26"Kenalkan dokter, saya ayah dari anak Raka Faisal. Saya ingin memindahkan Raka ke rumah sakit yang lebih lengkap. Apa bisa, Dok?" tanya lelaki itu dengan sangat mantap dan meyakinkan. Dokter senior yang juga kepala klinik di sana memicingkan mata. Mengamati lelaki yang duduk di depannya. Lelaki yang tak lain Alexander. "Kenapa mau dipindahkan, Pak? Apa pelayanan kami kurang memuaskan? Dari diagnosa saya, anak Raka hanya demam biasa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tidak harus pula melakukan pemeriksaan lanjutan. Demamnya juga sudah turun per pagi ini. Bahkan besok pagi kalau tidak demam lagi, sudah boleh pulang. Saya tidak bisa merujuk karena tidak perlu juga dirujuk ke rumah sakit besar." Dokter senior menatap Alexander dengan seksama. Rasanya janggal orang tua pasien meminta anaknya dipindah ke rumah sakit besar. Padahal tidak ada hal serius. Dokter itu membuka rekam medis Raka. Di mana di sana hanya tertera nama Aira Andriani sebagai penanggung jawab anak itu dalam biodat
27"Sayang, sudahlah! Jangan menghalangi perawat yang sedang bekerja. Kita pindahkan saja Raka ke rumah sakit besar. Alister juga dirawat di sana. Biar kita sekalian merawat anak-anak kita bersama. Di sana juga ada babysitter yang akan membantu, kamu tidak akan terlalu capek." Alexander mulai dengan aktingnya. Suaranya terdengar sangat lembut dan memelas. Sungguh meyakinkan. Bahkan agar semakin meyakinkan, lelaki itu ingin merengkuh pundak Aira yang matanya melotot dan spontan menepis tangan lelaki itu. Seperti yang sudah Alexander kira, wanita itu tentu sangat marah. Apalagi saat ia ingin menyentuhnya. Untunglah sudah berhasil meyakinkan dokter senior. Hingga tampak sekali kalau Aira benar-benar istri yang sedang marah pada suaminya. Wanita itu menggeser tempat agar tak terlalu dekat dengan Alexander. Dokter senior tersenyum melihat tingkah Aira. Begitulah wanita bila sedang merajuk. Bahkan suka pura-pura tak ingin disentuh. "Ibu, nanti urusan dalam negerinya diselesaikan di ruma
28"Kenapa tidak membunuh kami sekalian, Tuan besar?" tanya Aira dingin begitu sudah berada dalam mobil. Wanita itu dengan terpaksa mengikuti kemauan Alexander masuk ke dalam mobilnya pasca sandiwara lelaki itu berhasil meyakinkan dokter dan semua orang, hingga Aira merasa terpojok. Rasa dongkol begitu meraja, tetapi ia tak mungkin berteriak. Raka yang terbangun paksa karena merasa tubuhnya terguncang, terus memperhatikan seluruh sudut mobil dan orang-orang di dalamnya. Untunglah bayi itu tidak menangis, hanya terus saja memperhatikan ke seluruh sudut, dalam dekapan Aira. "Tidak sekarang! Nanti ada masanya. Sekarang aku masih membutuhkan air susumu untuk kelangsungan hidup anakku," jawab Alexander ringan. Nada suaranya kemblai dingin, tidak selembut saat bersandiwara tadi. "Anda pikir aku masih mau menyusui anak Anda setelah semua yang Anda lakukan pada kami?" tanya Aira lagi dengan suara penuh tekanan, tetapi berusaha tidak bersuara keras, agar Raka tidak kaget. Wajah Alexander
