Sabrina menghentikan mobil di halaman, dia tidak bisa masuk karena mobil Gama menghalangi. Maha yang heran sampai menjulurkan kepala, bocah itu kaget karena papanya sudah pulang.“Kita mau ke mana?” tanya bocah itu dengan polosnya.Layaknya anak kecil seusianya, Maha beranggapan akan ada sesuatu jika ada hal di luar kebiasaan terjadi. Ia menoleh Sabrina dengan wajah bingung, ibunya itu mengusap pipi lalu berkata bahwa mereka tidak akan pergi kemana-mana.“Lalu kenapa papa sudah pulang?”Sabrina memutar otak, beruntung ada alasan yang bisa dia sampaikan ke anak itu, dan berkata,” Ah … itu karena Papa menunggu kasur yang akan dikirim orang untuk kamar baru Maha.”“Benarkah? kasur gambar bis toya? Asyik!” Maha mengangkat ke dua tangan ke atas dan tertawa lebar. Anak itu bahkan keluar dari mobil lalu bergegas masuk dan mencari keberadaan Gama.“Terima kasih Papa, aku senang!”Ocehan Maha yang berlari dan langsung memeluknya membuat Gama bingung. Ia usap bagian belakang kepala anak itu samb
“Tunggu! apa kamu bercanda? kamu bahkan belum berkata memiliki rasa padaku,” ucap Sabrina. Pikirannya sama sekali tidak tertuju pada pembahasan soal Maha, tapi hanya tentang itu, itu dan itu. Karena ucapan sang istri barusan, Gama menebak perasaan yang dimiliki Sabrina begitu dalam untuknya, tapi entah kenapa meski sudah dua kali berciuman, tetap saja Gama kurang yakin. Ia takut jika apa yang dikatakan Sabrina tidak tulus dan hanya sebagai niatan menenangkan hatinya yang kala itu sedang galau. Namun, melihat tatapan mata Sabrina, seketika Gama tidak ingin mengecewakan gadis itu. Ia pun memindai wajah hingga mengusap sebelah pipi Sabrina dengan lembut. “Aku menyayangimu dan sedang berusaha mencintaimu,” ucap Gama. Tujuh puluh persen berbohong tiga puluh persen jujur atau bisa jadi sebaliknya. Sabrina meneguk saliva. Dia terdiam seribu bahasa, hanya bisa menatap Gama dengan kening berkerut tipis. Sabrina sendiri belum sepenuhnya percaya. Baginya seperti mimpi seorang Lintang Gutama b
“Kamu mau pakai baju tidur seperti itu?” “Memang kenapa? apa tidak boleh, kamu saja pernah pemotretan cuma pakai boxer,” jawab Sabrina dengan enteng. Ia mengalihkan pandangan dari Gama ke gantungan baju tidur yang menarik perhatiannya. “Itu karena tuntutan pekerjaan, seharusnya kamu tahu,” jawab Gama. Ia melirik satu baju yang dia pikir pasti akan sangat pas dan cantik dikenakan istrinya. “Ini juga tuntutan.” Sabrina mengulurkan satu stel baju tidur tepat di depan Gama, mengangkatnya tinggi sampai menutupi muka mereka berdua, lalu menurunkannya perlahan. "Agar pria yang aku cintai mau menyatakan cinta,” imbuh Sabrina tanpa rasa malu. Gama mematung, dia diam diposisinya memandangi punggung Sabrina yang sudah berjalan menjauh untuk memilih baju tidur lagi. “Sab, bisa tidak jangan agresif. Kamu membuatku merinding,” gumam Gama. _ _ Malam harinya, keluarga kecil Gama nampak makan bersama. Sabrina duduk di sebelah Maha dan menyuapi anak itu penuh kasih sayang sambil sesekali menyuap
Sabrina membawa mobil pelan karena jalanan pagi itu terasa lebih padat dari biasanya. Ia menoleh ke tas dan ponsel yang ada di kursi penumpang. Gama baru saja menelepon, menanyakan bagaimana keadaannya, sampai mengajak ke rumah sakit jika memang diperlukan.“Apa dia bercanda? bukankah itu memalukan? Bagaimana jika dokter bertanya kenapa bisa sakit lalu diperiksa.” Sabrina menggerutu, pipinya bersemu mengingat percintaannya dengan sang suami semalam.“Dia benar-benar tampan, mungkin benar kalau tetangga rumah bilang aku kejatuhan bulan.” Sabrina tersenyum lebar, hingga membetulkan ucapannya sendiri.“Bukan … bukan, aku kejatuhan bintang. Bukankah namanya Lintang.” Tawa gadis itu tercipta, dia bahkan menyandarkan kepala ke kemudi saat lampu lalu lintas menyala merah. Sabrina malu sendiri. Ia tengah bahagia. Begitu juga Gama yang pagi itu sukses membuat Leo - sekretarisnya terheran.“Anda habis minum pil happy, ya Pak. Sejak tadi saya perhatikan Anda tersenyum terus. Apa ada kabar baik?”
