Bima memarkirkan mobilnya di halaman parkir, ia melepaskan snelli-nya lantas mengantungkan jas kebanggaannya itu di holder yang ada di belakang jok.
Sejenak Bima menghela nafas panjang melihat antrian panjang itu. Tapi apa boleh buat? Demi isterinya, apapun akan Bima lakukan.
Dengan mantab Bima membuka pintu mobilnya, melangkah turun dan segera bergabung dengan antrian pada gadis yang merupakan penggemar minuman boba kenamaan itu.
"Eh tahu nggak, si Vina kabarnya sudah lahiran loh."
Bima memainkan ponselnya, mencoba mengabaikan obrolan para gadis muda yang antri di depannya.
"Oh ya? Beneran sudah lahiran? Kok cepet amat sih?" tanya suara yang lain.
"Serius, aku sendiri juga nggak tahu, tadi si Indah ketemu di rumah sakit katanya, mau operasi caesar."
"Kasihan ya, mana hamil nggak ada suaminya lagi."
Kini Bima mengangkat wajahnya, ini apaan sih? Demen banget pada ngomongin orang? Hamil diluar nikah? Ah anak muda zaman se
"Siapa namanya, Ma?"Sungguh, Vina benar-benar antusias. Kira-kira sang mama ini hendak memberi anaknya nama siapa? Anaknya perempuan, dan Vina ingin nama yang bagus dan cantik untuk bayinya itu."Annetta Elvina Sharapova." jawab Ani dengan mantab dan begitu yakin.Alis Vina berkerut, kenapa jadi pakai nama orang Rusia? Atau jangan-jangan, mamanya ini ingin sang cucu jadi pemain tenis?"Tunggu ... artinya apa?" tanya Vina yang tentu ingin nama anaknya memiliki arti yang bagus, bukankah nama adalah doa yang disisipkan orang tua untuk anak mereka?"Annetta memilik arti beruntung, Elvina itu mempunyai arti bijak dan ramah. Dan Sharapova memiliki arti pesona dan kharisma." Ani mulai mempresentasikan arti nama sang cucu pada ibu baru yang terbaring di hadapannya."Harapan Mama, kelak dia bisa menjadi gadis yang beruntung, bijak, ramah dan mempunyai pesona dan kharisma yang kuat."Mau tidak mau senyum indah itu melengkung di wajah Vina. Dia
"Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja." bisik Bima lirih, tangannya menggenggam tangan Melinda erat-erat, membuat senyum getir itu tersungging di wajah Melinda.Melinda hanya mengangguk pelan. Sudah saatnya! Sudah saatnya dia ikhlas dan pasrah di dorong masuk ke dalam. Satu dari dua ovariumnya terpaksa harus diangkat hari ini juga. Sesuai jadwal yang sudah ditentukan."Do'akan aku ya, Mas." mata Melinda berkaca-kaca, memang bukan operasi mayor macam operasi jantung atau transplantasi organ, namun apa yang akan diambil dari operasi ini adalah sesuatu hal yang begitu berharga untuk Melinda.Bima tersenyum begitu manis, mengangguk sambil mengelus kepala sang isteri. Beberapa detik kemudian, terdengar suara langkah kaki berikut suara pintu yang dibuka.Ini saatnya, bukan?"Permisi, ibu Melinda sudah waktunya ya?"Perawat itu tersenyum begitu manis, bergegas melepas kunci bed dan seorang lagi melepas botol i
"Kalian benar-benar tidak ada masalah dengan reproduksi kalian, kan, Bim?"Kembali Bima tersentak, ia sangat berharap bahwa Andi tidak menyadari betapa terkejutnya Bima mendapatkan pertanyaan itu darinya. Meskipun Bima tahu dan sadar bahwa sangat sulit membohongi papanya ini."Semua normal dan sehat, Pa. Papa jangan khawatir." jawab Bima setelah berhasil mengendalikan degub jantungnya yang tidak karu-karuan itu."Boleh Papa lihat hasil pemeriksaan kalian?"Keringat dingin mengucur dari dahi Bima. Sekarang dia harus jawab apa? Haruskah dia perlihatkan pada sang Papa hasil pencitraan ultrasonografi Melinda yang memperlihatkan kista itu membesar? Haruskah dia perlihatkan terapi apa yang dituliskan dokter Hendratmo pada lembar rekam medis milik sang isteri? Bahwa Melinda harus merelakan satu indung telurnya diangkat dan jangan lupa, proses itu sedang berlangsung sekarang."Kami tidak minta salinan pada dokter Hen, Pa. Toh tidak ada ma
