"Keren banget Sin. Emang Farel pantes dapat pukulan itu dari lo. Di sini mana ada yang berani. Gue dukung lo Sin. I'm support you, darling."
Kejadian menghebohkan terjadi tadi pagi di kelas IPA I, nama Farel menjadi tumbang oleh gadis yang berstatus sebagai murid baru di SMA Nusa Bangsa.
Tepat di wajah Farel terdapat tamparan bekas sepatu. Pipinya berubah merah padam lebih tepatnya merah keungu-unguan. Sementara matanya seperti bajak laut--sebelah matanya ikut lebam.
Saat ini banyak orang yang memenuhi ruang kelas Sina. Sedang Farel masih terkapar di lantai dibantu Didi yang ikut meringis melihat wajah tampan pria itu berubah mengerikan.
Mata Sina basah. Dia bisa melawan?
Lo budek? Congean telinga lo?
Bangun goblok, lawan mereka! Kalo diem aja mereka akan terus menjadi buat mainin lo. Tendang kek apa kek.Suara-suara itu muncul lagi. Tapi Sina merasakan kelegaan setelah memberi pelajaran pada cowok itu.
"Rel, lo gak apa-apa? Lo baik-baik aja kan?"
"Eh, lo kira-kira kalo mukul dong. Muka Farel jadi bengkak gini. Wah, kalo bokapnya tau bisa abis lo!" Didi membantu Farel berdiri lalu membawanya keluar dari kelas menakutkan itu. Semua pasang mata mentertawakan wajah Farel yang terdapat tamparan bekas sepatu miliknya sendiri.
"Tobat Rel, jangan suka nindas kaum lemah lagi. Noh sekarang udah ada yang bisa ngelawan Lo."
"Semoga cepat berubah ya TUAN FAREl!"
"Wah, kayaknya muka lo kudu dioperasi deh. Parah banget bengkaknya."
Suara-suara mereka sudah tak terdengar ketika Farel sudah berada di UKS.
Dua jam mendapat perawatan akhirnya dokter menyarankan agar Farel untuk dibawa kerumah sakit. Pukulan Sina berdampak serius pada sebelah mata Farel.
***
Sepulang sekolah Sina mampir ke pasar untuk membeli bahan makanan nanti malam. Nesa memang rutin menyuruh Sina untuk berbelanja akan kebutuhan dapur.
Ia memilah buah-buahan segar di salah satu pedagang. Pria itu tersenyum ke arah Sina.
"Mau berapa kilo, Neng?" tanya pria paruh baya pada Sina.
"Dua kilo aja, Pak."
"Minta duit dong, Bu. Ntar malam Lia mau gabung parti sama kakak kelas Lia."
Sina mendelik ke arah sumber suara. Ia melihat Lia--adik kelasnya di sekolah lama memaksa ibunya untuk memberikannya uang. Dia adalah satu-satunya adik kelas yang dulu pernah ikut membulinya.
Wanita dengan sebagian rambut yang sudah beruban itu mengusap peluh keringat di dahinya. Ia menolak Lia secara halus dengan memberitahukan daganannya belum ada penglaris satu pun.
"Lihat dompet ibu! Kosong' kan?" Bu Erni memperlihatkan isi dompet yang sudah berdebu.
"Ah, ibu jangan bohong! Coba sini toples itu!" Lia menarik paksa toples kaleng yang terdapat uang recehan sisa kemarin.
"Jangan Lia! Ini buat makan kita nanti malam--" Suara serak Bu Erni nyatanya tak mampu membuat Lia jadi iba. Berbeda dengan Sina.
Lia merampas semua isi toples itu, ia tak menghiraukan ibunya yang bersedih hati melihat kelakuannya.
"Makasih, ya, Pak." Sina pamit setelah membeli buah jeruk pada paman itu. Kemudian Sina beralih pada warung Bu Erni.
"Mau sayur apa, Neng?" Bu Erni menunjukan senyumannya pada Sina. Padahal Sina tau senyuman itu hanyalah topeng untuk menutup kesedihannya.
