Saat hendak mengelus Sina, Rian selalu teringat kedua mendiang istrinya yang sudah meninggal. Sulit sekali bagi Rian menyingkirkan rasa gugup untuk menunjukkan kasih sayangnya pada Sina. Ia malah sering menyalahkan Sina untuk semua yang sudah terjadi. Ia tidak tahu kenapa dirinya jadi begini, jadi ikut terhasut kata-kata Nessa.
Tangan Rian menggantung di atas kepala Sina. Ia tidak jadi membelai rambut putrinya. Rian kembali menutup pintu, tetapi sebelum itu ia mematikan lampu kamarnya terlebih dahulu.
Kelopak mata Sina perlahan terbuka. Terbuka bersamaan dengan air mata yang mengalir. Rasanya ia rapuh sekali mendapati papanya tanpa mencium kening tanda kasih sayang ayah pada seorang anak.
"Sina kangen Papa," lirih Sina yang terisak oleh tangisnya.
Perlahan mata Sina mulai tertutup kembali, ia menarik selimut un
"Ada yang bisa memberikan contoh?" Bu Lisa tersenyum ramah kepada semua siswa. Ia memandang murid dikelas IPA dua satu persatu.Sina memainkan jarinya gugup. "Coba aja, Sin. Mereka harus tau tentang keistimewaan Suku Boti," batinnya.Sina mengangkat tangan agak ragu, "Sa--saya ada, Bu."Semua orang menoleh ke arah Sina dan pipi Sina langsung bushing memperlihatkan pipinya yang merona."Iya, kamu." Bu Lisa melangkah lebih dekat, karena Sina duduk di bangku paling belakang."Di Nusa Tenggara Timur ada Suku bernama Suku Boti. Menurut saya Suku Boti ini terbilang unik, karena bilamana ada pencuri mereka memberlakukan pencuri itu dengan baik. Tidak seperti di daerah lain atau ibukota yang mengatakan atau memukulnya secara brutal, justru Suku Boti memperlakukan si pencuri dengan manusiawi. Seperti; jika si pencuri mencuri singkong maka para warga akan memberi dia singkong. Jika kedapatan mencuri pisang, maka mereka pun akan memberikan si pencuri pisang.
Syukur, Farel tidak berbuat macam-macam pada Sina. Shela pikir Farel akan berbuat sesuatu untuk membalaskan dendamnya pada Sina, ternyata hanya mengobrol biasa.Shela dan Sina berjalan beriringan di tengah koridor yang sudah tampak sepi."Sin! Buku lo jatuh!" panggil Rangga setengah berteriak. Sina refleks menoleh dan melihat Rangga tengah berlari kecil untuk menghampirinya."Nih, buku lo." Rangga menyodorkan bukunya."Ow ... makasih, Ga. Buku ini penting banget." Sina menerimanya. Ia cukup kaget melihat buku yang baru ia beli kemarin sampulnya sudah robek. Sina memang ceroboh."Yah, sobek," lirih Sina pelan, tetapi masih bisa Rangga dengar."Eh, bukan gue, kok! Bukan gue yang nyobekin.""Mampus lo, Ga. Ganti tuh, kasian, buku baru." Tunjuk Shela dengan mulutnya yang menyimpul."Ini sobeknya bukan karena ulah Rangga. Te--tenang aja, nanti gue samp
Saat Shela masuk ke kantin orang-orang lantas memperhatikannya dari sisi manapun. Gadis itu tetap menyuap baksonya dengan santai seolah meraka hanya diibaratkan patung pajangan saja.Suara demi suara perihal dirinya masuk ke gendang telinga. Namun, Shela memilih menulikan pendengarannya dan tetap santai menikmati makan siangnya."Tuh, anak koruptor masih punya nyali buat makan di sini?"bisik salah seorang siswa, suaranya terdengar jelas di telinga Shela."Kasih pelajaran, biar kapok!"Dua orang cewek yang tampak asing dari jurusan IPA mendekati meja Shela."Lo yang dulu numpahin sambel ke mangkuk gue kan?" ucap Gendis mengingatkan perilaku nyeleneh Shela di waktu dulu.Shela tetap bergeming, tak memedulikan cewek di sebelahnya.Merasa diabaikan lantas Gendis mengambil saos botol yang ada di depan Shela, lalu menumpahkan semua isinya ke dalam mangkuk milik cewek itu.Gendis tersenyum puas. Sedangkan Shela berusaha
