“Kamu tahu ‘kan aku akan terus berada di pihakmu untuk membantu? Aku akan membantu agar hak asuh Maha jatuh ke tanganmu,” ucap Sabrina. “Aku akan membayar rasa kepercayaanmu, kamu perlu tahu bahwa ini aku lakukan tak semata-mata demi uang. Ini karena ada sebuah rasa bangga di hatiku. Kamu tidak bisa memberitahu rahasia terbesar di hidupmu ke keluarga bahkan ibumu, tapi bisa memberitahunya kepadaku,” imbuhnya panjang lebar. “Aku juga menyayangi Maha, dan mungkin aku juga sudah mulai meyayangimu.” Sabrina akhirnya jujur, dia menatap mata Gama yang juga sedang menatapnya. “Sab!” “Aku tidak bisa menyembunyikannya terlalu lama, aku menyukaimu. Kamu selalu bisa membuatku salah tingkah.” Sabrina tertawa, dia merasa sebongkah batu besar baru saja lepas dari dada. Gadis itu merasakan kelegaan yang dia sendiri tidak tahu kenapa bisa. “Aku tidak akan berharap banyak, aku tahu itu. Hanya saja jika boleh meminta, selama menjalani peran sebagai ibu palsu Maha, bisakah kita juga menjalani hari s
Gama memutar badan, dia ulangi lagi pertanyaan soal nafkah batin untuk menggoda Sabrina barusan. Dan kali ini Gama terdiam, karena gadis di sebalahnya itu dengan berani mengambil bantal dan memukulkan ke badannya.“Berhenti berbicara soal nafkah batin, kamu keterlaluan! Bilang dulu kamu menyukaiku baru bahas itu,” omel Sabrina. Gama memeluk bantal milik Sabrina, muka kesal dan omelan gadis itu malah seperti hiburan tersendiri baginya. Ia bahkan tak langsung mengembalikan bantal itu, tapi malah semakin memeluknya erat sambil terus wajah Sabrina. Gama terkekeh, dia tak menyangka gadis yang menghajar preman di Lorong Indah untuk membantunya, sekarang menolongnya lagi. Jika dulu Sabrina memukul mundur orang jahat dengan tendangan dan tinju, kali ini gadis itu akan membantunya dengan cara lain dan entah kenapa Gama bisa merasa sebahagia ini. “Aku mau tidur, sepertinya tukang mi tidak lewat. Dasar! Kalau ditunggu pasti tidak muncul, tapi kalau tidak ditunggu dia pasti datang.” Sabrina meng
“Maaf! Siapa, ya?” Felisya heran. Beberapa menit yang lalu, dia sedang berada di rumah tetangganya saat salah satu pembantu rumah mendatanginya dan menyampaikan kedatangan seorang tamu. Awalnya Felisya pikir sang tamu adalah rekan yang tak sempat datang ke acara resepsi pernikahan putranya beberapa waktu yang lalu, tapi melihat penampilan wanita di depannya Felisya pun ingat, wanita ini adalah wanita yang dulu berbicara dengan Gama dan Sabrina saat ulang tahun Maha. “Tante, perkenalkan saya Naura.” “Ah … iya, silahkan duduk!” Felisya bingung. Ia baru saja membahas soal pelakor saat kumpul-kumpul di rumah tetangganya tadi, hingga berpikir mungkinah Naura selingkuhan suaminya? Apa mungkin saat ulangtahun Maha kemarin wanita ini datang untuk mengacau lalu diusir Gama? Pikiran buruk bersarang di otak Felisya, sampai dia terbebelak bahkan tak bisa berkata-kata kala Naura berkata dia adalah ibu kandung Maha. “Apa kamu bilang?” Muka Felisya berubah masam, alis matanya bergelombang dan
“Kita tidak pulang ke rumah? Apa mau ke rumah nenek lagi?”Wajah polos bocah berseragam itu kebingungan. Ini karena Maha melihat papanya tidak mengambil jalan pulang seperti biasa. Maha yang duduk di bagian belakang sampai menoleh ke luar jendela untuk memastikan lagi. “Kita akan ke rumah Oma, Maha. Malam ini kita menginap di sana ya!” ujar Gama menjawab pertanyaan bocah itu. Dari kaca spion tengah dia pandangi Maha yang mengangguk tanda paham.“Apa aku boleh tidur sama Ibu Sabsab?” tanya Maha, dia sepertinya sudah sangat menginginkan tidur ditemani sosok gadis itu sejak kemarin.“Tentu saja, nanti malam ibu akan menemani Maha,” jawab Sabrina. Gadis itu menoleh ke belakang, dia tersenyum lebar mendapati wajah Maha berbinar, anak itu bahkan menekuk tangan kanan dan meneriakkan kata ‘yes’ berulang.Di rumah Felisya ternyata sudah menunggu, dia menyambut kedatangan cucu dan anaknya seperti biasa. Felisya sedikit membungkuk dan merentangkan tangan, menunggu langkah kecil dan tangan Maha m
