Julea seperti tercekat mendengar pertanyaan Marsha. Sekuat tenaga dia menutupi masalah ini dari sang sahabat, tapi gadis itu malah sudah tahu lebih dulu. Entah dari siapa Marsha mengetahui hal ini."Ti-tidak! mana ada, mana mungkin Bu Herfiza yang terkenal kaya raya itu mau menikahkan anaknya dengan ku?" tanya Julea yang berusaha menutupi kebenaran. Namun Julea tidak pandai berbohong. Sikapnya gelagapan hanya dengan pertanyaan Marsha yang tenang. "Ah yang benar? mulutmu memang berkata begitu, tapi tidak dengan wajahmu juga gelagat mu yang aneh itu Julea!" Marsha geram, ada jeda di dalam kalimatnya. Julea lagi-lagi harus tersentak, sahabatnya yang satu ini memang terkenal garang saat menelisik sesuatu. Bagi Julea, Marsha yang tengah mode serius seperti ini bak seorang sipir yang mengawasi tahanan. Kejamnya bukan main!"Ingat juga, kalau kau ini tidak pandai berbohong!" Skak Matt!Julea tidak bisa lagi berkutik, dia mati kutu dengan serangan Marsha. Pernyataan soal Julea yang tidak p
Julea mengerjapkan matanya, masih tidak percaya karena ucapan serta kedatangan Andrew ke apartemennya. "Pak Andrew minta maaf buat apa?" Tanyanya lagi. Andrew memalingkan wajahnya, dia terlihat gugup. "Aku ingin minta maaf karena sudah egois dan membawamu masuk dalam masalah ku. Seharusnya setelah kencan buta itu, aku membereskan semuanya bukan malah membiarkan rumor-rumor berkembang seperti ini. " Julea diam, dia tidak banyak menanggapi. Gadis itu hanya ingin memberikan kesempatan pada Andrew untuk menjelaskan. "Aku sungguh-sungguh minta maaf, karena aku juga kau harus pingsan kemarin. Perintah dari mama untuk menikah itu pasti sangat memberatkan mu," imbuhnya lagi. Kali ini Julea mengangguk setuju, dia memang merasa terbebani. Tapi juga tidak mau menyalahkan Andrew sepenuhnya. "Ku mohon kau mau memaafkan, juga jangan menolak sepatu pemberian ku. Besok, saat kembali ke kantor anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa. Terimakasih juga pernah membantu ku," ucap Andrew dengan sen
Julea menghembuskan nafasnya kasar, kemudian dia masuk ke dalam unit apartemennya dan duduk di samping Marsha yang tengah mengemil. "Siapa yang datang?" Tanya Marsha yang menyadari kehadiran Julea. "Tidak ada, tadi hanya tetangga sebelah." Julea menjawabnya acuh. Marsha manggut-manggut saja setuju, dia tidak mau terlalu ikut campur urusannya. Jika memang Julea ingin bercerita, pasti dia akan bicara. Jadi Marsha tidak mau memaksanya. "Tadi ponsel mu berkedip, sepertinya ada notifikasi." Marsha memberi tahu, karena memang benda pipih itu membuatnya tidak fokus. Lagi pula, Julea seperti enggan menyentuh benda pipih tersebut. "Biarkan saja!" Julea menjawabnya acuh. Lalu dia bangkit dari duduknya dan menatap Marsha malas. "Aku hendak tidur, kau masih mau di sini?" Tanyanya.Marsha mengerutkan keningnya, tidak biasanya Julea bad mood sepeda ini secara tiba-tiba. Apalagi saat mereka berada di luar kantor. Biasanya mood Julea akan terjaga dengan baik. Entah apa yang terjadi?"Ah iya, a
