Julea mengerjapkan matanya perlahan, dia tampak seperti manusia bodoh saja mendengar kabar itu. Tapi memangnya dia harus bersikap seperti apa? Toh apa yang dinilai dan dibicarakan orang-orang belum tentu adalah kejadian yang sebenarnya. Dan Julea masih berusaha memegang teguh kepercayaan yang seperti itu. "Aku tahu apa yang kau maksud tapi maaf Marsha, aku tidak mau termakan rumor-rumor aneh. Cukup biarkan Andrew dan Catharina bekerja dengan baik dan jangan mencampuri mereka, aku yakin keduanya sama-sama tahu batasan." Julea memilih masuk ke ruang kerja dan duduk tenang di dalam kubikelnya. Julea berusaha tetap berprasangka baik, dia tidak mau ada hal-hal yang tidak diinginkan hanya karena dia terlalu mudah termakan rumor mentahan. Tepat jam setengah empat sore Julea telah menyelesaikan pekerjaannya, dia juga sudah mendapatkan pesan dari Andrew kalau dia harus pulang sendiri sekarang. Tapi jika Julea mau, dia bisa meminta tolong pada Jidan untuk mengantarkan sampai rumah. Di lobi
Mobil yang dikendarai Andrew sudah menepi di pinggir jalan, Andrew memang sengaja memberikan atensi lebih pada si penelepon. Rasanya dia ingin menghantam wajahnya jika yang dibicarakan hanya omong kosong. Andrew ingat bagaimana perempuan aneh waktu itu menghubungi dirinya. "Halo siapa ini?" tanya Andrew yang mengulangi lagi pertanyaannya. Hening tidak ada jawaban, hanya ada suara helaan nafas beberapa kali. Andrew mengerutkan keningnya, kali ini apa lagi?["Apa kau suka dengan hadiahnya Andrew?"] tanya seseorang dari seberang sana. Terdengar jelas suara perempuan dari kejauhan, Andrew ingat. Ini adalah suara perempuan yang sama seperti waktu itu. Jadi perempuan sialan itu masih punya nyali yang besar untuk menghubungi dirinya lagi. Dan kali ini adalah kesempatan bagi Andrew untuk tahu siapa orang yang sudah mempermainkan dirinya. Andrew juga melirik ke jok samping kemudi, ada Cullinan buket yang ada di sana. Besar kemungkinannya jika perempuan di telefon ini membahas tentang Culli
Setelah menentukan janji dengan perempuan misterius melalui telefon tadi. Andrew segera pulang dan akan menjelaskan semuanya pada Julea, rasanya dia sudah gatal ingin menceritakan apa yang terjadi hari ini pada gadis itu. "Aku pulang!" Andrew berseru sembari membuka pintu utama rumahnya. Begitu masuk ke rumah, Andrew melihat ada amplop coklat di atas meja. Pria itu meletakkan Cullinan buket yang menjadi sumber masalahnya di atas meja. Cullinan buket itu diletakkan bersebelahan dengan si amplop coklat. Sedangkan Andrew masuk dan mencari keberadaan Julea, gadis itu tidak ada di ruang tamu, atau ruang tengah. Andrew berinisiatif untuk mengetuk pintu kamar Julea, karena mengira gadis itu ada di sana. Baru saja Andrew memegang kenop pintu, suara Julea sudah terdengar dari arah dapur. "Kau sudah pulang Andrew?" tanya Julea yang sedang berkutat dengan bahan masakan di dapur. Andrew menoleh, dan dia berjalan mendekati gadis itu. "Ah iya, tadi ada sedikit urusan." Julea mengangguk, dia