“Mertua Anda sedang di rumah Bu Bianca, biasa ada cucu dan menantunya di sana.” Informasi dari pembantu membuat Sabrina menatap kantung buah yang ada di tangan. Seharusnya dia membeli beberapa kilo lagi untuk diberikan ke tante Gama. Ia sedikit menyesali kekeliruannya, padahal sudah tahu rumah Felisya dan Bianca masih dalam satu komplek. “Apa mau saya panggilkan?” tanya si pembantu. “Tidak perlu, Bi. Aku akan menyusul ke sana saja, cuma agak sedikit tidak enak karena tidak membawa apa-apa,” cicit Sabrina sambil tersenyum canggung ke pembantu Felisya. “Tenang saja! tadi Nyonya membuat kue, Nona bisa mengantarnya ke sana, sebenarnya tadi saya yang diminta mengantar, tapi dari pada Nona ke sana dengan tangan hampa?” Pembantu itu tersenyum lalu buru-buru masuk untuk mengambil kue yang dia maksud. Dengan kue di tangan, Sabrina berjalan menuju rumah Bianca. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri melihat betapa mewahnya komplek perumahan itu. Bukannya tidak tahu, komplek yang ditinggali mertuan
“Kata kak Embun, ada yang memberikan cokelat ke Maha dengan cara dititipkan ke satpam,” ucap Sabrina. Ia bicara tanpa memandang Gama tapi memeluk pria itu yang sedang memeluknya juga. Gama menaikkan selimut yang sedikit melorot untuk menutupi tubuh polos mereka. Mengecup kening Sabrina sebelum membuang napas kasar. Gama jelas sudah bisa menebak siapa yang melakukan itu. “Tapi Maha memberikannya ke Olla, kak Rain takut cokelat itu mengandung racun jadi tidak boleh dimakan.” Sabrina bercerita dengan pelan, lelah dia karena apa yang baru diakukannya dengan Gama tadi cukup menguras tenaga. Setelah sedikit kesalahpahaman yang terjadi, mereka akhirnya bisa berbaikan lagi. Sabrina memang tidak ingin menabur konflik di antara dirinya dan Gama, hubungan mereka baru bersemi, tak baik juga jika harus layu sebelum berkembang dan berbuah. “Maha memang pintar, tapi aneh kenapa dia tidak bercerita? biasanya Maha akan bercerita semua hal, bukankah kamu juga sering bertanya apa yang dilakukannya di
“Maha, Maha ingat ‘kan apa yang Papa bilang kemarin? Akan ada kakak yang ingin bicara berdua dengan Maha, namanya kak Gia.” Gama menggendong putranya berjalan di koridor sekolah, di sampingnya Sabrina tersenyum dan sesekali membetulkan penampilan Maha yang dirasa kurang rapi. “Kenapa Papa tidak ikut? Apa ibu Sabsab juga tidak ikut?” tanya Maha dengan nada bingung dan tentu saja sedikit takut. “Tidak, nanti Ibu sama Papa akan tunggu di depan, setelah Maha selesai kita pergi ke toko gelato makan es krim dan kue yang sudah dihias tadi, iya kan Pa?" Sabrina tertawa, begitu juga dengan Gama. Pria itu menurunkan Maha tepat di depan pintu ruangan yang akan dipakai untuk melakukan observasi, terlihat wanita bernama Gia itu membuka pintu dan menyambut Maha dengan senyuman lebar. Wanita yang juga Sabrina lihat di depan ruang kelas Maha tadi. “Halo … ini pasti Maha, ayo duduk sama kakak.” Sabrina dan Gama tersenyum, keduanya lantas memilih berjalan menuju taman sekolah dan menunggu di sana.