Melinda mengerjapkan matanya, cahaya yang menyapa retinanya sedikit menyilaukan dan membuat ia memekik kecil karena sorot itu sedikit menyakiti mata. Ia mencoba memperoleh kembali kesadarannya. Dan perlahan-lahan dia mulai ingat semuanya.Dia tengah menjalani operasi pengangkatan satu indung telurnya tadi, dan ruangan ini ... ini pasti ruang yang sering diceritakan sang suami, ruangan yang digunakan untuk mengobservasi para pasien selepas menjalani tindakan operasi."Sayang!"Melinda menoleh, tersenyum penuh haru ketika mendapati sang suami sudah berdiri dengan pakaian serba hijau dan penutup kepala."M-mas ...," panggil Melinda dengan suara yang hampir tidak terdengar.Bima melangkah, mendekati ranjang di mana Melinda berbaring dengan beberapa alat medis yang masih menempel di tubuhnya."Akhirnya kamu sadar juga, Sayang. Jangan khawatir, semuanya baik-baik saja!" nampak mata Bima berkaca-kaca membuat tangis Melinda ikut pecah.Melind
"Mulai sakit?" Bima tersenyum getir, mengelus lembut kepala sang isteri yang nampak beberapa kali mengernyit pedih itu. Dia tahu, pasti pengaruh anestesinya sudah hilang, jadi rasa sakitnya mulai terasa."Iya Mas, perih banget." jawab Melinda dengan mata memerah, wajahnya nampak pucat."Masih bisa tahan? Kalau enggak nanti biar aku telepon dokter Hen, konsul minta naik dosis obat anti nyerinya, Sayang."Melinda hanya membalas dengan anggukan kepala. Memejamkan matanya kembali dan menikmati pedih yang kini membelenggu dirinya. Bima kembali tersenyum getir, ia ikut merasakan sakit dan pedih itu walaupun dia sama sekali tidak terluka atau apapun itu. Melihat sang istri pucat dan sesekali menitik air mata membuat hati Bima benar-benar pedih."Tidurlah, biar Mas jagain kamu." bisik Bima lirih, mengelus dan mendaratkan kecupan di dahi sang isteri.Dengan susah payah Melinda membuka mata, tersenyum dan mengangguk. Bima kembali mend
"Loh, Pa? Nggak sarapan?" Anita terperanjat ketika Andi hanya mengecup keningnya sekilas lalu melangkah pergi tanpa duduk dan sarapan terlebih dahulu."On call, Ma. Duluan ya?" Andi terus melangkah, sedikit tergesa meraih gagang pintu dan melesat keluar.Anita mengerutkan kening, sepagi ini? Tapi bukan suatu hal yang aneh. Puluhan tahun jadi isteri dari Andi, dia sudah paham segala macam kebiasaan dan tanggung jawab suaminya sebagai dokter. Anita menghela nafas panjang, kembali meraih cangkir dan menyesap isinya.Sementara itu Andi sedikit tergesa membawa mobil itu menuju rumah sakit. Ia ingin segera sampai ke perina. Melihat bayi mungil itu dan menemui ibunya. Tapi sopankah jika tau-tau Andi bertanya siapa bapaknya pada Levina? Dia bukan saudara, bukan siapa-siapa Vina. Lantas jika memang kemudian Andi berani bertanya dan Vina balik bertanya apa urusan Andi ingin tahu siapa bapak dari anaknya, Andi harus menjawab apa?"Ah ... tida
