Alan tersenyum licik. Saat sudah menemukan benda yang tepat. Di gengamannya tersemat botol obat yang akan memuluskan rencananya.
Dia tidak ingin menjadi wanita bodoh dan lemah lagi, jika Luna bisa merebut suaminya kenapa dia tidak. Dia harus menjadi lebih kuat dari wanita itu.
Jika Luna menggunakan bayinya untuk meraih simpati dan perhatian Gavin, dia akan melakukan hal yang sama. Semua rencananya sudah terekam jelas di dalam kepalanya.
Setelah membayar di kasir, Alan segera melesat keluar dari toko, dan kemudian menyetop Taksi. Ia masuk ke dalam kendaraan roda empat berwarna kuning tersebut.
"Kita akan ke mana, Nyonya?" tanya si Supir setelah melihat penumpangnya duduk nyaman di dalam kursi jok belakang.
"Woodridle strett nomor lima puluh tiga," jawabnya.
"Baik," ucap si pengemudi Taksi yang sudah hampir memasuki usia senja telihat dari rambutnya yang telah memutih semua. Lelaki itu lantas melajukan Taksinya membelah jalanan padat kota Brigston. Tangan kirinya mencari-cari lagu lawas dalam ponselnya untuk dia setel.
Dalam sekejap suara tinggi penyanyi terkenal di tahun 70an, Elvis Presley dengan lagunya Can't Help This Falling Love bergema dan cukup membuat ramai seisi Taksi.
"Anda penggemar Elvis Preslye?" tanya Alan yang cukup menikamti lagu tersebut.
"Tidak juga, hanya menyukai jenis musiknya," jawabnya sedikit keras karena khawatir penumpangnya itu tak akan mendengar suaranya karena kalah dengan sura musik yang kencang.
Alan mengangguk saja tak mmberi tanggapan apapun. Netranya yang berwarna cokelat memilih memfokuskan arah pandanganya pada pemandangan di luar lewat kaca jendela Taksi yang dirinya tumpangi.
Alan tersenyum sepanjang jalan, mengingat rencananya akan berhasil malam ini. Dia begitu percaya diri. Mula-mula ia akan menggoda suaminya. Gavin adalah pria sehat tentu dia tak akan menolaknya, bukan.
Tidak sampai satu jam, Taksi itu berhenti tepat di depan mansion Wildberg yang mewah. Dia segera turun setelah mengeluarkan beberapa lembar uang dengan nominal 1 dollar dari dompetnya.
"Terima kasih, Nyonya. Anda bekerja di rumah keluarga konglomerat Wildberg?" Si supir telihat bertanya, dan pria tua itu sepertinya serba ingin tahu.
Miris, sangat miris. Apakah penampilannya memang mirip seorang pelayan? Tetapi, Alan tak mampu berbuat apa-apa, hanya anggukan lemah sebagai jawaban dari pertanyaan si supir Taksi. Dia tak mungkin menjawab dengan 'Aku adalah Nyonya muda di rumah ini' sangat tidak mungkin atau ia akan dianggap sebagi orang gila oleh si supir Taksi. Siapa yang akan percaya, sudah cukup ia tak ingin mempermalukan dirinya sendiri.
"Rumornya dia menikahi putri keluarga Welington, karena gadis itu hamil diluar nikah, apakah benar, Nyonya?"tanya si pengemudi Taksi sekali lagi.
Alan tertegun, ternyata supir taksi ini hobi bergosip. "Ya, begitulah. Kurasa putri Tuan Welington memang menggodanya, karena Tuan muda Wildberg adalah pria kaku," jawab Alan seadanya. Biar saja dia menjelekkan Luna. Alan besorak dalam hati, biarkan saja, untuk apa menutupi segala kebusukan Luna. Dia juga bisa berbuat keji pada adik angkatnya itu.
Si supir taksi mengangguk-anggukan kepalanya. Tangan kanannya memegang stir kemudi, dan satu tangannya lagi melembai ke arah Alan untuk mendekat.
