Alan rasanya sudah tak kuat lagi berdiri. Tubuhnya rasanya ingin ambruk, dan kaki yang terasa lemas seperti jelly. Dengan mata telanjangnya dia menyaksikan suaminya bercumbu dengan Luna di kamar pribadi milik pria tampan itu yang berada di dalam ruangan ini.
Inikah kejutan yang ia dapat. Setelah bayangan menyenangkan yang sempat Alan idamkan saat dirinya berangkat ke tempat ini, dan semuanya musnah dalam sekejab pandangan mata.
Gadis itu mendesah nikmat dengan tubuh terlentang di atas ranjang. Napasnya terengah-engah dengan tubuh nyaris tanpa busana di bawah kungkungan sosok tegab suaminya.
Tangan kurus Alan bergetar hebat, dengan irama jantung yang semakin cepat seolah ingin segera berlari keluar dari tubuh Alan. Tas berisi kotak bekal yang dia bawa dari rumah meluncur bebas begitu saja. Hingga menimbulkan bunyi 'Brakk' yang cukup nyaring, membuat Gavin langsung menyadari orang lain yang berada di dalam ruangannya. Lelaki tampan itu menoleh ke arah di mama Alan berada dengan wajah geram, diikuti Luna yang tersenyum memuakan melihat Alan berdiri di ambang pintu dengan tatapan shock.
Semua kesakitan ini terasa menumpuk menjadi senjata untuk membunuhnya saat ini juga.
Mata cokelat Alan memanas. Air mata yang sekuat tenaga dia tahan, akhirnya meluncur bebas.
Sakit, sakit sekali rasanya. Meskipun dia pernah berkata akan rela untuk berbagi suaminya dengan Luna. Namun, apa yang terjadi? Rasanya sakit di dadanya tetap bertahan dan tak ingin lari. Terus mengendap dan merusak segala organ-organ tubuh Alanair.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Ucapan datar dan menusuk itu mampu membuat Alan bergetar hebat. Aura kelam dari tubuh Gavin membuatnya takut setengah mati. Terlihat dari tatapannya yang berubah aneh.
Kedua tangannya bergetar hebat, "A-aku ..., aku hanya men-gantarkan makan siang untukmu," ucapnya terbata. Wajahnya bahkan memilih berpaling tak sanggup melihat pemandangan menyakitkan yang tersaji di depannya.
Seharusnya, seharusnya bukan seperti ini yang akan terjadi. Semua bayangan indah di benaknya melebur menjadi jarum yang merajam jantungnya.
"Pergilah, aku tidak menyuruhmu," ucap Gavin. Lagi-lagi dengan intonasi yang datar dan dingin bagai es di kutub selatan.
"Aku...." Alan tak sanggup lagi mengurai kata. Bibirnya bergetar hebat, merintih merasakan sesak di ulu hatinya. Ucapan yang hampir keluar kini tertahan dan tertelan kembali ke tenggorokan, karena air matanya lebih lancang dari yang ia duga.
Entah kenapa dia begitu cengeng padahal dia sudah berjanji untuk tidak menangis di depan laki-laki yang menempati seluruh ruang di hatinya ini.
Dia mencoba menarik napas dalam-dalam, mencoba mengurangi sesak yang menghimpitnya.
"Alan, ada apa denganmu, kau tidak boleh menangis," ucapnya dalam hati.
"Maafkan aku," ucapnya lirih dengan wajah yang setia menunduk.
Gavin meraup kasar wajahnya. Pria itu mengambil handuk putih untuk menutupi bagian privatnya dan berjalan ke arah istrinya yang diam dengan tatapannya yang fokus pada lantai ruangan.
Tubuh kekar yang hanya terbaluk handuk sebatas pinggang itu berdiri tepat di hadapan Alan. Bahkan aroma maskulin yang menguar dari tubuh Gavin mampu membuat Alan mabuk kepayang. Akan tetapi, dia ingat. Laki-laki ini tak sudi menyentuhnya walau seujung kuku sekalipun, dan ia sadar diri.
