Sore berganti malam. Panas berganti dingin. Matahari berganti rembulan. Aku berdiri dengan tubuhku di depan jendela yang ku-sengaja buka untuk meratapi gemintang dari ketinggian lantai 3. Ku-pikir aku membutuhkan waktu lama untuk menjalankan kesembuhan. Ternyata, aku hanya harus makan dan beristirahat dengan cukup. Aku tidak divonis memiliki luka yang berat. Dua kaki yang kupikir akan dibalut bidai, memakai tongkat, atau paling parahnya duduk di atas kursi roda karena patahnya tulang dan beradanya alat pen untuk menyambungkan yang rusak. Tidak, bahkan kepalaku baik-baik saja. Tidak ada perban yang rumit. Di atas ranjang, aku hanya ditusuk selang infus.5 menit yang lalu Orick baru saja mengabariku bahwa dia akan datang esok pagi. Kalau malam ini, dia harus mengerjakan tugas power point untuk presentasi di kelas. Dan tidak hanya Orick, melainkan Kamala mengirimkan pesan satu konteks yang sama. Aku jelas mengiyakan. Toh, aku tahu mereka punya kesibukan masing-masing. Mungkin minggu depan
"Good morning, sayang.""Gid mirning siying." timpal Bella di sisinya.Pagi pukul 7, aku baru saja bangun dan bertepatan pintu tiba-tiba terbuka. Mataku yang semula lemah langsung melebar dengan sendirinya. Terpantau Ibu tersenyum di seberang, namun yang ku-rasakan seperti digelitik kemoceng. Suasana macam apa ini? Orick datang sembari menampilkan gigi vampirnya, lalu Bella mengaduh-aduh di sampingnya. MALU, SUMPAH!"Jawab dong.""Pagi.""Sayangnya mana?""Bella, mending kamu temenin Ibu cari makanan yuk. Di sini juga jadi kambing budek." Aku praktis melotot dan memandangi keduanya dengan sengak. Maksudnya apa-apaan toh?"Yuk Bu, kebetulan Bella belum makan. Bisa-bisa di sini perut Bella pecah." celetuknya sembari melirikku dengan sinis. Tak kalah sinis, aku mengawasi kepergiannya dengan peringatan.Dengan suara pintu yang kembali tertutup, napasku berhembus gusar apalagi setelah mencium bau parfum kopi dari jaket Orick. Tunggu, sangat aneh mengapa aku harus dugun-dugun? Bukannya dahul
Satu bulan berlalu, aku sudah diperkenankan pulang dan bahkan aku memaksa diri pergi ke kampus yakni untuk beraktivitas berat kembali. Bukan apa-apa, aku ini anak semester akhir yang harus menyusul ini dan itu. Satu hari tertinggal, sepertinya aku harus mengganti dengan sejuta hari. Dan bayangkan saja aku loyo-loyo selama satu bulan di rumah sakit, segalanya aku tertinggal jauh. Satu bulan penuh itu jua sebelum aku keluar dari rumah sakit, tak pernah luput dari kunjungan insentif Orick. Pria itu yang datang hanya sekadar memohon agar aku kembali menerimanya. Pria itu yang datang hanya untuk mengadu karena mata kuliah di kampus begitu sulit. Pria itu yang datang untuk mengadu karena dijahili rekan sebayanya. Dan segalanya hal-hal random yang Orick curahkan.Sengaja aku biarkan permintaan kembalinya selama 3 minggu. Belakangan ini hobi baruku melihat wajah murung Orick yang seperti anak anjing kehujanan. Mulutnya selalu mengerucut, matanya mengerut jadi lebih kecil, lalu tingkahnya yang