"Nyonya, aku ingin bertanya sesuatu, sudah berapa lama kau bekerja di rumah itu?" Lagi-lagi si supir ini kembali bertanya. Semua sikap ingin tahunya membuat Alan sedikit kesal.
"Belum lama, sekitar satu tahun yang lalu. Ada apa, Tuan?" jawab Alan sekenanya.
"Ah, tidak aku hanya mendengar gosip jika WG group hampir bangkrut. Namun, hal itu tidak terjadi karena pemiliknya, Tuan Joseph Wildberg selalu mengemis bantuan pada JYB groub, perusahaan terbesar nomor satu di daratan Amerika."
Deg
Hati Alan mencelos mendengarnya. JYB? Bukan hanya familiar, Alan bahkan sangat tahu perusahaan itu. Apakah benar, Tuan besar Wildberg mengemis pada perusahaan itu, astaga apakah mereka semenyedihkan itu. Lalu, bagaimana kinerja Gavin selama ini. Apakah dia berniat menghancurkan perusahaan dan muka ayahnya.
Alan tak lagi ingin menanggapinya. Dia tak mau si supir kembali bertanya macam-macam.
Dia hanya tersenyum sebagai jawaban, "Ah, Tuan. Saya permisi," ucap Alan.
"Silakan Nyonya."
Alan pun bergegas berlari masuk ke dalam rumah besar tersebut. Dia masuk dari pintu belakang yang menghubungkannya langsung dengan dapur.
Dia bergegas setelah menggantung mantel miliknya di dekat pintu dan berganti dengan sandal rumah, dia harus menyusun rencananya mulai sekarang.
"Hei, apa yang kau lakukan!" seru Grifida entah datang dari mana sudah berdiri menjulang di belakangnya. Tangan yang berada di pinggang adalah ciri khasnya, dengan makeup menor dan wajah pongah menyebalkan menatap ke arah Alan.
"Mama, maaf aku..." Belum selesai ia berbicara, Grifida sudah terlebih dahulu berteriak kencang.
"Siapa yang menyuruhmu memanggiku, Mama. Aku tidak sudi. Kau bukan bagian dari keluarga Wildberg!" teriaknya.
Alan diam menunduk. Wajahnya bergerak gelisah. Gavin bahkan belum menceraikannya, namun Alan sudah tak dianggap di rumah ini. Menyedihkan sekali, bukan. Jikapun dianggap ada, dia layaknya seonggok sampah di rumah ini.
"Kau ingin mengatakan, jika kau masih istri putraku, jangan konyol. Cepat atau lambat aku akan membuangmu dari sini. Suamiku memang ceroboh dalam memilih menantu. Bisa-bisanya dia memilih wanita tidak jelas sepertimu, tidak berpendidikan, tidak memiliki masa depan dan yang pasti kau bukan dari keluarga terhormat. Hanya seorang gelandangan. Benar-benar menyedihkan sekali, kau bahkan sudah mencoreng nama baik keluarga Wildberg yang terhormat," desisnya tajam.
Alan mengepalkan kedua tangannya di masing-masing sisi tubuhnya. Andai saat ini dia bisa kembali, dia ingin kembali ke tempat seharusnya dia berada dan menyumpal mulut wanita itu.
"Maaf, aku tidak tahu jika aku dijodohkan dengan orang terhormat, aku pikir, aku akan dinikahkan dengan gelandangan juga, jadi aku terima saja," ucapnya teramat berani. Setelah mendengar cerita dari si supir taksi, jika Keluarga Wildberg mengemis pada Keluarga Smitt pemilik JYB Group, Alan mulai menunjukan taringnya. Meskipun dia sendiri tidak tahu akan bagaimana nasibnya nanti. Ia tak akan peduli, buat apa. Cepat atau lambat ia juga akan di depak dari rumah ini.
Dia hanya tidak ingin terus menangis, dan menjadi bodoh. Sudah cukup.
Plakk
Satu tamparan keras mendarat di pipi kirinya, bersamaan dengan teriakan Grifida yang bergema di seluruh penjuru mansion mewah itu.
