19Alexander turun dari mobil, lalu berjalan gagah menuju pintu sebuah kantor di mana di dinding depannya terpasang papan besar bertuliskan Sultan Hariwijaya SH. Lelaki itu langsung mendorong pintu kaca sebagai akses masuk ke kantor tersebut. Karena sudah biasa datang ke sana, ia sudah tidak canggung lagi. Beberapa orang karyawan yang berpapasan mengangguk hormat dan menyapanya. Alexander langsung menuju ruang utama kantor yang letaknya paling pojok dari bangunan itu. Lelaki itu mengetuk pintu, lalu masuk saat seseorang di dalam mengizinkan. "Hei, apa kau tahu anak muda, penampilanmu sangat membosankan!" sambut suara sinis di dalam, saat Alexander mulai memasuki ruangan. "Apa sudah tidak ada baju warna lain di lemarimu? Kalau iya, sepertinya kau harus segera ke luar negeri untuk belanja baju." Kalimat sinis itu terlontar dari pria botak berumur hampir setengah abad dengan gaya perlente khas pengacara. Alexander hanya mendengkus sebelum duduk di sofa tanpa menunggu dipersilahkan.
20Hari-hari sebagai ibu susu, Aira jalani dengan penuh keikhlasan dan totalitas. Bahkan hingga kini, setelah empat bulan berjalan. Aira tak pernah mengeluh walaupun hati tetap menjerit tatkala lebih banyak waktu ia habiskan dengan Bayi Alister daripada dengan Raka. Semua ia lakukan juga demi masa depan sang anak. Bukankah tidak akan selamanya ia di sana? Nanti pada saatnya, ia dan Raka akan keluar dari sana dan memulai hidup baru. Tabungannya dari empat bulan bekerja sudah lumayan banyak. Hanya terpakai untuk kebutuhan pribadi yang tidak ditanggung sang boss. Seperti membeli ponsel, baju-baju dirinya dan Raka yang ia inginkan, atau barang-barang lain yang tidak disediakan Alexander. Biasanya Aira akan membeli di toko online agar tidak harus keluar rumah. Untuk meminimalisir masalah yang mungkin timbul. Rencananya, setelah keluar dari sana, ia ingin membuka usaha untuk bekal hidup dan pendidikan Raka. Modalnya tentu dari tabungan selama bekerja menjadi ibu susu. Sejauh ini, semua
21"Apa kau lupa kalau aku tidak suka anakmu dibawa ke kamar Alister?" tanya Alexander begitu mereka berhadapan di sebuah ruangan tak jauh dari kamar Baby Al. Wajah Alexander merah padam, menandakan lelaki itu sangat marah. "Iya, Tuan," jawab Aira dengan wajah tertunduk. "Lalu kenapa kau masih melakukannya? Enak-enakan tidur berdua di kasur pula, sedangkan anakku tidur sendiri di box-nya? Apa karena aku sudah memprioritaskanmu dalam segala hal, membuatmu jadi besar kepala, dan merasa bebas melakukan apa pun di sini?" Suara Alexander meninggi. Kedua tangannya bertolak di pinggang. Aira yang awalnya menunduk, refleks mendongak, menatap sang boss. Untuk memastikan kalau kalimat barusan benar terlontar dari mulut lelaki es yang akhir-akhir ini terlihat mencair. Terlebih setelah sebulan lalu menyerahkan akta cerai Aira yang selesai diurus pengacaranya. Namun, sekarang? "Apa fasilitas yang kuberikan untuk anakmu kurang, hingga kau masih membawanya ke kamar anakku? Padahal aku sudah memb
