"Ron Kyle!?" Teriakan nyaring ketika Ron baru saja memasuki pintu utama, sontak membuatnya menoleh ke arah meja resepsionis di sisi kiri ruangan. Seorang wanita cantik dengan pakaian yang melekat seksi di badannya, berdiri di sana seraya menatap Ron dengan sorot mata berbinar. Ia merentangkan tangan, berlari kecil menyambut tamu spesialnya yang sudah lama tak berkunjung ke salon relaksasi miliknya. Setelah keduanya berpelukan dengan hangat, Ron memandangi wajah kawan lamanya yang lumayan banyak berubah. Seandainya tak mengenali suaranya, mungkin Ron akan mengira Kalina adalah talent baru di tempat ini. "Apa kabar, Kal?" Ron menelisik penampilan Kalina dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Kamu semakin cantik! Kamu sudah banyak berubah.""Ofcourse I do! Dan seperti yang kamu lihat, aku sehat dan bahagia!" Kalina membimbing Ron masuk ke dalam ruangan salon. "Apa yang membuatmu nyasar ke tempat ini lagi? Jangan bilang kamu sudah bercerai dengan istrimu dan merindukan aku sekarang!"
Baik Ron maupun Harsha mendadak pias, keduanya saling melirik dengan canggung. Suasana foodcourt yang ramai seketika itu terasa sunyi, suara-suara berisik di sekitar seakan lenyap. "Mami mau tanya tentang pendapat kalian berdua. Tapi, sebelum itu Mami mau memastikan sesuatu sama Harsha." Brigitta beralih memandang perempuan muda di depannya dengan lekat. "Harsha, Mami ingin memastikan lebih dulu, siapa ayah dari janin yang kamu kandung. Apa dia tahu kalo kamu sedang mengandung benihnya?" Seakan bibir Harsha telah lengket oleh lem berkekuatan super, ia tak sanggup membuka mulut sesenti pun. Keringat dingin mulai membasahi punggung dan tengkuknya. Seandainya tidak hamil, mungkin Harsha akan kabur dan lari sejauh mungkin. "Harsha?" Brigitta memanggilnya sekali lagi karena tatapan Harsha terlihat gelisah. "Apa kekasihmu tahu?" "Dia--""Mi, untuk apa mendesak Harsha dengan pertanyaan privasi seperti itu. Dia pasti risih dan tidak suka urusannya dicampuri oleh orang lain!" Ron menyela
"Ah, benar! Kamu Ron Kyle rupanya!" Perempuan berkacamata itu memekik girang ketika Ron menoleh padanya. Ia menelisik penampilan pria di depannya dengan lekat hingga kemudian tatapannya beralih pada Harsha yang masih berada di dekapan Ron. Merasa sedang diperhatikan, Ron sontak mengurai pelukannya dan berdiri dengan canggung. "Maaf, apa saya mengenal anda?" tanya Ron kemudian dengan bingung. "Sepertinya nggak! Bela nggak pernah membawamu setiap kali kita ada acara! Btw, aku pikir kamu sedang liburan bersama Bela, kemarin dia beralasan nggak bisa dateng ke arisan karena dia bilang kalian sedang liburan!" Perempuan itu terus menyerocos hingga membuat dua alis Ron menyatu. "Tapi rupanya aku malah bertemu denganmu di sini!" sambungnya seraya melirik Harsha dengan tatapan risih. "Sepertinya anda salah orang. Saya bukan Ron Kyle." Ron bergegas menarik lengan Harsha dan menggandengnya masuk ke dalam lift. Bukannya takut perempuan itu akan mengadu pada Bela, Ron hanya tak mau Harsha mer