Ini bukan hari pertama aku berada di desa terpencil dan melakukan pekerjaan sungguhan yang mungkin akan menjadi patokan bagaimana nanti aku keluar universitas. Kuliah kerja nyata yang aku ambil hanya berkisar 2 bulan, dan sudah satu bulan aku menekuni diri berada jauh dari kota Jakarta yang riuh.Hari-hari yang biasa disiapkan sarapan oleh Ibu, diberi bekal oleh Bapak, atau bersapaan dengan Erin, tidak lagi terasa manja. Aku yang entah mengapa lagi-lagi diperlakukan seperti babu, alias segalanya ku-urusi layaknya seorang Ibu di sini. Aku memang terbiasa bangun pagi, dan karena hal itu aku menjadi alarm konsisten sampai pernah beberapa kali aku harus mengamuk karena mereka sulit bangun. Serta walaupun dua teman dekatku bisa membantu, tetap saja kawanan yang lain hanya turut mengandalkanku dalam urusan dapur.Bukan aku tidak mau diandalkan, tetapi masalahnya---berada di samping Sadan dan Fattah seperti ini---aku sering merasa lebih buruk daripada Orick. Ada batasan-batasan diriku yang me
Satu kali, dua kali, mungkin aku merasakan khilaf yang harus semua orang sebut itu hal wajar. Ya, tentu saja aku ingin dipahami balik. Bukankah hal semacam lupa-melupa terjadi karena runtunan ingatan dalam benak kita terlalu banyak? Oleh sebab itu, saking bertumpuknya apa yang sedang kita pikirkan, membuat hal-hal yang semula tersemat terjuntai begitu saja.Ini masih tentang lupanya aku untuk bertukar informasi pada kekasihku di seberang. Ini masih tentang kami, yang mungkin sebagian orang bisa menyebutnya hal lumrah. Namun aku, tidak ingin hal lumrah itu kembali berlanjut yang bisa memicu perseteruan di antara kami muncul. Tenang, aku tidak lupa bagaimana kesepakatan kami di awal. Untuk menjaga hubungan, memang keduanya harus saling berkorban. Hingga, mau sesibuk apapun yang ku-lalui, alur komunikasi dengan Orick tidak boleh lepas.Kemarin, hal pertama ketika aku bangun tidur, yang ku-ingat adalah mengirim pesan singkat barang hanya mengucapkan selamat pagi dan menyemangatinya. Setela
Hari terakhir di masa kerja nyata ini, kami sepakat mengadakan acara puncak sekaligus hiburan untuk para warga sekitar. Dengan jaringan dana dan kompensasi dari Sadan Si manusia royal yang sudah ku-peringatkan bahwa dana ini tidak boleh dicampur adukan oleh pribadi, tapi dia tetap mengotot.Riasan panggung yang telah kami laksanakan dengan tim lain, membuat tenagaku nyaris tumbang sebab seharian tanpa makan dan minum kami disibukan ini dan itu. Dari pagi hingga malam, sampai untuk bernapas saja rasanya aku sulit. Untung-untungan aku meminta 5 menit diberi izin. Dan bukan apa-apa, selama 5 menit itu ku-manfaatkan untuk membombardir ruang pesan Orick.Berlanjut keesokan harinya, aku merasa tubuhku berada di daya baterai 50%. Sedari pagi sudah kusumpel bubur dan vitamin, namun panas matahari hingga sore mendatang tetap saja membuat disko kepala. Bahkan ketika acara pembuka diselenggarakan setelah isya yang berarti masih ku-punya luangnya waktu untuk istirahat, aku masih merasa kurang."Ri
Girl your heart, girl your face is so, different from them others,I'll say, you're the only one that I'll adore,Cause every time you're by my side,My blood rushes from my veins,And my geeky face, blushed so silly...Dentingan musik dari radio yang sengaja kuhidupkan demi menghapus sunyi di antara jalanan sore Jakarta yang padat. Pemilik suara dari Petra Sihombing membuatku terombang-ambing dengan tenangnya. Bersama dua netra yang selaras fokus pada langit di depan, pangkal-pangkal mulutku terangkat simpul. Sebentar lagi, setelah 2 bulan lamanya aku tak membaui aroma jalan yang berkabut ini.Sengaja tak ku-balas beberapa pesannya sejak pagi. Aku sengaja memupuk amarah pria itu, bagus-bagus jika meledak dan berakhir aku ledek balik sembari tertawa. Semua naskah dan skenario yang telah kurangkai sekaligus prediksi begitu mulus. Lagu mine ini, lagu yang seharusnya tak ku-putar karena berujung gregetan sendiri.Butuh sekitar 20 menit dari rumahku untuk menuju rumah pemuda itu. Melewati
