315Siang ini seperti biasa Sandra masak sesuai kemampuannya untuk makan siang sang suami. Sejak hubungan dengan ibu mertuanya membaik, ia kembali tinggal di rumah. Tak mengikuti suaminya ke toko. Semua kembali ke kebiasaan awal sebelum Ningsih histeris. Siang ini bukan lagi nasi goreng yang ia buat. Melainkan ayam asam manis yang sudah beberapa kali Ningsih ajarkan. Seperti biasa, dengan wajah berseri-seri dan hati berbunga-bunga karena cintanya kepada Bumi semakin bersemi setiap detiknya, Sandra berangkat dengan ojol yang sudah dipesannya. Ningsih melambaikan tangan setelah mewanti-wanti agar Sandra hati-hati. “Ati-ati, Neng. Entah kenapa perasaan Ibu tidak enak sejak tadi.” Wanita paruh baya menatap sang menantu dengan sorot khawatir. Sandra tersenyum untuk menenangkan sang ibu mertua. Dikhawatirkan begitu saja rasanya sudah sangat terharu. Sejak pagi Ningsih memang mengeluh perasaannya tidak enak. Setelah mendengar cerita kehamilan Sandra yang sebenarnya, kasih sayang Nings
316Sandra merasakan seluruh tubuhnya sakit luar biasa, hingga sulit sekali untuk sekadar digerakkan. Aroma khas obat-obatan menyeruak memenuhi indera penciumannya. Hingga ia tahu, di mana dirinya sekarang. Suara isak tangis dari seseorang di sampingnya membuatnya memaksa membuka mata yang sangat sulit untuk sekadar dibuka. Hingga hanya rintihan lirih keluar dari mulutnya. Suara isak tangis terhenti seketika saat Sandra mencoba untuk bergerak. “Sansan, kau sudah sadar, Sayang?” Pertanyaan di antara isakan terdengar dari suara yang sangat familier di telinga Sandra. Ya. Itu suara sang ibu. “Sayang....” Kini sentuhan di wajah dari tangan lembut yang sangat dikenalinya mampir di sana. Sandra terus memaksakan matanya agar terbuka. Dan seraut wajah penuh air mata yang awalnya samar, kini dapat terlihat jelas setelah beberapa kali ia mengerjap. Background serba putih di sekitar sang ibu, menambah keyakinan bila ia berada di rumah sakit. Sandra mencoba mengingat apa yang terjadi padany
317Dua hari setelah kejadian di toko, Bumi baru pulang ke rumah. Sang ibu berlari kecil menyambut anak laki-lakinya yang berjalan gontai turun dari mobil. Ningsih langsung meraba-raba tubuh sang anak yang penuh luka dan memar. Padahal Bumi sengaja baru pulang dua hari agar luka dan memarnya sedikit tersamar. Ia tak ingin membuat sang ibu khawatir. Nyatanya, tetap saja Ningsih histeris. “Bumi, kamu kenapa, Nak? Kenapa tidak pulang-pulang? Neng Sandra ke mana? Kenapa tidak ikut pulang?” Ningsih langsung memberondong dengan banyak pertanyaan. Kekhawatiran dan keheranan tampak jelas di wajah yang sudah penuh keriput di sana sini. “Bu, masuk dulu, yuk. Aku haus.” Bumi memeluk pundak sang ibu. Mengajaknya masuk. Ningsih memapah tubuh sang anak yang tinggi besar. Menjadi tidak seimbang karena tubuh Ningsih yang kurus dan kecil. Sang ibu jadi tampak tenggelam oleh tubuh Bumi yang besar. “Ada apa sebenarnya, Bumi? Kemarin Ibu ke toko, karena kalian tidak pulang malam sebelumnya. Menurut
