Bima terus memacu tubuh dalam kungkungannya itu, keringatnya mengucur deras. Nafasnya tidak beraturan, ia sudah hampir sampai! Rasanya sensasi nikmat itu menjalar hingga keseluruh syaraf tubuh dan ubun-ubunnya. Sungguh sebuah nikmat yang tidak dapat lagi ia ungkapkan dengan kata-kata.
Ia memejamkan matanya erat-erat, desahan itu berubah menjadi erangan panjang ketika kemudian ada sesuatu yang meledak-ledak dalam diri Bima. Bima membiarkan miliknya tumpah. Ia sedang berusaha menetralkan nafasnya yang terengah-engah luar biasa karena aktivitas fisik yang baru saja selesai ia lakukan itu.
Peluhnya banjir, membuat tubuhnya makin terasa panas dan lengket. Setelah semuanya usai, dengan perlahan Bima menarik keluar miliknya dari dalam gadis itu, tampak cairan putih kental itu meleleh. Bima menyeka keringat yang mengucur dari tubuhnya, lalu menjatuhkan tubuhnya di atas tubuh polos yang sama bersimbah peluhnya itu.
Bima menyapu bibir itu dengan lembut, bibir dengan aroma whiskey yang menjadi alasan kenapa gadis itu kemudian bisa berada di atas ranjang hotel ini dan memberikan dirinya seutuhnya pada Bima, laki-laki yang tidak ia kenal. Parahnya lagi Bima sendiri tidak kenal siapa gadis ini! Ia tidak membawa apapun kecuali tubuhnya dan pakaian dengan bau alkohol yang melekat pada tubuhnya itu.
"Terima kasih, siapapun kamu. Kamu gadis pertama yang memberiku semua kenikmatan ini," bisik Bima lirih, kembali ia mengecup bibir itu dengan lembut.
Bima mengelus lembut wajah gadis itu yang tertutup anak rambutnya. Gadis yang cantik, namun sayang sekali Bima sudah punya Melinda, gadis yang sudah tiga tahun ini mengisi hatinya, meskipun ia akui Melinda tidak secantik gadis ini.
Bima bergegas bangkit, ia tertegun menatap bercak darah yang menempel di sprei itu. Bercak itu milik gadis cantik ini. Tanpa adanya bercak ini pun sebenarnya Bima sudah paham dan sudah tahu bahwa gadis ini masih perawan dan belum tersentuh. Adanya selaput yang sempat menghalangi miliknya masuk lebih dalam tadi yang menjadi bukti otentik bahwa gadis ini masih suci!
Ia menghela nafas panjang, bergegas bangkit dan memunguti pakaiannya yang tercecer dilantai. Ia harus segera pergi sebelum gadis itu bangun dan sadar apa yang sudah terjadi pada dirinya itu, apa yang sudah Bima lakukan terhadapnya. Bima sudah menodainya, merenggut kesuciannya dengan memanfaatkan kesadaran gadis itu yang hilang akibat pengaruh minuman keras.
Tapi apa boleh buat? Bima laki-laki normal, ia tidak tahan melihat betapa indah dan ranum aset gadis yang tadi ia temukan terkulai di depan sebuah pub ternama itu. Tujuan utamanya ia ingin menyelamatkan, namun sayang, iman Bima tidak sekuat itu, terlebih ketika ia bingung mencari alamat gadis itu. Jadi ia langsung membawa gadis itu ke hotel dan kemudian terjadilah hal yang bahkan belum pernah Bima lakukan bersama Melinda, sang kekasih hatinya itu.
"Maafkan aku, Melin," desis Bima dibawah guyuran shower itu. Ia sudah mengkhianati kekasihnya itu dengan tidur bersama gadis lain!
"Aku nggak sanggup melihat godaan di depan mataku, aku laki-laki payah!"
Sedetik kemudian Bima mendengus kesal, bagaimana nanti nasib gadis itu? Ia sudah merenggut kesuciannya! Apakah nanti masih ada laki-laki yang akan menerimanya?