"Boleh bayam sama wortel, Bu. Emm, sekalian tempenya ya, Bu."
Mendengar permintaan Sina, ibu itu lantas bergerak dengan antusias. Tersenyum penuh kelegaan.
***
Saat Sina melangkahkan kakinya ke dalam rumah, ia disambut tatapan tajam dari tantenya.
Sina melihat ikat pinggang milik Om Rio melingkar di tangan Nesa. Benda yang dulu pernah membuat Sina sakit untuk yang pertamakalinya.
"Sayurannya Sina taruh di dapur aja, ya?"
"Sini kamu!?" gertak Nesa.
Sina masih diam di tempat. Ia menelan salivanya kuat-kuat kala Nesa berjalan cepat ke arahnya.
Plak!
"Bagus kamu! Udah mulai jadi so pahlawan ya. Mukul anak orang sampe masuk rumah sakit!"
Plak!
Nesa menampar Sina untuk yang kedua kalinya.
"Mau jadi apa kamu? Jadi preman, hah? Malu-maluin nama tante!" Nesa menoyor kepala Sina membuat tubuh Sina hampir kehilangan keseimbangan.
Suara ketukan pintu menghentikan aksi Nesa. Ia menyimpan kembali sabuk itu kebelakang punggungnya.
"Hai, Tante. Aku bawain pizza," sapa Oliv sembari menenteng dua kotak pizza ditangannya.
Sina langsung berlari menaiki tangga, mengunci kamarnya rapat-rapat dan menyalakan keran kamar mandi dengan keras. Lalu ia menangis bersamaan dengan suara air di sana.
Gue yang akan jadi pelindung lo, Sin. Bahkan jika itu nyawa gue sendiri, gue sanggup. Gue gak mau lihat Lo nangis, gue tau lo cewek kuat.
"Pembohong!" lontar Sina. Bayangan Glen malah membuatnya makin sakit.
Ada gue, Sin. Gak bakal ada yang berani ngebully lo lagi. Gue peluru lo, gunain gue sesuka lo buat berantas setan-setan itu. Gak ada yang berani dengan Raka Atmajaya dan pacarnya--Sinar Rembulan.
Kalimat-kalimat Raka membuat Sina tertawa bak orang gila.
"Omong kosong!"
Raka dan Glen adalah sumber semangatnya kala ia menginjakkan kaki di sekolah. Mereka berdua adalah malaikat yang tidak disangka-sangka akan melindunginya, tetapi sekarang Sina baru tahu mereka hanyalah iblis yang berpura-pura menyamar menjadi malaikat.
Dulu ketika Raka pertamakali ke rumahnya, ia sangat bahagia karena Raka ikut membelanya ketika pulang terlambat, tetapi saat Raka mengetahui Oliv adalah kakaknya, semuanya jadi berubah.
"Oliv kakak, lo, Sin? Wah, kebetulan." Raka menjamah dagunya.
"Maksud kamu?"
Raka menoleh sepintas. Ia tak mampu melihat wajah Sina.
"Kita putus aja, ya Sin."
Sina memahami apa yang baru saja Raka katakan. Ia tahu, Raka memilih Oliv daripada dirinya. Dan sejak saat Sina putus dengan Raka, semuanya kembali seperti semula. Namun, selang beberapa bulan, Glen datang dengan mengucapkan janji yang sama, tapi mengingkari dengan cara yang sama pula--ia menghianati Sina dengan Oliv lagi.
***
"Kapan yah, gue punya seseorang yang sayang banget sama gue. Temen gapunya, cowok tulus apalagi." Desahnya masih setia menatap dirinya di depan cermin.
Suara tawa yang mengarah ke kamar mandi, membuat Sina cepat-cepat keluar dari toilet.
Ketiga cewek yang tadinya tertawa kini malah terdiam penuh misteri. Ekspresinya menunjukkan tidak suka ketika berpapasan dengan Sina.
Cewek dengan pita di kepalanya berdeham saat Sina melewatinya begitu saja.
Sina menoleh dan langsung menjadi serangan tatapan api dari Shela.