318Bumi menebalkan muka. Ia kembali datang ke rumah sakit walaupun semua orang sudah tidak respect padanya. Lelaki itu merasa Sandra masih istrinya. Karena ia tidak pernah dan tidak akan pernah menceraikannya sampai kapan pun. Bumi meletakkan makanan buatan sang ibu di meja sebelah ranjang pasien. Sebenarnya, Ningsih ingin ikut serta, tetapi Bumi melarang karena ia tahu kondisi saat ini tidak memungkinkan. Bumi takut keluarga Sandra terutama Alexander lepas kontrol lagi, ia takut sang ibu shock. Aira dan Alister juga Quin yang kebetulan berada di sana, menyingkir saat Bumi datang. Semua keluarga sebenarnya keberatan jika Bumi datang lagi menemui Sandra, hanya saja karena status mereka belum berpisah, dan Bumi tidak mau menjatuhkan talak, keluarga pun tidak bisa menolak. Toh, status Bumi masih suami Sandra. “Sansan, aku bawakan puding buatan ibu. Ibu titip salam untukmu. Tadinya ingin ikut, tapi karena kesehatannya juga menurun, aku melarangnya.” Bumi mendekatkan wajah, ingin men
319Sandra mulai menjalani hari-hari baru tanpa Bumi. Ia kembali ke rumah orang tuanya setelah pulih. Bumi sendiri tak pernah datang lagi setelah itu. Sandra mulai menata hidupnya lagi. Seperti yang selalu dinasehatkan keluarganya. Ia masih muda. Masa depannya masih sangat panjang. Masih banyak hal yang bisa ia lakukan dalam hidup. Kisah dengan Gilang dan Bumi ia anggap suatu penggalan kisah dalam hidup yang tidak untuk dikenang, tetapi tersimpan sebagai pembelajaran dalam proses pendewaan diri. Semua rasa sakit yang pernah ia rasakan, biarlah menjadi rambu-rambu dalam hidupnya agar lebih berhati-hati. Setelah pulih, Sandra mulai membantu resto baru Alister yang berkembang sangat pesat, hingga pemiliknya sedikit keteteran karena harus mengurus resto-resto lainnya. Sebenarnya, Alexander menawarinya bekerja di kantor, jika ia mau. Hanya saja, Sandra memilih membantu Alister di restonya karena dirasa lebih banyak tantangan. Lebih menarik dan lebih bisa memulihkan hatinya yang sebelu
320“Saby!” Raka berlari menghampiri gadis yang kini jongkok memunguti pecahan gelas. “Hati-hati!” lanjutnya saat melihat gadis itu meringis memegangi tangannya yang kadung berdarah terkena pecahan gelas. Gegas Raka meraih tangan itu, kemudian mengeluarkan sapu tangan di saku celana dan membebat luka di jarinya. “Ada apa?” Wanita paruh baya dengan jilbab instan yang sedikit miring lari tergopoh-gopoh menghampiri mereka. Mungkin mendengar sesuatu yang terjatuh berantakan. “Saby, kamu kenapa?” Wanita yang tidak lain ibunya, gegas mengambil sapu dan pengki. “Biar ibu bersihkan!” ujarnya lagi seolah menyuruh Saby dan Raka menyingkir dari sana. Raka mengajak Saby berlalu ke ruang tengah. Memintanya duduk, sedangkan ia sendiri mengambil kotak P3K yang tergantung dekat lemari TV. Raka membersihkan luka Saby, kemudian meneteskan obat luka di sana dan terakhir memasang plester. Semua ia lakukan dengan telaten tanpa Raka tahu jika seseorang terus memperhatikan dengan wajah merengut. Sese
321Salsa mengusap sudut matanya dengan punggung tangan kiri. Ia tengah mengendarai motor maticnya menuju rumah kontrakan seorang teman kantor. Sebenarnya, bukan keputusan mendadak jika ia memutuskan pergi dari rumah. Dalam beberapa hari ini, ia sudah mencari informasi rumah kontrakan. Semua ia lakukan demi kewarasan jiwa raganya. Terus-menerus menyaksikan kemesraan Raka dengan Saby, hanya membuat hatinya sakit. Ia takut raganya ikutan sakit. Menepi adalah jalan terbaik untuk saat ini, paling tidak untuk dirinya sendiri. Sungguh, sekuat apa pun ia bertahan, sekeras apa pun memaksa hatinya agar ikhlas, pada kenyataannya ia kalah, ia lemah. Terbayang saat ia keluar kamar tadi, Saby dan Raka masih duduk bersebelahan di ruang tengah. Saby sedang menangis, mungkin tahu jika dirinya sedang marah. Raka menenangkannya dengan wajah bingung. Keduanya menoleh ke arah dirinya yang menyandang ransel. Hanya menoleh. Tidak ada yang bicara atau menahannya apalagi menghampirinya. Hanya sang ibu y
