191“Kenapa harus pindah, Al? Apa rumahku sudah tidak membuatmu betah?” tanya Alexander malam ini. Mereka tengah berkumpul di ruang keluarga selepas makan malam. Semua orang keberatan bila Alister pindah dari sana. Semua orang sudah jatuh hati dengan Baby Angel. Rasanya terlalu berat berpisah dengan bayi menggemaskan itu. “Iya Sayang, tetaplah di sini. Mama sudah jatuh hati dengan Angel. Mama hanya punya satu anak perempuan dan sekarang sudah dewasa. Rasanya tidak rela kalau harus berpisah dengan anak ini.” Aira menciumi Angel yang sedang mempermainkan tali di ujung lengan bajunya. Tak pernah Aira melepaskan bayi itu selama ia terjaga. Aira sangat menikmati perannya sebagai nenek. Bahkan babysitter sering kebingungan dengan pekerjaannya yang selalu diambil alih wanita itu. Semua anggota keluarga berebut ingin mengurusnya. “Papa dan Mama jangan khawatir, kami tidak hanya pergi berdua. Aku membawa babysitter, pelayan juga pengawal ke sana. Apartemen Mr. Willis cukup luas. Bisa menampu
192Alister menyerahkan tubuh Baby Angel yang sudah lemah karena mengantuk, ke tangan Babysitter. Ia sendiri kemudian berlalu ke arah kamarnya yang tidak begitu jauh dari kamar sang anak. Sebuah helaan napas kasar keluar dari mulutnya. Lelah jiwa raga. Itulah yang dirasakan Alister saat ini. Kehilangan istri tercinta, sudah cukup menguras energi dan fokusnya. Kini sikap sang ayah yang tidak sejalan dengan keinginannya. Alister membuka kemeja, melempar ke atas sofa di sudut ruang, lalu mendudukkan dirinya di tepi tempat tidur dengan lemah. Matanya memejam, kepalanya menunduk, kedua tangan menutup wajah setelah mengusap berkali-kali. Lelaki yang hanya memakai kaus singlet itu baru saja akan menjatuhkan punggungnya di kasur, saat sebuah ketukan di pintu kamar membuatnya menoleh. “Siapa?” tanyanya malas. “Ini Mama, Sayang.” Suara Aira terdengar di balik pintu. “Masuk saja, Ma.” Lelaki itu hanya menoleh tanpa beranjak. Pintu terbuka disusul tubuh wanita cinta pertama dalam hidupnya m
193Alister menatap nanar sang ibu sekian lama. Tak ada kata yang sanggup ia ucapkan. Penjelasan Aira sungguh antara mempercayainya atau tidak. Benarkah Alexander seperti yang dikatakan Aira? Bila melihat garis wajahnya, tak ada tanda-tanda wanita itu tengah berbohong. Lagi pun Aira tidak pernah membohonginya. Alister mengerjap setelah sekian lama menatap sang ibu susu. Mengalihkan pandangan agar Aira tak melihat ada setitik embun jatuh dari sudut matanya. Sungguh kalau pun semua yang dikatakan Aira adalah kebenaran, itu tidak akan merubah apa pun. Ia tetap pada keputusannya. “Terima kasih, Ma. Terima kasih atas informasinya. Sampaikan juga terima kasihku untuk papa. Tapi aku tetap akan pindah dari sini.”“Tapi kenapa, Al?” Aira menatap heran. “Angel sudah kehilangan kasih sayang ibunya. Biarlah dia tidak merasa kehilangan lebih banyak. Di sini ada banyak orang yang melimpahinya dengan kasih sayang. Ada banyak yang bisa membantu mengurusnya. Mama, Sandra, Kirana....”“Itulah masal
193“Ternyata sesakit ini ditolak mentah-mentah.” Kirana menatap bintang-bintang yang hanya berupa titik berkelip di kejauhan sana. Angin dingin yang berembus lumayan kencang, tak membuatnya ingin beranjak dari balkon malam ini. Padahal Raka sudah berulang kali memperingatkan untuk masuk. “Jangankan menerima tawaranku, bahkan melirik saja sepertinya enggan.” Kirana masih bicara dengan tatapan tertuju langit malam. Raka yang bersandar di pagar pembatas balkon, berjalan perlahan menghampiri sang istri yang duduk di kursi malas. “Sudahlah, sejak tadi kau terus saja bicara itu. Apa kau tidak bosan? Sudah malam Kiran, sebaiknya kita tidur.” Raka menyentuh pundak sang istri dengan lembut. “Apa kesalahanku terlalu besar untuk dimaafkan, Kak? Hingga Kak Alister masih sakit hati karena penolakanku?” Kirana menatap suaminya dengan sayu. Rasa kecewa dan bersalah bersatu. Raka menghela napas kasar sebelum membuang pandangan dan berucap kembali. “Sudahlah Kiran, kenapa kau terus seperti ini?
