Julea berjalan ke ruangan Andrew dengan langkah yang diseret. Gadis itu juga sambil menggerutu sepanjang jalan, dua tidak memperdulikan tatapan tajam dari orang-orang yang menilai dirinya aneh dan sebagainya. Ketika dia sudah berada di depan pintu kaca ruangan Andrew, gadis berambut cokelat panjang itu menghembuskan nafas berat sebelum dia mengetuk pintu dua kali. Tok tok!"Masuk!"Mendengar ada jawaban dari dalam, Julea kemudian masuk ke dalam ruangan itu. Dia tersenyum ramah sebagai formalitas pada atasannya, Julea juga lekas memberikan iPad miliknya yang sudah menampilkan file proposal hasil revisi."Ini Pak, proposal yang anda minta untuk di revisi." Julea menyerahkan iPadnya. Andrew mengangguk, dia meraih benda pipih itu kemudian menfokuskan atensinya pada deretan kalimat di sana. Pria itu membacanya seksama secara sekilas, setelahnya dia manggut-manggut. Hal itu membuat Julea sedikit lega, setidaknya dia tidak harus merevisi proposal itu lagi. "Bagus! Kiriman file itu ke ema
"Apa? Tidak kok!" Julea gelagapan sendiri dibuatnya. Ucapan dari Marsha ini membuat jantung Julea berdetak kencang. Bisa-bisanya Julea keceplosan dan membuka aibnya sendiri. Mungkin bagi sebagian orang berkencan dengan Andrew si CEO dingin itu adalah hak terindah sepanjang masa. Akan tetapi tidak bagi Julea yang menganggap itu sebagai aib setelah mendengar pendapat pria itu tadi. Ucapan yang menohok ternyata disimpan rapi oleh pria tampan itu. "Sungguh? Tapi ku lihat mata mu mengatakan hal yang sebaliknya," ucap Marsha sok tahu. Julea mendecikkan bibirnya sebal. Dia bersidekap sejenak dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Di saat yang sama makanan yang mereka pesan datang. Julea tersenyum ramah begitu juga dengan Marsha, keduanya sangat semangat saat makanan di sajikan. Lalu tanpa perku di aba-aba keduanya sibuk dengan makanan masing-masing. Hingga di sela-sela kegiatan mereka, Marsha menyipitkan matanya. Dia melihat ada pria yang amat sangat familiar di matanya berjalan m
Andrew terus saja memaksa Julea untuk mengikuti langkahnya, akan tetapi bukan Julea namanya jika dia hanya akan menurut seperti kerbau yang di cucuk hidungnya. Gadis itu terus saja memberontak, tidak perduli bagaimana sikap Andrew menangani dirinya. Julea bahkan tidak peduli sedikit pun saat orang-orang memandang aneh ke arah dirinya dan Andrew. Dalam otak Julea ayanya ada satu yaitu bagaimana bisa lepas dari pria arogan itu. "Bapak ini bisa bahasa manusia apa bukan sih?" Tanya Julea sambil terus memberontak. "Enak saja kamu, tentu saja bisa!" Andrew marah, dia meninggikan suaranya satu oktaf dari sebelumnya. Akan tetapi Julea tidak takut. "Kalau bapak paham sama bahasa manusia, seharusnya bapak berhenti menyeret-nyeret tangan saya. Kan sudah saya bilang lepaskan!" Julea balik meninggikan suaranya. Dia juga menepis tangan Andrew dengan kasar, tidak peduli dengan ekspresi tidak suka yang ditampilkan pria maskulin itu. Andrew mengerutkan keningnya cukup dalam, dia memperhatikan ap