"Papa besok berangkat, Sin. Kamu baik-baik sama kakakmu di sini ya.""Papa juga hati-hati di sana ya. Em, Pa, Sina boleh ngomong sesuatu?" Sina tampak memainkan jari-jarinya karena merasa tidak enak dengan apa yang akan ia bicarakan."Ngomong aja, Nak. Papa siap mendengarkan," pungkasnya. Tangannya bergerak gesit memasukan baju-bajunya ke dalam koper berukuran besar."Sina mau--"Drttt! Drttt!Getar ponsel di saku Rian mengharuskan Sina tak melanjutkan kalimatnya. Padahal ini penting, menyangkut dirinya."Sebentar, Sin."Sina mengangguk mengerti. Ia ikut melipat baju sang ayah ke dalam koper yang masih terbuka. Lalu ia melihat bingkai foto berukuran sedang yang berisikan foto ia, Oliv dan Rian. Sina tersenyum, ternyata Rian menyimpan fotonya di bingkai yang berbeda pula. Berati Rian juga sayang pada Sina.Derap langkah dari luar terdengar semakin mendekat dan sekejap kemudian Oliv datang dan langsung memeluk manja Rian.
"kamu ini ketua osis lho, Lan," kata Bu Ayu. Sejak tadi ia tak henti-hentinya berkeliling memutari Farel dan Alan."Makanya Bu, hati-hati kalo milih ketua OSIS jadinya kayak gini kan. Pemimpin itu seharunya memberikan contoh yang baik buat warga sekolahnya bukan malah sebaliknya," sindir Farel. Ia berdecih. Alan memang tidak seharusnya menjadi ketua osis, yang seharunya menang itu dirinya. Pikir Farel."Diam kamu Farel. Kamu juga sama saja," sergah Bu Ayu yang berdiri di hadapan kedua cowok itu sembari membulatkan matanya. Bu Ayu memang suka geram dengan celotehan Farel yang juga tidak membuktikan dirinya tak lebih baik dari Alan."Kalian berdua silakan masuk ke ruangan Pak Broto," putus Bu Ayu.Farel dan Alan tak sengaja saling memandang. Mereka terkejut, pasalnya tidak ada yang mau berhadapan dengan guru gila itu. Siapa saja akan dibuat stres oleh mulutnya yang banyak bicara. Farel dan Alan lebih baik langsung masuk ruang BK, daripada bertem
"Ajarin anakmu, Sur. Kalo di rumah boleh-boleh saja manggil saya Om tapi di sekolah beda lagi." Kata-kata tadi tentu ditujukan untuk Farel. Anak degil itu malah tertawa mendengar nasihat untuk papanya.Lagi-lagi rasa tidak enak menjalar dalam tubuh Surya. Ia memaksakan senyum tidak apa-apa pada Farel."Memangnya kenapa Om? Malu punya ponakan seperti saya?" Farel tersenyum miring. Dari hawa-hawanya ia mulai mau mencari gara-gara dengan Jojo."Bukan begitu, Rel. Nih, kamu contoh Alan. Dia ini beda banget sama kamu, dia sangat menghormati saya di mana pun saya berada." Jojo melihat ke arah Alan yang segan padanya. Pasti dia tidak menyangka gurunya akan menjadi omnya."Kan saya bukan Alan, ya jelas beda lah," jawab Farel memutar bola matanya malas."Mau manggil Pak Guru atau Om Jojo tuh sama aja, Farel tetep keponakan Om Jojo," tambah Farel yang sekarang melanjutkan suapannya yang tertunda.Jojo mengehla napas. Ia jadi teringat saat Farel meneri
Halaman rumahnya tampak sepi, tetapi gadis itu tetap memberanikan diri untuk masuk ke pekarangan rumah Karin.Pertama saat sampai di beranda, Devi menjamah ponselnya di dalam saku, ia memeriksa apakah ada notif atau tidak.Embusan napas lolos darinya. Devi berjalan ke arah pintu dan mengetuknya."Rin! Karin!" panggil Devi."Apa masih tidur?" Devi berhenti mengetuk pintu. Ia jalan sini jalan sana untuk menunggu orang rumah membukakan pintu.Tak berapa lama menunggu, seorang wanita membuka pintu rumahnya. Devi sudah bisa tahu siapa wanita yang tengah berdiri itu."Tante Mey, Karin kemana ya? Dari malam Devi telepon kok gak diangkat-angkat?"Mey langsung menarik lengan Devi ke dalam rumah. Sebelumnya ia terlihat mengamankan suasana di luar. Mey menutup pintu rapat-rapat.Mey mondar mandir tak jelas di depan Devi. Wanita itu mengigit jari-jarinya, harus mulai dari mana membicarakan masalah Karin."Tante kenapa?"
