Getaran hp di dalam saku mengalihkan perhatian Ethan yang tampak serius membaca tulisan yang ada di dalam buku tebal dengan cover berwarna biru muda. Ethan mengambil hp itu dan melihat siapa yang meneleponnya. Ternyata Panji yang meneleponnya. Seulas senyum tersungging di bibirnya yang merah. Pesannya pasti sudah dibaca Panji. Ethan segera menjawab panggilan dari Panji.
“Halo.”
“Ethan are you sure you want to come here?”
“Yeah, while I’m in Jakarta I want to drop by to see you and your family.”
“Oh God Man.” Terdengar Panji tidak mempercayai kalau Ethan akan menemuinya.
“I’m on my way to your parents café.” Kata Ethan yang membuat Panji semakin tidak percaya.
“Oh wait are you serious…bagaimana dengan ayahmu, pasti ayahmu mengirim pengawal untuk mengawalmu.”
“Yah dia selalu seperti itu setiap aku keluar rumah, tapi tenanglah aku bisa mengatasinya.”
“Seperti waktu kuliah dulu kamu selalu bilang seperti itu kalau mau kabur.” Panji tertawa.
“Yeah you’re right.” Ethan ikut tertawa, lalu ia menambahkan, “Oh ya aku juga mau memberikan bukuku padamu.”
“Buku?” Tanya Panji bingung.
“Dulu aku janji akan memberikan buku hasil karyaku.”
“Oh My God kamu melakukannya…maksudku kamu sudah menulis buku?” Tanya Panji tidak percaya mengingat temannya itu sibuk karena menduduki jabatan sebagai Direktur dan pastinya tidak ada waktu untuk menulis sebuah buku Filosofi.
“Sudah dan sudah jadi, sekarang bukunya ada di tanganku.” Ethan tersenyum bangga, ia tahu temannya pasti akan terkejut.
“Wow, you make it! Awesome! Aku sudah tidak sabar untuk membacanya.”
Panji tidak bisa menutupi kekagumannya. Ethan memang pintar tidak diragukan lagi dan Panji percaya kalau Ethan bisa menulis buku sementara ia menjalankan bisnis ayahnya.
“Nanti aku telepon lagi kalau sudah tiba di cafe.”
“Ok, aku akan memberitahu kedua orang tuaku kalau kamu akan datang, mereka pasti akan sangat senang.”
“Ok, tapi jangan merepotkan kedua orang tuamu.”
“Tenang saja.” Kata Panji, ia tahu maksud Ethan, Ethan tidak mau penyambutan meriah karena ia tidak mau terekspos oleh siapapun.
“See you later.” Kata Panji kemudian.
“See you.”
Ethan menutup teleponnya dan tersenyum bahagia. Sungguh menyenangkan akan bertemu lagi dengan teman dekatnya waktu kuliah. Sudah lama ia tidak bertemu dengan temannya itu, hanya melalui hp untuk berkomunikasi. Panji Mahardika, teman dekatnya waktu kuliah di Queensland University of Technology, mereka bertemu karena mengambil jurusan yang sama di bidang bisnis dan manajemen. Panji juga tahu ia mengambil jurusan lain yaitu jurusan Filsafat. Panji selalu mendukungnya untuk menulis buku Filosofi karena temannya tahu ia sangat suka menulis buku Filosofi. Selain itu Panji suka menemaninya kabur dari para pengawal ayahnya, dan berkat Panji juga ia bisa berbahasa Indonesia dengan fasih.
Sungguh hidupnya tidak bebas, waktu kuliah ia selalu diawasi oleh ayahnya. Beruntung ia bertemu dengan Panji orang Indonesia yang sangat baik dan pengertian. Beginilah kalau menjadi penerus satu satunya dari pemilik beberapa perusahaan terbesar di Australia. Ethan tahu kelak ia akan menggantikan posisi ayahnya, dan untuk membuktikan kalau ia pantas menjadi penerus Komisaris Besar yang sekarang dijabat oleh ayahnya, ia ditunjuk menjadi Direktur sebuah perusahaan surat kabar Greetline News, setelah 2 setengah tahun ia menjalankan tugasnya dengan sangat baik sebagai General Manager di perusahaan itu.
