"Kamu akan mencari pekerjaan?" tanya sang paman ditengah sarapannya.
Imel mengangguk, "iya paman, aku harus segera menemukan pekerjaan. Apa pun itu yang penting halal."
Pamannya jadi tersenyum, "baguslah! Paman yakin kamu memang bisa diandalkan."
Imel mengulas senyumnya lebar, meyakinkan sang paman bahwa dia memang benar-benar anak yang mandiri dan tidak akan menyusahkan, apalagi ia tahu bahwa pamannya pun hanya tinggal di apartemen kecil yang tak jauh dari pusat kota. Tidak mungkin dia hanya berdiam diri dan menumpang hidup saja.
"Huekk! Huekk!"
Tiba-tiba terdengar suara bibinya yang tengah mual-mual dikamar kecil membuat dirinya dan sang paman panik.
"Kamu tidak apa-apa, dek? Sepertinya kamu sedang sakit?" tanya pamannya penuh kuatir pada istrinya.
Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, "aku gak apa-apa kok mas, cuma kayaknya aku masuk angin aja."
"Tapi wajahmu pucat dek. Mas anterin kamu kerumah sakit ya sekarang?" Tawarnya.
"Gak usah mas, mas kan harus kerja. Katanya hari ini mas ada meeting sama atasan, aku takutnya nanti merepotkan mu mas."
Mendengar perkataan istrinya membuat ia jadi berfikir dan ragu, ia benar-benar tidak bisa meninggalkan pekerjaannya karena bosnya tidak mentolerir bawahan yang datang terlambat dengan alasan apapun, apalagi diwaktu genting seperti ini.
"Biar aku saja yang temenin bibi kerumah sakit," tawar Imel yang mendengar percakapan, "paman segera berangakat kerja saja tidak perlu khawatir."
"Imel benar mas, biar aku datang kerumah sakit dengannya saja."
Mendengar perkataan itu pamannya mengangguk menyetujui, ia tahu bahwa Imel dapat dipercaya. "Baikalah, kalau begitu mas berangkat kerja ya sekarang," pamitnya.
"Titip bibimu ya, Mel!" Lanjutnya sebelum melangkah pergi.
Imel melingkarkan kedua jarinya, "siap paman, akan aku jaga bibi dengan baik."
Bibi jadinya tersenyum mendengar penuturan anak periang itu.
Disisi lain, Jinu yang baru saja bangun dari tidurnya langsung merasa haus dan mencoba merogoh gelas diatas nakasnya yang ternyata isinya kosong.
Ia kemudian berjalan menuju dapur, mengambil satu gelas kaca dan dituangnya air didalamnya, tapi belum sempat ia meneguk kepalanya tiba-tiba pening dan terasa nyeri disekitar dadanya.
PRANKK!!
Seketika Jinu terjatuh pingsan dan gelas yang ia pegang pun ikut terjatuh pecah berserakan.
****
Imel yang baru saja sampai didepan rumah sakit dengan bibinya, langsung tertegun ketika melihat sosok seorang pria yang ia anggap sebagai pahlawannya sedang berbaring lemah dirangjang darurat tak sadarkan diri.
"Bibi, aku pergi sebentar ya!" Pamitnya.
Bibinya mengangguk, "baiklah, tidak masalah. Bibi nanti bisa pulang sendiri kok."
"Terimakasih bi, aku takkan lama." ucapnya sebelum ia melangkah pergi.
Imel diam diam menanyakan kepada salah seorang perawat tentang kondisi pria tersebut.
"Apa begitu parah ya, Sus?"
"Kondisinya saat ini sangat kritis dan butuh segera pendonor hati," sahutnya menjelaskan.
Imelda tertegun sejenak ketika mendengar informasi yang membuatnya ikut merasakan sakit itu.
"Maaf, apakah Anda salah satu keluarga Tuan Jinu?"
Imel segera menggelengkan kepalanya, "Bukan sus, tapi saya berniat ingin mendonorkan sebagian hati saya untuk Tuan Jinu."
"Baik, kalau begitu silahkan ikut saya! Kita akan melakukan beberapa test apakah hasilnya cocok."
Sebenarnya kepada jarum suntik saja Imelda sangat takut, apalagi membayangkan alat pembedahan yang akan menggores tubuhnya, membayangkannya saja ia meringis ngeri. Tapi semua itu ia lawan demi balas budi pada seseorang yang telah menyelamatkannya. Lebih tepatnya kehidupannya.
Karena itulah Imelda rela mememberikan bagian dari organ tubuhnya, dan menganggap itu adalah sebuah anugerah.
Setelah melakukan serangkaian tes, akhirnya dia cocok untuk melakukan pencangkokan hati. Hal itu membuat Imelda menjadi lega.