Hari ini adalah rapat untuk semua siswa, karena besok mereka akan berangkat dengan bus khusus untuk kemah. Sebenarnya tiga hari yang lalu memang sudah dilakukan diskusi bersama. Namun, kali ini ada ketetapan baru dari panitia dan osis. Mereka ingin memisahkan anak ips dan anak IPA, itu sengaja dilakukan, karena mengingat kejadian beberapa hari yang lalu anatara Shela dan Gendis.Dan untuk menertibkan kursi supaya tidak rusuh. Pak Broto ikut memberi keputusan, bahwa semua kursi yang ada di dalam bus akan ditempelkan nama mereka. Hal ini untuk mengurangi kerusuhan dari orang-orang kurang angsur seperti Farel dan kawan-kawan.Barang siapa yang berani memprotes minta tempat duduknya ditukar atau diubah, maka mereka harus berhadapan langsung dengan Pak Broto."Yah, gak bisa seru-seruan dong?" Keluh Didi."Kadang-kadang Pak Broto emang suka bangsat, ya." Farel mendumel.Farel melirik-lirik orang-orang di sekitarnya. Ia tak sengaja melihat Sina tak
Tiga tahun berlalu. Embusan angin menyapa di setiap sudut kota. Seorang laki-laki bertubuh jangkung baru saja keluar mini market dengan segelas soft drink di tangannya.Wush!"Uhuk-uhuk!""Gila, hampir aja tuh debu masuk semua ke paru-paru," keluh sang empu, sebab angin dari barat begitu kencang.Farel menaiki kendaraannya kembali. Sebelum itu ia tampak mentahbiskan minumannya dan membuang botol kaleng itu ke tempat sampah yang tak begitu jauh darinya.Ia melesat dan masuk membelah jalanan kota yang masih dipenuhi oleh lalu lalang kendaraan.Meski cuaca terasa panas, laki-laki itu tampak tak terburu-buru dalam berkendara. Justru ia malah menikmati perjalanannya.Akhirnya sampailah ia di halaman rumah. Pria itu lekas turun dari motor dan membawa plastik putih berisikan eskrim pesanan sang adik."Bang, Falel pulang!" sorak anak kecil berusia hampir empat tahunan. Anak itu berlari dan langsung menghambur ke pelukan Farel.
