Nadya berjalan cepat ke arah Mita ketika melihat Mita bersama teman teman yang lain sedang duduk dan bersenda gurau mengelilingi meja panjang yang sudah tersedia makanan dan minuman dari cafe orang tua Mita. Emosi masih berkelabat di matanya yang semakin coklat. Mita mendongak melihat Nadya ketika sudah mendekat.
“Nad! duduk sini.” Seru Mita sambil menunjuk kursi kosong di sampingnya. Tiba tiba ia mengerutkan keningnya ketika melihat sorot kedua mata Nadya yang memancar kemarahan.
“Ada apa?” Tanya Mita penasaran ketika Nadya sudah duduk di sampingnya.
“Aku bertemu Dimas di tempat parkir.” Jawab Nadya.
“Apa!” Mita berseru tidak percaya.
“Tadi memang aku lihat Dimas keluar cafe, tidak sangka kamu malah bertemu Dimas.” Kata Riana Wulandari teman Nadya yang memilih menjadi novelis sama seperti Nadya. Riana merasa kasihan melihat temannya pasti tidak mudah bertemu dengan mantan yang pernah hinggap dihati temannya itu.
“Apa yang dikatakan Dimas?” Tanya Mita ingin tahu.
“Dimas masih menghinaku.” Jawab Nadya, kedua matanya menyorot tajam mengingat ucapan Dimas tadi di tempat parkir.
“Jahat sekali Dimas, mentang mentang punya wajah tampan.” Celetuk Riana, ia tidak menyangka Dimas sejahat itu padahal Nadya dan Dimas berteman.
“Kalau laki laki yang sombong seperti itu, merasa dirinya lebih baik.” Kata Mita.
Riana mengangguk menyetujui ucapan Mita, ia memegang tangan Nadya yang dingin karena menahan amarah. Riana dan Mita tahu Dimas orangnya agak sombong apalagi sekarang Dimas terkenal dengan sebutan komikus cerdik
Nadya mau angkat bicara lagi namun tiba tiba Dimas datang menghampiri dengan kaki terpincang pincang sehingga menghentikan Nadya. Semua mata yang hadir di acara reunian itu tercengang melihat Dimas terpincang pincang padahal tadi mereka melihat Dimas masih baik baik saja.
“Dimas kamu kenapa?” Tanya Bagas Aliando, teman Nadya yang juga memilih menjadi novelis.
“Aku terpeleset.” Jawab Dimas berbohong.
“Terpeleset apa tersandung?” Tanya Rayan Lakshan bercanda, teman Nadya yang masih menjadi penulis komik.
“Apa terinjak.” Tambah Kaira Dafhina sambil tertawa.
“Terinjak semut.” Sahut Dimas ikut tertawa, ia sengaja berkata seperti itu hanya untuk mengejek Nadya.
“Kaki memang tidak punya mata.” Kata April Falguni, seringai menghiasi bibirnya.
“Kalau punya mata seyem dong.” Timpal Damian Lemuel menyengir.
“Uuuuu spookyyyyy.” Dan Kevin Kalingga seraya menggerakkan kedua tangannya keatas untuk menakut nakuti.
Begitu juga dengan Kaira, April, Damian dan Kevin masih menjadi penulis komik.
Semua tertawa mendengar ocehan mereka sendiri terkecuali Nadya. Nadya tidak percaya Dimas berbohong, namun ia tahu kenapa Dimas berbohong karena keegoisannya sebagai laki laki tidak mau reputasinya turun. Tentu saja dihajar oleh seorang perempuan akan menurunkan reputasi Dimas sebagai seorang laki laki cerdik. Pikir Nadya kesal. Nadya tidak tahan ia kesal dengan Dimas seolah semua lelucon baginya termasuk injakannya yang keras. Nadya tiba tiba berdiri dari kursi sehingga semua temannya langsung terdiam dan memandang ke arahnya.
“Aku ke toilet dulu.” Kata Nadya seraya keluar dari kursi sebelum teman temannya menanyakan sikapnya yang tiba tiba. Nadya juga tidak melirik ke arah Mita dan Riana karena kedua temannya itu pasti sudah tahu kenapa ia seperti itu. Nadya melengos pergi secepatnya sebelum emosinya keluar lagi dan marah marah kepada Dimas di depan teman temannya tentu itu sangat memalukan.