"Cepat bersihkan kekacauan yang kau buat, jangan pernah mendatangiku di kantor. Kau sungguh membuatku malu jika para staf itu tahu siapa kau. Mereka hanya tahu jika istriku adalah Luna seorang. Aku tidak ingin membuat skandal yang akan menghancurkan WG, jadi pergilah!" usirnya.
"Tapi aku...."
Gavin datang mendekat dan langsung menyambar lengannya. Mencengkeramnya dengan begitu erat hingga Alan meringis kesakitan.
Mata biru Gavin memincing tajam, dan kemudian berkata, "Can't you hear it! Get out of here, because I'm so ashamed to have a wife like you, Alanair Wellington. you really piss me off!" sentaknya, dan ia hempaskan begitu saja tangan milik Alan hingga si empunya terhuyung ke belakang.
Alan semakin menahan perih di dadanya. Dia mengangguk lalu memungguti kotak bekal yang berserakan di atas lantai. Air matanya terus meluncur tak mau berhenti.
Kenapa jatuh cinta begitu sulit.
Kenapa mencintainya begitu rumit.
Kenapa cinta menyiksa hatinya.
Jika bisa, dia tidak ingin jatuh cinta dan terperosok pada sosok Gavin yang melekat kuat bagai lem di relung hatinya.
"Cepatlah pergi, kau mengganggu saja." Suara Luna menyentakknya. Tangannya saling meremat kencang. Sial, dia benci dengan Luna. Sangat membencinya.
"Aku akan pergi, maaf sudah mengganggu waktu kalian, Tuan dan Nyonya Wildberg," ucapnya lirih. Masih mencoba menahan laju air matanya yang tak kunjung ingin berhenti.
Kenapa dirinya selalu kalah. Dia tak ingin seperti ini. Namun, rasa takut selalu membuatnya menjadi orang yang lemah.
Alan lantas berbalik dan segera berlari dari ruangan Gavin dengan wajah yang sembab.
Terus berlari memacu kakinya, tak peduli orang-orang yang mengumpat padanya karena Alan beberapa kali Alan menabrak mereka.
Wanita itu hanya ingin terus berlari dan meredam segala remuk di hatinya.
Kakinya ia pacu semakin cepat, tak peduli tatapan aneh orang-orang yang dia lewati, hingga dia sampai di halaman kantor WG, dan berdiri di sana.
Hanya sesaat untuk meredakan sesak yang nenghantam dadanya.
Alan kemudian memilih berjalan kaki, daripada menaiki taksi. Awan mendung menghiasi wajahnya. Dia terus berjalan tanpa menoleh lagi.
Pikirannya kalut.
Apakah dia kalah sekarang?
Memang kapan dia pernah menang, sejak awal dirinya adalah seorang pecundang bodoh yang mengemis cinta pada Gavin, padahal jelas-jelas laki-laki itu tak memiliki secuil pun rasa padanya.
Kakinya terus melangkah walau tubuhnya terasa berat. Air matanya terus merangsek keluar. Otak Alan mulai tidak bekerja dengan baik.
Dia melihat di mana dia berhenti sekarang. Dia membaca papan nama sebuah toko tepat di seberang tempat ia berdiri sekarang. Bibirnya tersenyum, dia mulai gila dengan semua pemikirannya.
Alan mulai frustasi.
Dia tidak peduli, ini adalah jalan terakhir yang akan dirinya tempuh.
Alan berjalan masuk ke dalam sebuah toko yang menjual produk dewasa. Entah kenapa dia begitu bersemangat dengan pemikirannya kali ini.
"Kau harus kuat Alan, menangis hanya akan membuatmu kalah, aku juga berhak mendapatkan Gavin, bagaimanapun caranya."
Wanita itu memutuskan ingin melancarkan ide gila yang sekarang menari di kepalanya.
Dia tersenyum penuh arti. Kakinya bergerak lincah mencari-cari produk yang dia incar.
Dia menemukannya. Sebuah botol kecil berisi obat yang akan memuluskan jalannya malam ini.