194Suasana tegang tercipta seketika. Wajah babysitter memucat. Sementara Aira bahkan sampai menahan napas saat Alister menghampiri Kirana dengan langkah-langkah kasarnya. “Hi, my angel, i miss you so much.” Alister menciumi wajah Baby Angel yang merindukannya. Aira memejam dengan kuat sebagai ekspresi lega, karena ternyata ketakutannya tidak terbukti. Awalnya ia takut kalau Alister akan marah dan berkata kasar. Namun, lagi-lagi ia kagum dengan pribadi anak susunya sekarang. Alister bisa mengendalikan diri. Aira tahu lelaki itu sangat marah, tetapi sepertinya tidak ingin ditampakkan di depan sang anak. Alister hanya mengambil tubuh Baby Angel dalam pangkuan Kirana lalu menciumi dan membawanya masuk tanpa berkata apa pun, kepada siapa pun. Ia bahkan bertingkah seolah tidak melihat siapa pun di sana. Termasuk ... Aira sang ibu susu. Aira menatap nanar punggung Alister yang semakin menjauh, dan akhirnya menghilang di balik pintu. Baginya, tidak dipandang sama sekali seperti itu, tern
Keheningan menyelimuti. Dua lelaki dengan garis wajah serupa duduk di sofa yang terpisah. Mengambil jarak yang jauh. Tepatnya Alister yang mengambil tempat duduk terjauh dengan ayahnya yang duduk lebih duluTak ada yang bicara setelah beberapa menit berlalu. Hanya tatapan penuh kerinduan Alexander yang dibalas tatapan datar Alister. Hingga yang muda selaku tuan rumah memutuskan membuka percakapan. “Ada apa Papa mencariku?” tanya Alister masih dengan wajah datarnya. Alexander menghela napas, sebelum berkedip dan memejam sebentar. “Apa butuh alasan untuk seorang ayah mengunjungi anaknya sendiri?”Alister terhenyak sebelum tersenyum tipis. “Bukankah Papa tidak suka aku pindah ke sini?”“Ya, sebagai seorang ayah, Papa mau kamu tetap bersama kami!” Alexander sengaja menggantung kalimat. Tetap ditatapnya wajah sang anak yang datar tanpa ekspresi. “Tapi sepertinya Mamamu benar. Kau sudah dewasa. Sudah bisa bertanggung jawab atas hidupmu dan keluargamu. Papa tak pantas lagi ikut campur d
197“Istrimu tidak makan?” Alexander bertanya saat keluarga itu tengah makan malam. Semua anggota keluarga berkumpul, kecuali Kirana. Raka menoleh sebentar sebelum menggeleng lemah. “Apa Kirana sakit?” Kini Aira yang bertanya. Sejak siang ia memang tidak melihat Kirana di mana pun. Raka diam tidak menjawab. Dia sendiri bingung dengan sikap istrinya. Sejak kemarin terus saja murung. Bahkan makan pun harus dipaksa dan dibawa ke kamar. Ini kedua kalinya Kirana absen makan bersama, setelah pagi tadi juga tidak ikut sarapan bersama. “Kalau sakit, bawa ke dokter, Kak. Jangan diabaikan!” lanjut Aira lagi seraya menuang sayur ke atas piringnya. “Sebenarnya tidak sakit, Ma. Hanya saja....”“Hanya apa?” Aira menatap heran sang anak yang sengaja menggantung kalimat. “Dia ingin bertemu Baby Angel. Sejak kemarin selalu saja itu yang dibicarakan.”Aira dan Alexander saling pandang sebelum keduanya menarik napas panjang. “Seharusnya Kirana bisa lebih menerima takdir. Ya, semua orang pasti keh