“Naura menghilang dan memutus komunikasi denganku lebih dari sembilan bulan sebelum memberikan Maha, dia berkata tak peduli bahkan jika aku membuang anak itu.” Alasan pertama Gama sudah membuat jantung Sabrina seolah dihantam batu, dia tak menyangka bahwa Naura bisa sekejam itu, sebagai sesama wanita dia pikir masih ada nurani di hati wanita itu. Susah payah Sabrina menelan ludah, tenggorokannya terasa tercekat. “Selama aku menunggu kabar darinya aku juga mencari keberadaannya, tapi pada akhirnya aku menyerah dan menganggap dia memang sudah tidak ingin berhubungan lagi denganku. Alih-alih berpikir kenapa Naura tidak meminta pertanggungjawaban jika memang aku yang menghamilinya, aku malah berpikir diriku adalah pria brengsek. Melihat Maha kritis saat itu aku benar-benar merasa bersalah, dia hanya bayi yang tidak punya kekuatan apa-apa, bahkan jika aku menyuapkan racun padanya, dia pasti menelannya. Lalu sebagai manusia yang memiliki hati, aku harus berbuat apa? haruskah aku membuangny
Mendapati Tama dan Felisya yang wajahnya tegang, Sabrina secara paksa melepas genggaman tangan Gama sebelum sampai di ruang tempat pasangan suami istri itu duduk. Gama jelas terkejut dengan sikapnya, bahkan sempat takut dan mengerutkan kening. Ia heran karena Sabrina malah tersenyum. Gadis itu berkata akan membuatkan teh untuk mereka berempat. “Kamu pernah liat iklan teh sariharum tidak? teh itu mencairkan suasana,” ucap Sabrina Gama tertawa sebelum mengucapkan terima kasih dan membiarkan istrinya itu pergi ke dapur. Sebenarnya Sabrina hanya tidak ingin kehadirannya membuat situasi semakin canggung. Ia membuang napas kasar lewat mulut, sengaja merebus air galon padahal bisa saja menggunakan air panas dispenser. Sabrina tiba-tiba menyentuh pundaknya sendiri, dia tertawa mengingat saat Gama memeluknya tadi. Ia pun bergumam dengan senyuman lebar. “Aku tidak mimpi ‘kan?” Sementara itu, Gama langsung duduk di sebelah Felisya. Mereka tidak serta merta membahas masalah yang sejak siang d
Sabrina minder, jiper atau apapun itu sebutannya, saat tahu bagaimana model wanita yang dicintai oleh Gama. Hubungannya yang mulai dekat dengan pria itu serasa sedikit terbentang jarak lagi setelah pengakuan Gama beberapa saat yang lalu soal Embun yang ternyata adalah cinta pertamanya. Ya, Sabrina seperti bunuh diri menanyakan bagaimana kisah cinta di antara Rain, Embun dan sang suami. Hingga dia mulai membandingkan kenapa masa remajanya begitu suram. Tidak ada satupun siswa yang berani mendekati apalagi menyakatan cinta. Mungkin karena dulu Sabrina tomboy, belum mengenal apa itu skincare. “Mba Sab, telurnya nanti gosong itu.” Bik Mun memperingatkan Sabrina yang melamun. Pagi itu, Sabrina memaksa turun ke dapur, untuk menyiapkan sendiri sarapan untuk suami dan putranya. “Ah … untung apinya kecil,” ujar Sabrina. Ia lega meski sambil tertawa canggung. Gadis itu mengambil piring hendak mengangkat telur dari penggorengan, saat Gama tiba-tiba bersuara. “Ibu, Maha tidak mau ganti baju.”