***
Bima membetulkan posisi selimut gadis itu, sebelum ia melangkah pergi, ia meninggalkan beberapa lembar uang seratus ribuan di nakas meja. Gadis itu tidak membawa apapun, jadi ia bisa gunakan uang yang tidak seberapa itu untuk ongkos pulang. Uang yang tidak seberapa dan tidak bisa menukar atau mengganti selaput dara yang sudah Bima koyak paksa tadi.Bima sekali lagi tersenyum, kemudian mengecup kening gadis yang sudah memberinya sebuah sensasi kenikmatan luar biasa yang belum pernah Bima rasakan. Kenikmatan dunia yang ternyata benar-benar memabukkan dirinya dengan begitu luar biasa.
"Maafkan aku cantik, kamu benar-benar luar biasa menggoda," bisik Bima dengan pedih.
Bima bangkit, lalu melangkah keluar dari kamar itu. Efek stress menghadapi kenyataan bahwa ia harus mengulang Stase bedah satu kali lagi membuat ia kemudian pergi ke pub untuk mengurai semua stress dan kekacauan pikiran Bima.
Ia seharusnya sudah lulus dan bersiap UMKPPD bersama teman-temannya, namun karena sebuah kesalahan ia harus rela mengulang Stase bedah dan otomatis memperlambat langkahnya memeroleh gelar dokternya.
Dan karena itulah kemudian peristiwa ini terjadi. Ia bertemu gadis itu dalam kondisi mabuk berat, dan kemudian malah menjadikan gadis itu pelampiasan nafsunya. Gila. Bima benar-benar gila! Bima sudah masuk ke dalam mobilnya ketika kemudian ia tersentak luar biasa ketika menyadari sesuatu.
"Astaga, kenapa tadi keluar di dalam?" pekiknya ketika ia sadar ia mengeluarkan miliknya di dalam rahim gadis itu.
"Kalau hamil gimana ya ampun, bego banget sih kamu, Bim!" maki Bimo pada dirinya sendiri.
Bimo memijit kepalanya dengan gemas, kenapa dia bisa sebodoh ini sih? Kenapa dia bisa seceroboh ini? Seorang dokter muda yang jelas-jelas ketika Stase obsgyn tentu paham betul teori untuk mencegah kehamilan dan seks yang tidak beresiko, tapi kenapa ketika melakukan semua itu ia seolah-olah lupa dengan semua teori dan ilmu yang kemarin ia dapat di Stase obsgyn?
"Semoga dia sedang tidak subur!"
Ya ... hanya itu doa yang sekarang Bima panjatkan, semoga gadis itu sedang tidak subur. Karena kalau dia dalam masa suburnya, maka dapat dipastikan bahwa gadis itu akan hamil anaknya!
"Nggak, dia nggak mungkin hamil!" guman Bima sambil membawa mobilnya meninggalkan hotel itu.
Sungguh nafsu dunia itu benar-benar membutakannya. Hingga ia bisa lupa segala-galanya dan bisa ceroboh asal menumpahkan cairan miliknya ke dalam rahim gadis itu. Padahal ia sudah dapat materi seperti ini sejak ia pre-klinik bukan?
"Bodoh, Bim! Kamu calon dokter yang bodoh!"
***
Gadis itu menggeliat perlahan, ia memekik kesakitan ketika ia hendak mengerakkan kakinya. Ia mengerjapkan mata dan terkejut mendapati dirinya tengah berada di sebuah kamar yang sangat asing.Ia sontak bangun dan syok luar biasa mendapati dirinya polos tanpa busana! Kondisi kasur berantakan, bajunya tercecer dimana-mana dan pangkal pahanya terasa begitu sakit, pedih dan menusuk.
Air matanya makin deras mengalir ketika mendapati selimut yang menutupi tubuh polosnya itu terdapat bercak darah, apa yang sudah terjadi pada dirinya? Apa?
Dengan tangan bergetar ia meraba area sensitifnya, sangat pedih sekali rasanya dan lengket dipermukaan. Tangisnya makin menjadi ketika cairan putih bercampur darah itu menempel di tangannya.
Siapa yang melakukan semua ini? Siapa yang sudah begitu tega memperkosanya ketika ia tidak sadar efek mabuk kemarin?