198“Ada apa menemuiku malam-malam, Kak?” tanya Alister. Mereka tengah duduk di bangku taman kecil tak jauh dari lokasi apartemen tempat tinggal Alister. Tadi sore Raka menghubunginya, meminta bertemu malam ini. Alister sebenarnya tahu apa yang ingin dibicarakan Raka. Apalagi kalau bukan Kirana. Namun, Alister bersikap seolah tidak tahu apa-apa. Raka menghela napas kasar sebelum menyampaikan sesuatu yang sebenarnya ia malu mengatakannya. Hanya saja ia tetap harus bicara. Demi kewarasan sang istri. “Aku yakin kamu sudah tahu apa tujuanku menemuimu, Al. Apalagi malam-malam begini. Aku mengkhawatirkan kondisi istriku.”Alister mengangkat sebelah alis sebelum bicara. “Apa hubungannya denganku?”Raka menatap Alister sesaat, sebelum kembali mengembus napas kasar. “Tolonglah, Al. Tidak bisakah kamu memberi sedikit kesempatan saja untuk Kirana menemui Baby Angel setiap harinya? Saat ini Kirana benar-benar terpuruk. Ia tidak mau makan, tidak bisa tidur karena merindukan bayimu.”Alister me
Extra partKepanikannya semakin menjadi saat nomor Aira tak kunjung diangkat. Sementara Anyelir menjerit-jerit merasakan rasa mulas di perutnya yang seolah diperas.Wanita paruh baya asisten rumah tangga mereka yang melihat kepanikan itu gegas menyuruh Aldo membawa Anyelir ke rumah sakit. Sebagai wanita yang sudah berpengalaman melahirkan, ia tahu jika Anyelir akan segera melahirkan.Tanpa pikir panjang, Aldo mengangkat tubuh Anyelir yang beratnya sudah mencapai dua kali lipat dari berat normalnya karena kehamilan ini. Terlebih ada dua bayi kembar dalam perutnya. Untunglah rumah mereka kini bukan apartemen bertingkat. Hingga ia dengan mudah mengevakuasi sang istri.Berdua saja, Aldo membawa Anyelir ke rumah sakit yang sudah mereka tunjuk untuk tempat bersalin. Sang asisten ia minta untuk terus menghubungi kelurganya, dan menyusul ke rumah sakit setelah urusan di rumah selesai.Selama perjalanan, Anyelir terus mencengkeram lengan Aldo karena merasakan mulas tak terkira. Belum lagi sese
Extra part“Kenapa, sayang?” Aldo yang baru memasuki rumah, menatap sang istri yang bibirnya maju.Anyelir tidak menjawab. Ia meraih tangan sang suami dan menciumnya takzim. Walaupun usia Aldo lebih muda, tetapi posisinya tetap kepala keluarga. Anyelir tetap menghormati dan memperlakukan bagaimana seharusnya memperlakukan suami.Aldo menarik tubuh sang istri tetapi dengan hati-hati agar tak mengganggu perut besarnya. Sebuah kecupan mendarat di kening berpoles bedak tipis. Kemudian beralih kedua pipi dan terakhir menghisap bibir majunya dengan gemas hingga si empunya bibir meronta minta dilepaskan.“Kau membuatku sesak napas.” Anyelir mendorong dada Aldo. “Ciuman macam apa itu?” lanjutnya dengan bibir semakin maju, ditambah tangan yang dilipat di dada.“Itu ciuman penawar marah. Juga penawar rasa lelah di kantor.”Anyelir menoleh. Ia tahu Aldo lelah bekerja seharian di kantor tetapi pulang langsung disuguhi sikap manja dan sensitifnya yang semakin menjadi sejak hamil. Namun, ia tak dap
528 “Tetaplah di sisiku sampai salah satu di antara kita menutup mata. Aku bahkan ingin kebersamaan ini berlanjut hingga kehidupan kekal kita kelak. Jangan pernah tinggalkan aku. Terus dampingi dan bantu aku dalam memperbaiki diri agar menjadi suami yang bisa membimbingmu dan anak-anak kita menjalani kehidupan ini dalam koridor yang lurus. Aku ingin menjadi imam dambaanmu, sayang.” Anyelir mendongak. Hatinya trenyuh. Sejak kejadian itu, Aldo memang banyak berubah. Ia membuktikan dirinya layak mendapatkan