Herfiza menghela nafasnya, dia punya alasan khusus mengapa tak mengizinkan Andrew menghubungi Julea atau sebaliknya. Dia ingin kesehatan Andrew pulih terlebih dahulu tanpa memikirkan hal lain. Toh Julea baik-baik saja meskipun harus berjauhan dengan Andrew, batin Herfiza. "Kenapa mam?" tanya Andrew lagi. Dia tampak geram karena tak kunjung mendapatkan jawaban. "Karena kau masih sakit Andrew, aku tak mau pikiran mu terpecah ke mana-mana. Julea baik-baik saja di Jakarta, aku yakin itu!" Herfiza berusaha membuat Andrew mengerti. "Itu kan menurut mama, bagaimana jika ada yang terjadi padanya? bagaimana aku akan tahu itu?" tanya Andrew yang mulai kalut. "Dia sungguh akan baik-baik saja Andrew, mama mohon fokus lah pada kesehatan mu dulu!" Herfiza memberikan penekanan pada setiap kalimatnya. Andrew mendecik, ini hak yang paling tidak dia sukai dari sikap sang ibu. Herfiza tak mau tahu tentang orang lain, dia hanya bersikeras dengan pendapatnya sendiri. "Ma, mau bagaimana pun juga Jul
Julea dan Jidan kembali ke rumah, keduanya masuk dengan terburu-buru. "Marsha!"Teriak Julea ketika dia baru saja masuk, bahkan pintu rumah saja belum dia tutup. Gadis itu masuk dengan tergesa-gesa dan langsung menubruk Marsha yang tengah duduk di sofa ruang tengah.Mendengar teriakan Julea, tentu saja Marsha terkejut dan membelalakkan matanya sempurna saat Julea datang. "Apa Jule? kau bisa kan masuk tanpa berteriak-teriak begitu, kau pikir rumah ini kebun binatang?" Marsha mencecarnya dengan berbagai pertanyaan dan amarah yang meletup-letup. Julea hanya tersenyum tanpa merasa berdosa, dia malah duduk manis di samping Marsha. "Tidak bisa! karena aku sedang membutuhkan bantuan mu se-ce-pat-nya!" Julea memberikan penekanan pada kata secepatnya. Marsha mengerutkan keningnya tak mengerti, apa lagi yang terjadi sekarang?"Apa lagi yang kau inginkan?" tanya Marsha dengan malas. Julea menyerahkan ponsel yang tadi dia temukan di semak-semak. Gadis itu menyerahnya tepat di atas telapak t
Tanpa sepengetahuan Herfiza maupun Ali, Andrew memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Dia mengurus sendiri semua administrasi dan perijinan untuk dirinya pulang. Awalnya dia memang tak diizinkan untuk pulang, tapi Andrew terus saja memaksa. Alhasil sekarang di sini lah dia sekarang, pria itu tengah dalam perjalanan pulang. Andrew pulang dengan salah satu bawahannya yang memang tinggal di Bogor. Andrew menghubunginya dan meminta untuk diantar pulang secepatnya. "Pak Andrew, apa tidak sebaiknya anda memberitahu orang rumah kalau anda akan pulang?" Tanya Arden, salah satu karyawan Andrew. Andrew yang duduk di kursi sebelah kemudi. Dia menoleh, kemudian menghela nafasnya berat."Siapa yang kau maksud orang rumah Arden? Aku saja pergi dari rumah sakit itu diam-diam, orang tua ku tak tahu hal ini." Andrew menjawabnya jujur disertai kekehan kecil di akhir kalimatnya. Arden ikut tersenyum menimpali, meskipun dia masih terus fokus pada kemudi dan juga jalanan yang mereka lewati. "Yah aku