"Kurang ajar! Berani sekali kau, manusia sampah sepertimu tak pantas berada di dalam lingkungan Wildberg yang terhormat!" teriak Grifida.
Alan fak menjawab, dia hanya bisa bungkam sembari memegang pipi kananya yang terasa nyeri. Tidak sampai di situ, Grifida kini mendorong tubuhnya hingga jatuh terjerembab di atas lantai.
Grifida lantas pergi meninggalkan Alan, tak peduli dengan menantunya yang meringis menahan perih di pipinya.
Saat ini Alan tengah sibuk di dapur merancang rencananya untuk menjebak suaminya. Malam ini Alan tidak ingin ada kegagalan. Wanita itu pergi ke dapur, membuat susu hangat kesukaan Gavin. Dia yakin Gavin tidak akan menolak apapun buatannya, meskipun pria itu tak memiliki perasaan pada dirinya. "Kali ini aku pasti berhasil," gummanya begitu lirih. Bahkan semut pun tak mampu mendengarnya. Alan begitu bersemangat membuat susu hingga tak menyadari jika Nay sudah berdiri bersandar pada tembok tepat di di belaknganya dengan tersenyum manis seperti biasa. "Ehem." Gadis itu berdehem hingga membuat Alan terlonjak karena kaget. Dia takut, untung saja Nay belum melihatnya memasukan obat itu ke dalam susu milik Gavin. Jika Nay tahu, gadis itu pasti akan mengomel dan menentang rencananya. "Astaga, Nay. Sejak kapan kau di situ. Dirimu benar-benar membuatku hampir terkena serangan jantung," ujarnya.
Desahan saling bersahutan memenuhi kamar Alan malam ini. Wanita itu mabuk akan sentuhan yang suaminya lakukan. Akhirnya, mimpinya menjadikan Gavin miliknya seutuhnya terwujud malam ini meskipun dengan cara licik dia membuat laki-laki itu tak berdaya di bawah pengaruh obat. Alan menahan segala gejolak nikmat di dalam dadanya, saat keringat dari tubuh Gavin bercampur dengan miliknya. Gairahnya memuncak seolah dia terbang ke atas nirwana. Tubuhnya terlonjak di atas ranjang saat gempuran dari Gavin terus menghujamnya. Meleburnya menjadi nikmat yang tiada tara hingga saat dia mencampai puncak, dan bersamaan dengan pria itu yang menanamkan benihnya di dalam rahim Alan yang subur. Tubuh Gavin ambruk tepat di samping istrinya. Laki-laki itu menarik selimut dengan seperempat kesadarannya yang tersisa. Tenaganya terkuras habis. Alan yang menyaksikan suaminya hanya tersenyum puas dan dia benar-benar bahagia dengan hal yang baru saja dia lakukan bersama Gavin. Alan
Desiran angin malam menyibak helaian rambut hitam milik gadis lugu yang kini memilih duduk meringkuk di sudut balkon kamarnya. Kepalanya tertelungkup berbantalkan lutut di antara kedua kakinya yang ia tekuk. Wajahnya sudah basah oleh air matanya yang terus deras mengalir tanpa mau berhenti. Dadanya begitu nyeri. Apakah mencintai seseorang itu sebuah dosa? Kenapa rasanya begitu sulit, rasanya begitu sakit. Apalagi suara desahan yang terus terdengar di sepanjang malam hingga dini hari membuat hatinya semakin remuk. Sudah tidak ada harapan lagi, Gavin sudah bahagia dengan adik tirinya. Tidak ada kesempatan lagi untuknya bersama dengan suami yang paling ia cintai. Jujur, sejak tawaran ayah mertuanya untuk menikahkannya dengan Gavin membuatnya bahagia, impiannya untuk menjadi pasangan orang nomor satu di hatinya akhirnya terwujud. Tetapi, itu hanyalah ilusi semu, harapan masa depan bahagia dengan pemuda Wildberg itu tidak akan pernah terealisasikan. Jangankan