"Jangan Shel, itu cewek bahaya," larang Karin seraya menahan lengan Shela.
"Lo yang minggu kemarin nonjok Farel?" tanya Shela menyembunyikan rasa gugupnya. Jujur saja ia kaget saat tahu Farel masuk rumah sakit karena murid baru dari kelas IPa satu. Selama ini tidak ada yang berani menyentuh Farel.
"Astaga, mati kamu, Sin." Sina membatin.
"Gue--anu ... gue--" Sina tak bisa meneruskan kata-katanya, karena tatapan Shela begitu menyeramkan. Ia seperti ingin menelan Sina saat itu juga. Apakah Shela marah atas kejadian yang menimpa Farel?
***
"Masuk aja!" perintah Shela saat Sina masih mematung di depan pintu. Karin dan Devi bersedikap dada menunggu Sina untuk ikut masuk.Sina tak menyangka ternyata Shela seramah itu saat mengajaknya berkenalan. Ia pikir Shela akan menindasnya di toilet, ternyata perkiraannya salah. Dia justru mendukungnya tentang apa yang sudah ia lakukan pada Farel."Ayok, Sin. Gausah takut!" Shela menarik tangan Sina dan membawanya ke lantai dua.Di belakang, Karin dan Devi saling berbisik tentang apa rencana yang sedang dilakukan Shela sebenarnya."Apa si maksud Shela bawa cewek itu ke sini?" kata Karin pelan."Gak tau, kita lihat aja nanti," balas Devi tak kalah berbisik.Saat Shela membuka pintu, Sina langsung terkejut. Hampir saja jantungnya imigrasi ke lambung.Seorang anak laki-laki dengan lebam besar di sebelah matanya melirik tajam ke arah cewek-cewek yang dengan lancang masuk begitu saja ke kamarnya."Ngapain lo ajak cewek sialan i
Dentingan garpu dan sendok membuat Sina jadi canggung sendiri untuk ikut makan."Duduk, Sin. Sarapan!" Om Rio berseloroh.Ternyata Om Rio memerhatikan kegugupannya. Sina jadi merasa tidak enak hati.Sina duduk di sebelah Oliv dan berhadapan dengan papanya. Ia melihat makanan di piring Rian sebentar lagi habis."Papa anterin kalian, ayok, cepat dihabiskan makanannya." Akhirnya Rian membuka suara setelah Sina menahan ketakutannya."Papa nggak usah anterin Oliv. Biar Papa sama Sina aja, ya.""Lah, memangnya kenapa?" Rian memandang ke arah Oliv."Kan sekarang Oliv sama Sina beda sekolah, Pa."Tatapan Rian beralih pada Sina. Belum sempat Sina menambahi perkataan Oliv, Nessa malah menyambar lebih dulu."Dia pindah ke SMA Trisakti. Ngotot banget minta dipindahin," ujar Nessa sembari menyuap nasi goreng ke mulutnya.Rian mencengkram sendok kuat-kuat.Selalu saja ada sisi negatif yang membuat Rian marah pada
"Aneh tuh cewek, bukannya takut malah makin nantangin lo. Pake acara masuk ke geng ST lagi."Celotehan Didi tak berbuah tanggapan dari sang empu. Farel tetap terdiam dengan beribu pikiran di kepalanya.Shela makin hari selalu makin seenaknya dengan dirinya. Seharusnya ia bertindak pada sepupunya bukan pada gadis itu."Lo tau Shela sekarang ada di mana?""Emm, katanya si anak-anak ST bakalan buat perhitungan sama anak sebelah--""Sekolah Agaksa?" tanya Farel cukup kaget. Didi mengangguk."Kenapa gue gak dikasih tau?""Sengaja. Kata Shela lo mana mungkin datang soalnya cewek yang namanya Sina ikut buat berantem sama mereka. Gue aja dilarang ikut buat jagain lo di sini ... ups," jelas Didi keceplosan."Anjir ya, lo!" Farel memukul kepala Didi kemudian bangkit dari sofa. Ia mengambil jaket dan kunci motornya."Mau ke mana, Rel?""Cari cewek bahenol buat lo!" kelakar Farel menatap penuh sengit.***
