352“Apa kau seorang penguntit? Atau mata-mata? Atau kau paparazzi yang menyamar?” Mata Sandra melotot tajam. Ia bergeser menjauhi laki-laki yang menunjukkan ponsel. Bumi sendiri terpaku. Ia berkedip tak percaya. “Aku penguntit?” Ia menunjuk dirinya sendiri sembari menatap lekat sang istri. “Ya. Kau seorang penguntit, kan?” Sandra semakin mundur menjauh. Sementara Bumi maju mendekat setelah menaruh ponsel di sofa. “Aku bukan penguntit. Aku....” Bumi semakin mendekat dan dalam satu hentakkan saja, tangannya meraih tubuh yang hanya dibalut kemeja putih miliknya yang tampak kebesaran di tubuh Sandra. “Aku adalah ... laki-laki yang akan menidurimu sekarang!” lanjutnya seraya memindahkan tubuh itu ke atas pundaknya dalam sekali gerakkan. Kemudian dibawa menuju ranjang. Sandra menjerit karena pusing. Bumi memanggul tubuhnya seperti karung beras. Kepalanya terbalik. “Mas, turunkan! Apa yang kau lakukan?” Sandra menjerit seraya memukuli punggung Bumi, sedangkan kakinya sibuk meronta me
353Saby memejam saat merasakan sepasang tangan melingkari perutnya. Disusul sesuatu yang bertumpu lembut di pundaknya. “Mau jalan-jalan dulu, atau mau langsung bobo?” pertanyaan dengan nada mesra menyapu pendengarannya. Saby semakin memejam. Menikmati kehangatan pelukan Raka yang baru kali ini ia rasakan. Tangannya yang dingin ikut memeluk tangan Raka di perutnya. Kepalanya ia dongakan ke atas. Menikmati sentuhan bibir sang suami di area telinga dan tengkuknya yang masih tertutup kerudung pasmina. “Terima kasih, Bang. Terima kasih atas semuanya.” Saby berkata lirih masih dengan mata terpejam dan wajah menengadah. “Kita belum melakukan apa-apa. Kenapa kamu sudah berterima kasih?” Raka bertanya heran. Saby perlahan membalikkan tubuh dalam pelukan Raka, hingga tubuh mereka berhadapan. Tangannya menyentuh wajah yang walaupun tidak begitu tampan, tetapi sangat menarik di matanya. Wajah yang sejak pertama ia lihat, langsung melekat di hati dan otaknya. Selalu terbayang di pelupuk mata
354Raka terbangun saat mendengar suara seseorang tengah terisak di sela doa yang terpanjat. Ia meraih ponsel di nakas, menyalakan layar dan melihat jam di sudut kiri atas. Pukul 16.05 WIB. Sudah lewat waktu asar, pantas Saby sudah salat lagi. Raka bangun perlahan. Mendengarkan doa-doa dari suara lirih yang terpanjat. Doa-doa yang ke semuanya meminta kebaikan untuk dirinya. Tak satu pun kalimat itu ditujukan untuknya Saby sendiri. Seperti katanya kemarin, jika kebaikan Raka adalah segalanya. Tanpa mengetahui jika Raka sudah bangun, Saby langsung membuka mushaf kecil yang selalu ia bawa ke mana pun. Wanita itu langsung melantunkan tilawah dengan suara merdunya. Hingga nyaris setengah halaman, baru wanita itu tahu jika sang suami sudah bangun. Karena Raka turun dari tempat tidur. “Abang sudah bangun?” tanyanya setelah menoleh dan menutup mushaf kecil itu, lalu menaruhnya di meja tak jauh dari tempatnya duduk. “Kenapa tidak membangunkan Abang?” tanya Raka seraya berjalan mendekat de