"Gimana, Ma?" tanya Vina dengan penuh harap ketika sang mama kembali dari mengunjungi Anetta."Nanti mau dikonsulkan dulu sama dokternya, ya?" Ani tersenyum, mengelus kepala Vina yang nampak duduk di tepi ranjang dengan wajah sesekali mengernyit.Vina menghela nafas panjang, mengangguk tanda mengerti lantas perlahan-lahan mencoba turun dari ranjang."Hati-hati, Vin! Bener udah kuat?" nampak wajah Ani begitu khawatir, takut kalau-kalau anak gadis kesayangannya itu sampai kenapa-kenapa."Kuat, Ma. Vina mau coba buat jalan pelan-pelan." tentu Vina harus mencoba, nanti sore dia sudah boleh pulang! Masa iya dia hanya mau berbaring saja di atas kasur?Ani mengangguk, dengan sabar dan telaten membantu Vina turun dan melangkahkan kakinya perlahan-lahan. Dia senang Vina sudah diizinkan pulang, tapi yang jadi masalah adalah Anetta belum diizinkan pulang! Dia masih harus dalam pengawasan ketat untuk memastikan bahwa organ-organ d
"Kamu ingin aku menikah lagi? Kamu rela aku menikah lagi?"Melinda tercekat dengan air mata tertahan. Dia sendiri tidak bisa menjawab dan memutuskan pertanyaan yang dilemparkan sang suami ke padanya, jawaban dari pertanyaan yang tadi Melinda paksa Bima menjawab.Apakah dia rela dan ikhlas membiarkan suaminya menikah lagi? Apakah dia ingin Bima menikah lagi hanya untuk mendapatkan keturunan? Hati Melinda bergejolak, berkecamuk luar biasa dengan pertanyaan yang tadi Bima lontarkan kepadanya.Bima mempererat genggaman tangan Melinda. Tersenyum lantas mencolek pipi sang isteri yang nampak berkaca-kaca itu."Nggak bisa jawab, kan? Jadi tolong nggak usah tanya macem-macem, oke?"Melinda menatap nanar lelaki di hadapannya, bukan salah Melinda kalau dia ingin tahu jawaban dari pertanyaannya tadi, bukan? Tapi kalau harus menjawab pertanyaan yang balik Bima lontarkan kepadanya, jujur Melinda belum bisa menjawabnya!Isteri mana
Vina menitikkan air mata ketika akhirnya dia bisa merasakan bagaimana rasanya IMD. Bagaimana rasanya bayi langsung menyusu kepadanya begitu lahir.Bima terus menerus membantu bayi kecil mereka menyusu sambil terus menerus menitikkan air mata. Semuanya kompak menangis haru, membuat beberapa paramedis sengaja menjauh agar tidak menganggu interaksi keduanya."Udah dong nangisnya!" Ejek Vina yang tidak sadar diri, dia bahkan masih menitikkan air mata."Aku bahagia banget, Sayang! Sungguh!" Bima tersenyum, matanya masih memerah dan basah, membuat Vina terkekeh seraya mengelus lembut kepala bayi yang baru beberapa menit lahir itu."Aku sudah minta lebihan darah untuk kita lakukan pengecekan, Sayang. Kita akan deteksi lebih dini. Dan harapanku ... Tidak ada lagi Anetta yang lain." Bisik Bima lirih."Bagaimana ka--.""Sayang! Stop overthinking, oke?"Vina tertegun menatap mata itu, ia tersenyum getir dengan air m
Minggu pagi. Vina ingat betul hari ini minggu pagi. Cuaca cerah di luar sana dengan langit biru yang begitu bersih. Tapi kali ini, bukan langit biru yang Vina lihat dengan matanya. Yang ada dj depan mata Vina sekarang adalah langit-langit koridor koridor OK, menantikan gilirannya masuk ke dalam salah satu ruangan.Vina mengelus perut membukitnya, rasanya seperti Dejavu. Ya ... Beberapa tahun yang lalu Vina pernah ada di posisi ini. Terbaring dengan perut besar membukit menantikan tindakan operasi. Bedanya, dulu dia menanti dengan penuh rasa khawatir karena usia kandungan yang belum cukup dan tentu saja dia harus berjuang sendiri di dalam sana.Kali ini ... Semuanya berbeda. Usia kandungan Vina sudah sangat cukup dan sekarang, dia tidak lagi sendirian. Sosok yang sudah siap dengan setelan scrub, nurse cap dan masker itu terus menggenggam tangannya erat-erat. Sama sekali tidak melepaskan tangan Vina, seolah tidak mau berpisah barang sedetikpun dari Vina. 