Andrew terdiam, dia menatap wajah Julea dalam-dalam. Ada keraguan dalam hatinya saat hendak bercerita tentang apa yang sudah dia alami. Andrew takut kalau nanti Julea akan menunjukkan sikap yang amat kentara berbeda saat bertemu Andreas."Katakan Andrew siapa yang melakukan ini padamu?" Julea mendesaknya, gadis itu tampak tak sabar menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut Andrew. Lama Andrew memandang lurus ke wajah Julea, dia tidak mau membebani pikiran gadis itu. "Andrew," panggil Julea sekali lagi. "I-iya," jawab Andrew. Dia tampak gelagapan, tak tahu harus menjawab bagaimana. "Aku bertanya padamu, siapa yang melakukan itu? kenapa kau bisa terkena luka tusuk di lambung mu. Apa yang sebenarnya terjadi kemarin malam?" cecar Julea. Andrew menghela nafas. "Andreas, ini karena aku dan Andreas bertengkar malam itu."Mata Julea terbelalak tak percaya mendengar ucapan itu. Andreas yang biasa dia pandang sebagai pria baik dan lemah lembut itu malah berani bertindak seperti itu. And
Herfiza terdiam dia menundukkan kepalanya memandangi lantai marmer yang menjadi pijakannya sekarang. Ada rasa sesal dalam dirinya karena sudah bertindak egois dan juga pilih kasih dengan anak dan menantunya. Padahal seharusnya dia tak bersikap kekanak-kanakan begitu. "Ma-maafkan mama," lirih Herfiza tanpa berani menatap ke arah Andrew dan juga Julea yang ada di depannya. "Tidak apa-apa mam," balas Julea dengan senyuman yang dipaksakan. Dia kemudian memilih untuk menyingkir dari sana dan membiarkan Herfiza serta Andrew berbincang. Julea merasa kalau dia tidak perlu ada di tengah-tengah keduanya sekarang. Karena Julea tahu ada ketegangan yang terjadi diantara ibu dan anak itu. Julea memilih untuk duduk di balkon rumah mereka, gadis itu memandang lurus ke pemandangan kota Jakarta yang terhampar luas didepannya. Mendadak dia mengingat sesuatu, tentang keluarganya yang tengah berada pada kesulitan. Julea juga cukup sakit hati dengan sikap Herfiza padanya. Jauh dalam hatinya, Julea ingi
Julea akhirnya pasrah, dia mengangguk kemas saat mendengar ucapan Andrew yang sepenuhnya berisi pemaksaan. Memang pria itu tak pernah berubah barang sedikit saja. Sejak awal sifatnya itu selalu dominan, Julea sering kali kewalahan menghadapinya. "Hmm ya baiklah, terserah kau saja." Julea menghela nafasnya kasar dan berusaha tersenyum ramah. Meskipun dia sebenarnya was-was mendengar keputusan pria itu. Julea takut kalau-kalau segala rahasianya akan terbongkar nanti. Ketakutan itu terus saja menghantui dirinya. "Baiklah, aku akan mengurus tentang keberangkatan kita." Andrew mengetikkan sesuatu di layar ponselnya. "Andrew, bagaimana dengan lukamu. Apa benar tidak apa-apa?" tanya Julea sekali lagi. Dia memastikan kalau sang suami memang bisa diajak pergi perjalanan jauh. "Hmm iya," jawab Andrew acuh. Dia tak menoleh sama sekali ke arah Julea. Dia hanya fokus pada layar ponsel dan juga fitur-fitur didalamnya. "Andrew, jawab dengan serius. Kau ini terluka!" Julea geram. "Ada apa Jule
Keputusan Herfiza tidak bisa diganggu gugat, dia malah ikut dengan Julea dan Andrew berangkat ke Singapura. Mereka menaiki pesawat kelas bisnis karena permintaan Herfiza juga. Untunglah, wanita itu gak membawa para anak buahnya seperti biasa. Setelah menempuh perjalanan selama 1 jam 40 menit, dari bandara internasional Soekarno-Hatta dan landing di bandara Changi Singapura. Akhirnya mereka bertiga sampai dengan selamat. Julea buru-buru menghubungi sang ibu, Athena. "Halo mami, aku sudah sampai di bandara Changi." Julea membuka percakapan melalui sambungan telepon. Athena sendiri memang menawarkan akan menjemput anak gadisnya. Tapi dia tak tahu dengan siapa Julea datang ke Singapura. Setelah tiga tahun tak bertemu, ibu dan anak itu kembali berjumpa. ["Ah iya nak, mami ada di pintu keluar gedung kedatangan. Mami menunggu mu di sini,"] jawab Athena dari seberang sana. "Iya-iya, aku akan ke sana!" Julea menoleh pada Andrew yang memang berdiri disampingnya dan menunggu gadis itu seles