***"Rel, Om Surya mau ketemu. Kasian Rel, Om Surya mohon-mohon ke gue buat ngetemuin lo sama dia."Mendengar nama itu, Farel meletakan stik game pada tempatnya. Moodnya selalu saja turun drastis kala mendengar nama ayahnya."Udahlah Shel, lo gak usah ikut campur. Sampai kapan pun gue gak mau ketemu cowok itu!" Farel beralih mengambil ponselnya di samping Shela."Mau sampai kapan lo bikin hati lo terluka terus? Gue tau lo juga rindu sama Om Surya 'kan?"Dulu Farel seperti kapal dan perangko yang tak dapat dipisahkan dengan ayahnya. Kemana-mana selalu berdua, bahkan kadang pula Farel membolos sekolah demi ikut bersama ayahnya ke luar negeri jika ada pekerjaan di sana. Akan tetapi, sekarang mereka berdua ibaratkan air dan minyak susah sekali untuk menyatu."Males gue ketemu cowok berengsek!""Terserah deh Rel. Gue cuma nyampein ini ke lo karena Om Surya kangen banget sama lo." Shela berakhir pergi dari kamar Farel. Ia membiarkan sepu
Rian duduk di sisi ranjang anaknya. Ia melihat sang putri tertidur lelap sekali.Saat hendak mengelus Sina, Rian selalu teringat kedua mendiang istrinya yang sudah meninggal. Sulit sekali bagi Rian menyingkirkan rasa gugup untuk menunjukkan kasih sayangnya pada Sina. Ia malah sering menyalahkan Sina untuk semua yang sudah terjadi. Ia tidak tahu kenapa dirinya jadi begini, jadi ikut terhasut kata-kata Nessa.Tangan Rian menggantung di atas kepala Sina. Ia tidak jadi membelai rambut putrinya. Rian kembali menutup pintu, tetapi sebelum itu ia mematikan lampu kamarnya terlebih dahulu.Kelopak mata Sina perlahan terbuka. Terbuka bersamaan dengan air mata yang mengalir. Rasanya ia rapuh sekali mendapati papanya tanpa mencium kening tanda kasih sayang ayah pada seorang anak."Sina kangen Papa," lirih Sina yang terisak oleh tangisnya.Perlahan mata Sina mulai tertutup kembali, ia menarik selimut un
"Ada yang bisa memberikan contoh?" Bu Lisa tersenyum ramah kepada semua siswa. Ia memandang murid dikelas IPA dua satu persatu.Sina memainkan jarinya gugup. "Coba aja, Sin. Mereka harus tau tentang keistimewaan Suku Boti," batinnya.Sina mengangkat tangan agak ragu, "Sa--saya ada, Bu."Semua orang menoleh ke arah Sina dan pipi Sina langsung bushing memperlihatkan pipinya yang merona."Iya, kamu." Bu Lisa melangkah lebih dekat, karena Sina duduk di bangku paling belakang."Di Nusa Tenggara Timur ada Suku bernama Suku Boti. Menurut saya Suku Boti ini terbilang unik, karena bilamana ada pencuri mereka memberlakukan pencuri itu dengan baik. Tidak seperti di daerah lain atau ibukota yang mengatakan atau memukulnya secara brutal, justru Suku Boti memperlakukan si pencuri dengan manusiawi. Seperti; jika si pencuri mencuri singkong maka para warga akan memberi dia singkong. Jika kedapatan mencuri pisang, maka mereka pun akan memberikan si pencuri pisang.