"Sayang ...." Bisikan Bima lirih sambil mengguncang bahu sang istri. Vina sama sekali tidak membuka mata, hanya menggumam perlahan tanpa bergerak sedikitpun. Bima tersenyum getir, intinya malam ini dia tidak terima penolakan. Mumpung mereka tidak menginap di rumah sakit! Dan Bima tidak mau mensia-siakan kesempatan ini? "Ayolah, aku kadung janji sama Neta nih!" Rayu Bima tanpa gentar. Kalau pergumulan mereka beberapa hari yang lalu tidak menghasilkan karena ternyata Vina sedang tidak subur, maka kali ini Bima sudah hitung betul-betul masa subur sang istri dan inilah saatnya. "Salah sendiri asal bikin janji. Kan aku udah ngomong dulu kalo sama Neta jangan sembarangan bikin janji!" Vina bergeming, sama sekali tidak menghiraukan segala macam kode dari Bima. Bima menghela napas panjang, intinya dia sudah bertekad bahwa dia harus bisa menghamili Vina untuk kedua kalinya! Atau mungkin nanti jadi ke tiga kali? Empat? Atau berapa?
“Congratulations, istriku tercinta!” Vina yang masih dalam balutan toga tertegun melihat sang suami menyodorkan buket mawar merah yang cukup besar itu kepadanya. Ini adalah kali pertama Bima memberinya bunga, pertama kalinya yang kebetulan bersamaan dengan acara wisudanya. Vina tersenyum dengan mata berkaca-kaca, menerima bunga itu dan pasrah ketika Bima menarik dan menjatuhkan Vina ke dalam dekapan tubuhnya. Air mata Vina menitik, harusnya Anetta ikut di sini sekarang. Menyaksikan sang mama diwisuda setelah berjuang tiga setengah tahun kuliah sambil merawat Anetta selama ini. Masih tergambar betul dalam ingatan Vina ketika dia harus ujian akhir semester satu dan Anetta habis imunisasi. Bagaimana perjuangan Vina belajar sambil sesekali menyusui Anetta yang rewel dan sedikit demam pasca imunisasi. Sekarang semuanya terbayar lunas sudah! Dia sudah berhasil meraih gelar S.H-nya. Menjadi sarjana hukum dengan predikat cumlaude ketika lulus. “Aku em
Suara pintu terbuka, Vina sontak menoleh dan mendapati dua nenek rempong itu sudah masuk bersama-sama ke dalam ruangan. Heran, rumah mereka jaraknya cukup lumayan, tapi kenapa bisa barengan begitu sampainya? “Neta tidur?” tanya Ani sambil memencet botol handsanitizer yang menempel di tembok. “Tidur, Ma. Kok bisa barengan?” tanya Vina sambil menatap mereka bergantian. “Bisalah, kan kompak!” jawab Anita seraya mengedipkan sebelah mata. Vina melongo, bisa begitu? Nampak Anita mendekati ranjang, di mana Bima tertidur begitu pulas sambil memeluk Anetta, sebuah pemandangan yang sejak tadi sudah menguras air mata Vina dengan begitu luar biasa. “Bim ... bangun gih! Pulang sana istirahat!” bisik Anita sambil mengguncang lembut bahu anak lelakinya. Sejak dua hari memang Bima belum pulang kerumah. Selain banyak tugas yang diberikan konsulen, Bima sama sekali tidak mau berpisah dengan Anetta. Bima nampak menggeliat, membuka matanya perlahan-lahan