Tangisnya pecah, ia berteriak menyadari bahwa dari kebodohannya semalam membuat dia harus kehilangan kegadisannya, membuat ia harus berada di kamar ini dengan kondisi memprihatinkan.
Ia sudah koyak, rusak dan kotor! Yang mana ia sendiri tidak tahu siapa laki-laki yang sudah melakukan semua ini. Bagaimana kehidupannya nanti? Apa yang kelak akan ia katakan pada calon suaminya, apa?
Dari sudut matanya ia menangkap lembaran uang seratus ribuan di nakas. Jadi hanya segini harga dirinya? Kesuciannya hanya dihargai satu juta? Kesucian yang sudah sembilan belas tahun ia jaga itu hanya berharga satu juta?
Bima tersenyum lebar ketika melihat sosok itu begitu cantik dengan dress batik sambil membawa buket mawar dan sebuah sebuah boneka panda. Hari ini hari bahagianya, akhirnya setelah berjuang dengan segala drama dan tetek-bengek lainnya, ia lulus juga dari kepaniteraan klinik. Lulus UKMPPD one shoot sehingga pada hari ini ia sudah sah menyandang gelar dokter di depan namanya.Ya ... hari ini adalah hari dimana akhirnya ia diambil sumpah dokternya, sebuah prosesi wajib setelah semua proses pendidikannya selesai. Proses yang men-sahkan dirinya menjadi seorang dokter."Congratulation dokter Bima Dirgantara Soebroto, akhirnya sah jadi dokter juga, Sayangku!" teriak sosok itu riang lalu memeluk Bima erat-erat.Bima balas memeluk sosok itu, mendekap erat tubuh wanita yang sangat ia cintai itu. Rasanya lengkap sudah semuanya hari ini. Ia tersenyum sambil mencium puncak kepala Melinda."Terima kasih banyak ya Sayang, terima kasih sudah sangat saba
Bima masuk ke dalam kamarnya setelah semua acara di rumahnya selesai. Tubuhnya letih luar biasa. Sejak pagi tamu tidak ada habis-habisnya, entah sejawat papanya, teman-temannya sendiri, yang jelas hari ini acaranya begitu padat. Bagaimana tidak padat? Hari ini ia sudah resmi menikah, menyandang gelar dan status baru, yaitu seorang suami.Bima tertegun menemukan Melinda tengah menyisir rambutnya yang setengah basah itu. Kekasihnya itu sekarang sudah resmi ia nikahi! Setelah sekian lama menjalin kasih, cinta mereka berlabuh juga di jenjang pernikahan ini."Sayang," Bima memeluk Melinda dari belakang, dikecupnya pipi Melinda dengan penuh kasih."Cepat mandi, biar badannya seger," tampak wajah itu begitu bahagia, sama, Bima juga sangat bahagia."Oke, jangan tidur dulu," pesan Bima sambil tersenyum jahil. Dapat Bima lihat wajah itu memerah, membuat Bima makin gemas dengan gadis yang perhari ini sudah resmi menjadi isterinya itu.Bima mengunci pintu kama
"Gimana, keren kan?"Bima terbelalak ketika tahu akhirnya ia dapat wahana internship masih di kota ini, tanpa perlu keluar kota bahkan ke luar pulau. Sebuah keberuntungan karena ia tidak harus pisah dari sang isteri."Kok bisa sih, Pa? Hebat!" senyum Bima merekah, apakah ini yang dinamakan keuntungan punya half blood? Alias darah keturunan dokter? Jadi semua langkahnya sedikit dipermudah?"Pentingnya punya koneksi ya seperti ini, Bim. Sudah ya, lega kan internship tidak harus jauh dari isteri dan orangtua?" Andi tersenyum, lalu menepuk lembut pundak Bima."Terima kasih banyak ya, Pa. Sejauh ini papa selalu ada buat bantu Bima, entah biayain, entah mempermudah langkah Bima, Bima nggak bisa apa-apa tanpa Papa." guman Bima tulus."Sudahlah, itu sudah jadi kewajiban papa, Bim. Fokus ke internship mu dan segera lanjut ambil PPDS, oke?" Andi tersenyum, menatap putra semata wayangnya itu dengan penuh kebanggaan.Bima meng