22Dengan napas tersengal menahan amarah, Alexander yang tangannya mencengkeram besi pegangan tangga dengan kuat, menunggu beberapa saat, berharap Aira berubah pikiran. Membatalkan keputusannya untuk pergi. Namun, hingga beberapa saat menunggu, wanita yang menggendong bayi itu tak muncul lagi di hadapannya. Hanya Dita yang kembali dengan wajah menunduk takut. Alexander meninju dinding dengan keras, sebelum berjalan cepat menuju kamarnya. Langsung menuju kamar mandi dan mengguyur kepalanya dengan air dari keran wastafel. Kepalanya terasa panas, bahkan seperti ingin meledak. Wanita itu berani sekali melawan dirinya. Bahkan dengan tanpa keraguan sama sekali meninggalkan rumahnya. Padahal selama ini begitu banyak hal ia berikan kepada Aira, juga anaknya. Hanya satu yang tidak ia suka. Aira membawa anaknya ke kamar Baby Al. Raka sakit? Menurutnya bukan alasan membawa anak itu masuk ke sana. Bagaimana kalau Raka mengidap penyakit menular, dan Alister tertular karenanya? Bukankah itu san
23Jam dua lebih empat puluh, Dita, Nina, Hasna, dan tentu Alexander masih berjibaku menenangkan Alister yang semalaman terus rewel mencari Aira. Tetap tak mau menyusu dari botol seperti saat Aira belum menjadi ibu susunya. Bayi itu terus saja menangis bahkan hingga suaranya hampir habis. Tubuhnya juga sudah licin karena keringat. Entah sudah berapa kali Dita dan Nina mengganti bajunya. Gurat kelelahan dan putus asa kentara jelas di wajah Nina dan Dita. Apalagi Alexander terus saja menekan mereka dengan selalu mengungkit kalau mereka adalah lulusan terbaik, tetapi tak mampu mengurus satu bayi. Pikiran mereka sama. Ingin resign, tetapi terikat kontrak yang sudah ditandatangani saat masih di yayasan. Mereka berdua tidak seperti Aira yang memiliki keberanian melawan Alexander. Tak jarang Nina atau Dita ikut menangis, saat Baby Al menangis kejer. Selain kasihan dengan bayi itu, mereka juga putus asa karena tidak bisa menenangkan Alister. Padahal berbagai cara sudah mereka lakukan, seper
24"Perintahkan semua orang kita agar mencari wanita itu. Aku ingin kalian menemukan dan membawanya padaku secepat mungkin. Kurang dari dua puluh empat jam. Cari walau ke lubang semut sekali pun!" Perintah terakhir Alexander bertepatan dengan pintu ruangan terbuka dan seorang perawat keluar. "Keluarga anak Alister Putra Ferdinand!"Setengah berlari Alexander menghampiri perawat yang berdiri di depan pintu. "Saya ayahnya, Sus." Alexander datang dengan wajah tegang. "Bagaimana anak saya, Sus?""Silakan ikut saya, Pak. Nanti tanyakan saja langsung kepada dokter," ucap wanita itu seraya berbalik, kemudian berjalan menuju sebuah ruangan, melewati ruang IGD di mana banyak pasien sedang ditangani. Alexander mengikuti langkah perawat itu hingga mereka sampai di hadapan dokter muda dengan kacamata bertengger di hidung bangirnya. Dokter mengabarkan kalau Alister sudah melewati masa kritisnya. Bayi itu kini tengah tertidur.Menurut dokter, Alister mengeluarkan suara terlalu kencang, hingga te
25Alexander bangkit, tak tega rasanya melihat sang anak terus seperti ini. Lelaki itu hendak keluar ruangan, saat ponselnya terasa bergetar. Dengan sigap, tangannya merogoh benda itu dari dalam saku. Matanya berbinar melihat nama Jo, si tangan kanannya yang menelepon. "Halo, Jo. Bagaimana, apa kau sudah menemukan wanita itu?" tembaknya langsung sesaat setelah benda itu menempel di telinganya. "Kabar baik, Boss. Kami sudah menemukannya." Jo mengabari dengan antusias. Bagaimanapun, semua orang ingin agar Aira kembali dan bayi Alister sehat seperti biasa. Agar boss mereka tidak lagi uring-uringan seram. "Di mana?" Alexander tak kalah antusias. "Di klinik kecil tak jauh dari rumah boss.""Apa?" Kening lelaki itu berkerut. "Apa yang dia lakukan di sana?""Anaknya dirawat di sana, Boss. Bukankah saat pergi, anaknya memang sakit? Bodohnya aku tidak terpikir ke sana. Kalau saja ….""Ya, sudah. Kau awasi terus, tahan jangan sampai ia pergi lagi!" Alexander berkata cepat. "Apa perlu aku