Julea menundukkan kepalanya dalam, dia menekuri lantai marmer di bawah kakinya. Pantulan wajahnya yang kusut itu juga ikut terlihat dibawah sana. "Jawab Julea, apa kamu itu tuli?" Sarah mulai geram. Tampak dia juga mengepalkan tangannya kuat-kuat hingga buku-buku jarinya memutih. "A-aku, aku tidak melakukan apa-apa buk. Kau tahu sendiri kalau aku tidak pernah berurusan secara personal dengan pak Andrew, lagi pula rumor bisa saja muncul sembarangan. Iya kan?" Julea masih berusaha membela dirinya.Gadis itu sudah mulai panas dingin, dia sedikit gemetar. Takut juga kalau Sarah tahu tengah apa yang terjadi. Apalagi tingkah Andrew itu terlalu mencolok, jadi mustahil jika tidak ada rumor yang berkembang setelah kejadian hari itu. "Hah! Aku mulai gerah mengurusi ini Julea, kau tahu bukan. Kalau Pak Andrew itu adalah CEO di perusahaan ini, dia juga pewaris tunggal dari Nugraha Group. Jika sampai rumor ini terdengar ke telinga orang tua beliau bagaimana?" Sarah menatapnya tajam. Wanita yan
Jukea menoleh kebelakang, dia sedikit takut. Bahkan dia sempat meneguk ludahnya kasar. "I-iya?" Julea menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya berdiri di jarak dua meter darinya. Wanita itu tampak maish cantik diusianya sekarang, dilengkapi dengan pakaian dan aksesoris bermerk dia semakin terlihat anggun. Wanita itu tidak lain adalah Herfiza, ibu Andrew yang merupakan salah satu jajaran pemilik saham di Nugraha Group. "Ada apa Bu?" Tanya Julea polos. Herfiza menelisik, dia jelas-jelas menatap Julea dengan tatapan menilai. Herfiza melihat Julea dari atas sampai bawah. Di lihat seperti itu, Julea rasanya seperti sedang dikuliti hidup-hidup. "Jadi kau yang bernama Julea Anastasia?" Tanyanya dengan nada yang dingin.Julea tidak mengeluarkan suaranya, dia hanya mengangguk membernarkan. "Kalau begitu ayo ikut dengan saya," sahutnya masih dengan nada yang sama.Sementara itu, Sarah yang berdiri tidak jauh dari wanita itu hanya bisa mengangguk memberi kode pada Julea agar menurut
"Eh?" Julea melongo, dia masih belum connect dengan pertanyaan Herfiza yang isinya jebakan semua. Herfiza sendri langsung bangkit dari duduknya. Dia meninggalkan Julea dan Sarah yang masih mematung ditempatnya masing-masing. Wanita itu segera berjalan menjauhi restoran. Akan tetapi dia juga tidak lepas tangan karena sudah membawa karyawan anaknya ke mari. Herfiza memerintah orang kepercayaannya untuk mengantarkan Julea dan Sarah kembali ke kantor. Dan benar saja, setengah jam kemudian dua wanita itu kembali kantor perikanan Nugraha Group. Dari lobi, Julea memang sudah berniat untuk segera menuju ke ruang kerja Andrew. Dia menekan tombol lift agar menuju Ke lantai tiga. "Mau ke mana kau Julea?" Tanya Sarah dengan nada yang serius, wanita itu juga mengerutkan keningnya tidak mengerti. "Aku akan menemui Pak Andrew lebih dulu, sepertinya ada yang ingin dia bicarakan pada ku." Julea menatap lurus ke depan. Sarah yang mendengar itu mendecik, dia juga memijit pelipisnya perlahan. Pus
"Apa?" Julea berteriak dengan keras, bahkan suaranya itu melebihi nada bicara Herfiza dan Andrew yang tengah bertengkar. Gadis itu sangat terkejut, lagi pula siapa juga yang tidak akan terkejut mendengar perintah seperti itu?Tiba-tiba di perintah menikah hanya karena rumor! "Dia pikir, dia itu siapa bisa seenaknya memerintahkan aku untuk menikah?" Julea membatin. Sementara itu Andrew dan Herfiza spontan menoleh ke arahnya. Tatapan tajam langsung Julea dapatkan dari keduanya. "Ma-maaf, tapi saya refleks sebab kaget dengan ucapan Bu Herfiza," ucap Julea dengan cepat tanpa perlu menunggu keduanya bertanya. Herfiza menyunggingkan senyum miring, kemudian dia melirik ke arah Julea sejenak dan kembali menatap lurus wajah sang putra. "Kau juga mendengar perintahku bukan? Jadi cepatlah menikah dengan gadis itu, dan tutup semua orang yang menyebarkan rumor tidak berasalan padamu!" Herfiza menunjuk wajah Andrew dengan jari telunjuknya. "Tapi aku tidak mau menikah mama! Jaman sekarang men