Selama satu tahun menjalankan perusahaan surat kabar Greetline News ia berhasil membuat saham perusahaan itu meningkat dan membuat ayahnya bangga padanya, dan selama tiga tahun perusahaan surat kabar itu semakin meningkat sehingga ayahnya dan seluruh Dewan Komisaris tercengang. Namun ayahnya belum puas sehingga ia ditunjuk lagi menjadi Direktur sebuah resort, kini ia menduduki dua jabatan. Sebenarnya tidak masalah baginya selama ia masih meneruskan hobinya menulis buku Filosofi.
Ayahnya sangat sayang padanya sehingga terlalu berlebihan untuk melindunginya dari dunia luar, namun ayahnya lupa kalau ia sudah dewasa dan bisa jaga diri. Ethan menghela napas mengingat perubahan sikap ayahnya yang menjadi protektif kepadanya, namun dengan cepat ia menggeleng seolah tidak ingin mengingat kejadian penyebab kematian ibunya yang menyebabkan ayahnya menjadi seperti itu. Ethan menarik napasnya menenangkan diri. Suatu hari ayahnya pasti akan percaya padanya kalau ia bisa jaga diri. Ethan menutup buku dan memakai kaca mata hitamnya yang ditaruh di samping kursi mobil.
Nadya memarkirkan motornya di depan cafe, ia membuka helmnya sambil menarik napas bersiap diri. “Nadya” Suara yang sangat dikenalnya dan yang dulu membuat hatinya sakit seketika mendatangkan kemarahannya yang tiba tiba muncul. Kenapa begitu cepat bertemu orang itu. Pikir Nadya sebal. Nadya menaruh helmnya di stang motor lalu berpaling ke arah suara itu. Dimas Erlambang berdiri dengan santai dan wajah tampannya tampak terkejut. “Kamu ikut reunian juga?” Nadya memincingkan mata di balik kacamatanya. “Aku rasa kamu tahu aku akan ikut.” “Sungguh aku tidak tahu, Mita tidak bilang padaku kalau kamu mau datang ke reunian.” “Jangan pura pura deh.” Kata Nadya marah. Baiklah Nadya tahu emosinya muncul lagi tapi ia tidak perduli. Melihat Dimas kejadian pahit setahun lalu terlintas di benaknya sehingga emosinya tidak bisa direndam, namun kali ini ia tidak akan membiarkan Dimas mempermalukannya lagi di tempat umum, untung saja di tempat par
Nadya berjalan cepat ke arah Mita ketika melihat Mita bersama teman teman yang lain sedang duduk dan bersenda gurau mengelilingi meja panjang yang sudah tersedia makanan dan minuman dari cafe orang tua Mita. Emosi masih berkelabat di matanya yang semakin coklat. Mita mendongak melihat Nadya ketika sudah mendekat. “Nad! duduk sini.” Seru Mita sambil menunjuk kursi kosong di sampingnya. Tiba tiba ia mengerutkan keningnya ketika melihat sorot kedua mata Nadya yang memancar kemarahan. “Ada apa?” Tanya Mita penasaran ketika Nadya sudah duduk di sampingnya. “Aku bertemu Dimas di tempat parkir.” Jawab Nadya. “Apa!” Mita berseru tidak percaya. “Tadi memang aku lihat Dimas keluar cafe, tidak sangka kamu malah bertemu Dimas.” Kata Riana Wulandari teman Nadya yang memilih menjadi novelis sama seperti Nadya. Riana merasa kasihan melihat temannya pasti tidak mudah bertemu dengan mantan yang pernah hinggap dihati temannya itu. “Apa yang dikatakan Di