maaf dan kesempatan kedua. Anyelir sendiri membuktikan memaafkan dengan tidak pernah membahas masalah yang sama. Jika Aldo mulai mellow, meminta maaf dan terindikasi membahas hal sama, Anyelir sendiri yang mengingatkan dan mengajak melupakan semuanya dengan menatap ke depan. Ia sadar dirinya pun bukan manusia tanpa dosa. Ia bahkan bersikap kekanakan dalam menghadapi masalah ini. Saling memaafkan, saling sadar dan terus berbenah diri, itu yang mereka lakukan saat ini. Terlebih sebent
527Semua orang terdiam mendengar ucapan Sandra. Semua orang tahu jika Gita dirawat di RSJ karena saat ditahan sering mengamuk dan beberapa kali mencoba bunuh diri lagi, bahkan bayi dalam kandungannya sampai gugur karena perilakunya sendiri. Gita akhirnya dirawat di RSJ.Keluarga Aldo menganggap semua telah selesai, karena akhirnya Gita dinyatakan bersalah. Semua bukti dan saksi menunjukkan jika Aldo tidak bersalah. Andika dan istrinya kembali ke Kalimantan. Gita tidak menuntut apa pun kepada Andika, mungkin karena melihat kondisi laki-laki itu yang mengenaskan.Justru perseteruan dengan Aldo yang ia pertahankan walaupun pada akhirnya Gita harus merasakan kehidupan di balik jeruji besi dalam kondisi hamil.Publik juga sudah mulai melupakan kasus ini, hingga Aldo dan keluarga bebas bergerak tanpa banyak yang memperhatikan.Semua sudah berjalan normal dan baik-baik saja. Aldo dan Anyelir menjalani pernikahan dengan bahagia. Terlebih mereka akan memiliki anak. Hubungan mereka bahkan sema
526 “Aku mau poliandri, apa kau setuju?” Anyelir menatap serius. Hening. Binar penuh harap di mata Aldo seketika pudar dan meredup. Senyum yang tadi sempat tersungging, raib dalam waktu singkat. Dada pemuda itu mendadak sesak. Diteguknya ludah dengan susah payah karena kerongkongan yang mendadak kemarau. Napasnya tersengal seolah telah berlari puluhan kilo meter. Bibirnya bergetar. “Mana ada seperti itu, sayang?” tanyanya dengan senyum miris. Anyelir tersenyum. “Ada, ini bukan sungguhan. Jadi, aku hanya pura-pura saja.” “Maksudnya?” Mata Aldo memicing. Anyelir menarik napas panjang. “Begini, orang tua Haris menuntutnya untuk segera menikah. Sementara ia belum menemukan wanita yang cocok. Tapi ia menolak jika harus dijodohkan dengan gadis pilihan orang tuanya. Jadi, ia memintaku untuk berpura-pura menjadi….” “Tidak!” Dengan napas yang semakin tersengal dan dada makin sesak, Aldo memotong ucapan Anyelir. “Apa kau sudah gila, sayang?” “Kenapa?” Anyelir memiringkan kepala. Tawan
525“Makanya jangan petakilan. Sudah mau jadi ayah kelakukan masih bocah.” Anyelir berkata ketus seraya melipat tangan di dada. Sementara Aldo terus meringis merasakan sakit di pinggangnya. Terpaksa harus dipijat lagi. Harus menahan lagi sakit yang lebih dari sebelumnya. Namun, di balik itu semua hatinya bahagia tiada tara. Sang istri sudah kembali seperti dulu. Hanya ketus karena kesal. Baginya tak apa diberi wajah ketus seperti itu, daripada harus mendapati wajah dingin yang membuatnya putus asa.Kini, bahkan Anyelir tengah menyuapinya. Ia yang untuk sementara hanya bisa tengkurap dengan kepala hanya bisa mendongak, kesulitan untuk sekadar menyuap. Praktis makan pun harus disuapi. Anyelir geleng-geleng kepala. Ini piring ketiga yang Aldo tandaskan. Pemuda itu seperti kelaparan. Memakan apa pun yang Anyelir suapkan dengan sangat rakus. Bahkan saat piring ketiga tandas pun, lelaki itu masih meminta tambah.“Berapa hari kau tidak makan?” tanya Anyelir heran saat menyuapi dari piring k