Seperti yang telah direncanakan sebelumnya, Andrew benar-benar menemui perempuan misterius itu malam ini. Pria itu sudah duduk lima belas menit lamanya di sebuah restoran yang ada di hotel bintang lima tempat mereka akan bertemu. Sebuah hotel ternama yang ada di ibu kota dan menjadi tempat yang cukup mewah untuk bertemu dengan perempuan tidak jelas. Andrew juga merasa aneh, kenapa perempuan itu memintanya datang ke tempat seperti ini. Seperti biasa pula, Andrew memakai pakaian formal, dengan setelan jas hitam hitam yang dipadukan dengan turtle neck. "Sebenarnya perempuan seperti apa yang akan ku temui malam ini." Andrew bergumam sembari melirik jam tangan branded yang melingkar di pergelangan tangannya. Andrew memang masuk sendirian ke hotel tersebut, sementara Julea dan Jidan ada di cafe seberang hotel. Keduanya menunggu Andrew memberikan aba-aba barangkali ada sesuatu yang mencurigakan terjadi. Julea juga sengaja mengajak Marsha, gadis itu diminta untuk menyadap kamera pengawas y
"Bagaimana jika kita melihat mundur ke waktu sebelum ini, mungkin saja kita mendapat petunjuk." Jidan kembali berkata penuh keyakinan. Marsha menolehkan kepalanya pada Julea, dan gadis itu mengangguk setuju. "Iya, lakukan apa yang Jidan katakan Marsha!" Perintah gadis itu dengan tegas. Marsha mengangguk paham, kemudian dia kembali mengetikkan sesuatu di atas keyboard. Tak lama waktu berjalan tepat saat Andrew dan Pricilla bertemu. Mata Marsha membola saat melihat itu dengan jelas. "I-itu --" tunjuk Marsha pada layar laptop, dia tercengang. Julea dan Jidan kemudian menoleh ke layar laptop bersama-sama. Dan seperti yang terjadi pada Marsha, dua orang itu sama-sama terkejut bukan main melihatnya. Lagi pula siapa yang akan menyangka jika Andrew akan menemui Pricilla, mantan kekasihnya sendiri. Apa pula maksudnya jika Andrew tak tahu nama perempuan itu, padahal dia adalah perempuan sama yang pernah mengisi hatinya?Julea berpikir keras, kenapa Andrew tak mengucapkan nama Pricilla sam
"Mereka memang pergi ke sana," cicit Marsha yang melihat tampilan layar laptop untuk kesekian kalinya. Di sana terpampang jelas Andrew yang mulai kehilangan kesadarannya, di papah okeh Pricilla. Perempuan itu tampak memesan kamar hotel, lalu dibantu dengan petugas hotel Andrew dibawa masuk ke sana."Mereka benar-benar memesan kamar hotel?" Tanya Jidan yang masih terkejut. Sementara Julea hanya diam saja, dia tak berkomentar apa-apa meskipun sudah melihat rekaman kamera pengawas itu dengan jelas. Air mata perlahan meleleh membasahi wajahnya, namun buru-buru Julea menghapusnya kasar dengan punggung tangannya. "Bukan mereka, tapi Pricilla. Perempuan itu yang memesan kamarnya, dan aku yakin ini memang keinginannya." Julea berkata yakin, sembari tangannya sibuk membereskan barang bawaannya. Kening Jidan dan Marsha bertaut, mereka tak mengerti aoabyang ingin Julea katakan. Hanya saja mereka paham bagaimana perasaan gadis itu sekarang. "Apa maksudmu itu, kau curiga kalau ini adalah sken
Hari berikutnya Julea tidak bisa fokus sama sekali dengan pekerjaannya, kejadian yang menimpa Andrew semalam membuatnya berpikir keras bagaimana menghadapi semuanya. Jika memang benar ini adalah keinginan Pricilia untuk menghancurkan hubungannya dan Andrew, maka Julea masih bisa mengatasinya. Tapi jika tujuan perempuan itu adalah merusak nama baik Andrew, maka itu tidak mungkin diselesaikan semudah membalikkan telapak tangan. "Jule!" Panggil Marsha sembari menepuk pundak Julea, gadis itu masih duduk di tempatnya. Marsha menggeser kursi yang dia duduki agar lebih dekat dengan Julea, saat ini jam yang menggantung di dinding kantor menunjukkan pukul dua belas siang. Sudah waktunya para karyawan beristirahat, tapi Julea tidak menyadari hal itu sebab terlalu banyak melamun."Eh iya?" Julea tergagap, dia tersenyum canggung. "Kau melamun, apa yang kau pikirkan?" Tanya Marsha khawatir, apalagi saat melihat monitor komputer di meja Julea yang hanya mengetikkan satu huruf saja sampai berbari