"Neta nggak bisa makan untuk sementara waktu, Ma." Gumam Bima ketika Ani datang membawa banyak sekali makanan kesukaan Anetta."Kenapa, Bim? Dia baik-baik saja, bukan?" Tampak wajah itu sangat khawatir, membuat Bima tersenyum getir dan mengangguk pelan."Tentu, dia baik-baik saja. Hanya efek dari BMT adalah adanya gangguan pencernaan dan mungkin muncul sariawan di mulut, jadi makanan Anetta sampai beberapa saat ke depan sampai pencernaannya membaik hanya melalui infus." Jelas Bima sabar, ia sudah menjelaskan hal ini pada Vina, untuk Anita tentu Andi sudah menjelaskannya lebih dulu, bukan?"Oh begitu?" Ani nampak murung menatap bungkusan yeng dia bawa, "Vina juga nggak boleh makan?""Kalau Vina boleh, Ma. Dia bebas mau makan apa aja." Tentu Bima paham kalau Ani khawatir dan kecewa karena apa yang dia bawa tidak bisa Anetta nikmati, tapi semua itu demi kebaikan Anetta, bukan?"Sampai kapan Neta harus dirawat, Bim? Kapan dia bo
"Sakit?" Tanya Bima sambil mengelus puncak kepala sang istri yang kini tergolek di ranjang dengan kateter yang menancap di leher. Vina menggeleng lemah, "Demi Anetta, semua ini sama sekali tidak terasa sakit, Mas." Bima mengangguk, menjatuhkan kecupan mesra yang begitu manis dan mampu membuat dua orang yang ada di ruangan itu auto iri melihatnya. Vina tersenyum, akhirnya kini dia yang berbaring di sini. Bukan karena sakit, tetapi bersakit-sakit ria demi Anetta. Setelah prosedure panjang yang dilakukan, hasil pemeriksaan HLA yang paling cocok merujuk pada dirinya. Bukan Bima atau anggota keluarga yang lain. Jadilah ini Vina kembali berjuang demi Anetta setelah dulu berjuang di OK demi melahirkan Anetta. "Kamu wanita paling hebat dan kuat yang pernah aku kenal, Vin." Bima mengelus lembut dahi Vina, wajah mereka begitu dekat membuat siapapun yang di sana gigit jari melihat kemesraan itu. "Kau tau siapa yang membuatku
“Mas, ada apa?”Bima mengangkat wajah, mengabaikan sejenak segelas es teh yang dia pesan sambil menantikan Vina datang menemuinya di kantin rumah sakit. Kini, istri cantiknya itu sudah hadir dan berdiri di depannya.“Anetta gimana? Aku mau masuk tapi masih harus ada jaga.” Bima harus ingat betul, tidak boleh sembarangan orang masuk ke dalam kamar Anetta, dia sekalipun harus memastikan bahwa dia bersih dan steril. Jadi agak susah dan ribet kalau dia yang masih jaga ini harus bolak-balik membersihkan diri sebelum masuk ke dalam.“Baik, dia sudah bisa tidur.” Vina duduk di hadapan Bima, nampak Vina hanya mengenakan sweeter dan kaos yang nantinya jika di dalam ruangan akan di ganti dengan setelan scrub yang bersih.“Darahnya masih keluar?” tentu itu yang Bima tanyakan, tiap menit, hal itu yang selalu Bima khawatirkan.“Yang hidung belum mau berhenti, Mas. Untuk telinga sudah mampet sih.”
“Ayolah, Ma ... semua demi Anetta.” Mohon Vina sambil menggenggam erat kedua tangan Ani.Vina paham, sangat mengerti bahwa sulit bagi Ani untuk berpisah dari Anetta. Vina masih ingat, ketika dia sibuk kuliah, meskipun dibantu oleh baby sitter, Ani-lah yang mengawasi dan merawat Anetta selama ini. Tentu akan sangat sulit bagi Ani menerima bahwa cucunya harus pindah tinggal di rumah besannya.“Berapa banyak sih biaya buat bikin ruangan kaca atau apalah itu? Duit Mama nggak cukup, Vin?” tanya Ani dengan mata memerah.Vina menggelengkan kepala cepat, matanya ikut memerah. Bisa Vina lihat sorot luka penuh kekecewaan itu terpancar di mata Ani. Siapa yang tidak terluka? Selama bertahun-tahun merawat seorang diri Anetta yang tengah hamil lalu merawat bayinya dengan sepenuh hati dan penuh kasih sayang, tiba-tiba harus dipisahkan seperti ini?Tapi semua itu bukan karena keserakahan atau keegoisan semata. Semua demi Anetta! Vina sangat berhar