Sebenarnya tidak ada yang tahu hubungan Nadya dan Dimas kecuali Mita, Riana dan Bagas. Hanya mereka yang tahu karena hampir setiap hari mereka berdiskusi soal novel yang masing masing mereka garap melalui hp atau ketika mereka janjian untuk bertemu. Itu pun mereka tahu setelah mereka menjadi novelis. Mereka tidak percaya kalau ternyata ia dan Dimas pacaran tanpa ketahuan oleh mereka ketika mereka masih menjadi penulis komik, dan pada saat tadi mereka membicarakan Dimas, mereka duduk berdekatan, Nadya duduk di antara Mita dan Riana.
Nadya berjalan terburu buru hampir saja berlari, ia harus secepatnya ke toilet dan membasuh wajahnya agar tenang.
“Ethan!” Seru Panji seraya berjalan cepat menghampiri kursi cafe yang sedang diduduki Ethan. Ethan berdiri. “Panji, long time no see.” Ia segera memeluk Panji ketika Panji mengulurkan tangannya untuk memeluknya. “Man is it you?” Tanya Panji lagi setelah melepas pelukannya, ia tidak mempercayai pandangannya kalau temannya yang kaya raya dan banyak pengawalnya ada di sini, pasti tidak mudah bagi temannya bisa ke sini dan terbebas dari pengawasan para pengawal ayahnya. “Yeah it’s me.” Jawab Ethan, seulas senyum tersungging di bibirnya melihat Panji tidak percaya kalau ia sekarang ada di hadapannya. “Tidak ada yang mengawalmu?” Tanya Panji lagi masih tidak percaya kalau temannya yang super perfect ini tidak dikawal. “Aku menyuruh mereka diam di mobil.” Kata Ethan seraya mengedikkan bahunya, ia menyengir melihat ekspresi Panji ketika mengetahui ia berhasil menaklukkan para pengawal itu pada akhirnya. “Man…akhirnya kamu berhasil juga.” Kata
Nadya menatap dirinya di cermin toilet, wajahnya basah karena dibasuh beberapa kali untuk menghilangkan amarah yang masih menguasainya. Kamu sudah siap Nad, bertemu lagi dengan Dimas, setidaknya Dimas mendapatkan pembalasannya meski berupa injakan kaki, tarik napas dan tenangkan diri. Nadya mengingatkan dirinya sendiri. Ia menarik napas berulang kali sehingga dirinya tenang. Setelah merasakan ketenangan pada dirinya, kekuatan untuk menghadapi Dimas muncul kembali. Nadya menarik napasnya lagi dan mengangguk kepada dirinya sendiri di cermin kalau dirinya sudah siap. Ia mengambil tissue di atas wastafel dan menghapus air dari wajahnya. Sekali lagi ia melihat cermin untuk memastikan kalau wajahnya sudah tidak basah. Ia membuang tissue itu ke dalam tempat sampah dan mengambil kacamata yang ia taruh di atas wastafel, ia keluar tanpa memakai kacamatanya. Di tengah jalan menuju meja cafe di mana teman temannya berkumpul Nadya melihat Dimas tertawa dan kelihatan bahagia. Tiba
Ethan tidak tahu kalau ada orang yang membaca bukunya. Ia baru ingat bukunya ketika membicarakan soal buku dengan Panji sehingga ia kembali keluar dari ruangan yang ditata meriah itu untuk mengambil bukunya yang ia taruh di atas meja cafe. Perempuan yang ia lihat di tempat parkir dengan mantan pacarnya itu sedang membuka lembar demi lembar bukunya dan tampak tertarik untuk membacanya. Ethan sengaja hanya duduk dan memperhatikan. Perempuan itu cantik kalau tanpa kacamatanya, beberapa helai rambutnya lepas dari ikatannya dan membingkai wajahnya yang putih kemerahan sehingga membuatnya tambah cantik. Keinginan untuk merapihkan helai helai rambut ke belakang telinga perempuan itu membuat Ethan terkejut. Belum pernah ada seorang perempuan yang menggugah keinginannya dengan cepat. Apakah karena terlalu lama ia tidak pernah memperhatikan perempuan sehingga ia seperti ini. Ethan tidak tahu. Tapi memang tidak ada seorang perempuan pun yang menarik perhatiannya termasuk Adel selain pe