“Tanyakan saja pada gurunya, bagaimana Maha selama ini. Apa dia terlihat sedih? Murung setiap saat atau ada kepribadiaannya yang dirasa kurang baik? Kalau hanya suka bertengkar dengan temannya, semua anak seumuran Maha pasti juga sama,” cerocos Sabrina. Serasa ada api yang membakar dadanya karena kunjungan orang-orang yang merasa dirinya si paling benar sedunia.Kepala sekolah dan Miss Fara sampai melongo, mereka tidak percaya ibunda Maha bisa seberani ini menghadapi orang dari Lembaga Perlindungan Anak - yang bahkan mereka sendiri sungkan untuk meninggikan suara saat berbicara. “Seperti ini saja sudah terlihat, Maha diasuh oleh wanita yang diktator dan tidak bisa diajak bekerjasama, Anda membuat kami curiga,” ujar salah satu orang dari LPA yang membuat Sabrina membuang muka.“Cih … terserah Anda mau bilang apa,” ketus Sabrina. Ia menatap kembali orang-orang dari LPA itu dengan tatapan sengit. “Tapi jika Anda menginginkan bertemu Maha, silahkan komunikasikan dulu dengan suami saya.”“
Maha masih memeluk Sabrina, anak itu mengusap perut ibunya dengan lembut hingga tiba-tiba saja wanita itu mundur sambil mendorong Maha menjauh. Sabrina merasakan ada air yang merembes deras di antara pahanya.“Ibu!” panggil Sabrina ke Mirna.Wanita itu pun mendekat, dan Maha ditarik mundur oleh Gama. Suasana kamar sedikit kacau, beruntung perawat yang mengantar Maha dan Olla tadi belum terlalu jauh pergi. Embun buru-buru memanggilnya kembali.Sabrina seperti ketakutan, dia berusaha bernapas dengan mulut hingga tanpa sadar mengejan. Sabrina memasukkan tangan ke balik baju pasien yang dikenakan dan manarik pantiesnya ke bawah.“Ibu, kepala bayiku,” pekik Sabrina setelah sadar ada yang keluar dari jalan lahir.“Hah! kepala?”Mirna dan Felisya kalang kabut, mereka berteriak memanggil dokter atau pun perawat. Beruntung Perawat tadi langsung berjongkok di dekat Sabrina. Tanganya mengadah di antara dua kaki Sabrina. Ia memberikan instruksi agar Sabrina mendorong lagi. Sabrina membuka lebar k
Lima bulan kemudianGama bingung dan cemas, sejak tadi dia mondar-mandir kamar inap Sabrina. Istrinya itu sedang kesakitan menahan gelombang cinta dahsyat yang diberikan bayi mereka. Di sela kontraksi yang mendera tubuh, Sabrina dibuat pusing dengan kelakuan Gama.“Duduk lah, apa kamu tidak capek?” tanya Sabrina sambil berusaha mencari posisi yang nyaman, ini sudah delapan belas jam, dan bayi berjenis kelamin laki-laki buah cintanya dan Gama masih sibuk mencari jalan lahir.“Sab, aku panggil dokter ya, kita lakukan operasi saja,” kata Gama. Mungkin sudah yang ke sembilan kali dia mengatakan hal ini, tapi jawaban Sabrina tetap sama.“Tidak mau, aku sudah merasakan sakitnya berjam-jam, aku bisa menahannya lebih lama.”“Jangan berbohong! kamu kesakitan Sab. Lihat apa yang kamu tinggalkan di lenganku!” kata Gama sambil menunjuk bagian tubuhnya itu. Sabrina malah tertawa mengamati bekas lecet yang dia buat, lengan Gama beberapa kali dijadikannya pegangan saat kontraksi terjadi, hingga kuk