Julea membuka matanya, dia tidak bisa tertidur. Entah Kenapa malam ini matanya sulit sekali terpejam. "Hah! kenapa malah terbangun malam-malam begini?" tanya Julea pada dirinya sendiri. diliriknya jam masih menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Seharusnya dia sedang asik berkelana di alam mimpi. Julea menoleh ke samping, di sana ada Marsha yang tertidur sangat pulas. Hal itu ditunjukkan dengan dengkuran halus dan nafasnya yang teratur. "Mungkin aku membutuhkan angin segar," gumam Julea. kemudian dia turun dari ranjangnya dan berjalan ke balkon sambil membawa gelas berisi air dingin. Pikirannya melalang buana, perasaannya terasa sangat kosong. Dia mendadak cemas dan seperti kehilangan di waktu yang sama. Gadis itu memilih membaca buku untuk mendatangkan rasa kantuknya kembali. Benar saja, baru beberapa menit dia sudah kembali tertidur. Namun kali ini Julea tertidur di sofa yang ada di balkon tersebut sampai pagi. Tepat pukul setengah lima pagi, Marsha sudah terbangun dan mer
Julea masih terdiam dan mematung mendengar pertanyaan dadakan yang dilontarkan Catharina padanya. Dia tidak mau mengatakan kebenaran itu pada wanita didepannya ini. Insting Julea mengatakan kalau Catharina perlu untuk dia waspadai. "Jawab Julea Anastasia, aku bertanya padamu dengan cara yang baik-baik!" Catharina terlihat geram. "Aku tidak perlu menjawabnya, lagi pula kau tidak berhak tahu urusan pribadi orang lain. Termasuk aku yang tidak berasal dari kalangan berada seperti mu!" Julea memberikan penekanan pada setiap kalimatnya.Catharina menggenggam tangannya erat-erat. Dia seolah tengah menyalurkan semua kekesalannya pada kepalan tangan itu. Di saat yang bersamaan, Jidan datang dengan langkah yang santai. Namun dia cukup terkejut melihat kedatangan Catharina di tempat itu. Apalagi wanita itu datang ke lantai tiga tanpa membuat janji atau masuk ke jajaran direksi, atau karyawan di perusahaan periklanan tersebut. "Bu Catharina?" Jidan menyapa wanita modis tersebut dengan ramah.
Julea diam, dia dan Marsha akhirnya terjebak di sini. Di rumah sakit tempat Andrew tengah dirawat. Pria itu memang mengalami luka yang cukup serius, terutama di bagian kepalanya. Akan tetapi setelah mendapatkan pertolongan dari tim medis, dia sudah bisa bercengkrama lagi dengan para karyawan yang datang menjenguknya. Sore ini hanya perwakilan dari setiap devisi saja yang datang menjenguk CEO mereka. Sisanya mungkin akan datang esok hari. Seperti apa yang dikatakan oleh Jidan tadi pagi, para ketua atau wakil ketua devisi harus datang untuk menjenguk Andrew. Karena bagaimanapun juga ketua dan wakil ketua devisi adalah irang yang sering bertemu dan berinteraksi secara langsung dengan Andrew. Mereka juga pimpinan disetiap devisi yang ada di perusahaan periklanan tersebut. Julea duduk di sebelah pintu berdampingan dengan Marsha. Mereka berdua hadir karena Sarah tengah melahirkan. Alhasil tikus dan kucing itu datang bersamaan. "Ck! Lihat itu, dia terlihat ramah sekali. Berbeda dengan
Andrew tersentak, dia tidak menyangka kalau Julea akan terus terang begini padanya. Ya meskipun memang benar, kalau diantara keduanya tidak ada hubungan yang serius. Pun dengan kerja sama yang sebelumnya pernah terjadi. "Sial! Kenapa aku merasa sakit hati mendengar jawabannya?" Andrew membatin. "Ah! Bagus kalau begitu. aku pegang ucapan kalian berdua!" Marsha menyahut. Mau tidak mau Andrew ikut mengangguk membenarkan. Dia menunggu tingkah apalagi yang akan diperbuat Julea. "Tentu saja," sahut Julea penuh percaya diri. Kemudian mereka berbincang ringan, tentang perkembangan dari projek dan juga pekerjaan dari devisi perencanaan. Akan tetapi Julea banyak diam, dia tidak seaktif Marsha dalam percakapan itu. Tidak lama kemudian, ada sebuah panggilan masuk ke dalam ponsel Marsha. Benda pipih bermerk ternama itu berkedip beberapa kali, hingga mengalihkan atensi Marsha secara otomatis. "Pak permisi, saya mau angkat telfon." Marsha meminta izin dan berpindah tempat ke depan ruang rawa