"Sebelum saya menjali operasi, saya ingin mengajukan sebuah persyaratan. Tolong jangan beritahu identitas saya kepada siapapun, termasuk keluarga Tuan Jinu. Hanya itu persyaratan yang mau saya ajukan."
Dokter yang tengah berada didepannya itu pun mengangguk menyetujui, "baiklah, kalau begitu silahkan tanda tangan agar kita segera melakukan pencangkokan."
Tanpa ragu Imelda pun segera mendatangani surat pernyataan yang berada didepannya itu.
Kini Imelda telah berbaring diruang operasi dengan perasaannya yang takut serta gelisah, tapi sedetik kemudian perasaan itu seketika hilang saat Imelda menoleh pada Jinu yang berbaring lemah tak sadarkan diri disebelahnya. Seketika itu pula, seuntas senyum terukir manis dibibirnya.
****
Lamat-lamat Jinu mulai membuka mata setelah empat hari terbaring tak sadarkan diri pasca operasi. Ketika membuka mata ia langsung disuguhkan oleh wajah kesedihan bercampur kebahagiaan dari sang mama.
"Untunglah kamu cepat tersadar anakku," ucapnya terharu sembari mengecup kening putranya.
Jinu mengulas senyum yang masih lemah di wajahnya, lalu ia beralih menoleh pada papanya yang tersenyum bahagia ketika melihat anaknya terbangun dari alam sadarnya.
"Apa kamu merasakan sesuatu anakku? Apa ada sesuatu yang masih terasa sakit?" tanya papanya penuh perhatian.
Jinu segera menggelengkan kepalanya, "enggak pa, aku merasa jauh lebih baik sekarang," sahutnya dengan serak.
"Baguslah."
Kedua orangtuanya pun tersenyum bahagia melihat putranya akan segera pulih dan tak akan merasakan sakit lagi.
"Pa," panggil Jinu.
"Iya nak?" tanya sang papa mendekatkan diri, "apa kamu perlu sesuatu?"
"aku hanya ingin bertemu dengan seseorang yang sudah mendonorkan hatinya untukku," pintanya.
Seketika itu pula seorang gadis datang menggunakan kursi roda, dibantu seorang perawat untuk menuntunnya.
"Dona."
Jinu tak terfikir bahwa Donalah yang akan menolong hidupnya, membantu Jinu sembuh dari penyakit yang di deritanya.
"Iya, ini aku Nu," sahut gadis itu, "aku yang sudah mendonorkan hati ku."
"Iya itu benar nak, Dona lah pendonornya. Dia yang telah menyelamatkan hidupmu," sahut mamanya, yang juga di anggukan oleh papanya.
Mendengar penyataan itu membuat Jinu jadi merasa terharu dan ingin membalas budi. "Terimakasih ya, Don! Terimakasih sudah mau menolongku."
"Bukan apa-apa kok Nu, ini semua demi menyelamatkan hidup calon suamiku," sahutnya penuh rayu.
Jinu menghela nafas sembari tersenyum pasi, "aku mau menerima perjodohannya, aku akan menikahi Dona."
Mereka yang mendengarnya menjadi tampak begitu senang, "papa akan mengadakan pesta besar untuk pernikahan kalian berdua nantinya."
Dona yang mendengar hal tersebut begitu tampak bahagia, akhirnya dia akan segera mendapatkan pria impiannya. Siapa yang tidak senang ketika dijodohkan dengan seorang pria tampan, mapan dan kaya raya.
Jinu tidak tahu apa itu cinta, yang ia tahu saat ini adalah balas Budi dan mencoba untuk mencinta.
"Aku akan berusaha untuk mencintainya," ucapnya dalam hati, meyakinkan dirinya sendiri.
Sedangkan Imelda masih terbaring lemah diatas ranjang rumah sakit, "sus, apakah Tuan Jinu sudah tersadar?" Tanyanya.
Suster itupun mengangguk dan tersenyum, "sudah nyonya, kondisi Tuan Jinu juga sudah mulai membaik dan beberapa hari kedepan bisa segera dirawat jalan."
"Syukurlah."
Akhirnya Imelda dapat bernafas lega, dia benar-benar bahagia mendengarnya. Ketika itu juga ponsel disebelahnya berdering lalu segera ia mengangkatnya.
"Mel, kamu masih akan menginap dirumah temanmu?" tanya sang paman diseberang.
"Tidak paman, aku akan pulang hari ini," sahutnya berbohong lalu ia menutup panggilan telepon.