Gama dan Sabrina berjalan kembali ke dalam setelah mengobrol di taman, senyuman keduanya merekah saat mendapati Maha keluar dari ruangan dan menghambur ke arah mereka. Gama langsung menggendong putranya, bertanya apa yang Maha lakukan di dalam sana setengah jam tadi. “Aku main lego, menggambar dan ngobrol.” Gia tertawa, wanita itu sudah berdiri tepat di depan Gama dan Sabrina. Ia menoleh juniornya lalu memberikan kode lagi, agar bisa mengajak Maha pergi dari sana. Ada hal penting yang ingin Gia sampaikan ke Gama dan Sabrina. Gama menurunkan Maha, membiarkan putranya itu pergi untuk menunjukkan kue buatan mereka tadi ke junior Gia. “Terima kasih waktunya, Maha sepertinya sangat bahagia dan berada dalam keluarga yang sangat menyayanginya,” kata Gia. “Dia tidak bercerita yang macam-macam ‘kan?” Gama sedikit khawatir, begitu juga dengan Sabrina yang memasang wajah cemas. “Macam-macam yang bagaimana ya Pak, apa saat Anda menyembunyikan permen ke lemari baju agar dia tidak terus memint
Maha masih memeluk Sabrina, anak itu mengusap perut ibunya dengan lembut hingga tiba-tiba saja wanita itu mundur sambil mendorong Maha menjauh. Sabrina merasakan ada air yang merembes deras di antara pahanya.“Ibu!” panggil Sabrina ke Mirna.Wanita itu pun mendekat, dan Maha ditarik mundur oleh Gama. Suasana kamar sedikit kacau, beruntung perawat yang mengantar Maha dan Olla tadi belum terlalu jauh pergi. Embun buru-buru memanggilnya kembali.Sabrina seperti ketakutan, dia berusaha bernapas dengan mulut hingga tanpa sadar mengejan. Sabrina memasukkan tangan ke balik baju pasien yang dikenakan dan manarik pantiesnya ke bawah.“Ibu, kepala bayiku,” pekik Sabrina setelah sadar ada yang keluar dari jalan lahir.“Hah! kepala?”Mirna dan Felisya kalang kabut, mereka berteriak memanggil dokter atau pun perawat. Beruntung Perawat tadi langsung berjongkok di dekat Sabrina. Tanganya mengadah di antara dua kaki Sabrina. Ia memberikan instruksi agar Sabrina mendorong lagi. Sabrina membuka lebar k
Lima bulan kemudianGama bingung dan cemas, sejak tadi dia mondar-mandir kamar inap Sabrina. Istrinya itu sedang kesakitan menahan gelombang cinta dahsyat yang diberikan bayi mereka. Di sela kontraksi yang mendera tubuh, Sabrina dibuat pusing dengan kelakuan Gama.“Duduk lah, apa kamu tidak capek?” tanya Sabrina sambil berusaha mencari posisi yang nyaman, ini sudah delapan belas jam, dan bayi berjenis kelamin laki-laki buah cintanya dan Gama masih sibuk mencari jalan lahir.“Sab, aku panggil dokter ya, kita lakukan operasi saja,” kata Gama. Mungkin sudah yang ke sembilan kali dia mengatakan hal ini, tapi jawaban Sabrina tetap sama.“Tidak mau, aku sudah merasakan sakitnya berjam-jam, aku bisa menahannya lebih lama.”“Jangan berbohong! kamu kesakitan Sab. Lihat apa yang kamu tinggalkan di lenganku!” kata Gama sambil menunjuk bagian tubuhnya itu. Sabrina malah tertawa mengamati bekas lecet yang dia buat, lengan Gama beberapa kali dijadikannya pegangan saat kontraksi terjadi, hingga kuk