Diwakili oleh pengacaranya, Bagaskara hari itu harus menelan rasa kecewa karena hakim pengadilan memutuskan bahwa hak asuh Maha jatuh ke tangan Gama. Menimbang segala bukti dan dikuatkan dengan surat permohonan Naura, membuat hakim yakin jika anak itu lebih baik berada di bawah pengasuhan Gama. "Maha, bilang terima kasih ke Pak hakim!" perintah Gama ke Maha yang hari itu ikut ke pengadilan bersamanya. Gurat bahagia terpatri jelas di wajah Gama juga Sabrina, akhirnya perjuangan untuk mendapatkan dokumen legal sebagai orangtua Maha sudah ada di tangan mereka. "Terima kasih," ucap Maha sambil memberikan hormat, kepalanya mengangguk kecil dan berhasil membuat hakim tersenyum. Hakim ketua mengusap kepala anak itu lembut, dia tahu Naura sudah meninggal. Agak teriris batinnya membayangkan anak sepolos Maha kehilangan ibu kandung dan bahkan tidak tahu siapa ayah kandungnya. Tak jauh dari tempat Sabrina dan Gama berdiri, Rudi berbincang dengan pengacara Bagaskara. Wajah pengacara itu
Duka masih menyelimuti hati Gama dan Sabrina, perasaan benci yang berubah menjadi simpati membuat ke duanya merasa sangat kehilangan Naura. Masih tak mereka sangka Naura harus pergi di saat hati Maha mulai terbuka, di saat semua orang bisa menerima kehadirannya dan memaafkan kesalahannya.Gama dan Sabrina menatap Maha yang terlelap tidur di ranjang mereka, belakangan anak itu seolah tahu bahwa wanita yang melahirkannya telah tiada, banyak yang Maha tanyakan salah satunya kenapa Naura pergi, ke mana dan akankah mereka bisa bertemu dengan wanita itu lagi suatu saat nanti.Awalnya Sabrina kebingungan. Menjelaskan secara rinci ke Maha jelas tidak mungkin dia lakukan, hingga sebuah kalimat paling mudah dia ucapkan. Bahwa Naura sakit, tapi kini sudah sembuh dan pergi ke surga bertemu dengan orang yang paling dikasihi.“Kemungkinan keputusan pengadilan akan dipercepat,” bisik Gama, dia peluk Sabrina dari belakang dan mengusap lengan istrinya yang terus menatap Maha.“Itu menjadi kabar baik d
Acara liburan di pantai menjadi hari terakhir Adam mendengar Naura bicara dan tersenyum. Setelah itu kondisi sang istri terus saja melemah hingga terbaring koma. Adam seorang diri menjaga Naura, bagaimana tidak? bahkan saat dikabari, Bagaskara acuh kepada kondisi putri kandungnya.“Aku sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi, setidaknya sebelum koma dia bahagia karena Maha mau berinteraksi dengannya, meski anak itu belum mau memanggilnya Mama.”Gama duduk bersisian dengan Adam. Mendengarkan setiap curahan hati pria itu. Gama tahu Adam pasti sangat hancur, baru saja dia menemani pria itu mendengar penjelasan dokter yang bertanggungjawab pada kondisi Naura. Gelang pasien di pergelangan tangan kiri Naura sudah diganti menjadi warna ungu yang artinya harapan hidup pasien sangat kecil. Jika semua alat penunjang kehidupan Naura dilepas, maka wanita itu akan pergi untuk selamanya.“Aku tidak ingin menyetujui saran dokter, jika harus pergi biarlah dia pergi saat jiwanya sudah ikhlas,” lirih
“Kamu memang anak tidak bisa diandalkan!”Kalimat kejam itu meluncur dari bibir Bagaskara, dia meminta Naura datang menemuinya dan hanya makian yang diperdengarkan. Ia sama sekali tidak menanyakan kondisi putrinya yang nampak begitu pucat.“Papa tidak akan bisa mengambil Maha dari Gama, dia akan menjadi putra Gama dan Sabrina selamanya,” kata Naura tanpa memandang Bagaskara.Tangan pria tua itu mengepal karena bantahan sang putri. Ia pun melempar vas bunga di dekatnya sampai hancur berkeping-keping.“Terserah! Lakukan sesukamu, aku bahkan tidak peduli kalau kamu mati sekalipun.”Bagaskara pergi meninggalkan Naura dan Adam di ruang tamu. Buliran kristal bening mengalir membasahi pipi Naura. Ia sangat menyesal karena sudah mengambil langkah yang keliru. Seharusnya dia tidak perlu datang ke Bagaskara karena meski bergelimang harta jiwanya terasa begitu hampa.Naura menoleh Adam, masih dengan air mata berlinang dan suara yang berat, dia mengajak suaminya pulang. Dari pada memikirkan tenta