Setelah beberapa minggu berlalu, akhirnya Imelda mendapat panggilan kerja disebuah Restoran sederhana yang tak jauh dari tempat tinggal pamannya.Kini ia tengah berdiri didepan cermin, memperbaiki riasannya dan mengikat rambutnya yang lebat nan panjang."Sudah selesai dan rapi, semoga hari ini berjalan dengan baik."Ia kemudian menoleh pada sebuah mantel tebal yang ia pajang didalam kamarnya, serta telah menjahit bekas sayatan pisau dibagian lengan. Entah kapan Imelda dapat bertemu dengan Jinu kembali untuk mengembalikan jaket bermerk tersebut, meski Jinu sudah tidak membutuhkannya lagi.Imelda kemudian tersenyum sembari menyatukan kedua tangannya untuk berdoa agar segalanya dipermudah. Lalu ia segera berpamitan kepada paman dan bibinya, namun kali ini bibinya tak terlihat, tak seperti biasanya yang dimana pagi-pagi sudah menyibukkan diri didapur."Bibi kemana, paman?"&nb
Imelda menundukkan kepala dihadapan Jinu saat ini, menahan tangisnya agar tidak keluar sedari tadi ketika mendapatkan caci maki.Jinu mendecih kesal sembari bersindakap dengan angkuh, "bukan kah sudah ku katakan kau harus fokus dalam bekerja.""Maaf Cheff.""Bagaimana kalau seandainya nanti kamu melakukan kesalahan seperti ini lagi? Untung saja wanita itu dapat ku tangani.""Maaf." Hanya kata itu yang mampu Imelda ucapkan sambil menunduk merendahkan diri."Kalau kau tidak suka bekerja disini sebaiknya tidak usah dilanjutkan lagi! Kau boleh pergi.""Tidak Cheff, maafkan saya," sahut Imelda dengan bibirnya yg gemetar, sudah merasa tak tahan.Melihat gadis itu menangis, membuat Jinu tersadar bahwa ia begitu kasar sehingga membuat Imelda menangis.Jinu juga melihat darah mengalir dari jemarinya yang tergores, hal itu bena
Suara jeritan penuh tangis serta teriakan yang saling sahut menyahut terdengar selalu setiap kali Imelda berada didalam rumah. Bukannya tak ingin melerai perkelahian kedua orangtuanya tetapi hal ini bukan satu atau dua kalinya terjadi.Setiap kali orangtuanya bertengkar, Imelda memilih keluar dari rumahnya berjalan kaki seorang diri demi menenangkan pikirannya.Langit begitu gelap, ia berjalan bermodalkan lampu-lampu jalan yang tak begitu terang. Ketika kakinya lemah menelusuri jalan, ia akhirnya terjatuh karena kelelahan. Seketika itu pula ia akhirnya sadar bahwa langkahnya cukup disini, perasaan muak yang campur aduk harus ia tuangkan disini.Imelda menangis tersedu-sedu seorang diri, sembari menatap langit yang berhias bintang. Ia kini tahu kalau ia harus mengandalkan dirinya sendiri, mencari kebahagiaan seorang diri.Selama ini ia menahan rasa sakitnya melihat keadaan orangtuanya yang tak pernah
Setelah menempuh beberapa jam perjalanan, Imelda akhirnya sampai dinegara tujuan. Ia mencoba mencari keberadaan pamannya akan tetapi tak kunjung ia temukan.Imelda merogoh ponsel yang berada di sakunya. Namun sialnya, ponselnya kehabisan batrai membuat Imelda jadi kesal."Yah, hapeku lowbat," keluhnya.Setelah menunggu lama, Imelda memutuskan untuk pergi seorang diri saja karena ini sudah jam dua dini hari. Lebih baik ia duduk menunggu bus datang saja daripada berlama-lama, kebetulan halte bus tak jauh dari bandara.Kini Imel sudah duduk menunggu dihalte bus, sembari menaruh tas besarnya disamping dirinya. Imelda sedikit mengantuk, lalu tanpa disadari datang kedua preman berwajah garang yang berdiri didekatnya sambil menatap tas berharga miliknya.Tanpa ragu preman tersebut langsung mengambil tas berharga milik Imelda untuk dibawanya kabur. Imelda yang menyadari itu lantas beranj
Imelda menundukkan kepala dihadapan Jinu saat ini, menahan tangisnya agar tidak keluar sedari tadi ketika mendapatkan caci maki.Jinu mendecih kesal sembari bersindakap dengan angkuh, "bukan kah sudah ku katakan kau harus fokus dalam bekerja.""Maaf Cheff.""Bagaimana kalau seandainya nanti kamu melakukan kesalahan seperti ini lagi? Untung saja wanita itu dapat ku tangani.""Maaf." Hanya kata itu yang mampu Imelda ucapkan sambil menunduk merendahkan diri."Kalau kau tidak suka bekerja disini sebaiknya tidak usah dilanjutkan lagi! Kau boleh pergi.""Tidak Cheff, maafkan saya," sahut Imelda dengan bibirnya yg gemetar, sudah merasa tak tahan.Melihat gadis itu menangis, membuat Jinu tersadar bahwa ia begitu kasar sehingga membuat Imelda menangis.Jinu juga melihat darah mengalir dari jemarinya yang tergores, hal itu bena