Julea gugup, dia membelalakkan matanya sempurna. Ucapan Andrew itu membuat badannya panas dingin. Seluruh darah ditubuhnya seolah-olah berkumpul di satu tempat saja, yaitu pipinya. Saat ini sudah dapat dipastikan kalau Julea tengah bersemu merah."A-apa maksud mu?" Tanya Julea sok polos. Padahal dia tahu betul apa yang dimaksud Andrew, lagi pula dia adalah wanita dewasa yang sudah matang secara usia dan emosional. Mana mungkin dia tak tahu dengan maksud perkataan Andrew yang menawarkan memberi cucu ke keluarga mereka?"Apa masih perlu ku jelaskan?" Andrew malah balik bertanya, dia membelai lembut wajah Julea dan mempersempit jarak yang ada. Sementara Julea berusaha menyembunyikan wajahnya yang sangat memerah. Saat ini Julea ingin menghilang saja dari muka bumi. Rasanya sangat-sangat canggung dan juga malu. Seumur hidup Julea tak pernah sedekat ini dengan lelaki mana pun!"Julea," panggil Andrew lagi. Kali ini lebih lembut dari sebelumnya. Juga jangan lupakan jika Andrew mengucapakan
Lagi-lagi dia menatap tak percaya. Dengan tatapannya yang bergerak-gerak gelisah dan bibir yang mengatup rapat menahan tangis. Dipandanginya lagi wajah itu dengan seksama. Tak ada lagi senyum manis atau seringainya yang dulu dia benci, muram dan tak lagi bercahaya seperti biasanya. Sungguh! Biar pun kali ini dia harus melihat hal-hal yang tidak dia sukai dari sosok didepannya. Akan dia terima dengan senang hati, asalkan sosok itu kembali. Lama bertarung pada pikirannya sendiri, dia sentuh wajah itu dengan tangan yang gemetaran. Berulang kali tak sempat jarinya menyentuh kulit yang telah memucat itu. Dia tak sanggup! Atau bahkan masih tak percaya. Dia tak percaya pada suratan takdir, tapi inilah kenyataannya. Dengan perasaan terguncang, dia coba lagi memegang wajah manis yang pernah memerintahkannya pergi. Dan kali ini tangisnya benar-benar pecah. Tangisnya meraung-raung disamping tubuh yang telah terbujur kaku itu. Dia peluk erat-erat tubuh itu, dia usap lagi pundak kecil yang
Julea masih tetap merengek, dia menampilkan ekspresi paling memelas untuk menyakinkan Andrew. "Ayolah Andrew aku mohon, sebentar saja." Julea berkata lirih, dia masih berusaha membujuk Andrew. Sedangkan Andrew hanya melihat datar ke arah Julea, entah kenapa hari ini Julea sangat menguji kesabarannya. padahal sebelumnya perempuan itu tak akan melawan jika Andrew berkata tidak. "Jule, kau bisa ke taman dan melihat bintang kapan saja. Karena masih ada banyak waktu lain, untuk malam ini kau tidur saja ya. Besok kau haris operasi," ucap Andrew berusaha memberikan pengertian. Tapi Julea adalah Julea, dia tidak akan berhenti begitu saja hanya karena ucapan Andrew. Perempuan itu malah mendecik sebal, dia menyilangkan kedua tangannya didepan dada. Andrew yang melihat itu hanya bisa menghela nafas kasar, menghadapi Julea yang tengah marah memang membutuhkan kesabaran yang lebih. "Julea, ku mohon dengarkan aku ya... ini semua juga demi kebaikan mu," Ucapnya lagi. kali ini dengan mengusap l