Syukur, Farel tidak berbuat macam-macam pada Sina. Shela pikir Farel akan berbuat sesuatu untuk membalaskan dendamnya pada Sina, ternyata hanya mengobrol biasa.Shela dan Sina berjalan beriringan di tengah koridor yang sudah tampak sepi."Sin! Buku lo jatuh!" panggil Rangga setengah berteriak. Sina refleks menoleh dan melihat Rangga tengah berlari kecil untuk menghampirinya."Nih, buku lo." Rangga menyodorkan bukunya."Ow ... makasih, Ga. Buku ini penting banget." Sina menerimanya. Ia cukup kaget melihat buku yang baru ia beli kemarin sampulnya sudah robek. Sina memang ceroboh."Yah, sobek," lirih Sina pelan, tetapi masih bisa Rangga dengar."Eh, bukan gue, kok! Bukan gue yang nyobekin.""Mampus lo, Ga. Ganti tuh, kasian, buku baru." Tunjuk Shela dengan mulutnya yang menyimpul."Ini sobeknya bukan karena ulah Rangga. Te--tenang aja, nanti gue samp
Saat Shela masuk ke kantin orang-orang lantas memperhatikannya dari sisi manapun. Gadis itu tetap menyuap baksonya dengan santai seolah meraka hanya diibaratkan patung pajangan saja.Suara demi suara perihal dirinya masuk ke gendang telinga. Namun, Shela memilih menulikan pendengarannya dan tetap santai menikmati makan siangnya."Tuh, anak koruptor masih punya nyali buat makan di sini?"bisik salah seorang siswa, suaranya terdengar jelas di telinga Shela."Kasih pelajaran, biar kapok!"Dua orang cewek yang tampak asing dari jurusan IPA mendekati meja Shela."Lo yang dulu numpahin sambel ke mangkuk gue kan?" ucap Gendis mengingatkan perilaku nyeleneh Shela di waktu dulu.Shela tetap bergeming, tak memedulikan cewek di sebelahnya.Merasa diabaikan lantas Gendis mengambil saos botol yang ada di depan Shela, lalu menumpahkan semua isinya ke dalam mangkuk milik cewek itu.Gendis tersenyum puas. Sedangkan Shela berusaha
Tiga tahun berlalu. Embusan angin menyapa di setiap sudut kota. Seorang laki-laki bertubuh jangkung baru saja keluar mini market dengan segelas soft drink di tangannya.Wush!"Uhuk-uhuk!""Gila, hampir aja tuh debu masuk semua ke paru-paru," keluh sang empu, sebab angin dari barat begitu kencang.Farel menaiki kendaraannya kembali. Sebelum itu ia tampak mentahbiskan minumannya dan membuang botol kaleng itu ke tempat sampah yang tak begitu jauh darinya.Ia melesat dan masuk membelah jalanan kota yang masih dipenuhi oleh lalu lalang kendaraan.Meski cuaca terasa panas, laki-laki itu tampak tak terburu-buru dalam berkendara. Justru ia malah menikmati perjalanannya.Akhirnya sampailah ia di halaman rumah. Pria itu lekas turun dari motor dan membawa plastik putih berisikan eskrim pesanan sang adik."Bang, Falel pulang!" sorak anak kecil berusia hampir empat tahunan. Anak itu berlari dan langsung menghambur ke pelukan Farel.