Andrew yang memang mengejar Julea tampak panik saat melihat gadis yang tengah berlari kecil itu tiba-tiba pingsan. Ya, Julea pingsan tepat di lobi kantor saat hendak mengejar Herfiza. Andrew tidak memperdulikan image atau apapun, dia dengan cepat merengkuh tubuh Julea yang mulai lemas. Dia berusaha menyadarkan gadis itu, akan tetapi usahanya nihil. Julea tidak kunjung membuka matanya, karena panik Andrew segera menggendong gadis itu ala bridal style dan membawanya keluar dari kantor itu agar Julea segera mendapatkan pertolongan."Minggir!" Andrew mengatakannya dengan kasar dan tegas pada orang-orang yang menghalangi jalannya.Andrew memang berniat membawa Julea ke rumah sakit dengan mobilnya sendiri. Akan tetapi, sang ibu sudah menghentikanya lebih dulu. Herfiza menahan tangan Andrew ketika sang anak hendak melewati dirinya. "Bawa dia dengan mobilku!" Perintahnya dengan tegas.Karena tidak mau banyak berdebat, Andrew mengangguk dan meletakkan Julea di mobil mewah milik sang ibu.
Lagi-lagi dia menatap tak percaya. Dengan tatapannya yang bergerak-gerak gelisah dan bibir yang mengatup rapat menahan tangis. Dipandanginya lagi wajah itu dengan seksama. Tak ada lagi senyum manis atau seringainya yang dulu dia benci, muram dan tak lagi bercahaya seperti biasanya. Sungguh! Biar pun kali ini dia harus melihat hal-hal yang tidak dia sukai dari sosok didepannya. Akan dia terima dengan senang hati, asalkan sosok itu kembali. Lama bertarung pada pikirannya sendiri, dia sentuh wajah itu dengan tangan yang gemetaran. Berulang kali tak sempat jarinya menyentuh kulit yang telah memucat itu. Dia tak sanggup! Atau bahkan masih tak percaya. Dia tak percaya pada suratan takdir, tapi inilah kenyataannya. Dengan perasaan terguncang, dia coba lagi memegang wajah manis yang pernah memerintahkannya pergi. Dan kali ini tangisnya benar-benar pecah. Tangisnya meraung-raung disamping tubuh yang telah terbujur kaku itu. Dia peluk erat-erat tubuh itu, dia usap lagi pundak kecil yang
Julea masih tetap merengek, dia menampilkan ekspresi paling memelas untuk menyakinkan Andrew. "Ayolah Andrew aku mohon, sebentar saja." Julea berkata lirih, dia masih berusaha membujuk Andrew. Sedangkan Andrew hanya melihat datar ke arah Julea, entah kenapa hari ini Julea sangat menguji kesabarannya. padahal sebelumnya perempuan itu tak akan melawan jika Andrew berkata tidak. "Jule, kau bisa ke taman dan melihat bintang kapan saja. Karena masih ada banyak waktu lain, untuk malam ini kau tidur saja ya. Besok kau haris operasi," ucap Andrew berusaha memberikan pengertian. Tapi Julea adalah Julea, dia tidak akan berhenti begitu saja hanya karena ucapan Andrew. Perempuan itu malah mendecik sebal, dia menyilangkan kedua tangannya didepan dada. Andrew yang melihat itu hanya bisa menghela nafas kasar, menghadapi Julea yang tengah marah memang membutuhkan kesabaran yang lebih. "Julea, ku mohon dengarkan aku ya... ini semua juga demi kebaikan mu," Ucapnya lagi. kali ini dengan mengusap l