"Pah," panggil Olive dengan suara lirih. Ia melihat pria yang semakin beruban itu tengah duduk melamun di kursi rodanya. Gurat kesedihan dan gurat usianya bercampur menjadi satu. Rian terlihat sangat menyedihkan."Pah, udah yuk, papah makan dulu." Olive membawa semangkuk bubur untuk sang ayah."Habis makan papah istirahat. Ingat lho kata dokter. Papah ngga boleh kebanyakan bengong. Gak baik," ucap Olive mengingatkan. Sejak kepergian Sina, Rian jatuh sakit dan sakitnya berasal.dari sebuah lamunan dan rasa bersalah."Aa, buka mulutnya Pah." Olive melayangkan sendok ke depan mulut Rian. Namun, pria beruban itu enggan membuka kedua bibirnya."Pah, sekali aja! Yah, ayo makan.""Papah ngga mau makan, Liv," toko Rian seraya terus menatap ke depan."Gimana papah mau sembuh kalo ngga mau makan. Sakit juga butuh tenaga Pah. Yah, makan dulu," bujuk Olive yang masih menggantung sendok di udara."Ngga liv--""Sesuap aja pah--"
Farel berjalan dengan tetap menatap ke layar ponselnya. Ia mendapat pesan dari seseorang yang tidak dikenal.Farel tetap terfokus pada layar ponselnya, sampai seseorang yang tengah berlari ke arahnya tak ia sadari hingga akhirnya ....Bruk!Orang itu menabrak tubuh Farel. Namun malah ia yang tersungkur. Dan hampir saja ponsel Farel terjatuh.Seorang gadis meringis. Ia segera berdiri dan meminta maaf pada cowok yang sudah ditabraknya."Maafin, Sinar, ya, Kak. Sinar gak senagaja," ucap gadis itu yang terus menunduk.Mendengar nama gadis itu, dada Farel tiba-tiba berdebar tak karuan."Sina?" kata Farel membuat gadis itu mendongak. Lalu memperlihatkan wajahnya yang manis."Nama lo, Sina?" tanya Farel tak percaya. Saat mendengar nama itu, Farel langsung teringat dengan gadis yang sudah satu tahun meninggalkannya."Sinar! Ada huruf R nya, kak," ralat cewek itu membenarkan."Sinar?" Kedua alis Farel terangkat."Le
Shela memberi satu botol air mineral pada Rangga yang sedang duduk merenung di halaman sekolah. Gadis itu terduduk dan memerhatikan raut wajah Rangga dari samping. Rangga meneguk air itu setengah habis. Kemudian meletakkannya di samping dengan penuh emosi sampai botol itu berdentum. "Kenapa, Ga?" tanya Shela melihat hari Rangga agaknya kurang baik. "Bokap dan nyokap, maksa gue buat kuliah di luar negeri," sahut Rangga sambil terus menatap nanar ke arah depan. "Ya bagus dong. Di sana kan--" Shela segera menutup mulut kala Rangga mendelik sinis padanya. "Gue gak suka, Shel! Gue gak suka dipaksa. Gue ingin jadi diri gue sendiri!" pekik Rangga. Shela mengusap bahu Rangga berusaha untuk menyabarkannya. "Lo bisa bicarakan ini baik-baik," saran Shela. *** Usai dari sekolah, Rangga tidak langsung pulang. Ia berjalan-jalan di lorong sekolah. Rangga meraba setiap jendela yang ia lewati. Dan sampailah
"Ngomonglah, Di! Masa dari tadi diem aja." "Di!" ulang Farel. Namun sang empu masih juga tidak menengok. Akhirnya Farel kembali terfokus menyetir. "Kenapa si Rel, lo maksa banget buat gue pulang? Gue tuh masih kesel sama mereka!" gerutu Didi yang akhirnya membuka suara. "Kesalnya udahan kali, Di. Beri mereka kesempatan." Farel mendelik sekilas sesusah itu terfokus pada jalanan lagi. "Udah berulang kali gue beri kesempatan. Tapi apa? Nyatanya mereka tetep ngga bisa menghargai gue!" pekik Didi. "Ya lo ngegasnya jangan ke gue dong!" "Udahlah, berpikiran positif aja," lanjut Farel. Ia sedikit menambah kecepatannya, agar segera sampai ke rumah Didi. Di sana Sinta dan Dafa sudah menunggu kepulangan Didi. Setibanya di depan rumah, anak itu malah tetap duduk di dalam mobil. Farel mengembuskan napas jengkel. "Ayo turun!" paksa Farel seraya menarik lengan Didi dari mobilnya. "Akh!" sentak Didi yang terus dipaksa Far
Setelah dua hari Didi tidak kunjung pulang. Anak itu pergi entah ke mana, yang pasti sungguh membuat Sinta dan Dafa khawatir. Bahkan Dafa sudah melapor pada polisi atas kehilangan anaknya. Sinta pergi untuk menemui Farel. Barangkali anak itu mengetahui keberadaan Didi. Sinta mengetuk pintu. Ia sedikit ragu. Namun tetap melakukannya. Tak berapa lama, Farel membukanya. Ia terkejut melihat kedatangan mamahnya Didi. "Tante Sinta?" "Rel bisa saya bicara sama kamu?" kata Sinta terlihat panik. "Masuk Tante. Kita ngobrol di dalam aja." Sinta duduk di sofa ruang tamu. Ia disuguhkan minuman dingin oleh Farel. "Santai aja ya, Tan di sini lagi ngga ada siapa-siapa kok. Orang rumah lagi pada ke luar." "Iya Rel. Sebelumnya Tante minum dulu ya." Sinta segera meneguk minuman yang telah disediakan untuknya. Sinta sangat merasa haus sehingga menghabiskan segelas sirup itu. "Iya, Tante silakan di minum."