“Ethan!” Seru Panji seraya berjalan cepat menghampiri kursi cafe yang sedang diduduki Ethan. Ethan berdiri. “Panji, long time no see.” Ia segera memeluk Panji ketika Panji mengulurkan tangannya untuk memeluknya. “Man is it you?” Tanya Panji lagi setelah melepas pelukannya, ia tidak mempercayai pandangannya kalau temannya yang kaya raya dan banyak pengawalnya ada di sini, pasti tidak mudah bagi temannya bisa ke sini dan terbebas dari pengawasan para pengawal ayahnya. “Yeah it’s me.” Jawab Ethan, seulas senyum tersungging di bibirnya melihat Panji tidak percaya kalau ia sekarang ada di hadapannya. “Tidak ada yang mengawalmu?” Tanya Panji lagi masih tidak percaya kalau temannya yang super perfect ini tidak dikawal. “Aku menyuruh mereka diam di mobil.” Kata Ethan seraya mengedikkan bahunya, ia menyengir melihat ekspresi Panji ketika mengetahui ia berhasil menaklukkan para pengawal itu pada akhirnya. “Man…akhirnya kamu berhasil juga.” Kata
Nadya menatap dirinya di cermin toilet, wajahnya basah karena dibasuh beberapa kali untuk menghilangkan amarah yang masih menguasainya. Kamu sudah siap Nad, bertemu lagi dengan Dimas, setidaknya Dimas mendapatkan pembalasannya meski berupa injakan kaki, tarik napas dan tenangkan diri. Nadya mengingatkan dirinya sendiri. Ia menarik napas berulang kali sehingga dirinya tenang. Setelah merasakan ketenangan pada dirinya, kekuatan untuk menghadapi Dimas muncul kembali. Nadya menarik napasnya lagi dan mengangguk kepada dirinya sendiri di cermin kalau dirinya sudah siap. Ia mengambil tissue di atas wastafel dan menghapus air dari wajahnya. Sekali lagi ia melihat cermin untuk memastikan kalau wajahnya sudah tidak basah. Ia membuang tissue itu ke dalam tempat sampah dan mengambil kacamata yang ia taruh di atas wastafel, ia keluar tanpa memakai kacamatanya. Di tengah jalan menuju meja cafe di mana teman temannya berkumpul Nadya melihat Dimas tertawa dan kelihatan bahagia. Tiba
Ethan tidak tahu kalau ada orang yang membaca bukunya. Ia baru ingat bukunya ketika membicarakan soal buku dengan Panji sehingga ia kembali keluar dari ruangan yang ditata meriah itu untuk mengambil bukunya yang ia taruh di atas meja cafe. Perempuan yang ia lihat di tempat parkir dengan mantan pacarnya itu sedang membuka lembar demi lembar bukunya dan tampak tertarik untuk membacanya. Ethan sengaja hanya duduk dan memperhatikan. Perempuan itu cantik kalau tanpa kacamatanya, beberapa helai rambutnya lepas dari ikatannya dan membingkai wajahnya yang putih kemerahan sehingga membuatnya tambah cantik. Keinginan untuk merapihkan helai helai rambut ke belakang telinga perempuan itu membuat Ethan terkejut. Belum pernah ada seorang perempuan yang menggugah keinginannya dengan cepat. Apakah karena terlalu lama ia tidak pernah memperhatikan perempuan sehingga ia seperti ini. Ethan tidak tahu. Tapi memang tidak ada seorang perempuan pun yang menarik perhatiannya termasuk Adel selain pe
Dimas berdiri di samping meja cafe, ia tampak terkejut melihat Nadya berpegangan tangan dengan seorang bule, dan bule itu lebih tampan darinya. Kepercayaan dirinya sebagai laki laki tampan tiba tiba merosot, tapi ia tidak akan membiarkannya. Dimas segera menegakkan tubuhnya dan melipat kedua tangannya di depan dada dengan angkuh, kedua matanya terpancar rasa sombong, ia tidak mau bule asing itu membuat dirinya tidak percaya diri. Dimas menatap Nadya dengan pandangan mengejek meskipun Nadya sekarang menunduk dan tidak melihat ke arahnya. “Aku tidak menyangka ternyata kamu perempuan seperti itu,” kata Dimas menggelengkan kepalanya pura pura tidak percaya. “Kamu sebenarnya cantik, coba deh kamu dandan sedikit aku pasti tidak akan memutuskanmu,” lanjut Dimas acuh tak acuh. Dimas tidak melihat perubahan sorot kedua mata Nadya yang berubah marah karena Nadya menunduk. Nadya segera menurunkan pandangannya dari Ethan ke ar