Herfiza mengusap punggung putranya dengan lembut, dia merangkulnya penuh kasih sayang dan kehangatan. "Nak, apa yang terjadi di dunia ini tidak bisa selalu sama seperti apa yang kita inginkan. Tuhan selalu punya rencana yang indah dibalik ujian ini, yakinlah." Herfiza mengatakannya dengan tenang, meskipun dia masih khawatir dan kalut akan kesehatan Julea. Andrew menoleh, dia mengerutkan keningnya. "Tapi apa ini ujian yang baik untuk ku? Aku terlalu banyak menimbulkan masalah di hidup Julea sehingga berimbas pada kesehatannya. ini bukan sekedar takdir Tuhan mam, ini salahku." Herfiza menarik diri, dia menggenggam tangan Andrew erat-erat. "Sekali lagi berhenti menyalahkan dirimu sendiri, jika pun kau merasa bersalah seharusnya tidak seperti ini caranya!""Lalu apa yang bisa aku lakukan?" tanya Andrew dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Herfiza menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. "Bangkit, berikan kekuatan pada Julea agar dia bisa segera sembuh. K
Hampir satu jam lamanya Jukea berada di dalam UGD, sedangkan keluarganya sduah harap-harap cemas menunggu kabar baik dari dokter yang menanganinya. Andreas sendiri yang masih tercengang dengan fakta penyakit sang kakak ipar masih terdiam menenangkan diri. Sedangkan Andrew sudah hilir mudik di depan pintu UGD. "Apa tadi semuanya lancar Andreas?" Tanya Marsha dengan lirih, dia juga menepuk pundak Andreas perlahan. Pria itu menoleh, dia mengangguk samar. Mereka berbincang dengan nada yang rendah, tak ingin menganggu anggota keluarga yang lain. Marsha juga tidak mau dianggap tak tahu situasi dan kondisi di saat yang genting seperti ini malah membicarakan hal yang lain. "Semuanya berjalan lancar, Pricilla juga sudah diamankan polisi tadi. Semua orang tak ada yang menentang pembelaan dari kami, bahkan Tuan Gardian yang ayah Pricilla juga diam. Dia tertunduk malu atas sikap putrinya itu," jelas Andreas sembari menunduk. Marsha manggut-manggut paham, dia lega setidaknya usaha Julea untuk
Setelah melihat Pricilla yang digandeng polisi untuk diamankan, Julea merasakan sakit kepala yang luar biasa. sebenarnya dia telah merasa kepalanya berat sejak dua jam lalu, tapi dengan sekuat tenaga dua bertahan. "Aka, apa kau baik-baik saja?" tanya Andreas yang melihat Julea meringis menahan sakit. Julea menoleh dan menggeleng, dia hanya memegangi kepalanya dan mulai berjalan menjauh dari tempat pesta. "Tidak Andreas, aku baik-baik saja. Jadi ayo pulang," ajaknya. tak mau membuat Julea kesakitan, Andreas mulai berjalan cepat. Dia lekas mengeluarkan mobilnya dan membawa Julea pergi dari mansion mewah keluarga Pricilla. Ditengah jalan tiba-tiba Julea menyemburkan isi perutnya dengan tidak sengaja. 'Hoek!'Sontak itu membuat Andreas panik, apalagi saat melihat wajah Julea yang pucat. "kak kau kenapa, apa tadi kau sempat minum? apa kau mabuk kak?" cecarnya yang khawatir. "Engh! Tidak, aku tidak ingat." Julea menjawabnya lemas, dia sebenarnya tak minum alkohol. Tapi entah bagaiman
Mata semua orang terbelalak tak percaya, tak sedikit dari mereka bahkan menutup mulutnya dengan tangan. Apa yang disampaikan Andreas malam ini adalah kejutan yang tak pernah mereka duga sebelumnya. Pengakuan Andreas itu juga membuat Pricilla kaget bukan main. Pasalnya, dia telah menggoda pria yang salah. "Pantas saja respon yang diberikannya berbeda, ternyata dia bukan Andrew." Pricilla membatin, dia tertunduk malu. Gardian memalingkan wajahnya, malu atas apa yang dilakukan sang putri. Lalu dengan cepat dia menarik tangan Pricilla dan mendorongnya hingga jatuh terjerembab di taman yang berumput. "Argh! Papa sakit," cicit Pricilla dengan mata yang berkaca-kaca. "Kau memang pantas mendapatkannya Pricilla, bahkan seharusnya kau mendapatkan hukuman yang jauh lebih besar daripada ini! Aku malu telah menjadi ayahmu!" Gardian berkata marah, deru nafasnya memburu seiring dengan darahnya yang mendidih. Di saat yang bersamaan, ada sorotan proyektor yang menampilkan apa saja yang sudah dila