Herfiza mengusap punggung putranya dengan lembut, dia merangkulnya penuh kasih sayang dan kehangatan. "Nak, apa yang terjadi di dunia ini tidak bisa selalu sama seperti apa yang kita inginkan. Tuhan selalu punya rencana yang indah dibalik ujian ini, yakinlah." Herfiza mengatakannya dengan tenang, meskipun dia masih khawatir dan kalut akan kesehatan Julea. Andrew menoleh, dia mengerutkan keningnya. "Tapi apa ini ujian yang baik untuk ku? Aku terlalu banyak menimbulkan masalah di hidup Julea sehingga berimbas pada kesehatannya. ini bukan sekedar takdir Tuhan mam, ini salahku." Herfiza menarik diri, dia menggenggam tangan Andrew erat-erat. "Sekali lagi berhenti menyalahkan dirimu sendiri, jika pun kau merasa bersalah seharusnya tidak seperti ini caranya!""Lalu apa yang bisa aku lakukan?" tanya Andrew dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Herfiza menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. "Bangkit, berikan kekuatan pada Julea agar dia bisa segera sembuh. K
Hampir satu jam lamanya Jukea berada di dalam UGD, sedangkan keluarganya sduah harap-harap cemas menunggu kabar baik dari dokter yang menanganinya. Andreas sendiri yang masih tercengang dengan fakta penyakit sang kakak ipar masih terdiam menenangkan diri. Sedangkan Andrew sudah hilir mudik di depan pintu UGD. "Apa tadi semuanya lancar Andreas?" Tanya Marsha dengan lirih, dia juga menepuk pundak Andreas perlahan. Pria itu menoleh, dia mengangguk samar. Mereka berbincang dengan nada yang rendah, tak ingin menganggu anggota keluarga yang lain. Marsha juga tidak mau dianggap tak tahu situasi dan kondisi di saat yang genting seperti ini malah membicarakan hal yang lain. "Semuanya berjalan lancar, Pricilla juga sudah diamankan polisi tadi. Semua orang tak ada yang menentang pembelaan dari kami, bahkan Tuan Gardian yang ayah Pricilla juga diam. Dia tertunduk malu atas sikap putrinya itu," jelas Andreas sembari menunduk. Marsha manggut-manggut paham, dia lega setidaknya usaha Julea untuk
Setelah melihat Pricilla yang digandeng polisi untuk diamankan, Julea merasakan sakit kepala yang luar biasa. sebenarnya dia telah merasa kepalanya berat sejak dua jam lalu, tapi dengan sekuat tenaga dua bertahan. "Aka, apa kau baik-baik saja?" tanya Andreas yang melihat Julea meringis menahan sakit. Julea menoleh dan menggeleng, dia hanya memegangi kepalanya dan mulai berjalan menjauh dari tempat pesta. "Tidak Andreas, aku baik-baik saja. Jadi ayo pulang," ajaknya. tak mau membuat Julea kesakitan, Andreas mulai berjalan cepat. Dia lekas mengeluarkan mobilnya dan membawa Julea pergi dari mansion mewah keluarga Pricilla. Ditengah jalan tiba-tiba Julea menyemburkan isi perutnya dengan tidak sengaja. 'Hoek!'Sontak itu membuat Andreas panik, apalagi saat melihat wajah Julea yang pucat. "kak kau kenapa, apa tadi kau sempat minum? apa kau mabuk kak?" cecarnya yang khawatir. "Engh! Tidak, aku tidak ingat." Julea menjawabnya lemas, dia sebenarnya tak minum alkohol. Tapi entah bagaiman
Mata semua orang terbelalak tak percaya, tak sedikit dari mereka bahkan menutup mulutnya dengan tangan. Apa yang disampaikan Andreas malam ini adalah kejutan yang tak pernah mereka duga sebelumnya. Pengakuan Andreas itu juga membuat Pricilla kaget bukan main. Pasalnya, dia telah menggoda pria yang salah. "Pantas saja respon yang diberikannya berbeda, ternyata dia bukan Andrew." Pricilla membatin, dia tertunduk malu. Gardian memalingkan wajahnya, malu atas apa yang dilakukan sang putri. Lalu dengan cepat dia menarik tangan Pricilla dan mendorongnya hingga jatuh terjerembab di taman yang berumput. "Argh! Papa sakit," cicit Pricilla dengan mata yang berkaca-kaca. "Kau memang pantas mendapatkannya Pricilla, bahkan seharusnya kau mendapatkan hukuman yang jauh lebih besar daripada ini! Aku malu telah menjadi ayahmu!" Gardian berkata marah, deru nafasnya memburu seiring dengan darahnya yang mendidih. Di saat yang bersamaan, ada sorotan proyektor yang menampilkan apa saja yang sudah dila