"Maafkan aku, aku mencintaimu, jika aku tidak bisa mendapatkanmu dengan cara yang baik, aku akan melakukan dengan cara yang lain," tutur Alan dengan tawanya yang menyakitkan.
Alan tersenyum licik. Saat sudah menemukan benda yang tepat. Di gengamannya tersemat botol obat yang akan memuluskan rencananya. Dia tidak ingin menjadi wanita bodoh dan lemah lagi, jika Luna bisa merebut suaminya kenapa dia tidak. Dia harus menjadi lebih kuat dari wanita itu. Jika Luna menggunakan bayinya untuk meraih simpati dan perhatian Gavin, dia akan melakukan hal yang sama. Semua rencananya sudah terekam jelas di dalam kepalanya. Setelah membayar di kasir, Alan segera melesat keluar dari toko, dan kemudian menyetop Taksi. Ia masuk ke dalam kendaraan roda empat berwarna kuning tersebut. "Kita akan ke mana, Nyonya?" tanya si Supir setelah melihat penumpangnya duduk nyaman di dalam kursi jok belakang. "Woodridle strett nomor lima puluh tiga," jawabnya. "Baik," ucap si pengemudi Taksi yang sudah hampir memasuki usia senja telihat dari rambutnya yang telah memutih semua. Lelaki itu lantas melajukan Taksinya membelah jalan
Saat ini Alan tengah sibuk di dapur merancang rencananya untuk menjebak suaminya. Malam ini Alan tidak ingin ada kegagalan. Wanita itu pergi ke dapur, membuat susu hangat kesukaan Gavin. Dia yakin Gavin tidak akan menolak apapun buatannya, meskipun pria itu tak memiliki perasaan pada dirinya. "Kali ini aku pasti berhasil," gummanya begitu lirih. Bahkan semut pun tak mampu mendengarnya. Alan begitu bersemangat membuat susu hingga tak menyadari jika Nay sudah berdiri bersandar pada tembok tepat di di belaknganya dengan tersenyum manis seperti biasa. "Ehem." Gadis itu berdehem hingga membuat Alan terlonjak karena kaget. Dia takut, untung saja Nay belum melihatnya memasukan obat itu ke dalam susu milik Gavin. Jika Nay tahu, gadis itu pasti akan mengomel dan menentang rencananya. "Astaga, Nay. Sejak kapan kau di situ. Dirimu benar-benar membuatku hampir terkena serangan jantung," ujarnya.
Desahan saling bersahutan memenuhi kamar Alan malam ini. Wanita itu mabuk akan sentuhan yang suaminya lakukan. Akhirnya, mimpinya menjadikan Gavin miliknya seutuhnya terwujud malam ini meskipun dengan cara licik dia membuat laki-laki itu tak berdaya di bawah pengaruh obat. Alan menahan segala gejolak nikmat di dalam dadanya, saat keringat dari tubuh Gavin bercampur dengan miliknya. Gairahnya memuncak seolah dia terbang ke atas nirwana. Tubuhnya terlonjak di atas ranjang saat gempuran dari Gavin terus menghujamnya. Meleburnya menjadi nikmat yang tiada tara hingga saat dia mencampai puncak, dan bersamaan dengan pria itu yang menanamkan benihnya di dalam rahim Alan yang subur. Tubuh Gavin ambruk tepat di samping istrinya. Laki-laki itu menarik selimut dengan seperempat kesadarannya yang tersisa. Tenaganya terkuras habis. Alan yang menyaksikan suaminya hanya tersenyum puas dan dia benar-benar bahagia dengan hal yang baru saja dia lakukan bersama Gavin. Alan