Bima tersentak dari tidurnya, nafasnya tersengal-sengal. Keringat dingin mengucur membasahi tubuhnya. Gadis itu ... gadis yang dulu dia setubuhi itu datang dalam mimpinya! Datang dengan membawa pisau menghampiri dirinya, kenapa ia harus mimpi seperti itu sih?Bima mencoba menetralkan nafasnya, ia tidak mau menganggu tidur sang isteri. beberapa bulan setelah peristiwa itu, baru kali ini dia mimpi seperti ini. Apa artinya? Apa jangan-jangan gadis itu depresi lalu bunuh diri? Astaga, kenapa jadi rumit macam ini sih? Kenapa?Bima bangkit dari ranjangnya, lalu melangkah ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya, ia mencuci wajahnya di wastafel. Wajah gadis itu masuk begitu ia ingat, masih sangat jelas terbayang dalam benak Bima! Dia cantik, sangat cantik, dengan tubuh yang luar biasa menggodanya! Kulit putih bersih, dengan dengan rambut panjang hitam legam. Belum lagi kenikmatan tubuh itu sama sekali tidak bisa Bima lupakan begitu saja!Sama-sama masih perawan, kenap
"Kehamilan sebelas minggu, namun sayang sekali, Bu, kehamilan Nina tidak bisa dipertahankan lagi," guman dokter Gina sambil menatap nanar wanita paruh baya yang menangis sesegukan itu."Jadi terpaksa kita harus lakukan kuretase ya, Bu." lanjut dokter Gina lagi."Astaga, Nin! Kenapa kamu jadi begini? Kenapa kamu sampai jauh kebablasan sejauh ini? Siapa pelakunya, Nin?" rintih wanita itu sambil mengangkat sesegukan."Ini mohon maaf, suaminya benar-benar tidak ada? Kami dari pihak rumah sakit hendak meminta tanda tangan persetujuan prosedur kuretase-nya, Ibu," tanya dokter Gina sabar."Biar saya yang tanda tangan saja, Dokter!" guman wanita itu sambil menyusut air matanya."Minta perawat mempersiapkan dokumennya, Bim!" perintah dokter Gina pada Bima yang langsung dibalas anggukan kepala.Bima bergegas pergi menemui perawat jaga IGD untuk mempersiapkan lembar persetujuan itu. Hatinya berkecamuk luar biasa, dipikirannya hanya ada gadis itu. Apaka
Bima mengentikan mobilnya tepat di depan kantor cabang sebuah bank swasta terbesar di Indonesia, tempat di mana Melinda isterinya itu bekerja. Melinda adalah seorang banker, berbeda dengan Bima yang merupakan seorang dokter.Jika kebanyakan teman-teman sejawat-sejawatnya memilih untuk menikahi sesama dokter, maka tidak dengan Bima. Ia lebih memilih mengikuti jejak sang ayah yang memilih menikahi wanita yang berbeda profesi dengan dirinya. Bima pun demikian, sama sekali ia tidak tertarik untuk menikahi sesama dokter karena ia tahu profesi mereka memakan banyak waktu, banyak waktu mereka akan habis di rumah sakit untuk pasien-pasien mereka. Akan sangat jarang mereka memiliki waktu di rumah, dan Bima ingin kelak anak-anaknya bisa punya banyak waktu di rumah dengan ibunya di rumah, seperti dirinya.Dan itulah yang kemudian membuat Bima menikahi Melinda, anak fakultas ekonomi manajemen yang ia kenal sejak pre-klinik. Dari semula ikut seminar perpajakan yang diadakan fakulta