355Saat ini, tiada wanita yang lebih berbahagia di dunia selain Saby. Bahkan jika dibandingkan dengan Sandra sekalipun yang sama-sama tengah menikmati masa pengantin mereka. Bahagia yang mereka kecap berbeda. Jika Sandra sudah tentu bahagia karena sejak awal mereka menikah karena saling mencintai. Pernikahan kedua mereka adalah pengukuhan cinta mereka dan diselenggarakan dengan rencana sangat matang. Sementara dirinya dinikahi Raka hanya karena kasihan dan keputusan emosional semata. Karenanya, jika sekarang ia telah memiliki Raka sepenuhnya, itu adalah anugerah terbesar dalam hidupnya. Tak ada yang lebih membahagiakan selain perasaan yang terbalas. Beberapa hari berlibur bersama sang suami tercinta, membuatnya merasa jika Raka hanya miliknya seorang. Walaupun tidak banyak melakukan aktivitas fisik karena pertimbangan kesehatan, tetapi bagi Saby semua yang Raka lakukan lebih dari cukup. Mereka menikmati sunset dengan berjalan-jalan di pantai bertelanjang kaki, makan malam romanti
356Raka mengerjap setelah beberapa saat terjebak dalam kekagetan yang luar biasa. Seseorang menarik tangannya, membawanya ke teras samping, menyudutkannya di dinding, dan sekarang masih menciuminya dengan rakus. Ia yakin bila pelakunya bukan Saby sang istri, karena gerakan dan sensasinya berbeda, juga aroma yang menguar dari tubuhnya lain dari parfum lembut yang biasa dipakai wanita itu. Mata Raka melebar seketika, saat ia menyadari siapa yang tengah menciuminya saat ini. Salsa. Raka gegas mendorong tubuh yang mengimpitnya di dinding seraya mengusap bibirnya yang basah. “Salsa, apa yang kau lakukan? Apa kau tidak waras? Bagaimana jika Saby melihat?” Raka menggeram seraya menoleh ke sekeliling. Ia tidak menyangka jika Salsa bisa senekat itu. Bagaimana jika ada yang melihat mereka? Daffi, orang tua Salsa, atau lebih parah Saby? Raka ingin berlalu dari sana karena baginya ini tidak benar. Ia sudah mati-matian membunuh perasaannya untuk Salsa, dan menghadirkan cinta untuk Saby, tet
356Dengan perasaan tak menentu, Raka mengambil alih tubuh Saby dalam dekapan ibunya, kemudian membawa tubuh kurus itu ke halaman di mana mobilnya menunggu. Sang ibu mertua membuntuti dengan tak kalah panik. Sopir yang heran melihat Raka berlari menggendong istrinya, gegas membuka pintu belakang. Dengan panik, Raka meletakkan tubuh Saby di bangku belakang, sementara ia sendiri menyusul masuk, duduk dan memangku kepala sang istri di mana darah masih mengalir dari lubang hidungnya. “Apa Ibu perlu ikut?” Ibu mertuanya bertanya dengan suara bergetar. “Tidak usah, Bu! Biar saya saja!”Sang ibu mertua mengangguk seraya menutup pintu mobil. “Ke rumah sakit, Pak!” Raka memberi perintah setelah dirasa Saby dalam posisi berbaring nyaman. Sopir hanya mengangguk sebelum melajukan mobil dengan tergesa. Sementara di teras sana, di dinding pembatas teras depan dan samping, seseorang menangis seraya memegangi dadanya yang terasa sakit. Sakit melihat saudara kembarnya kesehatannya drop lagi. S
357Raka menunduk resah. Wajahnya sangat kusut. Entah sudah berapa kali embusan napas kasar keluar dari mulutnya. Tangannya tak lepas menggenggam tangan sang istri yang terbaring lemah. Baru saja mereka mengecap indahnya pernikahan, kini Saby harus kembali akrab dengan rumah sakit, alat-alat medis, dan obat-obatan. Padahal kemarin kondisinya sudah sangat sehat. Dan ini terhitung pertama kali kesehatannya drop setelah menikah. Selama terikat pernikahan hampir dua bulan, kondisinya baik-baik saja. Tidak pernah sampai seperti ini. “Abang....” Panggilan lirih membuat Raka mengangkat kepala. Lelaki itu menegakkan tubuh. Matanya berbinar. Saby sudah sadar. “Ya, Abang di sini.” Raka tersenyum seraya mencium tangan yang terasa sangat dingin. “Maaf, aku membuat Abang susah,” ucap Saby lirih hampir tak terdengar. “Jangan berkata begitu. Sudah kewajiban Abang mengurusmu.” Raka membelai wajah pucat yang kemarin-kemarin tampak bersinar. “Aku kira Abang tidak di sini.” Saby berkedip lemah, m