Butuh penjelasan yang agak memakan waktu saat Sabrina dan Gama menjemput Maha. Anak itu benar-benar takut mendengar nama Naura. Maha sampai memeluk erat Sabrina. Awalnya Maha senang karena akan diajak makan es krim bersama, tapi berubah takut kala Gama menyebut di sana sudah ada Naura yang menunggu.“Nggak mau, Maha nggak suka es krim,” ucap Maha. “Mau pulang aja.”Kebetulan di sana ada Embun yang juga menjemput Olla. Ia pun berusaha membantu Sabrina dan Gama dengan berkata, “Apa Olla mau ikut makan es krim? Nanti biar Mami jemput di rumah Maha.”Sabrina dan Gama menoleh Olla, harapannya kini bertumpu pada gadis kecil itu. Mereka merapal doa, berharap Olla mengangguk dan berkata iya.“Oke, aku mau ikut!”Embun tersenyum, dia menoleh ke Sabrina dan Gama yang nampak lega. Sabrina lantas bertanya lagi, jadi Maha mau ikut atau tidak.“Tenang saja Maha, ada aku!” kalimat menenangkan dari Olla seperti mantra bagi Maha. Bocah itu melepaskan pelukannya ke Sabrina dan berganti meraih tangan Ol
Duduk di dalam ruang sidang dan mendengarkan pihak lawan berbicara jelas sangat tidak mengenakkkan. Gama sudah ingin membantah semua ucapan dari pihak Bagaskara, sedangkan Sabrina beberapa kali menoleh ke arah pintu berharap Naura akan segera tiba. Wanita itu adalah satu-satunya kunci untuk membuat persidangan ini tak berlarut-larut. Persidangan kasus hak asuh seperti ini biasanya memakan waktu berbulan-bulan, bahkan sekitar sembilan sampai dua belas kali hingga putusan.Rudi Tabuti berkata, jika Naura sebagai ibu kandung langsung berkata tidak ingin memperebutkan Maha, maka jalan bagi Gama untuk memenangkan hak asuh sudah berada di depan mata.Pihak pengacara Bagaskara sudah selesai dengan gugatan, dan kini giliran Rudi untuk membela kliennya. Rudi menyampaikan semua bukti sejak awal, baik dari mulai Naura berbohong dan memberikan Maha ke Gama, sampai wanita itu yang berkata tidak ingin memperebutkan sang anak, karena tahu Maha akan jauh lebih bahagia bersama Gama dan Sabrina.“Ini a
“Ibu nggak sayang aku,” raung Maha.Bocah itu terduduk sambil menangis. Sontak saja Sabrina semakin kalut. Bik Mun yang ikut menyusul ke lantai atas pun heran dengan tingkah Maha.“Maha, kenapa? nggak sayang gimana?” tanya Sabrina lagi, dia saling pandang dengan bik Mun. Wanita itu mengedikkan bahu tanda tidak tahu juga, kenapa anak sang majikan seperti itu.“Aku tidak mau punya adik!”Sabrina tercengang, sepertinya baru kemarin Maha berkata sayang, tak sabar melihat adiknya lahir, tapi kenapa hari ini sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. Sabrina memilih berjongkok, tapi Maha malah berdiri. Tanpa sengaja bocah itu menyenggolnya hingga dia jatuh dan pantatnya mendarat kasar ke lantai.“Mas Maha!” pekik bik Mun yang langsung mendekat ke Sabrina. Membantu wanita itu untuk berdiri. “Mas Maha, Ibu Sabsab sedang hamil, nggak boleh ka …. “Sabrina mencegah bik Mun melanjutkan kalimatnya dengan cara meremas tangan wanita itu. Ia menatap Maha yang duduk di kursi belajar dengan raut