Diwakili oleh pengacaranya, Bagaskara hari itu harus menelan rasa kecewa karena hakim pengadilan memutuskan bahwa hak asuh Maha jatuh ke tangan Gama. Menimbang segala bukti dan dikuatkan dengan surat permohonan Naura, membuat hakim yakin jika anak itu lebih baik berada di bawah pengasuhan Gama. "Maha, bilang terima kasih ke Pak hakim!" perintah Gama ke Maha yang hari itu ikut ke pengadilan bersamanya. Gurat bahagia terpatri jelas di wajah Gama juga Sabrina, akhirnya perjuangan untuk mendapatkan dokumen legal sebagai orangtua Maha sudah ada di tangan mereka. "Terima kasih," ucap Maha sambil memberikan hormat, kepalanya mengangguk kecil dan berhasil membuat hakim tersenyum. Hakim ketua mengusap kepala anak itu lembut, dia tahu Naura sudah meninggal. Agak teriris batinnya membayangkan anak sepolos Maha kehilangan ibu kandung dan bahkan tidak tahu siapa ayah kandungnya. Tak jauh dari tempat Sabrina dan Gama berdiri, Rudi berbincang dengan pengacara Bagaskara. Wajah pengacara itu
Duka masih menyelimuti hati Gama dan Sabrina, perasaan benci yang berubah menjadi simpati membuat ke duanya merasa sangat kehilangan Naura. Masih tak mereka sangka Naura harus pergi di saat hati Maha mulai terbuka, di saat semua orang bisa menerima kehadirannya dan memaafkan kesalahannya.Gama dan Sabrina menatap Maha yang terlelap tidur di ranjang mereka, belakangan anak itu seolah tahu bahwa wanita yang melahirkannya telah tiada, banyak yang Maha tanyakan salah satunya kenapa Naura pergi, ke mana dan akankah mereka bisa bertemu dengan wanita itu lagi suatu saat nanti.Awalnya Sabrina kebingungan. Menjelaskan secara rinci ke Maha jelas tidak mungkin dia lakukan, hingga sebuah kalimat paling mudah dia ucapkan. Bahwa Naura sakit, tapi kini sudah sembuh dan pergi ke surga bertemu dengan orang yang paling dikasihi.“Kemungkinan keputusan pengadilan akan dipercepat,” bisik Gama, dia peluk Sabrina dari belakang dan mengusap lengan istrinya yang terus menatap Maha.“Itu menjadi kabar baik d
Acara liburan di pantai menjadi hari terakhir Adam mendengar Naura bicara dan tersenyum. Setelah itu kondisi sang istri terus saja melemah hingga terbaring koma. Adam seorang diri menjaga Naura, bagaimana tidak? bahkan saat dikabari, Bagaskara acuh kepada kondisi putri kandungnya.“Aku sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi, setidaknya sebelum koma dia bahagia karena Maha mau berinteraksi dengannya, meski anak itu belum mau memanggilnya Mama.”Gama duduk bersisian dengan Adam. Mendengarkan setiap curahan hati pria itu. Gama tahu Adam pasti sangat hancur, baru saja dia menemani pria itu mendengar penjelasan dokter yang bertanggungjawab pada kondisi Naura. Gelang pasien di pergelangan tangan kiri Naura sudah diganti menjadi warna ungu yang artinya harapan hidup pasien sangat kecil. Jika semua alat penunjang kehidupan Naura dilepas, maka wanita itu akan pergi untuk selamanya.“Aku tidak ingin menyetujui saran dokter, jika harus pergi biarlah dia pergi saat jiwanya sudah ikhlas,” lirih
“Kamu memang anak tidak bisa diandalkan!”Kalimat kejam itu meluncur dari bibir Bagaskara, dia meminta Naura datang menemuinya dan hanya makian yang diperdengarkan. Ia sama sekali tidak menanyakan kondisi putrinya yang nampak begitu pucat.“Papa tidak akan bisa mengambil Maha dari Gama, dia akan menjadi putra Gama dan Sabrina selamanya,” kata Naura tanpa memandang Bagaskara.Tangan pria tua itu mengepal karena bantahan sang putri. Ia pun melempar vas bunga di dekatnya sampai hancur berkeping-keping.“Terserah! Lakukan sesukamu, aku bahkan tidak peduli kalau kamu mati sekalipun.”Bagaskara pergi meninggalkan Naura dan Adam di ruang tamu. Buliran kristal bening mengalir membasahi pipi Naura. Ia sangat menyesal karena sudah mengambil langkah yang keliru. Seharusnya dia tidak perlu datang ke Bagaskara karena meski bergelimang harta jiwanya terasa begitu hampa.Naura menoleh Adam, masih dengan air mata berlinang dan suara yang berat, dia mengajak suaminya pulang. Dari pada memikirkan tenta