Melinda meletakkan testpack yang baru saja ia gunakan itu dengan lesu, masih garis satu! Sudah tiga bulan bukan ia bergumul dengan suaminya, tanpa pengaman, menghitung masa subur, kenapa ia belum hamil juga? Kenapa? Apa yang salah?Air matanya mendadak menetes, ia menangis sesegukan di kamar mandi. Hatinya khawatir, risau, takut dan kecewa! Ia benar-benar kecewa dengan dirinya sendiri! Kenapa ia tidak kunjung hamil?Bima menekan knop pintu kamar mandi kamar mereka dan tertegun mendapati sang isteri tengah menangis sambil duduk di atas kloset."Sayang, kenapa?" tanya Bima lalu jongkok di depan sang isteri.Melinda sontak memeluk erat-erat tubuh suaminya, tangisnya kembali pecah, dadanya sesak luar biasa. Bima masih tidak mengerti apa yang membuat isterinya itu menangis sesegukan macam ini, hingga kemudian matanya menatap benda itu ada di depan bagian atas kloset. Dan ia paham apa yang kemudian membuat Melinda menangis sampai sebegitunya."Sudah, ken
"Dokternya saya perjalanan ya!" Bima menelepon Dokter Hendratmo, untung dia orang dalam, jadi bisa sedikit meminta waktu makan siang Dokter Hen untuk sekedar memeriksa sang isteri."Oke, langsung ke ruangan saya ya, Bim! Saya tunggu!" balas suara itu ramah."Baik terima kasih banyak, Dokter!" Bima melepas headset bluetooth-nya, meletakkan benda itu di dashboard mobilnya.Melinda hanya menghela nafas panjang, jujur ia khawatir dan takut. Ia takut hasil pemeriksaannya tidak baik, ia takut bahwa dia harus dihadapkan pada kenyataan bahwa dia tidak bisa hamil, tidak bisa memberikan keturunan untuk suaminya ini."Hei Sayang, kenapa melamun?" tanya Bima sambil tersenyum, ia tahu pasti pikiran Melinda kemana-mana kan?"Aku takut!" jawabnya simpul."Apa yang kamu takutkan?" benarkan? Sudah tepat dugaan Bima bahwa istrinya itu ketakutan."Hasilnya," desis Melinda lirih."Sudahlah, jangan khawatirkan apapun, mengerti?" tangan Bima terulur
Vina menitikkan air mata ketika akhirnya dia bisa merasakan bagaimana rasanya IMD. Bagaimana rasanya bayi langsung menyusu kepadanya begitu lahir.Bima terus menerus membantu bayi kecil mereka menyusu sambil terus menerus menitikkan air mata. Semuanya kompak menangis haru, membuat beberapa paramedis sengaja menjauh agar tidak menganggu interaksi keduanya."Udah dong nangisnya!" Ejek Vina yang tidak sadar diri, dia bahkan masih menitikkan air mata."Aku bahagia banget, Sayang! Sungguh!" Bima tersenyum, matanya masih memerah dan basah, membuat Vina terkekeh seraya mengelus lembut kepala bayi yang baru beberapa menit lahir itu."Aku sudah minta lebihan darah untuk kita lakukan pengecekan, Sayang. Kita akan deteksi lebih dini. Dan harapanku ... Tidak ada lagi Anetta yang lain." Bisik Bima lirih."Bagaimana ka--.""Sayang! Stop overthinking, oke?"Vina tertegun menatap mata itu, ia tersenyum getir dengan air m
Minggu pagi. Vina ingat betul hari ini minggu pagi. Cuaca cerah di luar sana dengan langit biru yang begitu bersih. Tapi kali ini, bukan langit biru yang Vina lihat dengan matanya. Yang ada dj depan mata Vina sekarang adalah langit-langit koridor koridor OK, menantikan gilirannya masuk ke dalam salah satu ruangan.Vina mengelus perut membukitnya, rasanya seperti Dejavu. Ya ... Beberapa tahun yang lalu Vina pernah ada di posisi ini. Terbaring dengan perut besar membukit menantikan tindakan operasi. Bedanya, dulu dia menanti dengan penuh rasa khawatir karena usia kandungan yang belum cukup dan tentu saja dia harus berjuang sendiri di dalam sana.Kali ini ... Semuanya berbeda. Usia kandungan Vina sudah sangat cukup dan sekarang, dia tidak lagi sendirian. Sosok yang sudah siap dengan setelan scrub, nurse cap dan masker itu terus menggenggam tangannya erat-erat. Sama sekali tidak melepaskan tangan Vina, seolah tidak mau berpisah barang sedetikpun dari Vina. 