Sejak Ron menghindar beberapa waktu yang lalu, Harsha mulai menyalahkan dirinya sendiri yang tak pernah bisa mengerti posisi sang suami yang sebelumnya juga memiliki istri selain dirinya. Harsha juga menyalahkan Ron atas kejadian-kejadian buruk yang menimpanya. "Apa Tuan marah karena ucapanku ketika terakhir kali kita bertemu?" Harsha memberanikan diri menatap netra Ron yang selalu teduh di saat dia sedang dalam emosi rendah.Ron berpikir sejenak, ada dua hal yang membuat Ron kesal pada Harsha waktu itu. Saat Harsha menyalahkan dirinya atas kematian ibunya dan saat Harsha berkata akan pergi setelah bayi mereka lahir. "Kenapa memangnya?" Ron balik bertanya dengan kepo. "Kamu menyesal?" Harsha menggeleng, tapi ketika bola mata Ron tiba-tiba membesar, lantas ia buru-buru mengangguk. "Aku minta maaf. Aku nggak bermaksud menyalahkan Tuan atas kematian ibuku. Waktu itu aku sedang kesal saja, makanya aku melampiaskannya sama Tuan." "Ohhh ..." Ron mengangguk paham, "jadi kamu cuma menja
Semuanya berlangsung sangat cepat, setelah menerima telepon yang mengabarkan jika mertuanya tengah kritis di rumah sakit, Ron segera menelepon Vick agar kembali dan mengantarnya ke kota. Selama di perjalanan, Ron gelisah dan berulang kali menghela napas panjang setiap kali teringat pada istrinya yang entah berada di mana sekarang. Ron tak sempat bertanya pada William, apakah Bela juga berapa di rumah sakit dan mengapa bukan Bela saja yang menghubunginya? "Lebih dipercepat lagi, Vick. Aku tidak mau kita terlambat sampai di sana!" perintah Ron tegas ketika Vick seakan-akan membuang waktu di jalanan dengan menyetir bak siput. Sekretaris itu hanya mengangguk, kakinya lantas menginjak pedal gas lebih dalam dan kecepatan pun bertambah dengan stabil. Ron sudah pernah terlambat ketika ibunya Harsha sudah terbujur kaku ketika ia tiba. Dan, kali ini ia tidak mau kejadian buruk itu terulang. Tiba di rumah sakit, Ron langsung melompat turun setelah mobil berhenti di lobi. Ia berlari kencang
Selayaknya pasangan yang sedang berbulan madu, baik Bela maupun Victor tak sekalipun melepas genggaman atau berciuman di manapun mereka berada. Di pulau private ini, tak akan ada yang mengenali mereka berdua. Hanya tiga pasangan yang diperbolehkan bermalam di tiga villa yang sangat ekslusif dan private. Victor pun sudah memastikan jika tamu lain yang berkunjung ke pulau ini bukan berasal dari Indonesia, melainkan dari Mexico dan Jepang. "Apa menurutmu kita perlu liburan seperti ini setiap bulan?" tanya Victor ketika mereka berdua tengah makan siang di balkon vila, menikmati pemandangan ombak pantai yang sesekali menghempas karang. "Aku tidak yakin. Tapi, tidak ada salahnya di coba." Bela mengusap jemarinya yang baru saja menyentuh buah anggur, mulutnya sibuk mengunyah sementara Victor terus saja menatapnya. "Oke. Bulan depan kita akan ke Swiss. Carilah alasan yang lebih logis karena kita akan bepergian selama seminggu.""Are you kidding? Bagaimana caranya aku meminta ijin pada Ron
Ketakutan terbesar yang akan selalu ia sesali seumur hidup akhirnya benar-benar terjadi pada Bela. Ketika ia siuman, dan mendapati Ron serta Victor menundukkan kepala tanpa menjawab pertanyaan tentang kondisi papanya, akhirnya membuat raungan tangis wanita itu terdengar. Ethan Zurishmo dinyatakan meninggal tepat setelah putrinya menginjakkan kaki di rumah sakit. Bela dibimbing menuju ruang jenazah setelah ia cukup tenang dan berhenti menangis. Ron mendorong kursi roda istrinya, tanpa sekalipun membuka mulut. Di belakangnya, Victor turut menemani dan sesekali memberi kekuatan pada sepasang suami istri itu. "Papaaaa!" tangis Bela setelah melihat jenazah sang ayah yang telah ditutupi oleh selembar kain putih. "Papa maafin Bela. Papa bangun!" jeritnya pilu seraya memeluk tubuh kaku itu.Namun, sekeras apapun Bela berteriak, sepilu apapun dia meraung, Ethan Zurishmo tak akan pernah bangun dan menatapnya lagi. Salah satu orang yang menjadi penguat Bela untuk menguasai harta Ron Kyle suda