Butuh penjelasan yang agak memakan waktu saat Sabrina dan Gama menjemput Maha. Anak itu benar-benar takut mendengar nama Naura. Maha sampai memeluk erat Sabrina. Awalnya Maha senang karena akan diajak makan es krim bersama, tapi berubah takut kala Gama menyebut di sana sudah ada Naura yang menunggu.“Nggak mau, Maha nggak suka es krim,” ucap Maha. “Mau pulang aja.”Kebetulan di sana ada Embun yang juga menjemput Olla. Ia pun berusaha membantu Sabrina dan Gama dengan berkata, “Apa Olla mau ikut makan es krim? Nanti biar Mami jemput di rumah Maha.”Sabrina dan Gama menoleh Olla, harapannya kini bertumpu pada gadis kecil itu. Mereka merapal doa, berharap Olla mengangguk dan berkata iya.“Oke, aku mau ikut!”Embun tersenyum, dia menoleh ke Sabrina dan Gama yang nampak lega. Sabrina lantas bertanya lagi, jadi Maha mau ikut atau tidak.“Tenang saja Maha, ada aku!” kalimat menenangkan dari Olla seperti mantra bagi Maha. Bocah itu melepaskan pelukannya ke Sabrina dan berganti meraih tangan Ol
Duduk di dalam ruang sidang dan mendengarkan pihak lawan berbicara jelas sangat tidak mengenakkkan. Gama sudah ingin membantah semua ucapan dari pihak Bagaskara, sedangkan Sabrina beberapa kali menoleh ke arah pintu berharap Naura akan segera tiba. Wanita itu adalah satu-satunya kunci untuk membuat persidangan ini tak berlarut-larut. Persidangan kasus hak asuh seperti ini biasanya memakan waktu berbulan-bulan, bahkan sekitar sembilan sampai dua belas kali hingga putusan.Rudi Tabuti berkata, jika Naura sebagai ibu kandung langsung berkata tidak ingin memperebutkan Maha, maka jalan bagi Gama untuk memenangkan hak asuh sudah berada di depan mata.Pihak pengacara Bagaskara sudah selesai dengan gugatan, dan kini giliran Rudi untuk membela kliennya. Rudi menyampaikan semua bukti sejak awal, baik dari mulai Naura berbohong dan memberikan Maha ke Gama, sampai wanita itu yang berkata tidak ingin memperebutkan sang anak, karena tahu Maha akan jauh lebih bahagia bersama Gama dan Sabrina.“Ini a
“Ibu nggak sayang aku,” raung Maha.Bocah itu terduduk sambil menangis. Sontak saja Sabrina semakin kalut. Bik Mun yang ikut menyusul ke lantai atas pun heran dengan tingkah Maha.“Maha, kenapa? nggak sayang gimana?” tanya Sabrina lagi, dia saling pandang dengan bik Mun. Wanita itu mengedikkan bahu tanda tidak tahu juga, kenapa anak sang majikan seperti itu.“Aku tidak mau punya adik!”Sabrina tercengang, sepertinya baru kemarin Maha berkata sayang, tak sabar melihat adiknya lahir, tapi kenapa hari ini sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. Sabrina memilih berjongkok, tapi Maha malah berdiri. Tanpa sengaja bocah itu menyenggolnya hingga dia jatuh dan pantatnya mendarat kasar ke lantai.“Mas Maha!” pekik bik Mun yang langsung mendekat ke Sabrina. Membantu wanita itu untuk berdiri. “Mas Maha, Ibu Sabsab sedang hamil, nggak boleh ka …. “Sabrina mencegah bik Mun melanjutkan kalimatnya dengan cara meremas tangan wanita itu. Ia menatap Maha yang duduk di kursi belajar dengan raut