Ethan mengajak Nadya ke ruangan yang disediakan orang tua Panji untuk menyambutnya. Ruangan itu di tata sangat meriah seakan ada yang berulang tahun. Balon dan pita dipajang di mana - mana. Kata penyambutan dengan warna warni ditempel di dinding dengan kata “Welcome Our Beloved Ethan.” Meja yang penuh dengan berbagai jenis makanan, tidak terkecuali makanan dan minuman kesukaan Ethan dihidangkan oleh kedua orang tua Panji yang jago dalam membuat masakan. Tentu orang tua Panji tidak sendirian menata ruangan ini sehingga ruangan ini tertata dengan cepat. Setelah berada di dalam ruangan Ethan belum melepaskan genggamannya. Nadya mengerutkan keningnya terlihat bingung. Bagaimana ia harus bicara dengan Ethan untuk melepaskan tangannya sedangkan ia tidak bisa berbahasa Inggris. Seakan mendapatkan ide, Nadya sengaja menarik tangannya sehingga me
“Nadya?”“Halo Kak Panji.”Sebelum Panji bicara lagi tiba tiba pintu terbuka dan Mita menghambur masuk.“Nad, aku dengar dari………” Ucapan Mita terhenti ketika melihat sosok yang dikenalnya dan sangat dirindukannya.“Ethaaan!” Jerit Mita seraya berlari ke arah Ethan dan memeluk Ethan dengan erat.“Halo Mita.” Ethan membalas pelukan Mita.“Oh my God is that real you?” Tanya Mita setelah melepaskan pelukannya, ia masih belum mempercayai apa yang ia lihat.“Sure it’s me,” jawab Ethan sambil te
Mita berpacu dengan kecepatan tinggi, ia melewati gerbang tinggi lalu belok dengan mulus ke arah jalan tanpa menghentikan kecepatannya. Nadya berpaling ke belakang. Gerbang tinggi rumah Ethan menutup secara otomatis. Dalam hati ia tahu ia mengingkari janjinya untuk kembali sebelum pelayan rumah Ethan datang ke kamarnya. Nadya berpaling ke arah Mita. Mita belum mengatakan sepatah katapun, ia tidak sabar ingin tahu apa yang terjadi."Apakah Ethan tahu?" tanya Nadya mengabaikan ucapan Mita tadi."Tidak," jawab Mita singkat, pandangannya tetap lurus ke depan. Dari kejauhan Mita melihat mobil yang dikendarai Kakaknya, ia segera mengurangi kecepatannya."Tapi Ethan tahu kemana Kakakku pergi."Nadya tampak terkejut, ia penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Namun sebelum ia bertanya, Mita lebih dulu bertanya padanya."Apa yang kamu lakukan di luar pagi pagi, Nad?" Nadya tidak langsung menjawab, ia tahu Mita pasti menanyakan soal itu, namun ia akan terus terang. Nadya berpaling ke arah jalan
Nadya terbangun jam 5 pagi, tenggorokkannya terasa kering. Ia terbatuk seraya membuka bedcover dan melangkah ke arah sofa. Ia duduk di atas sofa lalu menuangkan air mineral ke dalam gelas berkaki, bekas tadi malam ia minum bersama Ethan. Air mineral itu sangat segar melewati tenggorokkannya. Nadya meneguk air itu hingga habis, kedua matanya melirik ke arah kaca lebar yang menuju balkon. Kaca itu tidak ditutup gorden karena terbuat dari kaca riben hingga suasana malam tampak terlihat jelas dari dalam. Ethan yang memberitahu bahwa semua kaca di sini tidak memakai gorden ketika Nadya akan menutup jendela. Jam segini di Brisbane masih gelap, sama seperti di Indonesia. Waktu di Brisbane sama seperti waktu di Indonesia. Nadya tahu karena melihat jam ketika di pesawat, dan jam di samping tempat tidurnya. Nadya menaruh gelas itu kembali di atas meja, ia melihat gelas Ethan di sana. Di atas meja itu masih ada gelas Ethan dan gelasnya, juga teko bening berisi air yang sengaja ditaruh untuk keb