Makan siang di keluarga Wildberg terasa sunyi, hanya Gavin dan Luna yang saling melempar senyum bahagia. Bahkan membuat Nay muak dengan adegan kemesraan di depannya itu. Rasanya ia ingin muntah saat ini juga karena sikap Luna yang terlewat manja di matanya. Alan masih asyik dengan kebisuan dan kepala menunduk, bahkan piring di depannya masih penuh dengan makanan, belum sedikitpun tersentuh oleh si empunya. Jangan tanyakan kenapa ia masih berada di sini, itu karena Nay yang terus memohon agar ia tak pergi dari sini, dan sekali lagi Alan hanya bisa mengangguk pasrah. Apalagi setelah itu Joseph datang dan memintanya untuk tetap bertahan, dan ia bisa apa jika ayah mertuanya itu sudah turun tangan. Ia tak mungkin membuat laki-laki yang telah baik padanya itu kecewa. "Setelah makan, Papa ingin bicara pada kalian, dan
Gerimis masih saja mengguyur kota Brigston. Langit bahkan masih muram di atas sana. Kota terlihat lebih sepi, mungkin karena udara yang dingin juga waktu telah masuk tengah malam tepatnya pukul 1 dini hari waktu Brigston. Tubuh kurus itu bergetar sepanjang jalan. Tubuhnya ia dekap kuat-kuat menghalau dinginnya angin malam dan tubuh yang telah basah kuyup diterpa gerimis sejak sore. "Aku harus ke mana lagi sekarang," ujarnya putus asa. Wanita kurus itu adalah Alanair. Langkahnya terseok, bahkan hampir limbung. Perutnya terus berbunyi sejak beberapa jam yang lalu, karena memang belum terisi apa-apa sejak dia meninggalkan mansion mewah Wildberg. Apa salahnya, hingga jalan hidupnya begitu pedih seperti ini. Mungkin ini hukuman untuknya karena perbuatannya di masa lalu. Tetapi, itu bukan semua salahnya. Pemuda itu yang harus disalahkan. L
Grifida mengguncang tubuh Joseph yang hanya diam di atas sofa di dalam ruangan kerjanya. Pria itu tak merespon ucapannya. Joseph memang tengah marah kepada istrinya karena membuat menantu kesayangannya harus pergi dari rumah ini. Joseph pasti akan merasa berdosa seumur hidupnya. Dosa yang tidak akan mampu pria itu lupakan. Grifida terus berteriak, dan gendang telinga Joseph rasanya hampir pecah. Dia juga khawatir dengan kepergian Nay sore tadi. Putri bungsunya itu ikut kabur mencari Alan setelah memastikan Alan tak kembali ke rumah keluarga Welington, dan lagi-lagi Joseph tak mampu berkutik. Ia terlalu pengecut, atau mungkin dia terlalu takut. "Joseph! Kenapa kau hanya diam, huh! Cepatlah kau cari Nay, bahkan ini sudah tengah malam!" teriak Grifida membahana. Mungkin saja teriakannya itu mampu membangunkan se
Siang itu Alan mengendap-endap kembali ke mansion megah keluarga Wildberg. Sudah hampir setahun gadis itu tinggal di tempat ini, tentu dia sudah mengetahui seluk beluk rumah besar tersebut. Alan melewati gerbang belakang, memanjat pohon untuk melompat masuk ke dalam rumah tersebut layaknya pencuri. Alan cukup gesit dalam memanjat, lihat saja gerakannya yang gesit dan secepat kilat dia sudah berada di halaman belakang mansion Wildberg. Dia berjalan cukup pelan, dan hati-hati layaknya pencuri, mencari celah agar tidak tertangkap oleh para pelayan di rumah ini. Gadis itu mengendap-endap menuju gazebo belakang, karena itu rute tercepat menuju dapur. Dia kembali ke sini hanya untuk melihat wajah tampan suaminya. Bolehkah dia masih menyebutnya suami? Alan memang terlalu berdelusi tinggi. Salahkan cintanya yang terlampau besar untuk Gavin, hingga tindakan bodoh dan konyol rela dia lakukan. Alan berjalan ke arah gazebo tempat dia biasa menyendiri. Namun