Desiran angin malam menyibak helaian rambut hitam milik gadis lugu yang kini memilih duduk meringkuk di sudut balkon kamarnya. Kepalanya tertelungkup berbantalkan lutut di antara kedua kakinya yang ia tekuk. Wajahnya sudah basah oleh air matanya yang terus deras mengalir tanpa mau berhenti. Dadanya begitu nyeri. Apakah mencintai seseorang itu sebuah dosa? Kenapa rasanya begitu sulit, rasanya begitu sakit. Apalagi suara desahan yang terus terdengar di sepanjang malam hingga dini hari membuat hatinya semakin remuk. Sudah tidak ada harapan lagi, Gavin sudah bahagia dengan adik tirinya. Tidak ada kesempatan lagi untuknya bersama dengan suami yang paling ia cintai. Jujur, sejak tawaran ayah mertuanya untuk menikahkannya dengan Gavin membuatnya bahagia, impiannya untuk menjadi pasangan orang nomor satu di hatinya akhirnya terwujud. Tetapi, itu hanyalah ilusi semu, harapan masa depan bahagia dengan pemuda Wildberg itu tidak akan pernah terealisasikan. Jangankan
Makan siang di keluarga Wildberg terasa sunyi, hanya Gavin dan Luna yang saling melempar senyum bahagia. Bahkan membuat Nay muak dengan adegan kemesraan di depannya itu. Rasanya ia ingin muntah saat ini juga karena sikap Luna yang terlewat manja di matanya. Alan masih asyik dengan kebisuan dan kepala menunduk, bahkan piring di depannya masih penuh dengan makanan, belum sedikitpun tersentuh oleh si empunya. Jangan tanyakan kenapa ia masih berada di sini, itu karena Nay yang terus memohon agar ia tak pergi dari sini, dan sekali lagi Alan hanya bisa mengangguk pasrah. Apalagi setelah itu Joseph datang dan memintanya untuk tetap bertahan, dan ia bisa apa jika ayah mertuanya itu sudah turun tangan. Ia tak mungkin membuat laki-laki yang telah baik padanya itu kecewa. "Setelah makan, Papa ingin bicara pada kalian, dan
Gerimis masih saja mengguyur kota Brigston. Langit bahkan masih muram di atas sana. Kota terlihat lebih sepi, mungkin karena udara yang dingin juga waktu telah masuk tengah malam tepatnya pukul 1 dini hari waktu Brigston. Tubuh kurus itu bergetar sepanjang jalan. Tubuhnya ia dekap kuat-kuat menghalau dinginnya angin malam dan tubuh yang telah basah kuyup diterpa gerimis sejak sore. "Aku harus ke mana lagi sekarang," ujarnya putus asa. Wanita kurus itu adalah Alanair. Langkahnya terseok, bahkan hampir limbung. Perutnya terus berbunyi sejak beberapa jam yang lalu, karena memang belum terisi apa-apa sejak dia meninggalkan mansion mewah Wildberg. Apa salahnya, hingga jalan hidupnya begitu pedih seperti ini. Mungkin ini hukuman untuknya karena perbuatannya di masa lalu. Tetapi, itu bukan semua salahnya. Pemuda itu yang harus disalahkan. L
Grifida mengguncang tubuh Joseph yang hanya diam di atas sofa di dalam ruangan kerjanya. Pria itu tak merespon ucapannya. Joseph memang tengah marah kepada istrinya karena membuat menantu kesayangannya harus pergi dari rumah ini. Joseph pasti akan merasa berdosa seumur hidupnya. Dosa yang tidak akan mampu pria itu lupakan. Grifida terus berteriak, dan gendang telinga Joseph rasanya hampir pecah. Dia juga khawatir dengan kepergian Nay sore tadi. Putri bungsunya itu ikut kabur mencari Alan setelah memastikan Alan tak kembali ke rumah keluarga Welington, dan lagi-lagi Joseph tak mampu berkutik. Ia terlalu pengecut, atau mungkin dia terlalu takut. "Joseph! Kenapa kau hanya diam, huh! Cepatlah kau cari Nay, bahkan ini sudah tengah malam!" teriak Grifida membahana. Mungkin saja teriakannya itu mampu membangunkan se