Nadya sudah tahu arti kata itu, jadi ia menuntut jawaban dari Ethan, tapi mungkin saja Ethan tidak tahu kalau ia sudah bisa berbahasa Inggris. Ethan menatap Nadya, seperti ketika di bandara, Ethan ingin bertanya apakah Nadya sudah bisa bahasa Inggris."Kamu mengerti ucapanku?" "Iya." Ethan terdiam seraya menatap Nadya lagi. Setahunya, kata itu belum ia berikan pada Nadya. Apa mungkin Nadya belajar sendiri. Seperti tadi di bandara, ia sengaja berbicara bahasa Inggris dengan Panji, dan Nadya seolah mengerti apa yang ia dan Panji ucapkan."Apakah ayahmu ada di sini?" tanya Nadya tiba tiba, kedua matanya terbuka lebar. Rasa gugup mulai menghampirinya, ia menengok ke kanan dan ke kiri, bahkan ke seluruh ruangan itu untuk mencari keberadaan ayah Ethan."Aku harus bersiap diri menyambut kedatangan Mr. Darren Sullivan," kata Mr. Darren menyebut namanya sendiri. Ia berdiri dan pura pura merapikan diri.Ethan mengerling ke arah ayahnya, ia menggeleng melihat ayahnya yang masih memainkan drama
Nadya melangkah dengan cepat ke arah ruangan yang tampaknya merupakan ruang bersantai dengan TV flat screen besar dan lebar yang menyala."Misteeeeer, kenapa kamu di sini?" tanya Nadya dengan nada tinggi mengalahkan suara televisi.Mr. Darren berpaling dan melihat Nadya yang tampak terkejut melihat dirinya. Nadya sangat cantik, ia mengagumi gaya berpakaian calon menantunya yang elegan."Oh Nadya, I....""Tunggu." Nadya mengangkat tangannya untuk menghentikan Mr. Darren melanjutkan ucapannya. Ia menengok ke telinga kanan dan kiri Mr. Darren."Kamu tidak memakai alat penerjemah yah?" "Well, I.....""Don't worry I can speak english little bit," ucap Nadya menyengir.Mr. Darren menganga tidak percaya mendengar Nadya bisa berbahasa Inggris, pengucapannya juga seolah Nadya sudah terbiasa berbicara bahasa Inggris."Don't gape so wide, mister, it's like you're seeing a ghost," kata Nadya, ia terkekeh."Yeah, I'm seeing a ghost," ucap Mr. Darren, seulas senyum tersungging di bibirnya. Ia sena
Nadya tidak sabar untuk segera menuju ke ruang makan. Meskipun ia tidak tahu Ethan dan ayahnya sudah datang atau belum, tapi ia berharap Ethan dan ayahnya sudah datang. Ia sudah menyiapkan pakaian yang akan ia kenakan untuk bertemu dengan ayah Ethan. Celana panjang lebar warna putih berbahan chiffon dipadukan dengan blouse warna putih polos berlengan panjang, leher blouse itu membentuk V dengan beberapa lipatan rapih yang senada, blus itu juga berbahan chiffon. Nadya terlihat elegan memakai baju itu. Kali ini rambut Nadya diikat. Ia memakai softlens warna coklatnya, dan mendandani wajahnya dengan eye liner dan pelentik bulu mata. Bibirnya hanya menggunakan lip gloss yang mempertajam warna bibirnya yang pink dan membuat bibirnya basah. Ia sudah mahir bermake up namun tidak semahir Mita. Nadya melihat sekali lagi penampilannya di depan cermin. Ia mengangguk puas dengan hasil make overnya. Ia melihat alat penerjemah yang ia taruh di atas meja rias. Ia seakan menimbang untuk memakai alat
Ethan tiba di gedung Greetline news dengan waktu setengah jam dari bandara. Ia menyuruh pengawalnya untuk mengebut, tapi tetap saja pengawalnya kurang ngebut menurut Ethan. Ia memperkirakan tiba di sini seperempat jam, jika ia yang menyetir. Ia sudah menduga ayahnya pasti melarangnya membawa mobil sport sendiri pada saat situasi seperti ini. Padahal ia sengaja menyuruh pengawalnya membawa mobil sportnya agar ia cepat sampai ke kantor Greetline news. Ia tidak sabar untuk menginterogasi penjahat yang memanfaatkan pemberitaannya untuk meraup keuntungan, dan mengganggu ketenangan hidup orang lain. Tentu saja berkat ayahnya yang gerak cepat mencari laki laki itu setelah pemberitaan itu muncul. Laki laki itu pasti lupa siapa yang ia hadapi. Ia bersyukur ayahnya menangkap laki laki itu sehingga ia tidak perlu mencarinya. Laki laki itu juga yang menyebarkan kedatangannya ke Australia hari ini, sehingga bandara dan gedung Greetline news penuh wartawan dan orang orang yang penasaran. Dasar pen