Di saat yang sama ponsel Andrew berdering, ada panggilan masuk di sana. Sontak Andrew menoleh begitu juga dengan yang lain. Ada nama Herfiza di sana, buru-buru Andrew mengangkat telfon itu dan menempelkan benda pipih bermerek ternama itu ke telinga sebelah kanannya. "Halo mam, ada apa?" Tanya Andrew yang berusaha menetralkan suaranya, dia tidak mau terdengar tengah menahan amarah. ["Ada di mana kau?] Tanya Herfiza yang terdengar marah, suaranya sangat ketus dengan nada bicaranya yang dingin. "Aku sedang ada di restoran Chinese dekat kantor untuk makan siang dengan Julea dan dua karyawan ku," jawab Andrew jujur. Terdengar helaan nafas yang kasar dari seberang sana, Herfiza pasti sedang susah payah mengendalikan diri. ["Lekas kembali ke kantor, aku menunggu mu di ruang kerja mu! Dan iya, bawa juga Julea menemui ku!"] Perintah Herfiza mutlak, sedetik kemudian panggilan itu dimatikan sepihak olehnya. Bahkan sebelum Andrew memberikan jawaban ataupun tanggapan. Tut Tut Tut!Julea meno
Lagi-lagi dia menatap tak percaya. Dengan tatapannya yang bergerak-gerak gelisah dan bibir yang mengatup rapat menahan tangis. Dipandanginya lagi wajah itu dengan seksama. Tak ada lagi senyum manis atau seringainya yang dulu dia benci, muram dan tak lagi bercahaya seperti biasanya. Sungguh! Biar pun kali ini dia harus melihat hal-hal yang tidak dia sukai dari sosok didepannya. Akan dia terima dengan senang hati, asalkan sosok itu kembali. Lama bertarung pada pikirannya sendiri, dia sentuh wajah itu dengan tangan yang gemetaran. Berulang kali tak sempat jarinya menyentuh kulit yang telah memucat itu. Dia tak sanggup! Atau bahkan masih tak percaya. Dia tak percaya pada suratan takdir, tapi inilah kenyataannya. Dengan perasaan terguncang, dia coba lagi memegang wajah manis yang pernah memerintahkannya pergi. Dan kali ini tangisnya benar-benar pecah. Tangisnya meraung-raung disamping tubuh yang telah terbujur kaku itu. Dia peluk erat-erat tubuh itu, dia usap lagi pundak kecil yang
Julea masih tetap merengek, dia menampilkan ekspresi paling memelas untuk menyakinkan Andrew. "Ayolah Andrew aku mohon, sebentar saja." Julea berkata lirih, dia masih berusaha membujuk Andrew. Sedangkan Andrew hanya melihat datar ke arah Julea, entah kenapa hari ini Julea sangat menguji kesabarannya. padahal sebelumnya perempuan itu tak akan melawan jika Andrew berkata tidak. "Jule, kau bisa ke taman dan melihat bintang kapan saja. Karena masih ada banyak waktu lain, untuk malam ini kau tidur saja ya. Besok kau haris operasi," ucap Andrew berusaha memberikan pengertian. Tapi Julea adalah Julea, dia tidak akan berhenti begitu saja hanya karena ucapan Andrew. Perempuan itu malah mendecik sebal, dia menyilangkan kedua tangannya didepan dada. Andrew yang melihat itu hanya bisa menghela nafas kasar, menghadapi Julea yang tengah marah memang membutuhkan kesabaran yang lebih. "Julea, ku mohon dengarkan aku ya... ini semua juga demi kebaikan mu," Ucapnya lagi. kali ini dengan mengusap l