"Sayang ...." Bisikan Bima lirih sambil mengguncang bahu sang istri. Vina sama sekali tidak membuka mata, hanya menggumam perlahan tanpa bergerak sedikitpun. Bima tersenyum getir, intinya malam ini dia tidak terima penolakan. Mumpung mereka tidak menginap di rumah sakit! Dan Bima tidak mau mensia-siakan kesempatan ini? "Ayolah, aku kadung janji sama Neta nih!" Rayu Bima tanpa gentar. Kalau pergumulan mereka beberapa hari yang lalu tidak menghasilkan karena ternyata Vina sedang tidak subur, maka kali ini Bima sudah hitung betul-betul masa subur sang istri dan inilah saatnya. "Salah sendiri asal bikin janji. Kan aku udah ngomong dulu kalo sama Neta jangan sembarangan bikin janji!" Vina bergeming, sama sekali tidak menghiraukan segala macam kode dari Bima. Bima menghela napas panjang, intinya dia sudah bertekad bahwa dia harus bisa menghamili Vina untuk kedua kalinya! Atau mungkin nanti jadi ke tiga kali? Empat? Atau berapa?
“Congratulations, istriku tercinta!” Vina yang masih dalam balutan toga tertegun melihat sang suami menyodorkan buket mawar merah yang cukup besar itu kepadanya. Ini adalah kali pertama Bima memberinya bunga, pertama kalinya yang kebetulan bersamaan dengan acara wisudanya. Vina tersenyum dengan mata berkaca-kaca, menerima bunga itu dan pasrah ketika Bima menarik dan menjatuhkan Vina ke dalam dekapan tubuhnya. Air mata Vina menitik, harusnya Anetta ikut di sini sekarang. Menyaksikan sang mama diwisuda setelah berjuang tiga setengah tahun kuliah sambil merawat Anetta selama ini. Masih tergambar betul dalam ingatan Vina ketika dia harus ujian akhir semester satu dan Anetta habis imunisasi. Bagaimana perjuangan Vina belajar sambil sesekali menyusui Anetta yang rewel dan sedikit demam pasca imunisasi. Sekarang semuanya terbayar lunas sudah! Dia sudah berhasil meraih gelar S.H-nya. Menjadi sarjana hukum dengan predikat cumlaude ketika lulus. “Aku em
Suara pintu terbuka, Vina sontak menoleh dan mendapati dua nenek rempong itu sudah masuk bersama-sama ke dalam ruangan. Heran, rumah mereka jaraknya cukup lumayan, tapi kenapa bisa barengan begitu sampainya? “Neta tidur?” tanya Ani sambil memencet botol handsanitizer yang menempel di tembok. “Tidur, Ma. Kok bisa barengan?” tanya Vina sambil menatap mereka bergantian. “Bisalah, kan kompak!” jawab Anita seraya mengedipkan sebelah mata. Vina melongo, bisa begitu? Nampak Anita mendekati ranjang, di mana Bima tertidur begitu pulas sambil memeluk Anetta, sebuah pemandangan yang sejak tadi sudah menguras air mata Vina dengan begitu luar biasa. “Bim ... bangun gih! Pulang sana istirahat!” bisik Anita sambil mengguncang lembut bahu anak lelakinya. Sejak dua hari memang Bima belum pulang kerumah. Selain banyak tugas yang diberikan konsulen, Bima sama sekali tidak mau berpisah dengan Anetta. Bima nampak menggeliat, membuka matanya perlahan-lahan