Seperti yang dikatakan Ethan, para pengawal Ethan sudah berdiri berjaga di lapangan bandara. Ethan turun terlebih dahulu dan mengarahkan keluarga Nadya ke dalam mobil yang pintunya sudah dibukakan oleh salah satu pengawal Ethan. Lalu Ethan berbicara kepada Panji dalam bahasa Inggris untuk menghubunginya kalau sudah sampai rumah. Panji mengangguk dan mengatakan pada Ethan agar berhati hati dalam bahasa Inggris juga. Ethan dan Panji sengaja memakai bahasa Inggris agar Nadya tidak mengerti dan tidak membuat Nadya khawatir. Tapi Ethan dan Panji salah, Nadya sudah mengerti apa yang mereka ucapkan, sehingga ia berpaling ke arah Ethan, tampak kedua matanya bertanya tanya. Ethan menatap Nadya seakan ia tahu jika Nadya mengerti apa yang diucapkannya bersama Panji, namun ia tidak mau mencaritahunya di sini, nanti saja kalau ia sudah di rumah. Ethan tidak menjawab pertanyaan yang terpancar dari kedua mata Nadya, ia membuka pintu mobil untuk Nadya dan mencium pipi Nadya seraya mengucapkan I love
Ethan duduk di atas sofa di ruangan berkumpul, ia menyentuh layar iPadnya untuk membaca komen komen di bawah artikel itu. Ia bersyukur Nadya dan keluarganya sudah pergi tidur. Ia tidak mau membuat Nadya dan keluarganya khawatir dengan pemberitaan itu. Ia yakin wajahnya sekarang tampak tidak bersahabat.Tiba tiba ia mengernyit dan mendesah kesal. Ia segera keluar dari ruang berita yang memuat pemberitaan tentang dirinya dan Nadya. Bersamaan dengan itu Panji menghampiri sambil membawa dua cangkir kopi buatannya. Bukan tidak percaya dengan rasa kopi buatan pramugari Ethan tapi ia lebih senang jika soal kopi, ia yang membuatnya. Lagi pula ia tidak mau memberitahu pramugari kopi seperti apa yang ia inginkan, itu akan merepotkan mereka. Jadi lebih baik ia yang turun tangan sendiri. Ia juga yakin Ethan menyukai kopi buatannya. Untuk itulah ia membuat dua cangkir kopi. Melihat wajah Ethan tampak kesal, Panji bertanya sambil menyerahkan cangkir kopi untuk Ethan.“Ada apa, man?”“Thanks,” ucap
Nadya terpana melihat pesawat jet pribadi keluarga Sullivan, begitu juga dengan Mita, tak terkecuali keluarga Nadya. Mereka menganga dengan interior pesawat pribadi itu bergaya modern yang di cat perpaduan warna putih dan emas. Ruangannya luas dan tidak terlihat seperti di dalam pesawat, malah pesawat ini seperti layaknya hotel berbintang lima.Ruangan luas itu juga terbagi beberapa ruangan yang dipisahkan oleh dinding dinding berlapis emas. Pesawat ini terbagi dua lantai, lantai atas untuk ruang kokpit, tampak terlihat dua orang pilot sedang menaiki tangga mewah setelah mereka menyambut Ethan dan keluarga Nadya beserta Panji dan Mita. Kedua pilot itu ditemani tiga orang pramugari dan tiga orang pramugara, dan mereka tentu bukan orang Indonesia. Delapan jam perjalanan ke Australia bukanlah waktu yang sebentar, namun jika pesawatnya seperti ini tidak akan mungkin bosan bahkan tidak akan terasa berada di dalam pesawat yang sedang terbang tinggi di atas lautan biru. Nadya tersenyum di d