"Aku mengenal Victor jauh sebelum aku mengenalmu. Kami berteman sejak sama-sama kuliah S2 di Amerika."Ron menyimak setiap kata yang keluar dari bibir istrinya dengan jantung berdebar. Ada sekelumit rasa cemburu yang tetiba menyergapnya. Rupanya, Ron tidak benar-benar mengenal istri yang telah membersamainya selama sembilan tahun ini. Ada banyak ruang kosong di kehidupan Bela, yang tidak bisa Ron masuki. "Hubungan kami dekat, bahkan terbilang sangat dekat sebagai teman.""Dan, selama ini kamu tidak pernah memberitahuku tentang cerita ini? Kamu sengaja membuatku terlihat bodoh? Bahkan, kamu bilang hubungan kalian lebih dari sekedar teman dekat! Kalian pergi berdua, dan aku tidak tahu berapa banyak waktu yang pernah kamu habiskan waktu bersama Mr. Simon!" Ron mulai geram dengan pengakuan istrinya. Bela hanya bergeming dan tak berani membalas tatapan sang suami yang tertuju tajam padanya. Jemarinya gemetaran di bawah selimut, Bela mati kutu sekarang. "Apa dugaanku benar jika kalian
"Berlibur?" Ron mengernyit heran setelah mendengar permintaan Harsha yang tak biasa sore ini. Ia baru saja menyerahkan sebotol stok Asi untuk bayinya ke ruang NICU, dan Harsha mendadak mengajaknya liburan seakan mereka tak direpotkan oleh seorang bayi yang sedang berjuang untuk tetap hidup. "Iya. Liburan. Kapan terakhir kamu liburan?" Harsha bangkit dan menggandeng lengan suaminya yang masih mematung di samping pintu. Ron menerawang sejenak, alisnya terangkat untuk mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kali ia pergi berlibur. Sepertinya sudah sangat lama, hingga Ron lupa kapan persisnya. "Entahlah, aku lupa.""Kalo begitu ayo kita pergi liburan!" putus Harsha riang tanpa beban. "Lalu Brisya? Kamu akan meninggalkannya di sini?" Ron memandang istrinya dengan heran. "Bagaimana bisa kita bersenang-senang sementara anak kita sedang berjuang di dalam sana, Harsha?" "Kita hanya pergi dua hari, bukan pergi selamanya! Jangan berlebihan." Harsha meninggikan suaranya karena tersinggung d
Ron akhirnya menyerah pada keangkuhannya. Ia setuju pada ide nama yang diberikan oleh Harsha untuk putri mereka. Ron menekan egonya demi kebaikan. Ia ingin menjadi ayah dan suami yang sempurna untuk keluarga kecilnya yang baru. Ron berharap bisa mengimbangi kebaikan dan ketulusan Harsha pelan-pelan. "Brisya Nora Birnandi." Ron tersenyum ketika membaca nama bayi kecilnya yang kini terpampang di papan kecil --yang ditempel di inkubator. Sejak seminggu yang lalu, papan nama itu sudah tertempel di situ. Kini, hanya tinggal dua bayi yang masih dirawat di ruangan steril dengan berbagai macam alat bantu kesehatan itu. "Selamat pagi, Pak." Lamunan Ron seketika itu buyar setelah mendengar suara sapaan khas yang selalu menyapanya di jam sembilan pagi. Ron menarik napasnya singkat sebelum akhirnya berbalik badan. "Selamat pagi, Vick. Apa ada berita terbaru hari ini?" tanya Ron seraya berlalu dari jendela NICU dan beringsut duduk di kursi besi di dekat sana. Vick membuntutinya di