Siang itu Alan mengendap-endap kembali ke mansion megah keluarga Wildberg. Sudah hampir setahun gadis itu tinggal di tempat ini, tentu dia sudah mengetahui seluk beluk rumah besar tersebut. Alan melewati gerbang belakang, memanjat pohon untuk melompat masuk ke dalam rumah tersebut layaknya pencuri. Alan cukup gesit dalam memanjat, lihat saja gerakannya yang gesit dan secepat kilat dia sudah berada di halaman belakang mansion Wildberg. Dia berjalan cukup pelan, dan hati-hati layaknya pencuri, mencari celah agar tidak tertangkap oleh para pelayan di rumah ini. Gadis itu mengendap-endap menuju gazebo belakang, karena itu rute tercepat menuju dapur. Dia kembali ke sini hanya untuk melihat wajah tampan suaminya. Bolehkah dia masih menyebutnya suami? Alan memang terlalu berdelusi tinggi. Salahkan cintanya yang terlampau besar untuk Gavin, hingga tindakan bodoh dan konyol rela dia lakukan. Alan berjalan ke arah gazebo tempat dia biasa menyendiri. Namun
Gavin kembali ke rumah dengan hati hancur. Nyatanya ia tak bisa lagi memiliki kesempatan untuk bersama kembali dengan Alan.Ia menjatuhkan tubuhnya di atas sofa, matanya menerawang ke atas langit-langit apartemen kecil, yang ia sewa setelah rumah mewahnya ia jual untuk menutup hutang puluhan juta dollar di bank, akibat perusahaan milik sang ayah pailit."Apa yang kau lakukan di sini, huh!" seru Grifida. Wanita itu datang dengan pakaian berkabung, membuat Gavin langsung bangkit."Mama, kau dari mana? Kenapa memakai pakaian berkabung? Siapa yang meninggal?" tanyanya. Grifida tak menunjukkan raut sedih sama sekali. Justru binar bahagia terpancar di wajahnya yang mulai keriput,0 akibat tak pernah melakukan perawatan wajah."Kau tahu, beban hidupku kini telah menghilang. Akhirnya wanita ular itu mati bersama anaknya yang cacat."Mata biru Gavin langsung mendelik mendengar perkataan sang Ibu. "Apa maksud, Mama?""Kau tahu maksudku, Gavin. Wanita ular itu, alias mantan istrimu, Aluna Welingt
Gavin menarik lidah Alan untuk bergulat hanya sebentar. Sementara tangannya bergerak lihai memelintir pucuk dua bongkahan kembar milik Alan yang mencuat karena terangsang. Memaksa Alan untuk mendesah nikmat di bawah kungkungan sang mantan.Terdengar kecupan penuh nafsu, dan gairah malam yang mereka gumamkan. Sedotan akan bibir tipis yang mendominasi, membuat Alan tak berdaya. Tubuhnya seperti tersengat aliran listrik, setiap lelaki di atasnya memberikan sentuhan yang tak pernah ia dapatkan selama ini."Eung...," lenguh Alan mendongak. Merasakan perutnya tergelitik, saat lidah Gavin bermain di area tubuh atasnya. Mengulum secara lambat, yang membuat Alan meremas surai hitam sang mantan suami.Gavin yang sejak tadi menyentuh tubuhnya, merasakan sesuatu yang tak bisa ia gambarkan. Sebuah perasaan sakit akan apa yang telah ia lakukan sekarang."Kita pindah kamar, ya?" ucap Gavin sembari menarik diri, saat ia kembali mengecup bibir Alan yang terbuka, dan menatap kedua maniknya meminta pers