"Pah," panggil Olive dengan suara lirih. Ia melihat pria yang semakin beruban itu tengah duduk melamun di kursi rodanya. Gurat kesedihan dan gurat usianya bercampur menjadi satu. Rian terlihat sangat menyedihkan."Pah, udah yuk, papah makan dulu." Olive membawa semangkuk bubur untuk sang ayah."Habis makan papah istirahat. Ingat lho kata dokter. Papah ngga boleh kebanyakan bengong. Gak baik," ucap Olive mengingatkan. Sejak kepergian Sina, Rian jatuh sakit dan sakitnya berasal.dari sebuah lamunan dan rasa bersalah."Aa, buka mulutnya Pah." Olive melayangkan sendok ke depan mulut Rian. Namun, pria beruban itu enggan membuka kedua bibirnya."Pah, sekali aja! Yah, ayo makan.""Papah ngga mau makan, Liv," toko Rian seraya terus menatap ke depan."Gimana papah mau sembuh kalo ngga mau makan. Sakit juga butuh tenaga Pah. Yah, makan dulu," bujuk Olive yang masih menggantung sendok di udara."Ngga liv--""Sesuap aja pah--"
Farel berjalan dengan tetap menatap ke layar ponselnya. Ia mendapat pesan dari seseorang yang tidak dikenal.Farel tetap terfokus pada layar ponselnya, sampai seseorang yang tengah berlari ke arahnya tak ia sadari hingga akhirnya ....Bruk!Orang itu menabrak tubuh Farel. Namun malah ia yang tersungkur. Dan hampir saja ponsel Farel terjatuh.Seorang gadis meringis. Ia segera berdiri dan meminta maaf pada cowok yang sudah ditabraknya."Maafin, Sinar, ya, Kak. Sinar gak senagaja," ucap gadis itu yang terus menunduk.Mendengar nama gadis itu, dada Farel tiba-tiba berdebar tak karuan."Sina?" kata Farel membuat gadis itu mendongak. Lalu memperlihatkan wajahnya yang manis."Nama lo, Sina?" tanya Farel tak percaya. Saat mendengar nama itu, Farel langsung teringat dengan gadis yang sudah satu tahun meninggalkannya."Sinar! Ada huruf R nya, kak," ralat cewek itu membenarkan."Sinar?" Kedua alis Farel terangkat."Le
Shela memberi satu botol air mineral pada Rangga yang sedang duduk merenung di halaman sekolah. Gadis itu terduduk dan memerhatikan raut wajah Rangga dari samping. Rangga meneguk air itu setengah habis. Kemudian meletakkannya di samping dengan penuh emosi sampai botol itu berdentum. "Kenapa, Ga?" tanya Shela melihat hari Rangga agaknya kurang baik. "Bokap dan nyokap, maksa gue buat kuliah di luar negeri," sahut Rangga sambil terus menatap nanar ke arah depan. "Ya bagus dong. Di sana kan--" Shela segera menutup mulut kala Rangga mendelik sinis padanya. "Gue gak suka, Shel! Gue gak suka dipaksa. Gue ingin jadi diri gue sendiri!" pekik Rangga. Shela mengusap bahu Rangga berusaha untuk menyabarkannya. "Lo bisa bicarakan ini baik-baik," saran Shela. *** Usai dari sekolah, Rangga tidak langsung pulang. Ia berjalan-jalan di lorong sekolah. Rangga meraba setiap jendela yang ia lewati. Dan sampailah
"Ngomonglah, Di! Masa dari tadi diem aja." "Di!" ulang Farel. Namun sang empu masih juga tidak menengok. Akhirnya Farel kembali terfokus menyetir. "Kenapa si Rel, lo maksa banget buat gue pulang? Gue tuh masih kesel sama mereka!" gerutu Didi yang akhirnya membuka suara. "Kesalnya udahan kali, Di. Beri mereka kesempatan." Farel mendelik sekilas sesusah itu terfokus pada jalanan lagi. "Udah berulang kali gue beri kesempatan. Tapi apa? Nyatanya mereka tetep ngga bisa menghargai gue!" pekik Didi. "Ya lo ngegasnya jangan ke gue dong!" "Udahlah, berpikiran positif aja," lanjut Farel. Ia sedikit menambah kecepatannya, agar segera sampai ke rumah Didi. Di sana Sinta dan Dafa sudah menunggu kepulangan Didi. Setibanya di depan rumah, anak itu malah tetap duduk di dalam mobil. Farel mengembuskan napas jengkel. "Ayo turun!" paksa Farel seraya menarik lengan Didi dari mobilnya. "Akh!" sentak Didi yang terus dipaksa Far
Setelah dua hari Didi tidak kunjung pulang. Anak itu pergi entah ke mana, yang pasti sungguh membuat Sinta dan Dafa khawatir. Bahkan Dafa sudah melapor pada polisi atas kehilangan anaknya. Sinta pergi untuk menemui Farel. Barangkali anak itu mengetahui keberadaan Didi. Sinta mengetuk pintu. Ia sedikit ragu. Namun tetap melakukannya. Tak berapa lama, Farel membukanya. Ia terkejut melihat kedatangan mamahnya Didi. "Tante Sinta?" "Rel bisa saya bicara sama kamu?" kata Sinta terlihat panik. "Masuk Tante. Kita ngobrol di dalam aja." Sinta duduk di sofa ruang tamu. Ia disuguhkan minuman dingin oleh Farel. "Santai aja ya, Tan di sini lagi ngga ada siapa-siapa kok. Orang rumah lagi pada ke luar." "Iya Rel. Sebelumnya Tante minum dulu ya." Sinta segera meneguk minuman yang telah disediakan untuknya. Sinta sangat merasa haus sehingga menghabiskan segelas sirup itu. "Iya, Tante silakan di minum."