Herfiza mengusap punggung putranya dengan lembut, dia merangkulnya penuh kasih sayang dan kehangatan. "Nak, apa yang terjadi di dunia ini tidak bisa selalu sama seperti apa yang kita inginkan. Tuhan selalu punya rencana yang indah dibalik ujian ini, yakinlah." Herfiza mengatakannya dengan tenang, meskipun dia masih khawatir dan kalut akan kesehatan Julea. Andrew menoleh, dia mengerutkan keningnya. "Tapi apa ini ujian yang baik untuk ku? Aku terlalu banyak menimbulkan masalah di hidup Julea sehingga berimbas pada kesehatannya. ini bukan sekedar takdir Tuhan mam, ini salahku." Herfiza menarik diri, dia menggenggam tangan Andrew erat-erat. "Sekali lagi berhenti menyalahkan dirimu sendiri, jika pun kau merasa bersalah seharusnya tidak seperti ini caranya!""Lalu apa yang bisa aku lakukan?" tanya Andrew dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Herfiza menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. "Bangkit, berikan kekuatan pada Julea agar dia bisa segera sembuh. K
Hampir satu jam lamanya Jukea berada di dalam UGD, sedangkan keluarganya sduah harap-harap cemas menunggu kabar baik dari dokter yang menanganinya. Andreas sendiri yang masih tercengang dengan fakta penyakit sang kakak ipar masih terdiam menenangkan diri. Sedangkan Andrew sudah hilir mudik di depan pintu UGD. "Apa tadi semuanya lancar Andreas?" Tanya Marsha dengan lirih, dia juga menepuk pundak Andreas perlahan. Pria itu menoleh, dia mengangguk samar. Mereka berbincang dengan nada yang rendah, tak ingin menganggu anggota keluarga yang lain. Marsha juga tidak mau dianggap tak tahu situasi dan kondisi di saat yang genting seperti ini malah membicarakan hal yang lain. "Semuanya berjalan lancar, Pricilla juga sudah diamankan polisi tadi. Semua orang tak ada yang menentang pembelaan dari kami, bahkan Tuan Gardian yang ayah Pricilla juga diam. Dia tertunduk malu atas sikap putrinya itu," jelas Andreas sembari menunduk. Marsha manggut-manggut paham, dia lega setidaknya usaha Julea untuk
Setelah melihat Pricilla yang digandeng polisi untuk diamankan, Julea merasakan sakit kepala yang luar biasa. sebenarnya dia telah merasa kepalanya berat sejak dua jam lalu, tapi dengan sekuat tenaga dua bertahan. "Aka, apa kau baik-baik saja?" tanya Andreas yang melihat Julea meringis menahan sakit. Julea menoleh dan menggeleng, dia hanya memegangi kepalanya dan mulai berjalan menjauh dari tempat pesta. "Tidak Andreas, aku baik-baik saja. Jadi ayo pulang," ajaknya. tak mau membuat Julea kesakitan, Andreas mulai berjalan cepat. Dia lekas mengeluarkan mobilnya dan membawa Julea pergi dari mansion mewah keluarga Pricilla. Ditengah jalan tiba-tiba Julea menyemburkan isi perutnya dengan tidak sengaja. 'Hoek!'Sontak itu membuat Andreas panik, apalagi saat melihat wajah Julea yang pucat. "kak kau kenapa, apa tadi kau sempat minum? apa kau mabuk kak?" cecarnya yang khawatir. "Engh! Tidak, aku tidak ingat." Julea menjawabnya lemas, dia sebenarnya tak minum alkohol. Tapi entah bagaiman
Mata semua orang terbelalak tak percaya, tak sedikit dari mereka bahkan menutup mulutnya dengan tangan. Apa yang disampaikan Andreas malam ini adalah kejutan yang tak pernah mereka duga sebelumnya. Pengakuan Andreas itu juga membuat Pricilla kaget bukan main. Pasalnya, dia telah menggoda pria yang salah. "Pantas saja respon yang diberikannya berbeda, ternyata dia bukan Andrew." Pricilla membatin, dia tertunduk malu. Gardian memalingkan wajahnya, malu atas apa yang dilakukan sang putri. Lalu dengan cepat dia menarik tangan Pricilla dan mendorongnya hingga jatuh terjerembab di taman yang berumput. "Argh! Papa sakit," cicit Pricilla dengan mata yang berkaca-kaca. "Kau memang pantas mendapatkannya Pricilla, bahkan seharusnya kau mendapatkan hukuman yang jauh lebih besar daripada ini! Aku malu telah menjadi ayahmu!" Gardian berkata marah, deru nafasnya memburu seiring dengan darahnya yang mendidih. Di saat yang bersamaan, ada sorotan proyektor yang menampilkan apa saja yang sudah dila