Keputusasaan membawa Alan mengikuti pria bernama Peter Warsen. Ia yang tak memiliki tempat tujuan akhirnya pasrah. Meskipun pria itu memiliki niat jahatpun Alan tak akan melarikan diri. Dia sudah lelah akan hidupnya yang hancur. Ke mana lagi tempatnya untuk melangkah. Ia tak punya tujuan. Biarlah, ia mengadu nasibnya pada lelaki ini. Perjalanan dari Brigston ke kota Edlen cukup memakan waktu karena jaraknya yang lumayan jauh. Ia bahkan tak tahu berapa lama waktu yang ditempuh karena ia tertidur di dalam mobil. Alan baru terbangun saat Peter mengguncang tubuhnya. "Bangunlah, kita sudah sampai, Nona," ujarnya. Alan lantas terbangun dengan matanya yang masih lengket. Dia melihat ke sekitar, begitu sunyi. Dia bisa melihat bangunan rumah bergaya Eropa menjulang di depannya tertutup gerbang setinggi dua meter. Peter lantas menghubungi seseorang dan dalam hitungan detik, pintu gerbang itu te
Gavin kembali ke rumah dengan hati hancur. Nyatanya ia tak bisa lagi memiliki kesempatan untuk bersama kembali dengan Alan.Ia menjatuhkan tubuhnya di atas sofa, matanya menerawang ke atas langit-langit apartemen kecil, yang ia sewa setelah rumah mewahnya ia jual untuk menutup hutang puluhan juta dollar di bank, akibat perusahaan milik sang ayah pailit."Apa yang kau lakukan di sini, huh!" seru Grifida. Wanita itu datang dengan pakaian berkabung, membuat Gavin langsung bangkit."Mama, kau dari mana? Kenapa memakai pakaian berkabung? Siapa yang meninggal?" tanyanya. Grifida tak menunjukkan raut sedih sama sekali. Justru binar bahagia terpancar di wajahnya yang mulai keriput,0 akibat tak pernah melakukan perawatan wajah."Kau tahu, beban hidupku kini telah menghilang. Akhirnya wanita ular itu mati bersama anaknya yang cacat."Mata biru Gavin langsung mendelik mendengar perkataan sang Ibu. "Apa maksud, Mama?""Kau tahu maksudku, Gavin. Wanita ular itu, alias mantan istrimu, Aluna Welingt
Gavin menarik lidah Alan untuk bergulat hanya sebentar. Sementara tangannya bergerak lihai memelintir pucuk dua bongkahan kembar milik Alan yang mencuat karena terangsang. Memaksa Alan untuk mendesah nikmat di bawah kungkungan sang mantan.Terdengar kecupan penuh nafsu, dan gairah malam yang mereka gumamkan. Sedotan akan bibir tipis yang mendominasi, membuat Alan tak berdaya. Tubuhnya seperti tersengat aliran listrik, setiap lelaki di atasnya memberikan sentuhan yang tak pernah ia dapatkan selama ini."Eung...," lenguh Alan mendongak. Merasakan perutnya tergelitik, saat lidah Gavin bermain di area tubuh atasnya. Mengulum secara lambat, yang membuat Alan meremas surai hitam sang mantan suami.Gavin yang sejak tadi menyentuh tubuhnya, merasakan sesuatu yang tak bisa ia gambarkan. Sebuah perasaan sakit akan apa yang telah ia lakukan sekarang."Kita pindah kamar, ya?" ucap Gavin sembari menarik diri, saat ia kembali mengecup bibir Alan yang terbuka, dan menatap kedua maniknya meminta pers