358“Udah dulu, ya. Nanti Abang telepon lagi kalau sudah luang. Sekarang Abang mau meeting dulu.” Raka bicara di telepon dengan sebelah tangan sibuk membereskan berkas di atas meja. “Kamu jangan lupa makan, terus minum obat. Baik-baik di rumah, ya. Doakan pekerjaan Abang selesai cepat biar bisa pulang siang,” lanjutnya lagi.“Istirahat yang cukup. Tidak perlu mikirin makanan buat Abang. Ada pelayan yang buatkan. Ya sudah, Abang tutup, ya assalamualaikum.” Lelaki itu meletakkan gagang telepon untuk mengakhiri pembicaraan dengan sang istri. Raka sudah membawa Saby pulang saat kesehatannya membaik. Ada banyak pekerjaan menanti di kantor. Untunglah kondisi Saby cepat pulih. Menurut dokter, karena kondisi hatinya yang bahagia, tubuhnya memproduksi hormon dopamin yang bisa menjadi antibodi, hingga kekebalan tubuhnya meningkat. Mungkin, karena Raka terus mendampinginya, hatinya jadi bahagia, dan akhirnya ia celat pulih. Raka memang tak pernah meninggalkannya selama di rumah sakit. Selain
Extra partKepanikannya semakin menjadi saat nomor Aira tak kunjung diangkat. Sementara Anyelir menjerit-jerit merasakan rasa mulas di perutnya yang seolah diperas.Wanita paruh baya asisten rumah tangga mereka yang melihat kepanikan itu gegas menyuruh Aldo membawa Anyelir ke rumah sakit. Sebagai wanita yang sudah berpengalaman melahirkan, ia tahu jika Anyelir akan segera melahirkan.Tanpa pikir panjang, Aldo mengangkat tubuh Anyelir yang beratnya sudah mencapai dua kali lipat dari berat normalnya karena kehamilan ini. Terlebih ada dua bayi kembar dalam perutnya. Untunglah rumah mereka kini bukan apartemen bertingkat. Hingga ia dengan mudah mengevakuasi sang istri.Berdua saja, Aldo membawa Anyelir ke rumah sakit yang sudah mereka tunjuk untuk tempat bersalin. Sang asisten ia minta untuk terus menghubungi kelurganya, dan menyusul ke rumah sakit setelah urusan di rumah selesai.Selama perjalanan, Anyelir terus mencengkeram lengan Aldo karena merasakan mulas tak terkira. Belum lagi sese
Extra part“Kenapa, sayang?” Aldo yang baru memasuki rumah, menatap sang istri yang bibirnya maju.Anyelir tidak menjawab. Ia meraih tangan sang suami dan menciumnya takzim. Walaupun usia Aldo lebih muda, tetapi posisinya tetap kepala keluarga. Anyelir tetap menghormati dan memperlakukan bagaimana seharusnya memperlakukan suami.Aldo menarik tubuh sang istri tetapi dengan hati-hati agar tak mengganggu perut besarnya. Sebuah kecupan mendarat di kening berpoles bedak tipis. Kemudian beralih kedua pipi dan terakhir menghisap bibir majunya dengan gemas hingga si empunya bibir meronta minta dilepaskan.“Kau membuatku sesak napas.” Anyelir mendorong dada Aldo. “Ciuman macam apa itu?” lanjutnya dengan bibir semakin maju, ditambah tangan yang dilipat di dada.“Itu ciuman penawar marah. Juga penawar rasa lelah di kantor.”Anyelir menoleh. Ia tahu Aldo lelah bekerja seharian di kantor tetapi pulang langsung disuguhi sikap manja dan sensitifnya yang semakin menjadi sejak hamil. Namun, ia tak dap