26"Kenalkan dokter, saya ayah dari anak Raka Faisal. Saya ingin memindahkan Raka ke rumah sakit yang lebih lengkap. Apa bisa, Dok?" tanya lelaki itu dengan sangat mantap dan meyakinkan. Dokter senior yang juga kepala klinik di sana memicingkan mata. Mengamati lelaki yang duduk di depannya. Lelaki yang tak lain Alexander. "Kenapa mau dipindahkan, Pak? Apa pelayanan kami kurang memuaskan? Dari diagnosa saya, anak Raka hanya demam biasa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tidak harus pula melakukan pemeriksaan lanjutan. Demamnya juga sudah turun per pagi ini. Bahkan besok pagi kalau tidak demam lagi, sudah boleh pulang. Saya tidak bisa merujuk karena tidak perlu juga dirujuk ke rumah sakit besar." Dokter senior menatap Alexander dengan seksama. Rasanya janggal orang tua pasien meminta anaknya dipindah ke rumah sakit besar. Padahal tidak ada hal serius. Dokter itu membuka rekam medis Raka. Di mana di sana hanya tertera nama Aira Andriani sebagai penanggung jawab anak itu dalam biodat
Extra partKepanikannya semakin menjadi saat nomor Aira tak kunjung diangkat. Sementara Anyelir menjerit-jerit merasakan rasa mulas di perutnya yang seolah diperas.Wanita paruh baya asisten rumah tangga mereka yang melihat kepanikan itu gegas menyuruh Aldo membawa Anyelir ke rumah sakit. Sebagai wanita yang sudah berpengalaman melahirkan, ia tahu jika Anyelir akan segera melahirkan.Tanpa pikir panjang, Aldo mengangkat tubuh Anyelir yang beratnya sudah mencapai dua kali lipat dari berat normalnya karena kehamilan ini. Terlebih ada dua bayi kembar dalam perutnya. Untunglah rumah mereka kini bukan apartemen bertingkat. Hingga ia dengan mudah mengevakuasi sang istri.Berdua saja, Aldo membawa Anyelir ke rumah sakit yang sudah mereka tunjuk untuk tempat bersalin. Sang asisten ia minta untuk terus menghubungi kelurganya, dan menyusul ke rumah sakit setelah urusan di rumah selesai.Selama perjalanan, Anyelir terus mencengkeram lengan Aldo karena merasakan mulas tak terkira. Belum lagi sese
Extra part“Kenapa, sayang?” Aldo yang baru memasuki rumah, menatap sang istri yang bibirnya maju.Anyelir tidak menjawab. Ia meraih tangan sang suami dan menciumnya takzim. Walaupun usia Aldo lebih muda, tetapi posisinya tetap kepala keluarga. Anyelir tetap menghormati dan memperlakukan bagaimana seharusnya memperlakukan suami.Aldo menarik tubuh sang istri tetapi dengan hati-hati agar tak mengganggu perut besarnya. Sebuah kecupan mendarat di kening berpoles bedak tipis. Kemudian beralih kedua pipi dan terakhir menghisap bibir majunya dengan gemas hingga si empunya bibir meronta minta dilepaskan.“Kau membuatku sesak napas.” Anyelir mendorong dada Aldo. “Ciuman macam apa itu?” lanjutnya dengan bibir semakin maju, ditambah tangan yang dilipat di dada.“Itu ciuman penawar marah. Juga penawar rasa lelah di kantor.”Anyelir menoleh. Ia tahu Aldo lelah bekerja seharian di kantor tetapi pulang langsung disuguhi sikap manja dan sensitifnya yang semakin menjadi sejak hamil. Namun, ia tak dap