"Pulang kkn kok cemberut sih kak. Kenapa? Tugasnya susah?" Ibu bertanya yang membuatku tersadarkan dari lamunan. Dengan mulut masih menguyah lauk, tak urung tangan mengaduk-ngaduk nasi sedari 5 menit yang lalu, aku menggeleng dengan senyum tipis."Bukan karena kkn Bu, Si kakak ribut lagi ini sama Kak Orick." mulutku yang semula tersenyum berubah menjadi garis tajam yang menukik ke atas. Leherku refleks berputar ke arah Erin. Dan tidak takutnya, adikku itu justru mengangkat dua alisnya seolah berkata--emang gue salah?"Ribut kenapa lagi kak?""Nggak, dia sok tahu." Aku kekeuh menggeleng dengan tampang datar. Kembali menyuap makan tapi mataku mengintai Erin agar tidak macam-macam."Aku tahu lah, orang Kak Orick sendiri yang ngechat nanyain keadaan kakak. Aku jawab aja lagi uring-uringan di kamar."MasyaAllah...Berubah lagi senyumku menjadi lebih manis, lebih lebar, dan lebih terpaksa. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi menyikapi kelakuan Erin. Jika hubungan ini tak ku-perbaiki dan tak
Dari belakang rumah pindah ke atas lantai dua, dimana Erin sudah selonjoran di atas kasurnya. Sedangkan aku berdiri di depan teras balkon dan melihat sambaran petir dari kota seberang. Gemuruh yang saling bersahutan di sana menandakan sebentar lagi hujan akan datang. Aku tersenyum kecut melihat panorama tersebut. Terlampau banyak kisah yang perlu kuulas, sampai dimana aku sadar, aku tak bisa mengabulkan seluruhnya.Jika aku diperkenankan membawa satu hal untuk tetap berada di sampingku, aku ingin membawa kenangan itu kekal dalam kepalaku. Sampai nantinya aku bertemu lagi orang-orang baik seperti mereka, lepas kubalas dengan sekotak warna yang lebih indah dan membahagiakan daripada ini. Tapi untuk berdiri, aku juga memiliki aturan yang tak bisa sembarang kusanggah.Meluapnya suhu dari lapisan atmosfer, meningkatkan kadar dingin menjadi campur aduk. Dua tanganku terangkat untuk memeluk diriku dan mengusapnya mandiri. Aku benci ketika bau tanah sudah menyeruak dan rintik-rintik sedu dari
"ERIN!!""Astagfirullah, dateng-dateng bukannya salam!""YHA, ERIN!!""APAAN SEH BUSET? RAME BENER LU BARU DATENG JUGA!!"Aku tak menggubris bapak dan Ibu yang terkejut-kejut di ruang tamu. Hal pertama ketika kakiku berpijak di dalam rumah yang berbeda, kulaungkan suara itu hingga oknum bernama Erin turun terburu-buru dari lantai dua. Dan setelah oknumnya berdiri tegak di hadapanku, ku lempar kresek pizza padanya."Belikan banget lo udah gede juga." Aku mencebik. Barulah setelah itu pandanganku berkelok pada ibu dan bapak. Kuserahkan kresek polos berisikan martabak dan bubur kacang."Nggak bareng Orick?" Bapak celingukan ke belakangku. Mungkin dia pikir aku datang bersama Orick, padahal tidak."Nggak, dia juga lagi mampir ke rumahnya. Yaudah aku juga kesini, di rumah gaada siapa-siapa." tukasku, kemudian ikut bergabung duduk. Sedangkan di sisi lain, Erin malah kocar-kacir entah kemana, menjauhi kami."HEH, ERIN! MAU KEMANA? MAKAN BARENG-BARENG JANGAN LO HABISIN SENDIRI!""NYENYENYE!"