"Neta nggak bisa makan untuk sementara waktu, Ma." Gumam Bima ketika Ani datang membawa banyak sekali makanan kesukaan Anetta."Kenapa, Bim? Dia baik-baik saja, bukan?" Tampak wajah itu sangat khawatir, membuat Bima tersenyum getir dan mengangguk pelan."Tentu, dia baik-baik saja. Hanya efek dari BMT adalah adanya gangguan pencernaan dan mungkin muncul sariawan di mulut, jadi makanan Anetta sampai beberapa saat ke depan sampai pencernaannya membaik hanya melalui infus." Jelas Bima sabar, ia sudah menjelaskan hal ini pada Vina, untuk Anita tentu Andi sudah menjelaskannya lebih dulu, bukan?"Oh begitu?" Ani nampak murung menatap bungkusan yeng dia bawa, "Vina juga nggak boleh makan?""Kalau Vina boleh, Ma. Dia bebas mau makan apa aja." Tentu Bima paham kalau Ani khawatir dan kecewa karena apa yang dia bawa tidak bisa Anetta nikmati, tapi semua itu demi kebaikan Anetta, bukan?"Sampai kapan Neta harus dirawat, Bim? Kapan dia bo
"Sakit?" Tanya Bima sambil mengelus puncak kepala sang istri yang kini tergolek di ranjang dengan kateter yang menancap di leher. Vina menggeleng lemah, "Demi Anetta, semua ini sama sekali tidak terasa sakit, Mas." Bima mengangguk, menjatuhkan kecupan mesra yang begitu manis dan mampu membuat dua orang yang ada di ruangan itu auto iri melihatnya. Vina tersenyum, akhirnya kini dia yang berbaring di sini. Bukan karena sakit, tetapi bersakit-sakit ria demi Anetta. Setelah prosedure panjang yang dilakukan, hasil pemeriksaan HLA yang paling cocok merujuk pada dirinya. Bukan Bima atau anggota keluarga yang lain. Jadilah ini Vina kembali berjuang demi Anetta setelah dulu berjuang di OK demi melahirkan Anetta. "Kamu wanita paling hebat dan kuat yang pernah aku kenal, Vin." Bima mengelus lembut dahi Vina, wajah mereka begitu dekat membuat siapapun yang di sana gigit jari melihat kemesraan itu. "Kau tau siapa yang membuatku
“Mas, ada apa?”Bima mengangkat wajah, mengabaikan sejenak segelas es teh yang dia pesan sambil menantikan Vina datang menemuinya di kantin rumah sakit. Kini, istri cantiknya itu sudah hadir dan berdiri di depannya.“Anetta gimana? Aku mau masuk tapi masih harus ada jaga.” Bima harus ingat betul, tidak boleh sembarangan orang masuk ke dalam kamar Anetta, dia sekalipun harus memastikan bahwa dia bersih dan steril. Jadi agak susah dan ribet kalau dia yang masih jaga ini harus bolak-balik membersihkan diri sebelum masuk ke dalam.“Baik, dia sudah bisa tidur.” Vina duduk di hadapan Bima, nampak Vina hanya mengenakan sweeter dan kaos yang nantinya jika di dalam ruangan akan di ganti dengan setelan scrub yang bersih.“Darahnya masih keluar?” tentu itu yang Bima tanyakan, tiap menit, hal itu yang selalu Bima khawatirkan.“Yang hidung belum mau berhenti, Mas. Untuk telinga sudah mampet sih.”
“Ayolah, Ma ... semua demi Anetta.” Mohon Vina sambil menggenggam erat kedua tangan Ani.Vina paham, sangat mengerti bahwa sulit bagi Ani untuk berpisah dari Anetta. Vina masih ingat, ketika dia sibuk kuliah, meskipun dibantu oleh baby sitter, Ani-lah yang mengawasi dan merawat Anetta selama ini. Tentu akan sangat sulit bagi Ani menerima bahwa cucunya harus pindah tinggal di rumah besannya.“Berapa banyak sih biaya buat bikin ruangan kaca atau apalah itu? Duit Mama nggak cukup, Vin?” tanya Ani dengan mata memerah.Vina menggelengkan kepala cepat, matanya ikut memerah. Bisa Vina lihat sorot luka penuh kekecewaan itu terpancar di mata Ani. Siapa yang tidak terluka? Selama bertahun-tahun merawat seorang diri Anetta yang tengah hamil lalu merawat bayinya dengan sepenuh hati dan penuh kasih sayang, tiba-tiba harus dipisahkan seperti ini?Tapi semua itu bukan karena keserakahan atau keegoisan semata. Semua demi Anetta! Vina sangat berhar