528 “Tetaplah di sisiku sampai salah satu di antara kita menutup mata. Aku bahkan ingin kebersamaan ini berlanjut hingga kehidupan kekal kita kelak. Jangan pernah tinggalkan aku. Terus dampingi dan bantu aku dalam memperbaiki diri agar menjadi suami yang bisa membimbingmu dan anak-anak kita menjalani kehidupan ini dalam koridor yang lurus. Aku ingin menjadi imam dambaanmu, sayang.” Anyelir mendongak. Hatinya trenyuh. Sejak kejadian itu, Aldo memang banyak berubah. Ia membuktikan dirinya layak mendapatkan maaf dan kesempatan kedua. Anyelir sendiri membuktikan memaafkan dengan tidak pernah membahas masalah yang sama. Jika Aldo mulai mellow, meminta maaf dan terindikasi membahas hal sama, Anyelir sendiri yang mengingatkan dan mengajak melupakan semuanya dengan menatap ke depan. Ia sadar dirinya pun bukan manusia tanpa dosa. Ia bahkan bersikap kekanakan dalam menghadapi masalah ini. Saling memaafkan, saling sadar dan terus berbenah diri, itu yang mereka lakukan saat ini. Terlebih sebent
527Semua orang terdiam mendengar ucapan Sandra. Semua orang tahu jika Gita dirawat di RSJ karena saat ditahan sering mengamuk dan beberapa kali mencoba bunuh diri lagi, bahkan bayi dalam kandungannya sampai gugur karena perilakunya sendiri. Gita akhirnya dirawat di RSJ.Keluarga Aldo menganggap semua telah selesai, karena akhirnya Gita dinyatakan bersalah. Semua bukti dan saksi menunjukkan jika Aldo tidak bersalah. Andika dan istrinya kembali ke Kalimantan. Gita tidak menuntut apa pun kepada Andika, mungkin karena melihat kondisi laki-laki itu yang mengenaskan.Justru perseteruan dengan Aldo yang ia pertahankan walaupun pada akhirnya Gita harus merasakan kehidupan di balik jeruji besi dalam kondisi hamil.Publik juga sudah mulai melupakan kasus ini, hingga Aldo dan keluarga bebas bergerak tanpa banyak yang memperhatikan.Semua sudah berjalan normal dan baik-baik saja. Aldo dan Anyelir menjalani pernikahan dengan bahagia. Terlebih mereka akan memiliki anak. Hubungan mereka bahkan sema
526 “Aku mau poliandri, apa kau setuju?” Anyelir menatap serius. Hening. Binar penuh harap di mata Aldo seketika pudar dan meredup. Senyum yang tadi sempat tersungging, raib dalam waktu singkat. Dada pemuda itu mendadak sesak. Diteguknya ludah dengan susah payah karena kerongkongan yang mendadak kemarau. Napasnya tersengal seolah telah berlari puluhan kilo meter. Bibirnya bergetar. “Mana ada seperti itu, sayang?” tanyanya dengan senyum miris. Anyelir tersenyum. “Ada, ini bukan sungguhan. Jadi, aku hanya pura-pura saja.” “Maksudnya?” Mata Aldo memicing. Anyelir menarik napas panjang. “Begini, orang tua Haris menuntutnya untuk segera menikah. Sementara ia belum menemukan wanita yang cocok. Tapi ia menolak jika harus dijodohkan dengan gadis pilihan orang tuanya. Jadi, ia memintaku untuk berpura-pura menjadi….” “Tidak!” Dengan napas yang semakin tersengal dan dada makin sesak, Aldo memotong ucapan Anyelir. “Apa kau sudah gila, sayang?” “Kenapa?” Anyelir memiringkan kepala. Tawan
525“Makanya jangan petakilan. Sudah mau jadi ayah kelakukan masih bocah.” Anyelir berkata ketus seraya melipat tangan di dada. Sementara Aldo terus meringis merasakan sakit di pinggangnya. Terpaksa harus dipijat lagi. Harus menahan lagi sakit yang lebih dari sebelumnya. Namun, di balik itu semua hatinya bahagia tiada tara. Sang istri sudah kembali seperti dulu. Hanya ketus karena kesal. Baginya tak apa diberi wajah ketus seperti itu, daripada harus mendapati wajah dingin yang membuatnya putus asa.Kini, bahkan Anyelir tengah menyuapinya. Ia yang untuk sementara hanya bisa tengkurap dengan kepala hanya bisa mendongak, kesulitan untuk sekadar menyuap. Praktis makan pun harus disuapi. Anyelir geleng-geleng kepala. Ini piring ketiga yang Aldo tandaskan. Pemuda itu seperti kelaparan. Memakan apa pun yang Anyelir suapkan dengan sangat rakus. Bahkan saat piring ketiga tandas pun, lelaki itu masih meminta tambah.“Berapa hari kau tidak makan?” tanya Anyelir heran saat menyuapi dari piring k