528 “Tetaplah di sisiku sampai salah satu di antara kita menutup mata. Aku bahkan ingin kebersamaan ini berlanjut hingga kehidupan kekal kita kelak. Jangan pernah tinggalkan aku. Terus dampingi dan bantu aku dalam memperbaiki diri agar menjadi suami yang bisa membimbingmu dan anak-anak kita menjalani kehidupan ini dalam koridor yang lurus. Aku ingin menjadi imam dambaanmu, sayang.” Anyelir mendongak. Hatinya trenyuh. Sejak kejadian itu, Aldo memang banyak berubah. Ia membuktikan dirinya layak mendapatkan maaf dan kesempatan kedua. Anyelir sendiri membuktikan memaafkan dengan tidak pernah membahas masalah yang sama. Jika Aldo mulai mellow, meminta maaf dan terindikasi membahas hal sama, Anyelir sendiri yang mengingatkan dan mengajak melupakan semuanya dengan menatap ke depan. Ia sadar dirinya pun bukan manusia tanpa dosa. Ia bahkan bersikap kekanakan dalam menghadapi masalah ini. Saling memaafkan, saling sadar dan terus berbenah diri, itu yang mereka lakukan saat ini. Terlebih sebent
527Semua orang terdiam mendengar ucapan Sandra. Semua orang tahu jika Gita dirawat di RSJ karena saat ditahan sering mengamuk dan beberapa kali mencoba bunuh diri lagi, bahkan bayi dalam kandungannya sampai gugur karena perilakunya sendiri. Gita akhirnya dirawat di RSJ.Keluarga Aldo menganggap semua telah selesai, karena akhirnya Gita dinyatakan bersalah. Semua bukti dan saksi menunjukkan jika Aldo tidak bersalah. Andika dan istrinya kembali ke Kalimantan. Gita tidak menuntut apa pun kepada Andika, mungkin karena melihat kondisi laki-laki itu yang mengenaskan.Justru perseteruan dengan Aldo yang ia pertahankan walaupun pada akhirnya Gita harus merasakan kehidupan di balik jeruji besi dalam kondisi hamil.Publik juga sudah mulai melupakan kasus ini, hingga Aldo dan keluarga bebas bergerak tanpa banyak yang memperhatikan.Semua sudah berjalan normal dan baik-baik saja. Aldo dan Anyelir menjalani pernikahan dengan bahagia. Terlebih mereka akan memiliki anak. Hubungan mereka bahkan sema
526 “Aku mau poliandri, apa kau setuju?” Anyelir menatap serius. Hening. Binar penuh harap di mata Aldo seketika pudar dan meredup. Senyum yang tadi sempat tersungging, raib dalam waktu singkat. Dada pemuda itu mendadak sesak. Diteguknya ludah dengan susah payah karena kerongkongan yang mendadak kemarau. Napasnya tersengal seolah telah berlari puluhan kilo meter. Bibirnya bergetar. “Mana ada seperti itu, sayang?” tanyanya dengan senyum miris. Anyelir tersenyum. “Ada, ini bukan sungguhan. Jadi, aku hanya pura-pura saja.” “Maksudnya?” Mata Aldo memicing. Anyelir menarik napas panjang. “Begini, orang tua Haris menuntutnya untuk segera menikah. Sementara ia belum menemukan wanita yang cocok. Tapi ia menolak jika harus dijodohkan dengan gadis pilihan orang tuanya. Jadi, ia memintaku untuk berpura-pura menjadi….” “Tidak!” Dengan napas yang semakin tersengal dan dada makin sesak, Aldo memotong ucapan Anyelir. “Apa kau sudah gila, sayang?” “Kenapa?” Anyelir memiringkan kepala. Tawan
525“Makanya jangan petakilan. Sudah mau jadi ayah kelakukan masih bocah.” Anyelir berkata ketus seraya melipat tangan di dada. Sementara Aldo terus meringis merasakan sakit di pinggangnya. Terpaksa harus dipijat lagi. Harus menahan lagi sakit yang lebih dari sebelumnya. Namun, di balik itu semua hatinya bahagia tiada tara. Sang istri sudah kembali seperti dulu. Hanya ketus karena kesal. Baginya tak apa diberi wajah ketus seperti itu, daripada harus mendapati wajah dingin yang membuatnya putus asa.Kini, bahkan Anyelir tengah menyuapinya. Ia yang untuk sementara hanya bisa tengkurap dengan kepala hanya bisa mendongak, kesulitan untuk sekadar menyuap. Praktis makan pun harus disuapi. Anyelir geleng-geleng kepala. Ini piring ketiga yang Aldo tandaskan. Pemuda itu seperti kelaparan. Memakan apa pun yang Anyelir suapkan dengan sangat rakus. Bahkan saat piring ketiga tandas pun, lelaki itu masih meminta tambah.“Berapa hari kau tidak makan?” tanya Anyelir heran saat menyuapi dari piring k