Di antara lembayung merah yang muncul pada celah-celah kaca, aku berdiri menghadap lembaran kalender. Menatap angka-angka merah dan hitam yang berderet, sebelum pintas rasa bersalah menenggelamkanku bersama malam datang. Aku tersenyum tipis sembari menghembuskan napas perlahan-lahan. Aku pernah menemukanmu sebagai mata angin yang selalu kuikuti kemana-pun kamu pergi. Tapi di perempatan jalan, aku mulai bingung. Dimana tempat yang seharusnya kita tuju bersama?Pamitan Vanny setengah jam lalu berubah menjadi sedikit sendu untuk hatiku. Padahal sebelumnya memang sudah terbiasa. Tidak mungkin jua dia menginap di sini, dia kan masih memiliki keluarga di rumahnya. Lalu saat Nadya melambai sembari melambai dan mengatakan "terimakasih" dengan dua mata tulusnya. Kali ini, aku tak bisa lagi lari dari sebuah pilihan. Tersakiti atau pulih, keduanya adalah hal yang menyakitkan.Musim dingin akan segera datang. Aku harus menyiapkan kaus kaki dan mantel penghantar panas. Duduk di depan api unggun se
"Benar menurut manusia itu relatif. Kamu nggak akan selalu berada di pihak yang salah, begitupun pada yang benar. Sebenarnya, benar dan salah hanya bagaimana kita memandang. Oke, yuk mulai deh curhatnya. Nadya, jadi... ada hal apa yang pengen kamu keluarkan, sayang?""Kakak bisa baca pikiranku aja nggak? Aku takut kalau aku bilang, aku dianggap terlalu berlebihan." Aku tergelak mendengarnya, namun tak seling itu aku tertawa."Hei, hei. Emangnya aku cenayang? Aneh-aneh aja ih, nih makan dulu permen!" Aku menyurukan box kecil berisikan permen kopiko padanya.Lucu sekali segannya. Dia pelan-pelan membuka permen, dan begitu mengemutnya aku tak kuasa untuk menepuk tangannya yang terjulur di depan meja. Aku hampir saja mengeluarkan kembali kata-kata lapas mataku tak sengaja melihat liontin hijau daun mentereng. Aku praktis mendongak untuk melihat wajahnya, namun wanita itu seakan-akan tak menyadarinya."Aku boleh cerita nih?" ujarnya."Boleh dong. Tenang, aman sentosa. Dua telinga kakak ter
Jungkat-jungkit mencintai seorang Manuangga Orick tidak jauh-jauh dari kelakuan tebar pesona dan manis mulutnya yang kadang menyama-ratakan aku dengan para jalang di luar sana. Sejujurnya, untuk memahami sifat Orick yang begini memang sudah biasa. Aku memutuskan jatuh hati dengannya, berarti aku harus siap dengan segala yang lahir maupun datang dari dirinya. Entah Orick yang kebiasaannya tebar pesona, Orick yang ramah pada semua orang, tatakrama untuk memperlakukan wanita yang mungkin nyaris sama dengan memperlakukanku. Well, aku mengerti. Bahkan sepertinya, aku tidak harus membesarkan masalah itu. Sebab yang tulus mencintai, akan selalu punya batasan-batasan pada dirinya sendiri. Tapi tunggu ya, namanya juga masalah cemburu, aku kadang tidak kuasa menahan debar api di dada.Aku melihat Erin dan Ratu tengah bercanda gurau di lantai satu. Sementara aku bergegas naik ke lantai atas dengan Orick yang mengudang situasi semakin mencengangkan. Aku tahu, Erin dan Ratu pasti merasa takut. Tap