Setelah beberapa minggu berlalu, akhirnya Imelda mendapat panggilan kerja disebuah Restoran sederhana yang tak jauh dari tempat tinggal pamannya.Kini ia tengah berdiri didepan cermin, memperbaiki riasannya dan mengikat rambutnya yang lebat nan panjang."Sudah selesai dan rapi, semoga hari ini berjalan dengan baik."Ia kemudian menoleh pada sebuah mantel tebal yang ia pajang didalam kamarnya, serta telah menjahit bekas sayatan pisau dibagian lengan. Entah kapan Imelda dapat bertemu dengan Jinu kembali untuk mengembalikan jaket bermerk tersebut, meski Jinu sudah tidak membutuhkannya lagi.Imelda kemudian tersenyum sembari menyatukan kedua tangannya untuk berdoa agar segalanya dipermudah. Lalu ia segera berpamitan kepada paman dan bibinya, namun kali ini bibinya tak terlihat, tak seperti biasanya yang dimana pagi-pagi sudah menyibukkan diri didapur."Bibi kemana, paman?"&nb
"Kamu akan mencari pekerjaan?" tanya sang paman ditengah sarapannya.Imel mengangguk, "iya paman, aku harus segera menemukan pekerjaan. Apa pun itu yang penting halal."Pamannya jadi tersenyum, "baguslah! Paman yakin kamu memang bisa diandalkan."Imel mengulas senyumnya lebar, meyakinkan sang paman bahwa dia memang benar-benar anak yang mandiri dan tidak akan menyusahkan, apalagi ia tahu bahwa pamannya pun hanya tinggal di apartemen kecil yang tak jauh dari pusat kota. Tidak mungkin dia hanya berdiam diri dan menumpang hidup saja."Huekk! Huekk!"Tiba-tiba terdengar suara bibinya yang tengah mual-mual dikamar kecil membuat dirinya dan sang paman panik."Kamu tidak apa-apa, dek? Sepertinya kamu sedang sakit?" tanya pamannya penuh kuatir pada istrinya.Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, "aku gak apa-apa kok mas, cuma kayaknya aku masuk angi
Setelah menempuh beberapa jam perjalanan, Imelda akhirnya sampai dinegara tujuan. Ia mencoba mencari keberadaan pamannya akan tetapi tak kunjung ia temukan.Imelda merogoh ponsel yang berada di sakunya. Namun sialnya, ponselnya kehabisan batrai membuat Imelda jadi kesal."Yah, hapeku lowbat," keluhnya.Setelah menunggu lama, Imelda memutuskan untuk pergi seorang diri saja karena ini sudah jam dua dini hari. Lebih baik ia duduk menunggu bus datang saja daripada berlama-lama, kebetulan halte bus tak jauh dari bandara.Kini Imel sudah duduk menunggu dihalte bus, sembari menaruh tas besarnya disamping dirinya. Imelda sedikit mengantuk, lalu tanpa disadari datang kedua preman berwajah garang yang berdiri didekatnya sambil menatap tas berharga miliknya.Tanpa ragu preman tersebut langsung mengambil tas berharga milik Imelda untuk dibawanya kabur. Imelda yang menyadari itu lantas beranj
Suara jeritan penuh tangis serta teriakan yang saling sahut menyahut terdengar selalu setiap kali Imelda berada didalam rumah. Bukannya tak ingin melerai perkelahian kedua orangtuanya tetapi hal ini bukan satu atau dua kalinya terjadi.Setiap kali orangtuanya bertengkar, Imelda memilih keluar dari rumahnya berjalan kaki seorang diri demi menenangkan pikirannya.Langit begitu gelap, ia berjalan bermodalkan lampu-lampu jalan yang tak begitu terang. Ketika kakinya lemah menelusuri jalan, ia akhirnya terjatuh karena kelelahan. Seketika itu pula ia akhirnya sadar bahwa langkahnya cukup disini, perasaan muak yang campur aduk harus ia tuangkan disini.Imelda menangis tersedu-sedu seorang diri, sembari menatap langit yang berhias bintang. Ia kini tahu kalau ia harus mengandalkan dirinya sendiri, mencari kebahagiaan seorang diri.Selama ini ia menahan rasa sakitnya melihat keadaan orangtuanya yang tak pernah