524“Sakit ….” Aldo merengek manja dengan wajah menengadah. Tangannya memeluk erat pinggang Anyelir yang pangkuannya ia jadikan bantal.Wajah lelaki itu terlihat berkeringat. Ringisan masih sesekali menghiasi wajahnya. Pemuda itu baru saja berteriak-teriak merasakan sakit akibat pijatan bapak tua penjaga villa.Akibat terlalu bersemangat dan terlampau bahagia karena melihat wanita yang dirindukannya selama ini ada di depan mata, ia berlari hingga tak memperhatikan apa pun lagi. Tangannya menyenggol keranjang buah di atas meja, hingga isinya jatuh ke lantai dan terinjak. Aldo terpeleset karena menginjak buah apel yang jatuh menggelinding, hingga tak terelakkan tubuhnya melayang jatuh. Namun, sebelumnya pinggangnya terbentur tepian meja hingga sakitnya menjadi berlipat-lipat.Beruntunglah bapak penjaga villa bisa memijat urat keseleo. Hingga ia langsung mendapat penanganan.Anyelir yang tengah memasak dibantu istri penjaga villa, kaget karena suara benturan keras. Wanita itu langsung me
524Aldo mengeratkan pelukan demi mendengar nasihat Aira. Kalau boleh memilih, ia ingin pernikahannya lanjut. Tak ingin tercerai berai karena anak yang akan menjadi korban. Kalau boleh ia ingin bertemu Anyelir dulu agar bisa bicara dari hati ke hati. Sayangnya, bahkan di mana keberadaan wanita itu, ia tidak tahu. “Jika Tuhan masih memberimu kesempatan, ingat gunakan sebaik-baiknya. Namun, jika semuanya hanya sampai di sini karena manusia hanya punya keinginan dan usaha, kau tetap harus bisa mengambil hikmahnya, Nak. Mungkin ini takdir kalian. Takdirmu. Jangan menyalahkan Tuhan. Apa yang terjadi sudah digariskan. Jika kalian harus bercerai, itu pasti takdir karena kau sudah berusaha memperbaiki semuanya. Yakin akan ada pelangi setelah hujan, Nak. Jika Tuhan memberi ujian ini, pasti disertai jalan keluar dan hikmah di baliknya.”Aldo hanya diam meresapi setiap kalimat sang ibu. Sungguh, ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan Anyelir. Namun, jika wanita itu tetap memaksa, ia bisa
523“Anye, kamu di mana?” Aldo duduk lesu di lobi hotel. Kepalanya menunduk dalam. Tangannya meremas rambut dengan kuat. Berkali-kali mengembus napas kasar. Beban di dadanya terasa ingin meledak. Setelah menunggu berminggu-minggu dengan setumpuk rindu dan penyesalan, kini hanya mendapati Anyelir yang sudah tidak berada di tempat.Aldo menyandar lemah seraya merogoh ponsel dalam saku. Mencoba keberuntungan. Menghubungi lagi Anyelir. Namun hingga berkali-kali dilakukannya, tetap hanya dijawab operator.Pemuda itu memejam sebelum bangkit dan berjalan keluar. Para pengawal berwajah datar sigap mengiringi.“Putari kota ini, Pak. Siapa tahu aku melihat keberadaan istriku,” titahnya kepada sopir setelah duduk di dalam mobil. Sang sopir hanya mengangguk sebelum menjalankan mobil dengan kecepatan sedang. Mengitari kota Surabaya seperti perintah sang majikan.Hampir seharian Aldo dan rombongan berputar-putar di sana. Semua jalan disusuri bahkan hingga jalan-jalan kecil hanya agar mendapat keber