"Kencan buta itu," ucap Andrew tertahan. Dia tidak segera melanjutkan ucapannya, sepertinya dia bingung sendiri. Karena dia hanya melakukan kencan buta itu agar orang tuanya diam. Tapi mereka malah mengirimkan mata-mata untuk melihat apa yang terjadi saat kencan itu terjadi. "Itu memang benar terjadi, tapi aku tidak cocok dengan perempuan yang menjadi pasanganku waktu lalu. Jadi kami memutuskan untuk berpisah," jawab Andrew pada akhirnya. Kali ini dia harus berbohong lagi. Tuntutan orang tuannya untuk segera menikah membuatnya gila! Padahal jika mereka mau mendengarkan apa yang dia rasakan, Andrew tidak akan terus-terusan berbohong begini. "Kalian tidak cocok tapi sampai saling berciuman saat kencan pertama? aneh sekali," ketus Ali yang mulai curiga. "Sungguh Papa! itu memang terjadi, dan tidak perlu juga ku ceritakan secara detail." Andrew frustasi. Di saat sakit seperti ini saja dia masih harus mendengarkan ucapan orang tuanya tentang MENIKAH!Atau hal-hal yang tidak jauh dar
Lagi-lagi dia menatap tak percaya. Dengan tatapannya yang bergerak-gerak gelisah dan bibir yang mengatup rapat menahan tangis. Dipandanginya lagi wajah itu dengan seksama. Tak ada lagi senyum manis atau seringainya yang dulu dia benci, muram dan tak lagi bercahaya seperti biasanya. Sungguh! Biar pun kali ini dia harus melihat hal-hal yang tidak dia sukai dari sosok didepannya. Akan dia terima dengan senang hati, asalkan sosok itu kembali. Lama bertarung pada pikirannya sendiri, dia sentuh wajah itu dengan tangan yang gemetaran. Berulang kali tak sempat jarinya menyentuh kulit yang telah memucat itu. Dia tak sanggup! Atau bahkan masih tak percaya. Dia tak percaya pada suratan takdir, tapi inilah kenyataannya. Dengan perasaan terguncang, dia coba lagi memegang wajah manis yang pernah memerintahkannya pergi. Dan kali ini tangisnya benar-benar pecah. Tangisnya meraung-raung disamping tubuh yang telah terbujur kaku itu. Dia peluk erat-erat tubuh itu, dia usap lagi pundak kecil yang
Julea masih tetap merengek, dia menampilkan ekspresi paling memelas untuk menyakinkan Andrew. "Ayolah Andrew aku mohon, sebentar saja." Julea berkata lirih, dia masih berusaha membujuk Andrew. Sedangkan Andrew hanya melihat datar ke arah Julea, entah kenapa hari ini Julea sangat menguji kesabarannya. padahal sebelumnya perempuan itu tak akan melawan jika Andrew berkata tidak. "Jule, kau bisa ke taman dan melihat bintang kapan saja. Karena masih ada banyak waktu lain, untuk malam ini kau tidur saja ya. Besok kau haris operasi," ucap Andrew berusaha memberikan pengertian. Tapi Julea adalah Julea, dia tidak akan berhenti begitu saja hanya karena ucapan Andrew. Perempuan itu malah mendecik sebal, dia menyilangkan kedua tangannya didepan dada. Andrew yang melihat itu hanya bisa menghela nafas kasar, menghadapi Julea yang tengah marah memang membutuhkan kesabaran yang lebih. "Julea, ku mohon dengarkan aku ya... ini semua juga demi kebaikan mu," Ucapnya lagi. kali ini dengan mengusap l