524“Sakit ….” Aldo merengek manja dengan wajah menengadah. Tangannya memeluk erat pinggang Anyelir yang pangkuannya ia jadikan bantal.Wajah lelaki itu terlihat berkeringat. Ringisan masih sesekali menghiasi wajahnya. Pemuda itu baru saja berteriak-teriak merasakan sakit akibat pijatan bapak tua penjaga villa.Akibat terlalu bersemangat dan terlampau bahagia karena melihat wanita yang dirindukannya selama ini ada di depan mata, ia berlari hingga tak memperhatikan apa pun lagi. Tangannya menyenggol keranjang buah di atas meja, hingga isinya jatuh ke lantai dan terinjak. Aldo terpeleset karena menginjak buah apel yang jatuh menggelinding, hingga tak terelakkan tubuhnya melayang jatuh. Namun, sebelumnya pinggangnya terbentur tepian meja hingga sakitnya menjadi berlipat-lipat.Beruntunglah bapak penjaga villa bisa memijat urat keseleo. Hingga ia langsung mendapat penanganan.Anyelir yang tengah memasak dibantu istri penjaga villa, kaget karena suara benturan keras. Wanita itu langsung me
524Aldo mengeratkan pelukan demi mendengar nasihat Aira. Kalau boleh memilih, ia ingin pernikahannya lanjut. Tak ingin tercerai berai karena anak yang akan menjadi korban. Kalau boleh ia ingin bertemu Anyelir dulu agar bisa bicara dari hati ke hati. Sayangnya, bahkan di mana keberadaan wanita itu, ia tidak tahu. “Jika Tuhan masih memberimu kesempatan, ingat gunakan sebaik-baiknya. Namun, jika semuanya hanya sampai di sini karena manusia hanya punya keinginan dan usaha, kau tetap harus bisa mengambil hikmahnya, Nak. Mungkin ini takdir kalian. Takdirmu. Jangan menyalahkan Tuhan. Apa yang terjadi sudah digariskan. Jika kalian harus bercerai, itu pasti takdir karena kau sudah berusaha memperbaiki semuanya. Yakin akan ada pelangi setelah hujan, Nak. Jika Tuhan memberi ujian ini, pasti disertai jalan keluar dan hikmah di baliknya.”Aldo hanya diam meresapi setiap kalimat sang ibu. Sungguh, ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan Anyelir. Namun, jika wanita itu tetap memaksa, ia bisa
523“Anye, kamu di mana?” Aldo duduk lesu di lobi hotel. Kepalanya menunduk dalam. Tangannya meremas rambut dengan kuat. Berkali-kali mengembus napas kasar. Beban di dadanya terasa ingin meledak. Setelah menunggu berminggu-minggu dengan setumpuk rindu dan penyesalan, kini hanya mendapati Anyelir yang sudah tidak berada di tempat.Aldo menyandar lemah seraya merogoh ponsel dalam saku. Mencoba keberuntungan. Menghubungi lagi Anyelir. Namun hingga berkali-kali dilakukannya, tetap hanya dijawab operator.Pemuda itu memejam sebelum bangkit dan berjalan keluar. Para pengawal berwajah datar sigap mengiringi.“Putari kota ini, Pak. Siapa tahu aku melihat keberadaan istriku,” titahnya kepada sopir setelah duduk di dalam mobil. Sang sopir hanya mengangguk sebelum menjalankan mobil dengan kecepatan sedang. Mengitari kota Surabaya seperti perintah sang majikan.Hampir seharian Aldo dan rombongan berputar-putar di sana. Semua jalan disusuri bahkan hingga jalan-jalan kecil hanya agar mendapat keber