322Raka mengusap wajah dengan kasar. Di depannya, Saby duduk menunduk. Ini sudah sebulan sejak Salsa meninggalkan rumah, dan hari pernikahannya masih juga tertunda. Saby terus menundanya karena tak ingin Salsa tidak hadir di hari pernikahan mereka. Sementara Salsa belum ada tanda-tanda akan kembali ke rumah. Orang tuanya sudah berusaha membujuk gadis itu untuk pulang dengan mendatanginya di rumah kontrakan. Mereka mengetahui alamatnya, setelah Raka yang mencari tahu. Ya, hanya mencari tahu. Setelah alamatnya ketemu, Raka mengantar orang tua Saby ke sana untuk membujuk Salsa. Sementara ia sendiri menunggu di mobil. Sudah beberapa kali orang tuanya ke sana, meminta maaf dan membujuk agar gadis itu mau pulang. Akan tetapi hati Salsa masih membeku. Ia menegaskan butuh waktu untuk bisa menerima semuanya. Dalam masalah ini, bila ada yang paling bingung di antara semua orang, Rakalah orangnya. Raka yang paling tersiksa, yang paling dirugikan baik materi maupun imateril. Ia sudah berb
Extra partKepanikannya semakin menjadi saat nomor Aira tak kunjung diangkat. Sementara Anyelir menjerit-jerit merasakan rasa mulas di perutnya yang seolah diperas.Wanita paruh baya asisten rumah tangga mereka yang melihat kepanikan itu gegas menyuruh Aldo membawa Anyelir ke rumah sakit. Sebagai wanita yang sudah berpengalaman melahirkan, ia tahu jika Anyelir akan segera melahirkan.Tanpa pikir panjang, Aldo mengangkat tubuh Anyelir yang beratnya sudah mencapai dua kali lipat dari berat normalnya karena kehamilan ini. Terlebih ada dua bayi kembar dalam perutnya. Untunglah rumah mereka kini bukan apartemen bertingkat. Hingga ia dengan mudah mengevakuasi sang istri.Berdua saja, Aldo membawa Anyelir ke rumah sakit yang sudah mereka tunjuk untuk tempat bersalin. Sang asisten ia minta untuk terus menghubungi kelurganya, dan menyusul ke rumah sakit setelah urusan di rumah selesai.Selama perjalanan, Anyelir terus mencengkeram lengan Aldo karena merasakan mulas tak terkira. Belum lagi sese
Extra part“Kenapa, sayang?” Aldo yang baru memasuki rumah, menatap sang istri yang bibirnya maju.Anyelir tidak menjawab. Ia meraih tangan sang suami dan menciumnya takzim. Walaupun usia Aldo lebih muda, tetapi posisinya tetap kepala keluarga. Anyelir tetap menghormati dan memperlakukan bagaimana seharusnya memperlakukan suami.Aldo menarik tubuh sang istri tetapi dengan hati-hati agar tak mengganggu perut besarnya. Sebuah kecupan mendarat di kening berpoles bedak tipis. Kemudian beralih kedua pipi dan terakhir menghisap bibir majunya dengan gemas hingga si empunya bibir meronta minta dilepaskan.“Kau membuatku sesak napas.” Anyelir mendorong dada Aldo. “Ciuman macam apa itu?” lanjutnya dengan bibir semakin maju, ditambah tangan yang dilipat di dada.“Itu ciuman penawar marah. Juga penawar rasa lelah di kantor.”Anyelir menoleh. Ia tahu Aldo lelah bekerja seharian di kantor tetapi pulang langsung disuguhi sikap manja dan sensitifnya yang semakin menjadi sejak hamil. Namun, ia tak dap