Herfiza mengusap punggung putranya dengan lembut, dia merangkulnya penuh kasih sayang dan kehangatan. "Nak, apa yang terjadi di dunia ini tidak bisa selalu sama seperti apa yang kita inginkan. Tuhan selalu punya rencana yang indah dibalik ujian ini, yakinlah." Herfiza mengatakannya dengan tenang, meskipun dia masih khawatir dan kalut akan kesehatan Julea. Andrew menoleh, dia mengerutkan keningnya. "Tapi apa ini ujian yang baik untuk ku? Aku terlalu banyak menimbulkan masalah di hidup Julea sehingga berimbas pada kesehatannya. ini bukan sekedar takdir Tuhan mam, ini salahku." Herfiza menarik diri, dia menggenggam tangan Andrew erat-erat. "Sekali lagi berhenti menyalahkan dirimu sendiri, jika pun kau merasa bersalah seharusnya tidak seperti ini caranya!""Lalu apa yang bisa aku lakukan?" tanya Andrew dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Herfiza menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. "Bangkit, berikan kekuatan pada Julea agar dia bisa segera sembuh. K
Hampir satu jam lamanya Jukea berada di dalam UGD, sedangkan keluarganya sduah harap-harap cemas menunggu kabar baik dari dokter yang menanganinya. Andreas sendiri yang masih tercengang dengan fakta penyakit sang kakak ipar masih terdiam menenangkan diri. Sedangkan Andrew sudah hilir mudik di depan pintu UGD. "Apa tadi semuanya lancar Andreas?" Tanya Marsha dengan lirih, dia juga menepuk pundak Andreas perlahan. Pria itu menoleh, dia mengangguk samar. Mereka berbincang dengan nada yang rendah, tak ingin menganggu anggota keluarga yang lain. Marsha juga tidak mau dianggap tak tahu situasi dan kondisi di saat yang genting seperti ini malah membicarakan hal yang lain. "Semuanya berjalan lancar, Pricilla juga sudah diamankan polisi tadi. Semua orang tak ada yang menentang pembelaan dari kami, bahkan Tuan Gardian yang ayah Pricilla juga diam. Dia tertunduk malu atas sikap putrinya itu," jelas Andreas sembari menunduk. Marsha manggut-manggut paham, dia lega setidaknya usaha Julea untuk
Setelah melihat Pricilla yang digandeng polisi untuk diamankan, Julea merasakan sakit kepala yang luar biasa. sebenarnya dia telah merasa kepalanya berat sejak dua jam lalu, tapi dengan sekuat tenaga dua bertahan. "Aka, apa kau baik-baik saja?" tanya Andreas yang melihat Julea meringis menahan sakit. Julea menoleh dan menggeleng, dia hanya memegangi kepalanya dan mulai berjalan menjauh dari tempat pesta. "Tidak Andreas, aku baik-baik saja. Jadi ayo pulang," ajaknya. tak mau membuat Julea kesakitan, Andreas mulai berjalan cepat. Dia lekas mengeluarkan mobilnya dan membawa Julea pergi dari mansion mewah keluarga Pricilla. Ditengah jalan tiba-tiba Julea menyemburkan isi perutnya dengan tidak sengaja. 'Hoek!'Sontak itu membuat Andreas panik, apalagi saat melihat wajah Julea yang pucat. "kak kau kenapa, apa tadi kau sempat minum? apa kau mabuk kak?" cecarnya yang khawatir. "Engh! Tidak, aku tidak ingat." Julea menjawabnya lemas, dia sebenarnya tak minum alkohol. Tapi entah bagaiman
Mata semua orang terbelalak tak percaya, tak sedikit dari mereka bahkan menutup mulutnya dengan tangan. Apa yang disampaikan Andreas malam ini adalah kejutan yang tak pernah mereka duga sebelumnya. Pengakuan Andreas itu juga membuat Pricilla kaget bukan main. Pasalnya, dia telah menggoda pria yang salah. "Pantas saja respon yang diberikannya berbeda, ternyata dia bukan Andrew." Pricilla membatin, dia tertunduk malu. Gardian memalingkan wajahnya, malu atas apa yang dilakukan sang putri. Lalu dengan cepat dia menarik tangan Pricilla dan mendorongnya hingga jatuh terjerembab di taman yang berumput. "Argh! Papa sakit," cicit Pricilla dengan mata yang berkaca-kaca. "Kau memang pantas mendapatkannya Pricilla, bahkan seharusnya kau mendapatkan hukuman yang jauh lebih besar daripada ini! Aku malu telah menjadi ayahmu!" Gardian berkata marah, deru nafasnya memburu seiring dengan darahnya yang mendidih. Di saat yang bersamaan, ada sorotan proyektor yang menampilkan apa saja yang sudah dila