Bela sangat pencemburu. Dia tidak suka melihat Ron terlalu akrab dengan lawan jenis. Jangankan ketahuan mengobrol dengan perempuan, ketahuan melirik atau memperhatikan perempuan lain saja pasti jadi masalah besar bagi Bela. Itulah mengapa sejak menikah dengan Bela, Ron benar-benar memutuskan komunikasi dengan Kalina. Ia pun mengganti beberapa manajer perempuan di kantornya untuk meminimalisir pertemuan dengan mereka di saat meeting. Sejak menikah, Ron benar-benar menjaga hati dan dirinya hanya untuk Bela seorang. "Aku bertemu tante Brigitta kemarin di mall. Beliau sebenarnya sudah lupa denganku, katanya wajahku sudah banyak berubah. Benarkah begitu, Ron? Apakah aku tampak lebih muda dari usiaku?" Kalina terkekeh sembari menyentuh pipinya yang memerah. Harsha dan Ron hanya saling melirik dengan keki ketika melihat gelagat Kalina yang tersipu setelah memuji dirinya sendiri. "Jadi kamu bertemu mami?" "Nah, iya! Beliau cerita kalo istrimu baru melahirkan. Makanya akhirnya aku datan
Sudah hampir satu jam berlalu sejak Ron kembali ke kamar VVIP yang ditempati Harsha, tetapi pria itu tak sekalipun membuka mulut atau sekedar memperhatikan sang istri yang sedang memompa ASI. Biasanya, Ron akan duduk dengan wajah berbinar dan menemani Harsha, setiap kali melihat wanita muda melakukan rutinitas pumping untuk bayi mereka. Setiap tetes air susu untuk putri mereka yang sedang berjuang di ruang NICU itu, selalu membuat Ron takjub. Walaupun sesekali, Ron akan menggoda Brisya dengan sesekali memberikan belaian lembut di gundukan menggiurkan itu.Namun, sudah satu jam berlalu dan Ron masih betah memandangi layar laptopnya tanpa sekalipun terdistraksi oleh gerak-gerik Harsha. Entah mengapa moodnya memburuk pasca bertemu Victor. "Kamu marah sama aku?" Suara lembut itu membuat jemari Ron membeku diatas keyboard laptopnya. Ia melirik sekilas ke arah Harsha yang sedang duduk di sebelah jendela, memompa asi sambil menikmati pemandangan adalah kegiatan favoritnya. "Tidak." Ron m
"Jadi dia belum ditangkap?" Ron menggretakan giginya dengan keras. "Lalu apa kerjaan polisi-polisi itu semingguan ini, huh!?" "Maaf, Pak. Tapi keberadaan nyonya Bela benar-benar tidak bisa di lacak. Nomornya tidak aktif sejak kejadian itu dan posisi terakhirnya tak memberikan petunjuk apapun," terang Vick dengan serius. "Di mana posisi terakhirnya?" "Di supermarket, Pak. Saya sudah mengecek CCTV di sana tapi sayangnya koneksi internet pada hari itu jelek, sehingga kualitas gambarnya buruk dan menyusahkan tim kepolisian mencermati setiap pengunjung di sana," jelas Vick sembari mengangsurkan ponselnya, yang sedang memutar video copy CCTV di supermarket itu. "Sialan!" maki Ron sembari mengepalkan tangan. "Selama dia belum ditemukan, keselamatan bayiku dan Harsha sedang terancam." Ron terkesiap setelah ia mengucapkan kalimatnya barusan. Ia baru ingat, tadi dia meninggalkan Harsha bersama Victor yang notebene adalah kekasih Bela. "Vick, apa kamu sudah mengecek kediaman Mr. Simon?" Ro
Sudah seminggu sejak Harsha melahirkan, hanya dua kali ia diijinkan melihat dan menggendong bayinya di ruang NICU. Bukan tanpa alasan, semua demi menjaga kestabilan emosi Harsha yang selalu goyah tiap kali usai menjenguk putri kecilnya. Melihat selang kecil di mulut mungilnya, juga selang ventilator yang tak pernah lepas membantu pernafasannya, selalu membuat tangis Harsha pecah detik itu juga. Akhirnya, dokter hanya mengijinkan Harsha melihat dari jauh tanpa boleh mendekat agar kondisi psikisnya terjaga. Meskipun berat, tapi perlahan-lahan Harsha mulai menerima keadaan bayinya yang bermasalah dengan kesehatannya. Ia mulai sanggup mengelola emosinya, menata hatinya, menguatkan batinnya. Bersama Ron, suaminya, Harsha belajar untuk ikhlas pada takdir mereka. Sebenarnya, Harsha sudah diperbolehkan pulang tiga hari pasca cesar, hanya saja ia tak ingin jauh-jauh dari bayinya, alhasil Ron akhirnya menyewa dan menganggap rumah sakit itu selayaknya hotel. Mereka berdua selalu mengunjungi b