Dimas berdiri di samping meja cafe, ia tampak terkejut melihat Nadya berpegangan tangan dengan seorang bule, dan bule itu lebih tampan darinya. Kepercayaan dirinya sebagai laki laki tampan tiba tiba merosot, tapi ia tidak akan membiarkannya. Dimas segera menegakkan tubuhnya dan melipat kedua tangannya di depan dada dengan angkuh, kedua matanya terpancar rasa sombong, ia tidak mau bule asing itu membuat dirinya tidak percaya diri. Dimas menatap Nadya dengan pandangan mengejek meskipun Nadya sekarang menunduk dan tidak melihat ke arahnya. “Aku tidak menyangka ternyata kamu perempuan seperti itu,” kata Dimas menggelengkan kepalanya pura pura tidak percaya. “Kamu sebenarnya cantik, coba deh kamu dandan sedikit aku pasti tidak akan memutuskanmu,” lanjut Dimas acuh tak acuh. Dimas tidak melihat perubahan sorot kedua mata Nadya yang berubah marah karena Nadya menunduk. Nadya segera menurunkan pandangannya dari Ethan ke ar
Ethan mengajak Nadya ke ruangan yang disediakan orang tua Panji untuk menyambutnya. Ruangan itu di tata sangat meriah seakan ada yang berulang tahun. Balon dan pita dipajang di mana - mana. Kata penyambutan dengan warna warni ditempel di dinding dengan kata “Welcome Our Beloved Ethan.” Meja yang penuh dengan berbagai jenis makanan, tidak terkecuali makanan dan minuman kesukaan Ethan dihidangkan oleh kedua orang tua Panji yang jago dalam membuat masakan. Tentu orang tua Panji tidak sendirian menata ruangan ini sehingga ruangan ini tertata dengan cepat. Setelah berada di dalam ruangan Ethan belum melepaskan genggamannya. Nadya mengerutkan keningnya terlihat bingung. Bagaimana ia harus bicara dengan Ethan untuk melepaskan tangannya sedangkan ia tidak bisa berbahasa Inggris. Seakan mendapatkan ide, Nadya sengaja menarik tangannya sehingga me
“Nadya?”“Halo Kak Panji.”Sebelum Panji bicara lagi tiba tiba pintu terbuka dan Mita menghambur masuk.“Nad, aku dengar dari………” Ucapan Mita terhenti ketika melihat sosok yang dikenalnya dan sangat dirindukannya.“Ethaaan!” Jerit Mita seraya berlari ke arah Ethan dan memeluk Ethan dengan erat.“Halo Mita.” Ethan membalas pelukan Mita.“Oh my God is that real you?” Tanya Mita setelah melepaskan pelukannya, ia masih belum mempercayai apa yang ia lihat.“Sure it’s me,” jawab Ethan sambil te
Kedua mata Ethan tidak bisa berpaling dari Nadya, ia tidak tahu kenapa seperti itu, namun entah mengapa dirinya selalu ingin melihat Nadya. Mungkinkah ia benar benar penasaran pada Nadya. Terus terang ia tidak dapat memungkiri dirinya sendiri ingin melihat lagi Nadya tanpa kacamata, dan bahkan ia ingin melihat Nadya dengan rambutnya yang terurai. Pikiran gila. Dalam hati Ethan berdecak tidak percaya apa yang ia pikirkan tentang Nadya, perempuan yang baru dikenalnya. Tiba tiba Panji angkat bicara sehingga Ethan memaksakan dirinya berpaling ke arah temannya. “Kalian sedang reunian?” Tanya Panji. “Iya.” “Lalu sedang apa kalian di sini?” Tanya Panji lagi. “Oh ya ampun!” Mita menepuk jidatnya. Karena sangat senangnya melihat Ethan, ia sampai lupa niatnya ke sini. “Tadi aku mau bilang Dimas melihatmu ke sini jadi aku mau memastikannya, aku pikir kamu ke toilet.” lanjut Mita kepada Nadya, kedua matanya bertanya tanya. Nadya tahu pertanyaan yang terpancar dar