29Aira bersyukur anaknya bisa sekuat itu. Wanita itu tersenyum dan ingin menghampiri ranjang Raka, saat dari sudut lain terdengar rengekan lemah. Aira spontan menoleh, dan pemandangan mengenaskan langsung tertangkap matanya. Alister terbaring lemah dengan selang infus terhubung ke salah satu kakinya. Suara bayi itu sangat lemah, wajahnya pucat, sorot matanya layu, kedua tangannya yang lemah terangkat meminta Aira datang padanya. Sungguh, hati Aira tersayat karenanya. Bagaimanapun, Alister sudah seperti anaknya sendiri. Dalam tubuh bayi itu sudah mengalir darahnya. Ia sangat menyayangi anak susunya. Namun, mengingat perlakuan Alexander yang begitu tega kepada Raka. Aira gegas membuang pandangan dari Alister, hanya agar tak terlihat matanya berkaca-kaca. Wanita itu segera berjalan menuju ranjang Raka yang letaknya di pojok berseberangan dengan ranjang Alister. Ia mencoba tidak peduli dengan Alister walaupun hatinya menjerit sakit melihat keadaan bayi itu. Kalau Alexander saja bisa se
30Alister seperti menemukan dunianya kembali. Bayi itu itu terus saja menempel dengan Aira. Seolah takut kalau ibu susunya akan pergi lagi. Seperti sebuah pembalasan juga, ia terus menyusu dengan rakus. Bahkan lagi-lagi, Aira harus menyusui dua bayi sekaligus bila Raka juga lapar. Hanya saja, karena Raka sudah dibantu MPASI, jadi menyusunnya tidak serakus Alister. Terlebih Raka mau dibantu dengan susu botol. Raka juga seperti bahagia kembali bertemu pengasuhnya yang sudah seperti ibu kedua baginya. Karena kenyataannya, bayi tujuh bulan itu lebih banyak diasuh Dita daripada Aira sendiri. Sebersit penyesalan hadir di hati Aira. Ia sudah melukai hati kedua bayi saat memutuskan pergi kemarin. Raka yang terpisah dari Dita. Dan terutama Alister yang sangat kehilangan dirinya. Namun, bukan tanpa alasan kalau Aira pergi, bukan? Kearoganan Alexander yang membuatnya menjadi ibu berhati tega. Kini, di hadapan dua bayi dan dua pengasuhnya, Alexander sudah merendahkan dirinya. Bersimpuh memoh
31"Aira, dipanggil Pak Boss ke ruangannya." Hasna yang masuk ke ruang bermain langsung membawa kabar yang membuat kening Aira berkerut dalam. Dipanggil Pak Boss? Ke ruangannya? Ah, itu artinya mereka akan berada di satu ruangan, dan tidak mungkin Aira terus membisu di sana. "Ada apa, ya, Bu?" tanya Aira heran. Hasna hanya mengangkat bahu. "Akun tidak tahu, Pak Boss hanya memberi perintah agar kau segera ke sana," jawab Hasna seraya ingin berlalu. Namun, segera berbalik saat menyadari Aira masih diam di tempatnya. "Apa yang kau tunggu? Jangan tunggu dia marah!" Hasna mengangkat kedua alisnya. Aira mengembus napas kasar sebelum menyerahkan Baby Al yang tengah duduk bersandar ke tubuhnya, ke pangkuan Nina. Aira memang sudah mengajarkan Alister untuk duduk. "Oh, ya. Baby Al bawa saja ke sana," lanjut Hasna sebelum meninggalkan ruang khusus bermain. Aira, Nina, dan Dita saling pandang. Sebelum kedua babysitter itu tersenyum geli melihat wajah Aira yang tegang. "Sudah cepetan, nant
32Aira masih berdiri di tempatnya. Menatap heran lelaki yang seenak jidatnya menambahkan poin yang menurut Aira … ah, entahlah. Kedengarannya lucu, tetapi Aira tidak ingin tertawa. "Silakan tandatangani lagi kontrak kerja ini!" Alexander meletakkan kembali kertas yang ia baca ke atas meja kemudian sebuah bolpoin diletakkan juga di atas kertas itu. Setelah sekian lama mematung, Aira menggeleng keras. Ia tentu keberatan dengan dua poin baru yang ditambahkan Alexander tanpa membicarakan dulu dengannya. "Maaf, Tuan. Tapi saya tidak bisa menyetujui dua poin tambahan itu!" ujar Aira tegas. Membuat kening Alexander berkerut. "Kenapa?""Karena dua poin itu terlalu mengada-ada. Tidak masuk akal. Tidak seharusnya hal seperti itu dimasukkan kontrak!" Aira mulai lagi mendebat Alexander. Ia lupa kalau sedang menjalankan aksi tutup mulut. Alexander tersenyum senang. Senyum yang akhir-akhir ini sering sekali terlihat di wajahnya. Tidak seperti saat awal-awal Aira bekerja di sini. Alexander te