Temaram lampu taman menyinari tubuh Pricilla yang terpantul di air kolam renang yang jernih. Perempuan berambut panjang itu menoleh saat mendengar langkah kaki Andreas yang mendekat ke arahnya. Senyuman tipis terbit diwajahnya yang terpoles apik dengan make up bold. "Akhirnya kau datang juga Andrew," ucapnya senang. Andreas tak menanggapi, dia hanya tersenyum sekilas saat mendengar Pricilla menyebut nama sang kakak. Beruntung jika perempuan yang menjadi rivalnya malam ini tak mengenali dirinya. "Si jalang itu tertipu juga, sama seperti sang ayah!" Andreas membatin, dia merasa satu langkah lebih dekat menuju kemenangan. Pricilla melangkahkan kakinya mendekat saat Andreas memilih untuk berhenti. Dia lekas mengalungkan tangannya ke leher Andreas dengan tanpa malu. "Aku senang kau mau datang ke sini dan mengabaikan Julea," ucap Pricilla dan menyandarkan tubuhnya pada dada bidang Andreas. Pria itu merasa jijik atas sikap agresif dari perempuan yang nyaris menjadi kakak iparnya. Tapi A
Andreas sempat menoleh pada Julea sebelum mereka turun dari mobil. Andreas cemas, karena mau bagaimana pun kalau dia gagal malam ini maka masalahnya akan bertambah besar. "Kak," cicitnya. Julea menoleh dan mengangguk serta mengepalkan tangannya, bermaksud memberinya kekuatan. "Kau pasti bisa Andreas, yakin lah!" Perintahnya. Lalu Andreas menghela nafas kasar beberapa kali, setelahnya dia turun dari mobil terlebih dahulu. Pintu mobil dibukakan oleh Andreas untuk membantu Julea, tangan kanannya juga dengan sigap terulur untuk memberikan kesan yang kuat kalau dia adalah Andrew. Di halaman mansion mewah milik keluarga Pricilla, ada banyak orang yang sudah datang dan menjadi tamu di sana. Hari ini adalah hari ulang tahun Pricilla, dan keluarga Nugraha memang mendapatkan undangan, khususnya Andrew. Pria itu memang diundang secara personal oleh Pricilla. Ah tidak-tidak! Lebih tepatnya Andrew diancam. Jika dia tidak datang malam ini, maka Pricilla akan melakukan hal yang lebih gila lagi
Andrew rupanya menemui sang adik, Andreas secara diam-diam. Tidak ada yang tahu kalau keduanya tengah bertemu sekarang. Keduanya kini berada di salah satu restoran Chinese yang cukup jauh dari pusat kota. "Jadi, apa yang kau rencanakan sebenarnya Andreas? Kali ini apa yang kau inginkan dariku?" Cecar Andrew dengan tatapan yang nyalang pada sang adik yang duduk di depannya. Terhalang oleh meja berbentuk persegi panjang, Andrew dan Andreas saling perang dingin dengan memberikan tatapan tajam ke arah masing-masing. Mendapatkan pertanyaan seperti itu, Andreas menghela nafasnya kasar, dia kemudian bersidekap dengan tenang. "Aku tidak menginginkan apapun, toh apa yang bisa kau berikan padaku?" Andreas malah memberikan jawaban yang terkesan meremehkan. Padahal sebenarnya tidak demikian. "Hah! Rupanya kau masih sama saja, sama-sama sombong seperti biasanya!" Andrew mendecik, dia menyeringai. "Sama seperti dengan mu juga, kita sama-sama sombong. Bedanya, aku menyadari dan mengakuinya seda