Temaram lampu taman menyinari tubuh Pricilla yang terpantul di air kolam renang yang jernih. Perempuan berambut panjang itu menoleh saat mendengar langkah kaki Andreas yang mendekat ke arahnya. Senyuman tipis terbit diwajahnya yang terpoles apik dengan make up bold. "Akhirnya kau datang juga Andrew," ucapnya senang. Andreas tak menanggapi, dia hanya tersenyum sekilas saat mendengar Pricilla menyebut nama sang kakak. Beruntung jika perempuan yang menjadi rivalnya malam ini tak mengenali dirinya. "Si jalang itu tertipu juga, sama seperti sang ayah!" Andreas membatin, dia merasa satu langkah lebih dekat menuju kemenangan. Pricilla melangkahkan kakinya mendekat saat Andreas memilih untuk berhenti. Dia lekas mengalungkan tangannya ke leher Andreas dengan tanpa malu. "Aku senang kau mau datang ke sini dan mengabaikan Julea," ucap Pricilla dan menyandarkan tubuhnya pada dada bidang Andreas. Pria itu merasa jijik atas sikap agresif dari perempuan yang nyaris menjadi kakak iparnya. Tapi A
Andreas sempat menoleh pada Julea sebelum mereka turun dari mobil. Andreas cemas, karena mau bagaimana pun kalau dia gagal malam ini maka masalahnya akan bertambah besar. "Kak," cicitnya. Julea menoleh dan mengangguk serta mengepalkan tangannya, bermaksud memberinya kekuatan. "Kau pasti bisa Andreas, yakin lah!" Perintahnya. Lalu Andreas menghela nafas kasar beberapa kali, setelahnya dia turun dari mobil terlebih dahulu. Pintu mobil dibukakan oleh Andreas untuk membantu Julea, tangan kanannya juga dengan sigap terulur untuk memberikan kesan yang kuat kalau dia adalah Andrew. Di halaman mansion mewah milik keluarga Pricilla, ada banyak orang yang sudah datang dan menjadi tamu di sana. Hari ini adalah hari ulang tahun Pricilla, dan keluarga Nugraha memang mendapatkan undangan, khususnya Andrew. Pria itu memang diundang secara personal oleh Pricilla. Ah tidak-tidak! Lebih tepatnya Andrew diancam. Jika dia tidak datang malam ini, maka Pricilla akan melakukan hal yang lebih gila lagi
Andrew rupanya menemui sang adik, Andreas secara diam-diam. Tidak ada yang tahu kalau keduanya tengah bertemu sekarang. Keduanya kini berada di salah satu restoran Chinese yang cukup jauh dari pusat kota. "Jadi, apa yang kau rencanakan sebenarnya Andreas? Kali ini apa yang kau inginkan dariku?" Cecar Andrew dengan tatapan yang nyalang pada sang adik yang duduk di depannya. Terhalang oleh meja berbentuk persegi panjang, Andrew dan Andreas saling perang dingin dengan memberikan tatapan tajam ke arah masing-masing. Mendapatkan pertanyaan seperti itu, Andreas menghela nafasnya kasar, dia kemudian bersidekap dengan tenang. "Aku tidak menginginkan apapun, toh apa yang bisa kau berikan padaku?" Andreas malah memberikan jawaban yang terkesan meremehkan. Padahal sebenarnya tidak demikian. "Hah! Rupanya kau masih sama saja, sama-sama sombong seperti biasanya!" Andrew mendecik, dia menyeringai. "Sama seperti dengan mu juga, kita sama-sama sombong. Bedanya, aku menyadari dan mengakuinya seda