"Alan apa yang kau lakukan?"Bukannya berhenti Alan justru melepas semua atribut yang menempel di tubuhnya. Hingga tubuh putih itu polos tanpa sehelai benang pun. "Kenapa kau diam saja, bukanlah kau menginginkan tubuhku, berengsek!" Alan berteriak. "Tidak."Alan tertawa nyaring, mengabaikan rasa malunya di depan Gavin. Ia melangkah maju mendekati sang mantan suami yang duduk dia tas sofa. "Apa kau sekarang telah berubah menjadi pria baik-baik, oh astaga. Ini mencengangkan sekali. Tapi mana mungkin kau bisa menolakku."Gavin susah payah menelan ludahnya gugup. Segala pikiran kotor ingin ia singkirkan, namun ia kalah dengan tubuh Alan yang menggoda. "Shit!" umpatnya, kala miliknya di bawah sana mengaum ingin dibebaskan. "Lakukan dengan cepat, dan aku tak ingin membuang waktu berhargaku, sialan!" umpat Alan tak kalah sarkas."Kenapa kau melakukan ini, Alan?""Kau tidak perlu bertanya."Bukannya langsung memenuhi keinginan Alan, Gavin justru menarik tubuh polos sang istri dalam pelu
Lelaki itu turun dari dalam mobil tepat di depan hotel yang Alan tunjuk untuk pertemuan mereka malam ini. Dia mengamati hotel berbintang lima yang begitu mewah di pusat kota Edlen. Gavin lalu buru-buru kembali masuk ke dalam mobil, dan mengendari kendaraan roda empat tersebut menuju basemen."Apa benar ini tempatnya, ya?" gumam Gavin seorang diri. Ia berjalan masuk ke dalam lobi hotel setelahnya. "Selamat malam, ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya sang resepsionis. "Nyonya Alanair Smitt, saya ingin bertemu dengannya."Resepsionis bernama Alexa itu tersenyum, ia meminta Gavin untuk menunggu, mencari data Alan di layar monitor."Nyonya Smitt menginap di kamar tiga ratus tujuh."Gavin mengangguk, lalu bergegas menuju lift yang akan mengantarkan dia ke lantai 3 tempat Alan menginap.Hatinya berdebar tak karuan, padahal hanya 10 menit ketika ia turun di lantai 3, namun rasanya sudah berabad-abad. Ia berharap malam ini Alan memberinya maaf, ia tak berharap banyak untuk kembali pada wa
"Aku turut berduka cita atas meninggalnya Ayahmu, Gav." Greg menepuk pundaknya dengan pelan, dan lelaki bermarga Wildberg itu hanya mengangguk lesu."Aku tahu itu berat bagimu, Gav. Tetapi cobalah relakan Ayahmu. Dengan begini, Tuan Wildberg tak lagi merasakan sakit. Dia sudah bahagia di atas sana."Gavin menghembuskan napas pelan, sebelum mengalihkan atensinya pada sosok Greg Martin yang berdiri di belakang tubuhnya. Ia memutar kursi, hingga kini ia tepat menghadap lelaki bermata biru tersebut. "Ini bukan soal Ayahku, Greg.""Lalu.""Ibuku tahu jika Alanair Smitt adalah mantan istriku, kau tahu apa yang Ibuku katakan?"Greg menaikan satu alisnya. Tetapi ia sudah tahu jawabannya, bahkan ketika ia tak perlu bertanya pada sahabatnya itu. "Ibumu menyuruh kau kembali pada Nona Smitt, right."Gavin mengangguk pelan. "Bahkan, tanpa aku menjawabnya kau sudah tahu apa jawabannya.""Maaf, tapi karena itu mudah sekali tertebak ketika kau sering menceritakan sikap Ibumu. Sekarang terserah kau s
"Dia Alanair Wellington, istriku dan bocah kecil itu adalah putraku, putraku dengan Alan." Gavin mengatakan dengan gamblang. Alan melotot, begitupula dengan Grifida, wanita itu menatapnya tak percaya. Grifia membekap bibirnya dengan telapak tangan. Dia tertawa miris dengan apa yang ia dengar di telinganya saat ini. "Bohong, kau pasti bohong. Mana mungkin dia adalah si jelek Alanair Welington?"Alan mendengus malas. Ia melipat kedua tangannya di depan dada. "Sejak dulu, kau tak pernah berubah, ya, Nyonya Wildberg?""Karena aku percaya kau bukan Alanair, mana mungkin." Grifida masih bersikukuh."Karena Anda takut, bukan begitu. Anda takut mengakui saya sebagai Alanair Welington, Anda takut dengan kesalahan dan dosa Anda di masa lalu, Nyonya." Alan tertawa sinis, membuat wajah Grifida pucat pasi.Wanita itu memundurkan langkah. Mungkin Alan benar, dia takut dengan dosa masa lalunya. Dosanya yang telah mencampakkan menantunya yang polos, dan bahkan berhati mulia. Justru dia memelihara