"Alan apa yang kau lakukan?"Bukannya berhenti Alan justru melepas semua atribut yang menempel di tubuhnya. Hingga tubuh putih itu polos tanpa sehelai benang pun. "Kenapa kau diam saja, bukanlah kau menginginkan tubuhku, berengsek!" Alan berteriak. "Tidak."Alan tertawa nyaring, mengabaikan rasa malunya di depan Gavin. Ia melangkah maju mendekati sang mantan suami yang duduk dia tas sofa. "Apa kau sekarang telah berubah menjadi pria baik-baik, oh astaga. Ini mencengangkan sekali. Tapi mana mungkin kau bisa menolakku."Gavin susah payah menelan ludahnya gugup. Segala pikiran kotor ingin ia singkirkan, namun ia kalah dengan tubuh Alan yang menggoda. "Shit!" umpatnya, kala miliknya di bawah sana mengaum ingin dibebaskan. "Lakukan dengan cepat, dan aku tak ingin membuang waktu berhargaku, sialan!" umpat Alan tak kalah sarkas."Kenapa kau melakukan ini, Alan?""Kau tidak perlu bertanya."Bukannya langsung memenuhi keinginan Alan, Gavin justru menarik tubuh polos sang istri dalam pelu
Lelaki itu turun dari dalam mobil tepat di depan hotel yang Alan tunjuk untuk pertemuan mereka malam ini. Dia mengamati hotel berbintang lima yang begitu mewah di pusat kota Edlen. Gavin lalu buru-buru kembali masuk ke dalam mobil, dan mengendari kendaraan roda empat tersebut menuju basemen."Apa benar ini tempatnya, ya?" gumam Gavin seorang diri. Ia berjalan masuk ke dalam lobi hotel setelahnya. "Selamat malam, ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya sang resepsionis. "Nyonya Alanair Smitt, saya ingin bertemu dengannya."Resepsionis bernama Alexa itu tersenyum, ia meminta Gavin untuk menunggu, mencari data Alan di layar monitor."Nyonya Smitt menginap di kamar tiga ratus tujuh."Gavin mengangguk, lalu bergegas menuju lift yang akan mengantarkan dia ke lantai 3 tempat Alan menginap.Hatinya berdebar tak karuan, padahal hanya 10 menit ketika ia turun di lantai 3, namun rasanya sudah berabad-abad. Ia berharap malam ini Alan memberinya maaf, ia tak berharap banyak untuk kembali pada wa
"Aku turut berduka cita atas meninggalnya Ayahmu, Gav." Greg menepuk pundaknya dengan pelan, dan lelaki bermarga Wildberg itu hanya mengangguk lesu."Aku tahu itu berat bagimu, Gav. Tetapi cobalah relakan Ayahmu. Dengan begini, Tuan Wildberg tak lagi merasakan sakit. Dia sudah bahagia di atas sana."Gavin menghembuskan napas pelan, sebelum mengalihkan atensinya pada sosok Greg Martin yang berdiri di belakang tubuhnya. Ia memutar kursi, hingga kini ia tepat menghadap lelaki bermata biru tersebut. "Ini bukan soal Ayahku, Greg.""Lalu.""Ibuku tahu jika Alanair Smitt adalah mantan istriku, kau tahu apa yang Ibuku katakan?"Greg menaikan satu alisnya. Tetapi ia sudah tahu jawabannya, bahkan ketika ia tak perlu bertanya pada sahabatnya itu. "Ibumu menyuruh kau kembali pada Nona Smitt, right."Gavin mengangguk pelan. "Bahkan, tanpa aku menjawabnya kau sudah tahu apa jawabannya.""Maaf, tapi karena itu mudah sekali tertebak ketika kau sering menceritakan sikap Ibumu. Sekarang terserah kau s
"Dia Alanair Wellington, istriku dan bocah kecil itu adalah putraku, putraku dengan Alan." Gavin mengatakan dengan gamblang. Alan melotot, begitupula dengan Grifida, wanita itu menatapnya tak percaya. Grifia membekap bibirnya dengan telapak tangan. Dia tertawa miris dengan apa yang ia dengar di telinganya saat ini. "Bohong, kau pasti bohong. Mana mungkin dia adalah si jelek Alanair Welington?"Alan mendengus malas. Ia melipat kedua tangannya di depan dada. "Sejak dulu, kau tak pernah berubah, ya, Nyonya Wildberg?""Karena aku percaya kau bukan Alanair, mana mungkin." Grifida masih bersikukuh."Karena Anda takut, bukan begitu. Anda takut mengakui saya sebagai Alanair Welington, Anda takut dengan kesalahan dan dosa Anda di masa lalu, Nyonya." Alan tertawa sinis, membuat wajah Grifida pucat pasi.Wanita itu memundurkan langkah. Mungkin Alan benar, dia takut dengan dosa masa lalunya. Dosanya yang telah mencampakkan menantunya yang polos, dan bahkan berhati mulia. Justru dia memelihara