33"Apa kamu siap menghadapi kemarahan Tuan Alex?" Hasna bertanya balik saat melihat Aira seolah menantang. "Mendingan kamu turutin saja, toh hanya mengantar minuman. Alister juga baru tidur, kan? Ada Nina juga yang jaga." Hasna mengalihkan pandangan ke arah pintu, saat Nina masuk membawa baju-baju Alister yang sudah digosok rapi. Aira berpikir beberapa lama. Terlihat dari alis matanya yang beradu. Kemudian wanita itu menarik napas panjang sebelum akhirnya mengangguk. "Baiklah, Bu. Aku akan antar, sekalian mau nanyain kenapa harus aku. Tapi aku tidak tahu di mana ruang olahraga," ucap Aira akhirnya. "Ayo, aku tunjukkan," jawab Hasna datar seraya berjalan lebih dulu. Akhirnya, walau dengan hati dongkol, Aira mengantar minuman yang entah terbuat dari apa. Yang Aira tahu wangi lemon menguar dari gelas besar yang ia bawa, disertai biji-biji selasih mengambang di permukaan airnya. Ditemani Hasna, Aira menyusuri lorong di lantai bawah di mana dulu ia tersesat saat ingin kabur dari sana
Extra partKepanikannya semakin menjadi saat nomor Aira tak kunjung diangkat. Sementara Anyelir menjerit-jerit merasakan rasa mulas di perutnya yang seolah diperas.Wanita paruh baya asisten rumah tangga mereka yang melihat kepanikan itu gegas menyuruh Aldo membawa Anyelir ke rumah sakit. Sebagai wanita yang sudah berpengalaman melahirkan, ia tahu jika Anyelir akan segera melahirkan.Tanpa pikir panjang, Aldo mengangkat tubuh Anyelir yang beratnya sudah mencapai dua kali lipat dari berat normalnya karena kehamilan ini. Terlebih ada dua bayi kembar dalam perutnya. Untunglah rumah mereka kini bukan apartemen bertingkat. Hingga ia dengan mudah mengevakuasi sang istri.Berdua saja, Aldo membawa Anyelir ke rumah sakit yang sudah mereka tunjuk untuk tempat bersalin. Sang asisten ia minta untuk terus menghubungi kelurganya, dan menyusul ke rumah sakit setelah urusan di rumah selesai.Selama perjalanan, Anyelir terus mencengkeram lengan Aldo karena merasakan mulas tak terkira. Belum lagi sese
Extra part“Kenapa, sayang?” Aldo yang baru memasuki rumah, menatap sang istri yang bibirnya maju.Anyelir tidak menjawab. Ia meraih tangan sang suami dan menciumnya takzim. Walaupun usia Aldo lebih muda, tetapi posisinya tetap kepala keluarga. Anyelir tetap menghormati dan memperlakukan bagaimana seharusnya memperlakukan suami.Aldo menarik tubuh sang istri tetapi dengan hati-hati agar tak mengganggu perut besarnya. Sebuah kecupan mendarat di kening berpoles bedak tipis. Kemudian beralih kedua pipi dan terakhir menghisap bibir majunya dengan gemas hingga si empunya bibir meronta minta dilepaskan.“Kau membuatku sesak napas.” Anyelir mendorong dada Aldo. “Ciuman macam apa itu?” lanjutnya dengan bibir semakin maju, ditambah tangan yang dilipat di dada.“Itu ciuman penawar marah. Juga penawar rasa lelah di kantor.”Anyelir menoleh. Ia tahu Aldo lelah bekerja seharian di kantor tetapi pulang langsung disuguhi sikap manja dan sensitifnya yang semakin menjadi sejak hamil. Namun, ia tak dap