Selama beberapa jam Nadya terus melamun sambil menatap keluar jendela. Kedua tangannya ditumpu di atas meja belajar untuk menyangga dagunya. Bahkan laptopnya belum disentuh sejak ia pulang dari reunian. Tidak seperti biasanya ia selalu tidak sabar untuk membuka laptop dan mulai menulis sampai kacamatanya miring dan ikatan rambutnya mengendur sehingga rambutnya banyak yang terlepas. Namun kali ini keinginan itu seolah menghilang bahkan ia membiarkan rambut panjangnya terurai, biasanya ia tidak suka rambutnya diurai karena membuat ia risih dan gerah, dan biasanya ia selalu memakai kacamata tapi kacamata itu kini masih di kamar mandi setelah tadi ia mandi dan menyimpan kacamata itu di sana. Nadya hanya ingin duduk mematung dan melamunkan apa yang tadi ia alami, dan apa yang ia rasakan. Rasa yang tiba tiba muncul setelah pintu ruangan itu tertutup dan Ethan tidak lagi terlihat. Nadya tahu dari Mita kalau Ethan berasal dari Australia. Ethan pasti sekarang sudah kembali ke A
Mita berpacu dengan kecepatan tinggi, ia melewati gerbang tinggi lalu belok dengan mulus ke arah jalan tanpa menghentikan kecepatannya. Nadya berpaling ke belakang. Gerbang tinggi rumah Ethan menutup secara otomatis. Dalam hati ia tahu ia mengingkari janjinya untuk kembali sebelum pelayan rumah Ethan datang ke kamarnya. Nadya berpaling ke arah Mita. Mita belum mengatakan sepatah katapun, ia tidak sabar ingin tahu apa yang terjadi."Apakah Ethan tahu?" tanya Nadya mengabaikan ucapan Mita tadi."Tidak," jawab Mita singkat, pandangannya tetap lurus ke depan. Dari kejauhan Mita melihat mobil yang dikendarai Kakaknya, ia segera mengurangi kecepatannya."Tapi Ethan tahu kemana Kakakku pergi."Nadya tampak terkejut, ia penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Namun sebelum ia bertanya, Mita lebih dulu bertanya padanya."Apa yang kamu lakukan di luar pagi pagi, Nad?" Nadya tidak langsung menjawab, ia tahu Mita pasti menanyakan soal itu, namun ia akan terus terang. Nadya berpaling ke arah jalan
Nadya terbangun jam 5 pagi, tenggorokkannya terasa kering. Ia terbatuk seraya membuka bedcover dan melangkah ke arah sofa. Ia duduk di atas sofa lalu menuangkan air mineral ke dalam gelas berkaki, bekas tadi malam ia minum bersama Ethan. Air mineral itu sangat segar melewati tenggorokkannya. Nadya meneguk air itu hingga habis, kedua matanya melirik ke arah kaca lebar yang menuju balkon. Kaca itu tidak ditutup gorden karena terbuat dari kaca riben hingga suasana malam tampak terlihat jelas dari dalam. Ethan yang memberitahu bahwa semua kaca di sini tidak memakai gorden ketika Nadya akan menutup jendela. Jam segini di Brisbane masih gelap, sama seperti di Indonesia. Waktu di Brisbane sama seperti waktu di Indonesia. Nadya tahu karena melihat jam ketika di pesawat, dan jam di samping tempat tidurnya. Nadya menaruh gelas itu kembali di atas meja, ia melihat gelas Ethan di sana. Di atas meja itu masih ada gelas Ethan dan gelasnya, juga teko bening berisi air yang sengaja ditaruh untuk keb