Dingin. Aroma obat yang sangat menyengat menguar dan terhirup oleh indra penciuman Harsha yang baru saja membuka mata. Efek obat bius itu secara perlahan mulai mereda dan membuat kesadarannya kembali. Dengan gerakan lemah, Harsha meraba perutnya yang telah rata. Jadi, bayinya sudah lahir? "Kamu sudah bangun?" Suara berat nan serak itu membuat Harsha menoleh ke sisi kanan tubuhnya. Seorang pria tersenyum menatapnya. Ron Kyle. "Jam berapa sekarang? Di mana bayi kita?" Harsha memperhatikan seisi kamar berwarna biru muda yang menjadi ruangan VVIP tempatnya menginap. "Jam tujuh malam. Kamu baru jam tiga sore tadi dipindah dari ruang pemulihan. Kamu tidak ingat?" tanya Ron seraya bangkit dari sofa, mendekat ke ranjang istrinya lantas duduk di tepian ranjang itu. Masih dengan gerakan lemah, Harsha menggeleng. Ingatan terakhirnya adalah ketika dokter mulai menyuntikkan sesuatu ke selang infusnya, lalu setelah itu semuanya gelap dan Harsha tiba-tiba sudah berada di ruangan ini. "Yah, sa
"Operasi berjalan lancar, dan istri anda masih harus dipantau selama dua jam ke depan di ruang pemulihan, Pak." Dokter Eka melipat masker yang sejak tadi menutupi wajahnya dan memandang Ron dengan tatapan tak terbaca. "La-lalu bayi kami?" "Tim Neonatologist sedang berupaya keras untuk memeriksa kondisi bayi anda. Saat ini bayi anda sudah dibawa ke NICU.""Bayi saya pasti sehat 'kan, Dokter?" Ron menghadang langkah dokter Eka yang hendak berlalu. "Tolong selamatkan bayi saya, Dokter! Saya akan bayar berapapun asal bayi saya mendapatkan perawatan yang terbaik!" "Ronney." Brigitta menarik lengan putranya agar tidak menghalangi dokter Eka yang hendak kembali ke ruangannya. "Kita akan berusaha semaksimal mungkin, Pak. Kami akan terus update perkembangan ibu dan bayi. Do'akan saja yang terbaik." Dokter Eka menepuk pundak Ron Kyle untuk berbagi kekuatan pada pria itu, sebelum akhirnya berpamitan untuk kembali ke ruangan prakteknya. "Aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri seandainy
Setelah mengurusi beberapa keperluan Harsha terkait administrasi, Ron akhirnya diperbolehkan mengunjungi istrinya itu di ruang UGD. Sembari menunggu jam operasi, Ron ingin menemani Harsha meskipun hanya sebentar. "Aku takut," rengek Harsha di antara isak tangisnya yang pecah ketika melihat Ron datang. "Bagaimana kalo aku mati? Bagaimana kalo bayinya nggak bisa diselamatkan?""Sttt, jangan bicara seperti itu. Kamu dan bayi kita pasti akan baik-baik saja. Dokter Eka adalah dokter terbaik di kota ini," hibur Ron sembari menggenggam erat jemari Harsha yang dingin. "Sebentar lagi kita bisa bertemu bayi kita, anak kita." Ron mengusap kening wanita yang sangat ia cintai itu dengan lembut dan melayangkan ciuman di sana. "Kalo aku mati, apa kamu akan menikah lagi?" tanya Harsha masih dengan linangan air mata itu. Ron tergemap, ia menarik kepalanya dari kening Harsha dan menatap sang istri dengan heran."Kamu akan baik-baik saja, Harsha. Kamu tidak akan mati.""Tapi rasanya pasti sakit bange