Didi mengajak Farel ke rumahnya. Meraka sudah sampai beranda rumah. Kemudian mengetuknya secara perlahan. "Tuan Muda?" kaya Bi Nem. Mendengar Bi Nem, Sinta lekas datang ke depan pintu. "Didi," sambut Sinta dan langsung memeluk tubuh anak itu. "Kamu ke mana aja, sayang? Mama khawatir tau," decak Sinta. Sebab Didi tidak pulang semalaman. Didi tampak biasa saja. Mungkin lebih kepada tak mau menanggapi rasa khawatir ibunya itu. "Didi nginep di rumah Farel, kok, Tante," sambar Farel. Didi masuk begitu saja. Sinta tahu anak itu masih marah padanya. "Maaf, ya, Rel udah ngerepotin kamu. Sekarang mending kalian makan ya," cuit Sinta sedikit merasa tidak enak. "Gak ngerepotin kok. Farel dan Didi udah makan juga Tante," sahut Farel sopan. "Ya ampun. Makasih ya, Rel udah mau jaga Didi. Tante khawatir Didi ngga mau makan. Biasanya kalo ngambek suka gitu," kata Sinta terlihat sedih. Farel tertawa dalam
Didi membanting stir penuh emosi. Ia menangis tanpa rasa malu lagi. Didi benar-benar mencurahkan segala kemarahannya lewat air mata yang terus berderai keluar. Didi menambah kecepatan dalam berkendara. Ia ingin meluapkan segala rasa sakit hatinya dengan mengebut. Ia terus melaju entah ke mana. Kemudian mobil Didi perlahan menelan dan akhirnya memilih menepi. Di tempat sepi itu, Didi berteriak dengan bebas. "Hakk!" jerit Didi seperti orang gila. Cowok itu menyeka air matanya kala melihat pohon menyeramkan di sampingnya. "Tuh pohon besar amat," lirih Didi dengan suara yang masih bergetar. Didi cepat-cepat menyalakan mesin mobilnya dan memilih putar balik. Laju kendaraan Didi membawa pria itu ke arah rumah Farel. Ya, ke arah rumah sahabatnya. Setibanya di depan rumah Farel. Didi terlebih dahulu merapikan dirinya. Ia memeriksa kedua matanya yang masih terlihat sembab. Didi membersihkan matanya dari sisa air
Prank! Suara barang pecah terdengar lagi. Didi hanya bisa menghela napas dan berusaha untuk fokus pada game yang sedang ia mainkan. Sementara di tengah rumah orang tuanya masih tak kunjung berdamai dengan hal yang masih mereka perselisihkan. "Coba aja kamu bisa tegas sedikit mungkin para pegawai kamu tidak akan semanja itu! Bentar-bentar minta naik gaji bentar-bentar minta naik gaji! Bosen aku dengarnya!" tandas seorang wanita seraya menunjuk wajah pria di depannya dengan penuh kekesalan. "Lho yang minta naik gaji itu cuma beberapa orang, Sinta! Lagian mereka itu pekerja lama! Lagian kamu bisa tolak secara baik-baik tidak seperti tadi marah-marah di kantor! Memang seharusnya kamu tidak usah mengelola perusahaan ku, sebaiknya kamu diam di rumah!" balas Dafa tak kalah berteriak. Sina menyunggingkan salah satu sudut bibirnya. "O o ... jadi kamu nyalahin aku? Heh, perusahaan itu milik mendiang ayah aku, kamu harus ingat itu!" "Kamu