Nadya sudah tahu arti kata itu, jadi ia menuntut jawaban dari Ethan, tapi mungkin saja Ethan tidak tahu kalau ia sudah bisa berbahasa Inggris. Ethan menatap Nadya, seperti ketika di bandara, Ethan ingin bertanya apakah Nadya sudah bisa bahasa Inggris."Kamu mengerti ucapanku?" "Iya." Ethan terdiam seraya menatap Nadya lagi. Setahunya, kata itu belum ia berikan pada Nadya. Apa mungkin Nadya belajar sendiri. Seperti tadi di bandara, ia sengaja berbicara bahasa Inggris dengan Panji, dan Nadya seolah mengerti apa yang ia dan Panji ucapkan."Apakah ayahmu ada di sini?" tanya Nadya tiba tiba, kedua matanya terbuka lebar. Rasa gugup mulai menghampirinya, ia menengok ke kanan dan ke kiri, bahkan ke seluruh ruangan itu untuk mencari keberadaan ayah Ethan."Aku harus bersiap diri menyambut kedatangan Mr. Darren Sullivan," kata Mr. Darren menyebut namanya sendiri. Ia berdiri dan pura pura merapikan diri.Ethan mengerling ke arah ayahnya, ia menggeleng melihat ayahnya yang masih memainkan drama
Nadya melangkah dengan cepat ke arah ruangan yang tampaknya merupakan ruang bersantai dengan TV flat screen besar dan lebar yang menyala."Misteeeeer, kenapa kamu di sini?" tanya Nadya dengan nada tinggi mengalahkan suara televisi.Mr. Darren berpaling dan melihat Nadya yang tampak terkejut melihat dirinya. Nadya sangat cantik, ia mengagumi gaya berpakaian calon menantunya yang elegan."Oh Nadya, I....""Tunggu." Nadya mengangkat tangannya untuk menghentikan Mr. Darren melanjutkan ucapannya. Ia menengok ke telinga kanan dan kiri Mr. Darren."Kamu tidak memakai alat penerjemah yah?" "Well, I.....""Don't worry I can speak english little bit," ucap Nadya menyengir.Mr. Darren menganga tidak percaya mendengar Nadya bisa berbahasa Inggris, pengucapannya juga seolah Nadya sudah terbiasa berbicara bahasa Inggris."Don't gape so wide, mister, it's like you're seeing a ghost," kata Nadya, ia terkekeh."Yeah, I'm seeing a ghost," ucap Mr. Darren, seulas senyum tersungging di bibirnya. Ia sena
Nadya tidak sabar untuk segera menuju ke ruang makan. Meskipun ia tidak tahu Ethan dan ayahnya sudah datang atau belum, tapi ia berharap Ethan dan ayahnya sudah datang. Ia sudah menyiapkan pakaian yang akan ia kenakan untuk bertemu dengan ayah Ethan. Celana panjang lebar warna putih berbahan chiffon dipadukan dengan blouse warna putih polos berlengan panjang, leher blouse itu membentuk V dengan beberapa lipatan rapih yang senada, blus itu juga berbahan chiffon. Nadya terlihat elegan memakai baju itu. Kali ini rambut Nadya diikat. Ia memakai softlens warna coklatnya, dan mendandani wajahnya dengan eye liner dan pelentik bulu mata. Bibirnya hanya menggunakan lip gloss yang mempertajam warna bibirnya yang pink dan membuat bibirnya basah. Ia sudah mahir bermake up namun tidak semahir Mita. Nadya melihat sekali lagi penampilannya di depan cermin. Ia mengangguk puas dengan hasil make overnya. Ia melihat alat penerjemah yang ia taruh di atas meja rias. Ia seakan menimbang untuk memakai alat
Ethan tiba di gedung Greetline news dengan waktu setengah jam dari bandara. Ia menyuruh pengawalnya untuk mengebut, tapi tetap saja pengawalnya kurang ngebut menurut Ethan. Ia memperkirakan tiba di sini seperempat jam, jika ia yang menyetir. Ia sudah menduga ayahnya pasti melarangnya membawa mobil sport sendiri pada saat situasi seperti ini. Padahal ia sengaja menyuruh pengawalnya membawa mobil sportnya agar ia cepat sampai ke kantor Greetline news. Ia tidak sabar untuk menginterogasi penjahat yang memanfaatkan pemberitaannya untuk meraup keuntungan, dan mengganggu ketenangan hidup orang lain. Tentu saja berkat ayahnya yang gerak cepat mencari laki laki itu setelah pemberitaan itu muncul. Laki laki itu pasti lupa siapa yang ia hadapi. Ia bersyukur ayahnya menangkap laki laki itu sehingga ia tidak perlu mencarinya. Laki laki itu juga yang menyebarkan kedatangannya ke Australia hari ini, sehingga bandara dan gedung Greetline news penuh wartawan dan orang orang yang penasaran. Dasar pen