528 “Tetaplah di sisiku sampai salah satu di antara kita menutup mata. Aku bahkan ingin kebersamaan ini berlanjut hingga kehidupan kekal kita kelak. Jangan pernah tinggalkan aku. Terus dampingi dan bantu aku dalam memperbaiki diri agar menjadi suami yang bisa membimbingmu dan anak-anak kita menjalani kehidupan ini dalam koridor yang lurus. Aku ingin menjadi imam dambaanmu, sayang.” Anyelir mendongak. Hatinya trenyuh. Sejak kejadian itu, Aldo memang banyak berubah. Ia membuktikan dirinya layak mendapatkan maaf dan kesempatan kedua. Anyelir sendiri membuktikan memaafkan dengan tidak pernah membahas masalah yang sama. Jika Aldo mulai mellow, meminta maaf dan terindikasi membahas hal sama, Anyelir sendiri yang mengingatkan dan mengajak melupakan semuanya dengan menatap ke depan. Ia sadar dirinya pun bukan manusia tanpa dosa. Ia bahkan bersikap kekanakan dalam menghadapi masalah ini. Saling memaafkan, saling sadar dan terus berbenah diri, itu yang mereka lakukan saat ini. Terlebih sebent
527Semua orang terdiam mendengar ucapan Sandra. Semua orang tahu jika Gita dirawat di RSJ karena saat ditahan sering mengamuk dan beberapa kali mencoba bunuh diri lagi, bahkan bayi dalam kandungannya sampai gugur karena perilakunya sendiri. Gita akhirnya dirawat di RSJ.Keluarga Aldo menganggap semua telah selesai, karena akhirnya Gita dinyatakan bersalah. Semua bukti dan saksi menunjukkan jika Aldo tidak bersalah. Andika dan istrinya kembali ke Kalimantan. Gita tidak menuntut apa pun kepada Andika, mungkin karena melihat kondisi laki-laki itu yang mengenaskan.Justru perseteruan dengan Aldo yang ia pertahankan walaupun pada akhirnya Gita harus merasakan kehidupan di balik jeruji besi dalam kondisi hamil.Publik juga sudah mulai melupakan kasus ini, hingga Aldo dan keluarga bebas bergerak tanpa banyak yang memperhatikan.Semua sudah berjalan normal dan baik-baik saja. Aldo dan Anyelir menjalani pernikahan dengan bahagia. Terlebih mereka akan memiliki anak. Hubungan mereka bahkan sema
526 “Aku mau poliandri, apa kau setuju?” Anyelir menatap serius. Hening. Binar penuh harap di mata Aldo seketika pudar dan meredup. Senyum yang tadi sempat tersungging, raib dalam waktu singkat. Dada pemuda itu mendadak sesak. Diteguknya ludah dengan susah payah karena kerongkongan yang mendadak kemarau. Napasnya tersengal seolah telah berlari puluhan kilo meter. Bibirnya bergetar. “Mana ada seperti itu, sayang?” tanyanya dengan senyum miris. Anyelir tersenyum. “Ada, ini bukan sungguhan. Jadi, aku hanya pura-pura saja.” “Maksudnya?” Mata Aldo memicing. Anyelir menarik napas panjang. “Begini, orang tua Haris menuntutnya untuk segera menikah. Sementara ia belum menemukan wanita yang cocok. Tapi ia menolak jika harus dijodohkan dengan gadis pilihan orang tuanya. Jadi, ia memintaku untuk berpura-pura menjadi….” “Tidak!” Dengan napas yang semakin tersengal dan dada makin sesak, Aldo memotong ucapan Anyelir. “Apa kau sudah gila, sayang?” “Kenapa?” Anyelir memiringkan kepala. Tawan
525“Makanya jangan petakilan. Sudah mau jadi ayah kelakukan masih bocah.” Anyelir berkata ketus seraya melipat tangan di dada. Sementara Aldo terus meringis merasakan sakit di pinggangnya. Terpaksa harus dipijat lagi. Harus menahan lagi sakit yang lebih dari sebelumnya. Namun, di balik itu semua hatinya bahagia tiada tara. Sang istri sudah kembali seperti dulu. Hanya ketus karena kesal. Baginya tak apa diberi wajah ketus seperti itu, daripada harus mendapati wajah dingin yang membuatnya putus asa.Kini, bahkan Anyelir tengah menyuapinya. Ia yang untuk sementara hanya bisa tengkurap dengan kepala hanya bisa mendongak, kesulitan untuk sekadar menyuap. Praktis makan pun harus disuapi. Anyelir geleng-geleng kepala. Ini piring ketiga yang Aldo tandaskan. Pemuda itu seperti kelaparan. Memakan apa pun yang Anyelir suapkan dengan sangat rakus. Bahkan saat piring ketiga tandas pun, lelaki itu masih meminta tambah.“Berapa hari kau tidak makan?” tanya Anyelir heran saat menyuapi dari piring k
