-bu ...." Bibir putra bungsuku itu berbisik memanggil namaku ketika aku sedang berdiri berhadapan dengannya.Netraku memindai penampilan putra bungsuku itu dari dekat. Penampilannya sungguh-sungguh memprihatinkan. Wajahnya terlihat sangat tirus, lingkar hitam terlihat jelas menghiasi kedua matanya, rambutnya pun dibiarkan sedikit memanjang, di sekitar dagunya tumbuh jenggot yang tampak belum tercukur. Benar-benar sangat kontras dengan penampilannya yang dulu, yang selalu rapi. Dulu Damar selalu menjaga penampilannya.Satu minggu setelah mendengar kabar tentang putra putriku dari Dani, aku merenung. Batinku berperang dengan pikiranku sendiri. Jujur hatiku masih teramat sakit dengan perlakuan mereka dulu padaku.Aku telah patah hati pada putra bungsuku itu. Tapi mau bagaimanapun, tidak ada yang namanya mantan anak. Mereka tetaplah anak-anakku walau aku sakit hati pada mereka. Rasa sakit hatiku kalah dengan rasa sayangku pada mereka.Aku selalu melangitkan do'a agar Yang Kuasa membukak
Aku menatap langit-langit kamar, sudah sedari tadi aku mengunci diri di kamar. Bahkan aku tidak keluar untuk sekedar makan siang. Nada pasti sedang khawatir di luar sana. Tapi aku juga tidak bisa menelan makanan dalam keadaan seperti ini. Ternyata hatiku tidak baik-baik saja setelah bertemu dengan Damar. Masih terbayang bagaimana penampilannya tadi saat kami bertemu."Ibu ... Ibu, buka pintunya, Buk." Suara Dani terdengar bersamaan dengan ketukan pintu.Keningku berkerut ketika mendengar suaranya, lalu aku menoleh ke arah jam yang tergantung di dinding. Waktu masih menunjukkan pukul satu siang, tapi Dani sudah pulang? Aneh sekali."Buk, tolong buka pintunya. Dani mohon, ada hal penting yang harus Ibu ketahui," ucapnya lagi.Aku pun bangkit dari pembaringan mendengar nada khawatir dari suara Dani. Aku takut terjadi sesuatu pada Nada ataupun Dani.Aku melangkah tergesa menuju pintu, setelah sampai, aku langsung membukanya tanpa menunggu. Wajah Dani muncul dari balik pintu."Ada apa, Dan
Tanganku gemetar menyentuh wajah Damar yang lebam, mungkin karena terbentur sesuatu saat kecelakaan. Kepala Damar juga dibungkus perban. Dari keterangan dokter, luka di kepalanyalah yang paling parah, hingga membuatnya belum juga sadarkan diri.Air mataku menetes tanpa henti melihat bungsuku terbaring dengan berbagai macam alat medis di tubuhnya. Hatiku bagai diremas melihatnya.Ibu tetaplah seorang ibu. Dia akan bersedih ketika melihat anaknya dalam keadaan yang mengenaskan. Walaupun pernah disakiti sedemikian rupa, tapi seorang ibu tidak akan tega melihat kondisi anaknya seperti itu."Ya Allah ... bukan ini yang aku inginkan. Aku tidak pernah berharap melihat anakku dalam keadaan yang memilukan seperti ini. Biar aku saja yang menderita, jangan anakku, Ya Allah." Aku tergugu, sudah tidak mampu lagi rasanya kakiku menopang bobot tubuhku melihat kondisi Damar.Duniaku rasanya telah runtuh karena kesedihan melihat keadaan putraku yang mengenaskan. Matanya terpejam rapat sejak aku masuk
"Berikan ibu waktu, Din. Semua yang terjadi saat ini membuat hati ibu sangat terguncang. Ibu sudah memaafkanmu dari lama, tapi untuk menyembuhkan luka di hati ibu, itu butuh waktu, Din." Aku menatap manik hitam legam milik putriku dalam.Dina menundukkan kepalanya mendengar ucapanku, air matanya pun jatuh kembali. Bahu ringkihnya tampak berguncang bersamaan dengan lolosnya isak tangisnya lagi. Dia menangis lagi, suara isak tangisnya terdengar memilukan.Allah ... rasanya aku sudah tidak kuasa lagi melihat putriku menangis seperti itu. Aku ingin memeluknya, mendekapnya agar tangisnya mereda.Tanganku perlahan terulur meraih tubuh ringkih putriku itu ke dalam pelukanku. Aku mendekapnya, mendekap putri yang pernah menyakiti hatiku itu dengan erat. Setelah memeluknya, kini dia seperti kembali menjadi kecilku lagi, saat dulu dia menangis tersedu karena sang ayah telah meninggalkannya di usia yang masih belia.Hatiku terenyuh, rasanya aku telah menemukan kembali putri kecilku yang telah lam
"Ada apa, Buk? Dari tadi Ibu tidak menyentuh makanan Ibu sama sekali," tanya Dani membuatku menoleh ke arahnya.Aku menerbitkan senyum ke arahnya. "Tidak apa-apa, Dan. Hanya saja hari ini ibu bahagia sekali. Kita bisa berkumpul semua di sini dengan keadaan yang jauh lebih baik. Melihat kalian semua berkumpul dan akur seperti ini sudah membuat ibu bahagia, rasanya makanan yang tersedia sekarang ini tidak bisa menandingi rasa bahagia di hati ibu."Netraku berkaca-kaca, tidak pernah aku bayangkan hari ini akan tiba, hari di mana kami semua berkumpul dalam suasana kekeluargaan. Ada Damar yang sudah sembuh dari luka-luka yang dideritanya dan ada juga Feni, Dina pun duduk manis di sampingku. Sementara kehadiran Dani dan Nada melengkapi kebahagiaan keluarga kami. Aku bahagia, bahkan sangat-sangat bahagia.Kami sedang makan malam di rumahku yang dulu, kini aku telah kembali tinggal bersama dengan Damar dan juga Dina. Damar memintaku kembali untuk tinggal bersamanya setelah dia keluar dari rum
Pov Author Bu Ratmi melambaikan tangan pada anak-anaknya, dia baru saja pulang dari Tanah Suci. Setelah hampir satu setengah bulan dia menjalankan ibadah haji, kini dia telah kembali.Bu Ratmi berangkat ke Tanah Suci bersama dengan putra sambungnya. Dani menemani ibu sambungnya itu sebagai ganti Bu Risma, sang ibu kandung yang telah tiada dan belum mempunyai kesempatan untuk bertandang ke Tanah Suci. Sementara Nada berada di rumah, tidak bisa ikut dengannya, mengingat usia kandungannya yang sudah mendekati waktu lahiran. Tapi Nada tidak sendirian di rumah, Dina diminta Bu Ratmi untuk menemani menantunya itu. Dia takut jika terjadi sesuatu dengan Nada sementara sang suami tidak ada di rumah.Damar dan Dina menjemput ibu mereka dengan wajah yang semringah. Terlihat dari wajah mereka yang sangat antusias menyambut kedatangan sang ibu. Ada sorot kerinduan yang terpancar dari keduanya setelah hampir satu setengah bulan tidak melihat wajah sang ibu."Ibu ...!" seru Dina sembari berlari ke