Temaram lampu taman menyinari tubuh Pricilla yang terpantul di air kolam renang yang jernih. Perempuan berambut panjang itu menoleh saat mendengar langkah kaki Andreas yang mendekat ke arahnya. Senyuman tipis terbit diwajahnya yang terpoles apik dengan make up bold. "Akhirnya kau datang juga Andrew," ucapnya senang. Andreas tak menanggapi, dia hanya tersenyum sekilas saat mendengar Pricilla menyebut nama sang kakak. Beruntung jika perempuan yang menjadi rivalnya malam ini tak mengenali dirinya. "Si jalang itu tertipu juga, sama seperti sang ayah!" Andreas membatin, dia merasa satu langkah lebih dekat menuju kemenangan. Pricilla melangkahkan kakinya mendekat saat Andreas memilih untuk berhenti. Dia lekas mengalungkan tangannya ke leher Andreas dengan tanpa malu. "Aku senang kau mau datang ke sini dan mengabaikan Julea," ucap Pricilla dan menyandarkan tubuhnya pada dada bidang Andreas. Pria itu merasa jijik atas sikap agresif dari perempuan yang nyaris menjadi kakak iparnya. Tapi A
Andreas sempat menoleh pada Julea sebelum mereka turun dari mobil. Andreas cemas, karena mau bagaimana pun kalau dia gagal malam ini maka masalahnya akan bertambah besar. "Kak," cicitnya. Julea menoleh dan mengangguk serta mengepalkan tangannya, bermaksud memberinya kekuatan. "Kau pasti bisa Andreas, yakin lah!" Perintahnya. Lalu Andreas menghela nafas kasar beberapa kali, setelahnya dia turun dari mobil terlebih dahulu. Pintu mobil dibukakan oleh Andreas untuk membantu Julea, tangan kanannya juga dengan sigap terulur untuk memberikan kesan yang kuat kalau dia adalah Andrew. Di halaman mansion mewah milik keluarga Pricilla, ada banyak orang yang sudah datang dan menjadi tamu di sana. Hari ini adalah hari ulang tahun Pricilla, dan keluarga Nugraha memang mendapatkan undangan, khususnya Andrew. Pria itu memang diundang secara personal oleh Pricilla. Ah tidak-tidak! Lebih tepatnya Andrew diancam. Jika dia tidak datang malam ini, maka Pricilla akan melakukan hal yang lebih gila lagi
Andrew rupanya menemui sang adik, Andreas secara diam-diam. Tidak ada yang tahu kalau keduanya tengah bertemu sekarang. Keduanya kini berada di salah satu restoran Chinese yang cukup jauh dari pusat kota. "Jadi, apa yang kau rencanakan sebenarnya Andreas? Kali ini apa yang kau inginkan dariku?" Cecar Andrew dengan tatapan yang nyalang pada sang adik yang duduk di depannya. Terhalang oleh meja berbentuk persegi panjang, Andrew dan Andreas saling perang dingin dengan memberikan tatapan tajam ke arah masing-masing. Mendapatkan pertanyaan seperti itu, Andreas menghela nafasnya kasar, dia kemudian bersidekap dengan tenang. "Aku tidak menginginkan apapun, toh apa yang bisa kau berikan padaku?" Andreas malah memberikan jawaban yang terkesan meremehkan. Padahal sebenarnya tidak demikian. "Hah! Rupanya kau masih sama saja, sama-sama sombong seperti biasanya!" Andrew mendecik, dia menyeringai. "Sama seperti dengan mu juga, kita sama-sama sombong. Bedanya, aku menyadari dan mengakuinya seda