528 “Tetaplah di sisiku sampai salah satu di antara kita menutup mata. Aku bahkan ingin kebersamaan ini berlanjut hingga kehidupan kekal kita kelak. Jangan pernah tinggalkan aku. Terus dampingi dan bantu aku dalam memperbaiki diri agar menjadi suami yang bisa membimbingmu dan anak-anak kita menjalani kehidupan ini dalam koridor yang lurus. Aku ingin menjadi imam dambaanmu, sayang.” Anyelir mendongak. Hatinya trenyuh. Sejak kejadian itu, Aldo memang banyak berubah. Ia membuktikan dirinya layak mendapatkan maaf dan kesempatan kedua. Anyelir sendiri membuktikan memaafkan dengan tidak pernah membahas masalah yang sama. Jika Aldo mulai mellow, meminta maaf dan terindikasi membahas hal sama, Anyelir sendiri yang mengingatkan dan mengajak melupakan semuanya dengan menatap ke depan. Ia sadar dirinya pun bukan manusia tanpa dosa. Ia bahkan bersikap kekanakan dalam menghadapi masalah ini. Saling memaafkan, saling sadar dan terus berbenah diri, itu yang mereka lakukan saat ini. Terlebih sebent
527Semua orang terdiam mendengar ucapan Sandra. Semua orang tahu jika Gita dirawat di RSJ karena saat ditahan sering mengamuk dan beberapa kali mencoba bunuh diri lagi, bahkan bayi dalam kandungannya sampai gugur karena perilakunya sendiri. Gita akhirnya dirawat di RSJ.Keluarga Aldo menganggap semua telah selesai, karena akhirnya Gita dinyatakan bersalah. Semua bukti dan saksi menunjukkan jika Aldo tidak bersalah. Andika dan istrinya kembali ke Kalimantan. Gita tidak menuntut apa pun kepada Andika, mungkin karena melihat kondisi laki-laki itu yang mengenaskan.Justru perseteruan dengan Aldo yang ia pertahankan walaupun pada akhirnya Gita harus merasakan kehidupan di balik jeruji besi dalam kondisi hamil.Publik juga sudah mulai melupakan kasus ini, hingga Aldo dan keluarga bebas bergerak tanpa banyak yang memperhatikan.Semua sudah berjalan normal dan baik-baik saja. Aldo dan Anyelir menjalani pernikahan dengan bahagia. Terlebih mereka akan memiliki anak. Hubungan mereka bahkan sema
526 “Aku mau poliandri, apa kau setuju?” Anyelir menatap serius. Hening. Binar penuh harap di mata Aldo seketika pudar dan meredup. Senyum yang tadi sempat tersungging, raib dalam waktu singkat. Dada pemuda itu mendadak sesak. Diteguknya ludah dengan susah payah karena kerongkongan yang mendadak kemarau. Napasnya tersengal seolah telah berlari puluhan kilo meter. Bibirnya bergetar. “Mana ada seperti itu, sayang?” tanyanya dengan senyum miris. Anyelir tersenyum. “Ada, ini bukan sungguhan. Jadi, aku hanya pura-pura saja.” “Maksudnya?” Mata Aldo memicing. Anyelir menarik napas panjang. “Begini, orang tua Haris menuntutnya untuk segera menikah. Sementara ia belum menemukan wanita yang cocok. Tapi ia menolak jika harus dijodohkan dengan gadis pilihan orang tuanya. Jadi, ia memintaku untuk berpura-pura menjadi….” “Tidak!” Dengan napas yang semakin tersengal dan dada makin sesak, Aldo memotong ucapan Anyelir. “Apa kau sudah gila, sayang?” “Kenapa?” Anyelir memiringkan kepala. Tawan
525“Makanya jangan petakilan. Sudah mau jadi ayah kelakukan masih bocah.” Anyelir berkata ketus seraya melipat tangan di dada. Sementara Aldo terus meringis merasakan sakit di pinggangnya. Terpaksa harus dipijat lagi. Harus menahan lagi sakit yang lebih dari sebelumnya. Namun, di balik itu semua hatinya bahagia tiada tara. Sang istri sudah kembali seperti dulu. Hanya ketus karena kesal. Baginya tak apa diberi wajah ketus seperti itu, daripada harus mendapati wajah dingin yang membuatnya putus asa.Kini, bahkan Anyelir tengah menyuapinya. Ia yang untuk sementara hanya bisa tengkurap dengan kepala hanya bisa mendongak, kesulitan untuk sekadar menyuap. Praktis makan pun harus disuapi. Anyelir geleng-geleng kepala. Ini piring ketiga yang Aldo tandaskan. Pemuda itu seperti kelaparan. Memakan apa pun yang Anyelir suapkan dengan sangat rakus. Bahkan saat piring ketiga tandas pun, lelaki itu masih meminta tambah.“Berapa hari kau tidak makan?” tanya Anyelir heran saat menyuapi dari piring k