"Laporan apa yang kau buat ini? Apa kau tidak becus membuatnya, huh?" Sebuah kertas dilempar begitu saja oleh Alanair, begitu ia membaca laporan yang Gavin berikan padanya."Apanya yang salah?" tanyanya. "Apa matamu buta? Atau sudah rusak? Lihat saja sendiri, kau sama sekali tak becus membuatnya. Pantas saja WG hancur karena dipimpin oleh orang macam kau." Amarah Alan menggebu-nggebu saat ini.Sakit di hati Gavin semakin menjadi, bukan karena amarah wanita ini. Akan tetapi, status mereka yang seharusnya masihlah suami istri, namun ketika mereka sudah sedekat ini. Kenapa ego memisahkan masing-masing. Ia menyesal dengan perbuatannya, ia tahu ia salah. Namun, Alan tak memberinya sedikitpun kesempatan untuk memperbaiki dirinya sendiri. "Astaga, kamu kalau marah menggemaskan sekali." Gavin mencoba mencairkan suasana denagn menggoda sang istri, ah masihkah boleh Gavin menyebutnya seperti itu, sementara Alan sudah menganggap mereka bercerai. Lagipula, dia sudah tidak mau bersama pria ini.
Setelah Alan merasa jauh dan jauh dari jangkauan mantan suaminya. Wanita cantik itu segera menyembunyikan tubuhnya di balik tiang bangunan. Hanya berdiri di sana tanpa melakukan apapun, memperhatikan sepatu hells merahnya yang menggesek tanah. Matanya berkaca-kaca menahan emosi yang sedari tadi dirinya tahan. Hanya saja Alan kalah, hatinya sakit, dan dadanya terasa sangat sesak sekarang. Saat ini ia hanya bisa menepuk dadanya, berharap mengikis semua rasa sakit yang menumpuk di sana, namun semua sia-sia. Rasa sakit itu semakin menjadi, membuat tangisnya kini pecah tak mampu ia bendung lagi."Mama, Mama menjemputku?" Suara melengking di depannya membuat Alan mendongakkan wajah."Mama menjemputku?" ulangnya. Dia berlarian kecil saking senangnya, karena sang ibu menjemputnya di sekolah. "Iya, Mama menjemputmu, kau senang?""Tentu saja senang," ujarnya sembari memeluk kaki Alan, karena tinggi anak itu hanya sepinggang ibunya. Bibirnya terkembang senyum lebar seolah ia baru saja memenangk
"Kau yakin ini tempat sekolah dari putra Boss kita?" tanya Greg, ketika pria itu berhasil mengantarkan Gavin di depan salah satu sekolah swasta di kota Brigston. Greg melirik ke arah Gavin yang sudah lebih baik dari kemarin. "Ya, aku mencari info dari sekretaris pribadi Alan."Greg terkekeh. "Kau bahkan lebih leluasa dengan hanya memanggil namanya saja.""Karena dia istriku," ucapnya percaya diri. "Jika kau masih dianggap." ketika Gavin berdecak, Greg justru tertawa lantang."Sialan!" Gavin segera melepaskan sabuk pengamannya, dan keluar dari mobil. Meninggalkan sahabatnya yang memilih duduk di balik kemudi mengawasi pergerakan rekan kerjanya ini.Gavin melangkah ke arah area sekolah. Mengamati beberapa anak yang telah keluar dari dalam kelasnya masing-masing. "Kenan Yoshiro Smitt!"Langkah kaki Gavin terhenti saat itu juga. Ia menggerakan mata ke samping, saat seorang guru perempuan berambut pirang menyebut nama itu. Seperti ada bom atom yang melesak seisinya dan Gavin merasakan