"Laporan apa yang kau buat ini? Apa kau tidak becus membuatnya, huh?" Sebuah kertas dilempar begitu saja oleh Alanair, begitu ia membaca laporan yang Gavin berikan padanya."Apanya yang salah?" tanyanya. "Apa matamu buta? Atau sudah rusak? Lihat saja sendiri, kau sama sekali tak becus membuatnya. Pantas saja WG hancur karena dipimpin oleh orang macam kau." Amarah Alan menggebu-nggebu saat ini.Sakit di hati Gavin semakin menjadi, bukan karena amarah wanita ini. Akan tetapi, status mereka yang seharusnya masihlah suami istri, namun ketika mereka sudah sedekat ini. Kenapa ego memisahkan masing-masing. Ia menyesal dengan perbuatannya, ia tahu ia salah. Namun, Alan tak memberinya sedikitpun kesempatan untuk memperbaiki dirinya sendiri. "Astaga, kamu kalau marah menggemaskan sekali." Gavin mencoba mencairkan suasana denagn menggoda sang istri, ah masihkah boleh Gavin menyebutnya seperti itu, sementara Alan sudah menganggap mereka bercerai. Lagipula, dia sudah tidak mau bersama pria ini.
Setelah Alan merasa jauh dan jauh dari jangkauan mantan suaminya. Wanita cantik itu segera menyembunyikan tubuhnya di balik tiang bangunan. Hanya berdiri di sana tanpa melakukan apapun, memperhatikan sepatu hells merahnya yang menggesek tanah. Matanya berkaca-kaca menahan emosi yang sedari tadi dirinya tahan. Hanya saja Alan kalah, hatinya sakit, dan dadanya terasa sangat sesak sekarang. Saat ini ia hanya bisa menepuk dadanya, berharap mengikis semua rasa sakit yang menumpuk di sana, namun semua sia-sia. Rasa sakit itu semakin menjadi, membuat tangisnya kini pecah tak mampu ia bendung lagi."Mama, Mama menjemputku?" Suara melengking di depannya membuat Alan mendongakkan wajah."Mama menjemputku?" ulangnya. Dia berlarian kecil saking senangnya, karena sang ibu menjemputnya di sekolah. "Iya, Mama menjemputmu, kau senang?""Tentu saja senang," ujarnya sembari memeluk kaki Alan, karena tinggi anak itu hanya sepinggang ibunya. Bibirnya terkembang senyum lebar seolah ia baru saja memenangk
"Kau yakin ini tempat sekolah dari putra Boss kita?" tanya Greg, ketika pria itu berhasil mengantarkan Gavin di depan salah satu sekolah swasta di kota Brigston. Greg melirik ke arah Gavin yang sudah lebih baik dari kemarin. "Ya, aku mencari info dari sekretaris pribadi Alan."Greg terkekeh. "Kau bahkan lebih leluasa dengan hanya memanggil namanya saja.""Karena dia istriku," ucapnya percaya diri. "Jika kau masih dianggap." ketika Gavin berdecak, Greg justru tertawa lantang."Sialan!" Gavin segera melepaskan sabuk pengamannya, dan keluar dari mobil. Meninggalkan sahabatnya yang memilih duduk di balik kemudi mengawasi pergerakan rekan kerjanya ini.Gavin melangkah ke arah area sekolah. Mengamati beberapa anak yang telah keluar dari dalam kelasnya masing-masing. "Kenan Yoshiro Smitt!"Langkah kaki Gavin terhenti saat itu juga. Ia menggerakan mata ke samping, saat seorang guru perempuan berambut pirang menyebut nama itu. Seperti ada bom atom yang melesak seisinya dan Gavin merasakan