524“Sakit ….” Aldo merengek manja dengan wajah menengadah. Tangannya memeluk erat pinggang Anyelir yang pangkuannya ia jadikan bantal.Wajah lelaki itu terlihat berkeringat. Ringisan masih sesekali menghiasi wajahnya. Pemuda itu baru saja berteriak-teriak merasakan sakit akibat pijatan bapak tua penjaga villa.Akibat terlalu bersemangat dan terlampau bahagia karena melihat wanita yang dirindukannya selama ini ada di depan mata, ia berlari hingga tak memperhatikan apa pun lagi. Tangannya menyenggol keranjang buah di atas meja, hingga isinya jatuh ke lantai dan terinjak. Aldo terpeleset karena menginjak buah apel yang jatuh menggelinding, hingga tak terelakkan tubuhnya melayang jatuh. Namun, sebelumnya pinggangnya terbentur tepian meja hingga sakitnya menjadi berlipat-lipat.Beruntunglah bapak penjaga villa bisa memijat urat keseleo. Hingga ia langsung mendapat penanganan.Anyelir yang tengah memasak dibantu istri penjaga villa, kaget karena suara benturan keras. Wanita itu langsung me
524Aldo mengeratkan pelukan demi mendengar nasihat Aira. Kalau boleh memilih, ia ingin pernikahannya lanjut. Tak ingin tercerai berai karena anak yang akan menjadi korban. Kalau boleh ia ingin bertemu Anyelir dulu agar bisa bicara dari hati ke hati. Sayangnya, bahkan di mana keberadaan wanita itu, ia tidak tahu. “Jika Tuhan masih memberimu kesempatan, ingat gunakan sebaik-baiknya. Namun, jika semuanya hanya sampai di sini karena manusia hanya punya keinginan dan usaha, kau tetap harus bisa mengambil hikmahnya, Nak. Mungkin ini takdir kalian. Takdirmu. Jangan menyalahkan Tuhan. Apa yang terjadi sudah digariskan. Jika kalian harus bercerai, itu pasti takdir karena kau sudah berusaha memperbaiki semuanya. Yakin akan ada pelangi setelah hujan, Nak. Jika Tuhan memberi ujian ini, pasti disertai jalan keluar dan hikmah di baliknya.”Aldo hanya diam meresapi setiap kalimat sang ibu. Sungguh, ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan Anyelir. Namun, jika wanita itu tetap memaksa, ia bisa
523“Anye, kamu di mana?” Aldo duduk lesu di lobi hotel. Kepalanya menunduk dalam. Tangannya meremas rambut dengan kuat. Berkali-kali mengembus napas kasar. Beban di dadanya terasa ingin meledak. Setelah menunggu berminggu-minggu dengan setumpuk rindu dan penyesalan, kini hanya mendapati Anyelir yang sudah tidak berada di tempat.Aldo menyandar lemah seraya merogoh ponsel dalam saku. Mencoba keberuntungan. Menghubungi lagi Anyelir. Namun hingga berkali-kali dilakukannya, tetap hanya dijawab operator.Pemuda itu memejam sebelum bangkit dan berjalan keluar. Para pengawal berwajah datar sigap mengiringi.“Putari kota ini, Pak. Siapa tahu aku melihat keberadaan istriku,” titahnya kepada sopir setelah duduk di dalam mobil. Sang sopir hanya mengangguk sebelum menjalankan mobil dengan kecepatan sedang. Mengitari kota Surabaya seperti perintah sang majikan.Hampir seharian Aldo dan rombongan berputar-putar di sana. Semua jalan disusuri bahkan hingga jalan-jalan kecil hanya agar mendapat keber