524“Sakit ….” Aldo merengek manja dengan wajah menengadah. Tangannya memeluk erat pinggang Anyelir yang pangkuannya ia jadikan bantal.Wajah lelaki itu terlihat berkeringat. Ringisan masih sesekali menghiasi wajahnya. Pemuda itu baru saja berteriak-teriak merasakan sakit akibat pijatan bapak tua penjaga villa.Akibat terlalu bersemangat dan terlampau bahagia karena melihat wanita yang dirindukannya selama ini ada di depan mata, ia berlari hingga tak memperhatikan apa pun lagi. Tangannya menyenggol keranjang buah di atas meja, hingga isinya jatuh ke lantai dan terinjak. Aldo terpeleset karena menginjak buah apel yang jatuh menggelinding, hingga tak terelakkan tubuhnya melayang jatuh. Namun, sebelumnya pinggangnya terbentur tepian meja hingga sakitnya menjadi berlipat-lipat.Beruntunglah bapak penjaga villa bisa memijat urat keseleo. Hingga ia langsung mendapat penanganan.Anyelir yang tengah memasak dibantu istri penjaga villa, kaget karena suara benturan keras. Wanita itu langsung me
524Aldo mengeratkan pelukan demi mendengar nasihat Aira. Kalau boleh memilih, ia ingin pernikahannya lanjut. Tak ingin tercerai berai karena anak yang akan menjadi korban. Kalau boleh ia ingin bertemu Anyelir dulu agar bisa bicara dari hati ke hati. Sayangnya, bahkan di mana keberadaan wanita itu, ia tidak tahu. “Jika Tuhan masih memberimu kesempatan, ingat gunakan sebaik-baiknya. Namun, jika semuanya hanya sampai di sini karena manusia hanya punya keinginan dan usaha, kau tetap harus bisa mengambil hikmahnya, Nak. Mungkin ini takdir kalian. Takdirmu. Jangan menyalahkan Tuhan. Apa yang terjadi sudah digariskan. Jika kalian harus bercerai, itu pasti takdir karena kau sudah berusaha memperbaiki semuanya. Yakin akan ada pelangi setelah hujan, Nak. Jika Tuhan memberi ujian ini, pasti disertai jalan keluar dan hikmah di baliknya.”Aldo hanya diam meresapi setiap kalimat sang ibu. Sungguh, ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan Anyelir. Namun, jika wanita itu tetap memaksa, ia bisa
523“Anye, kamu di mana?” Aldo duduk lesu di lobi hotel. Kepalanya menunduk dalam. Tangannya meremas rambut dengan kuat. Berkali-kali mengembus napas kasar. Beban di dadanya terasa ingin meledak. Setelah menunggu berminggu-minggu dengan setumpuk rindu dan penyesalan, kini hanya mendapati Anyelir yang sudah tidak berada di tempat.Aldo menyandar lemah seraya merogoh ponsel dalam saku. Mencoba keberuntungan. Menghubungi lagi Anyelir. Namun hingga berkali-kali dilakukannya, tetap hanya dijawab operator.Pemuda itu memejam sebelum bangkit dan berjalan keluar. Para pengawal berwajah datar sigap mengiringi.“Putari kota ini, Pak. Siapa tahu aku melihat keberadaan istriku,” titahnya kepada sopir setelah duduk di dalam mobil. Sang sopir hanya mengangguk sebelum menjalankan mobil dengan kecepatan sedang. Mengitari kota Surabaya seperti perintah sang majikan.Hampir seharian Aldo dan rombongan berputar-putar di sana. Semua jalan disusuri bahkan hingga jalan-jalan kecil hanya agar mendapat keber