524“Sakit ….” Aldo merengek manja dengan wajah menengadah. Tangannya memeluk erat pinggang Anyelir yang pangkuannya ia jadikan bantal.Wajah lelaki itu terlihat berkeringat. Ringisan masih sesekali menghiasi wajahnya. Pemuda itu baru saja berteriak-teriak merasakan sakit akibat pijatan bapak tua penjaga villa.Akibat terlalu bersemangat dan terlampau bahagia karena melihat wanita yang dirindukannya selama ini ada di depan mata, ia berlari hingga tak memperhatikan apa pun lagi. Tangannya menyenggol keranjang buah di atas meja, hingga isinya jatuh ke lantai dan terinjak. Aldo terpeleset karena menginjak buah apel yang jatuh menggelinding, hingga tak terelakkan tubuhnya melayang jatuh. Namun, sebelumnya pinggangnya terbentur tepian meja hingga sakitnya menjadi berlipat-lipat.Beruntunglah bapak penjaga villa bisa memijat urat keseleo. Hingga ia langsung mendapat penanganan.Anyelir yang tengah memasak dibantu istri penjaga villa, kaget karena suara benturan keras. Wanita itu langsung me
524Aldo mengeratkan pelukan demi mendengar nasihat Aira. Kalau boleh memilih, ia ingin pernikahannya lanjut. Tak ingin tercerai berai karena anak yang akan menjadi korban. Kalau boleh ia ingin bertemu Anyelir dulu agar bisa bicara dari hati ke hati. Sayangnya, bahkan di mana keberadaan wanita itu, ia tidak tahu. “Jika Tuhan masih memberimu kesempatan, ingat gunakan sebaik-baiknya. Namun, jika semuanya hanya sampai di sini karena manusia hanya punya keinginan dan usaha, kau tetap harus bisa mengambil hikmahnya, Nak. Mungkin ini takdir kalian. Takdirmu. Jangan menyalahkan Tuhan. Apa yang terjadi sudah digariskan. Jika kalian harus bercerai, itu pasti takdir karena kau sudah berusaha memperbaiki semuanya. Yakin akan ada pelangi setelah hujan, Nak. Jika Tuhan memberi ujian ini, pasti disertai jalan keluar dan hikmah di baliknya.”Aldo hanya diam meresapi setiap kalimat sang ibu. Sungguh, ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan Anyelir. Namun, jika wanita itu tetap memaksa, ia bisa
523“Anye, kamu di mana?” Aldo duduk lesu di lobi hotel. Kepalanya menunduk dalam. Tangannya meremas rambut dengan kuat. Berkali-kali mengembus napas kasar. Beban di dadanya terasa ingin meledak. Setelah menunggu berminggu-minggu dengan setumpuk rindu dan penyesalan, kini hanya mendapati Anyelir yang sudah tidak berada di tempat.Aldo menyandar lemah seraya merogoh ponsel dalam saku. Mencoba keberuntungan. Menghubungi lagi Anyelir. Namun hingga berkali-kali dilakukannya, tetap hanya dijawab operator.Pemuda itu memejam sebelum bangkit dan berjalan keluar. Para pengawal berwajah datar sigap mengiringi.“Putari kota ini, Pak. Siapa tahu aku melihat keberadaan istriku,” titahnya kepada sopir setelah duduk di dalam mobil. Sang sopir hanya mengangguk sebelum menjalankan mobil dengan kecepatan sedang. Mengitari kota Surabaya seperti perintah sang majikan.Hampir seharian Aldo dan rombongan berputar-putar di sana. Semua jalan disusuri bahkan hingga jalan-jalan kecil hanya agar mendapat keber