Didi mengajak Farel ke rumahnya. Meraka sudah sampai beranda rumah. Kemudian mengetuknya secara perlahan. "Tuan Muda?" kaya Bi Nem. Mendengar Bi Nem, Sinta lekas datang ke depan pintu. "Didi," sambut Sinta dan langsung memeluk tubuh anak itu. "Kamu ke mana aja, sayang? Mama khawatir tau," decak Sinta. Sebab Didi tidak pulang semalaman. Didi tampak biasa saja. Mungkin lebih kepada tak mau menanggapi rasa khawatir ibunya itu. "Didi nginep di rumah Farel, kok, Tante," sambar Farel. Didi masuk begitu saja. Sinta tahu anak itu masih marah padanya. "Maaf, ya, Rel udah ngerepotin kamu. Sekarang mending kalian makan ya," cuit Sinta sedikit merasa tidak enak. "Gak ngerepotin kok. Farel dan Didi udah makan juga Tante," sahut Farel sopan. "Ya ampun. Makasih ya, Rel udah mau jaga Didi. Tante khawatir Didi ngga mau makan. Biasanya kalo ngambek suka gitu," kata Sinta terlihat sedih. Farel tertawa dalam
Didi membanting stir penuh emosi. Ia menangis tanpa rasa malu lagi. Didi benar-benar mencurahkan segala kemarahannya lewat air mata yang terus berderai keluar. Didi menambah kecepatan dalam berkendara. Ia ingin meluapkan segala rasa sakit hatinya dengan mengebut. Ia terus melaju entah ke mana. Kemudian mobil Didi perlahan menelan dan akhirnya memilih menepi. Di tempat sepi itu, Didi berteriak dengan bebas. "Hakk!" jerit Didi seperti orang gila. Cowok itu menyeka air matanya kala melihat pohon menyeramkan di sampingnya. "Tuh pohon besar amat," lirih Didi dengan suara yang masih bergetar. Didi cepat-cepat menyalakan mesin mobilnya dan memilih putar balik. Laju kendaraan Didi membawa pria itu ke arah rumah Farel. Ya, ke arah rumah sahabatnya. Setibanya di depan rumah Farel. Didi terlebih dahulu merapikan dirinya. Ia memeriksa kedua matanya yang masih terlihat sembab. Didi membersihkan matanya dari sisa air
Prank! Suara barang pecah terdengar lagi. Didi hanya bisa menghela napas dan berusaha untuk fokus pada game yang sedang ia mainkan. Sementara di tengah rumah orang tuanya masih tak kunjung berdamai dengan hal yang masih mereka perselisihkan. "Coba aja kamu bisa tegas sedikit mungkin para pegawai kamu tidak akan semanja itu! Bentar-bentar minta naik gaji bentar-bentar minta naik gaji! Bosen aku dengarnya!" tandas seorang wanita seraya menunjuk wajah pria di depannya dengan penuh kekesalan. "Lho yang minta naik gaji itu cuma beberapa orang, Sinta! Lagian mereka itu pekerja lama! Lagian kamu bisa tolak secara baik-baik tidak seperti tadi marah-marah di kantor! Memang seharusnya kamu tidak usah mengelola perusahaan ku, sebaiknya kamu diam di rumah!" balas Dafa tak kalah berteriak. Sina menyunggingkan salah satu sudut bibirnya. "O o ... jadi kamu nyalahin aku? Heh, perusahaan itu milik mendiang ayah aku, kamu harus ingat itu!" "Kamu