Temaram lampu taman menyinari tubuh Pricilla yang terpantul di air kolam renang yang jernih. Perempuan berambut panjang itu menoleh saat mendengar langkah kaki Andreas yang mendekat ke arahnya. Senyuman tipis terbit diwajahnya yang terpoles apik dengan make up bold. "Akhirnya kau datang juga Andrew," ucapnya senang. Andreas tak menanggapi, dia hanya tersenyum sekilas saat mendengar Pricilla menyebut nama sang kakak. Beruntung jika perempuan yang menjadi rivalnya malam ini tak mengenali dirinya. "Si jalang itu tertipu juga, sama seperti sang ayah!" Andreas membatin, dia merasa satu langkah lebih dekat menuju kemenangan. Pricilla melangkahkan kakinya mendekat saat Andreas memilih untuk berhenti. Dia lekas mengalungkan tangannya ke leher Andreas dengan tanpa malu. "Aku senang kau mau datang ke sini dan mengabaikan Julea," ucap Pricilla dan menyandarkan tubuhnya pada dada bidang Andreas. Pria itu merasa jijik atas sikap agresif dari perempuan yang nyaris menjadi kakak iparnya. Tapi A
Andreas sempat menoleh pada Julea sebelum mereka turun dari mobil. Andreas cemas, karena mau bagaimana pun kalau dia gagal malam ini maka masalahnya akan bertambah besar. "Kak," cicitnya. Julea menoleh dan mengangguk serta mengepalkan tangannya, bermaksud memberinya kekuatan. "Kau pasti bisa Andreas, yakin lah!" Perintahnya. Lalu Andreas menghela nafas kasar beberapa kali, setelahnya dia turun dari mobil terlebih dahulu. Pintu mobil dibukakan oleh Andreas untuk membantu Julea, tangan kanannya juga dengan sigap terulur untuk memberikan kesan yang kuat kalau dia adalah Andrew. Di halaman mansion mewah milik keluarga Pricilla, ada banyak orang yang sudah datang dan menjadi tamu di sana. Hari ini adalah hari ulang tahun Pricilla, dan keluarga Nugraha memang mendapatkan undangan, khususnya Andrew. Pria itu memang diundang secara personal oleh Pricilla. Ah tidak-tidak! Lebih tepatnya Andrew diancam. Jika dia tidak datang malam ini, maka Pricilla akan melakukan hal yang lebih gila lagi
Andrew rupanya menemui sang adik, Andreas secara diam-diam. Tidak ada yang tahu kalau keduanya tengah bertemu sekarang. Keduanya kini berada di salah satu restoran Chinese yang cukup jauh dari pusat kota. "Jadi, apa yang kau rencanakan sebenarnya Andreas? Kali ini apa yang kau inginkan dariku?" Cecar Andrew dengan tatapan yang nyalang pada sang adik yang duduk di depannya. Terhalang oleh meja berbentuk persegi panjang, Andrew dan Andreas saling perang dingin dengan memberikan tatapan tajam ke arah masing-masing. Mendapatkan pertanyaan seperti itu, Andreas menghela nafasnya kasar, dia kemudian bersidekap dengan tenang. "Aku tidak menginginkan apapun, toh apa yang bisa kau berikan padaku?" Andreas malah memberikan jawaban yang terkesan meremehkan. Padahal sebenarnya tidak demikian. "Hah! Rupanya kau masih sama saja, sama-sama sombong seperti biasanya!" Andrew mendecik, dia menyeringai. "Sama seperti dengan mu juga, kita sama-sama sombong. Bedanya, aku menyadari dan mengakuinya seda