"Awal kali kita bertemu itu di kampus. Saat itu, waktu gue jadi maba dan lo komdis yang buener-buenerrrrrrr... galak! Gue sampai nggak berani tatap mata lo, apalagi waktu gue lupa gue masih pakai gelang. Jujur, gue takut banget gelang itu dirampas dan nggak dibalikin lagi. Masalahnya, itu satu-satunya kenangan yang Abi kasih ke gue. Hanya dari situ gue bisa mengenang dan percaya kalau Abi akan tetap kembali. Gue udah was-was.. tapi lo cuma nasehatin gue. Dari situ gue cengo, apalagi waktu lo senyum. Semacam---anjir? Tadi pagi aja tuh muka asem banget? Kok tiba-tiba baik di belakang? Lo aslinya dua orang, kah?!"Siang menunggu sore tadi, setelah berhasil kualihkan obrolan tentang orang tua, dia berhasil membawa sekotak rindu dari masa lalu yang menggemaskan. Well, sebenci apapun aku pada kehidupan di belakang, pada akhirnya aku tidak berbohong, kalau aku tetap bersyukur bisa berada di jalan ini. Karena, tidak mungkin tanpa mereka, tidak mungkin tanpa luka-luka aku berdiri pada dunia ya
"Bos, darimana aja?! Ini Zero ngamuk barusan!""Untung gue pergi, kalau nggak kena cakar dah." Aku tertawa kecil saat memasuki pintu rumah.Hal pertama yang aku lihat bagaimana Vanny repot menenangkan Zero yang berada di pangkuannya, sampai kucing itu melompat dan mengibaskan rambutnya di bawah. Aku tidak tahu apa yang terjadi, namun sepertinya wajah tertekan Vanny bisa menjelaskan bahwa kucing itu berulah hebat."Ada keluhan?" Aku berjalan lebih dalam dan menjatuhkan diri di ruang keluarga. Sedikit meregangkan badan. Cukup pegal berjalan di atas jalanan curam."Ya itu, kucingnya Bos." Dia mengikutiku dan berdiri di sampingku."Selain itu.""Gaada, aman.""Van, kalau lo kena pecat gimana?""Bos?" Dia tersentak. "Bos, saya ngelakuin kesalahan ya? Demi apapun, selama saya diberi kepercayaan oleh Bos saya tak pernah menyia-nyiakannya. Sebuah kehormatan bisa bekerja sama dengan Bos. Tapi Bos, kenapa saya tiba-tiba dipecat? Saya salah apa?""HAHAHA!" Aku tergelak dengan ekspresi wajahnya y
Aku berjalan jauh memunggungi rumah. Melewati hutan dan impian, meninggalkan pesisir kota. Memberi jarak pada kenyataan dan takdir, aku melangkah menyusuri sebuah tebing yang cukup tinggi dari permukaan. Di sini sedang cerah, matahari berada sejajar dengan tubuhku ketika berdiri di atas rerumpunan.Lingkaran pohon yang kulihat dari arah utara, berputar ke timur, ke barat, dan berakhir di selatan. Memeluk dengan tubuhnya yang agung, menjaga sisian daratan ini seperti cekungan. Menahan serangan sewaktu-waktu serangan dari luar lingkaran bisa menghancurkan kehidupan kami. Dari sini, kuperkirakan waktu matahari terbenam dan terbit akan terlihat sangat elok. Atau bianglala dunia yang membentang selepas hujan mendera. Atau barangkali saat inipun kelihatan lebih elok. Sebuah semburat biru yang perlahan-lahan diserang kilau ungu, menyatu dengan warna liontinku.Di sini, aku bisa melihat barisan pemukiman berjajar rapi. Bangunan gedung yang mencakar udara, kemacetan Jakarta, heboh nadanya bahk
Dahulu, harta, tahta, dan cintaku adalah sebuah gelar di belakang nama. Sebuah impian yang kupikir akan selalu statis, rupanya berada dalam kendali waktu. Lagi-lagi hanya berpacu pada sekelumit waktu yang akan menuntun pada hukum alam sesungguhnya. Dimanapun aku berada, kapanpun aku menjalankannya, dan tak sampai tak terhingga rasa bahagia ini; aku selalu diingatkan, bahwa dunia bukanlah pelabuhan abadi yang akan selalu harmonis.Lalu apa?Mereka hanya perlu menari dan melukis segala macam bentuk kenang untuk dituang pada kepala. Karena katanya, yang sesungguhnya, kita tak pernah dihadapkan dengan perpisahan. Semua kisah-kisah itu tetap abadi di dalam benak. Orang-orang mungkin berpikir pergi dan datang bukanlah suatu fase yang sulit. Tapi mereka lupa, bahwa kehidupan yang baru selalu mempunyai syarat. Yaitu, hilangnya segala kenangan indah itu.Aku tak perduli bagaimana tanggapan orang-orang setelah ini. Sebuah afirmasi konklusi yang telah mendapat validasi, aku hanya harus duduk sid