Seperti yang dikatakan Ethan, para pengawal Ethan sudah berdiri berjaga di lapangan bandara. Ethan turun terlebih dahulu dan mengarahkan keluarga Nadya ke dalam mobil yang pintunya sudah dibukakan oleh salah satu pengawal Ethan. Lalu Ethan berbicara kepada Panji dalam bahasa Inggris untuk menghubunginya kalau sudah sampai rumah. Panji mengangguk dan mengatakan pada Ethan agar berhati hati dalam bahasa Inggris juga. Ethan dan Panji sengaja memakai bahasa Inggris agar Nadya tidak mengerti dan tidak membuat Nadya khawatir. Tapi Ethan dan Panji salah, Nadya sudah mengerti apa yang mereka ucapkan, sehingga ia berpaling ke arah Ethan, tampak kedua matanya bertanya tanya. Ethan menatap Nadya seakan ia tahu jika Nadya mengerti apa yang diucapkannya bersama Panji, namun ia tidak mau mencaritahunya di sini, nanti saja kalau ia sudah di rumah. Ethan tidak menjawab pertanyaan yang terpancar dari kedua mata Nadya, ia membuka pintu mobil untuk Nadya dan mencium pipi Nadya seraya mengucapkan I love
Ethan duduk di atas sofa di ruangan berkumpul, ia menyentuh layar iPadnya untuk membaca komen komen di bawah artikel itu. Ia bersyukur Nadya dan keluarganya sudah pergi tidur. Ia tidak mau membuat Nadya dan keluarganya khawatir dengan pemberitaan itu. Ia yakin wajahnya sekarang tampak tidak bersahabat.Tiba tiba ia mengernyit dan mendesah kesal. Ia segera keluar dari ruang berita yang memuat pemberitaan tentang dirinya dan Nadya. Bersamaan dengan itu Panji menghampiri sambil membawa dua cangkir kopi buatannya. Bukan tidak percaya dengan rasa kopi buatan pramugari Ethan tapi ia lebih senang jika soal kopi, ia yang membuatnya. Lagi pula ia tidak mau memberitahu pramugari kopi seperti apa yang ia inginkan, itu akan merepotkan mereka. Jadi lebih baik ia yang turun tangan sendiri. Ia juga yakin Ethan menyukai kopi buatannya. Untuk itulah ia membuat dua cangkir kopi. Melihat wajah Ethan tampak kesal, Panji bertanya sambil menyerahkan cangkir kopi untuk Ethan.“Ada apa, man?”“Thanks,” ucap
Nadya terpana melihat pesawat jet pribadi keluarga Sullivan, begitu juga dengan Mita, tak terkecuali keluarga Nadya. Mereka menganga dengan interior pesawat pribadi itu bergaya modern yang di cat perpaduan warna putih dan emas. Ruangannya luas dan tidak terlihat seperti di dalam pesawat, malah pesawat ini seperti layaknya hotel berbintang lima.Ruangan luas itu juga terbagi beberapa ruangan yang dipisahkan oleh dinding dinding berlapis emas. Pesawat ini terbagi dua lantai, lantai atas untuk ruang kokpit, tampak terlihat dua orang pilot sedang menaiki tangga mewah setelah mereka menyambut Ethan dan keluarga Nadya beserta Panji dan Mita. Kedua pilot itu ditemani tiga orang pramugari dan tiga orang pramugara, dan mereka tentu bukan orang Indonesia. Delapan jam perjalanan ke Australia bukanlah waktu yang sebentar, namun jika pesawatnya seperti ini tidak akan mungkin bosan bahkan tidak akan terasa berada di dalam pesawat yang sedang terbang tinggi di atas lautan biru. Nadya tersenyum di d