Mata Hanan tak sengaja menatap Manda. Ada raut sendu yang tergambarkan. Mungkin Manda tak menyadari. Namun, Hanan menyadari hal tersebut. Ikatan batin antara Ibu dan anak itu kuat. Tidak perlu berbohong untuk menutupinya. Terkadang orang memilih untuk berpura-pura tidak tahu apa-apa.Manda memang terlihat lebih banyak diam dibandingkan Ayana. Hanya sesekali menyela dan ikut nimbrung. Ia juga terlihat tak secerewet saat sedang berkumpul dengan teman-teman arisannya, tentu saja ada Ayana didalamnya."Mama kenapa?" Akhirnya lolos juga pertanyaan seperti itu dari bibir Hanan.Manda hanya menggelengkan kepala, tersenyum pada Hanan. Seolah-olah mengatakan bahwa ia baik-baik saja. "Mama bohong? Katakan saja, ada apa?" desak Hanan."Sini, biar Mami kasih tau." Ayana menimpali.Hanan menoleh, menatap Ayana yang tersenyum hangat padanya."Sayang, segalak apa pun seorang ibu, tetap akan merasa kehilangan ketika harus berpisah dengan anaknya. Bagaimana juga sikap beliau pada kita sebagai seorang
Hanan sibuk memilih beberapa snack, hingga tanpa sadar troli belanja sudah penuh dengan aneka ragam. Ia tidak memperdulikan Naufal yang terlihat mulai bosan mengikuti langkahnya dari belakang. Ah sesekali memberi pekerjaan tambahan. Sepertinya tidak ada masalah, tidak setiap hari juga. Jarang-jarang makhluk modelan seperti Naufal mau berbaik hati pada Hanan. Namanya pergunakan kesempatan dalam kesempitan dengan baik."Cuman mau beli snack doang buat Papa," sindir Naufal.Hanan menoleh, menatap sinis wajah Naufal. Benar-benar cerewet sekali, entah mengidam apa dulu Mami Ayana. Afa, sang adik ipar, sepertinya tidak sebawel Naufal. Jangan-jangan anak pungut, yang bernasib baik. Eh, tetapi kalau diperhatikan wajah Naufal mirip sama Mami Ayana."Mau beli apa lagi sih?" gerutu Naufal saat melihat Hanan mendekatkan diri ke baris yang berisi body lotion dan sejenisnya."Terasi udang.""Gak salah? Jangan ngigau dong, Nan!""Udah tau salah, ngapain nanya. Kamu 'kan bisa liat, Aku lagi milih apa
Sanga gila sekali, memang perlu diapresiasi dengan tepuk tangan meriah. Seolah-olah sikap Naufal itu adalah sebuah hal wajar dalam membela orang yang ia cintai. Bahkan sampai lupa diri dan tidak menghargai Hanan sama sekali. Melukai hati Hanan tadi, mengapa baru sadar sekarang dan meminta maaf? Selambat itukah otak dan hati Naufal bekerja?"Hanan!"Hanan kembali tersentak dari lamunan, Ia sibuk berperang dengan isi pikirannya. Memilih mengabaikan pesan dari Naufal. Tidak ada gunanya. Terlalu rumit dan melelahkan, dulu ia percaya kehidupan drama rumah tangga yang rumit hanya ada di televisi. Nyatanya ia kini merasakan."Iya, ada apa, Mama?" Hanan menghampiri Manda yang memegang sapu di depan teras rumah."Kamu ngapain ngelamun di depan gerbang? Lah, terus mana Naufal? Bukannya tadi bareng mau ke rumah papimu? Kamu pulang pakai apa?" cerca Manda.Hanan mengendikkan bahu acuh. Bersyukur yang memergoki bukan Ayana. Jadi, Hanan tidak perlu berakting dan mencari alasan menutupi segalanya. S
Hanan tersenyum melihat kegugupan Naufal. Menghela napas, perlu persiapan juga untuk berbicara."Gak usah grogi gitu. Bukannya tadi kamu bilang kita selesaikan di rumah baru? Hm, jangan dipikirkan, nanti bisa-bisa kamu ngompol di celana. Sudahlah, ayo kita berangkat!" ujar Hanan.Hanan tidak lagi menghiraukan Naufal. Meraih tote bag yang menggantung, lalu memasukkan ponsel dan notebook. Bergegas keluar dari kamar untuk menemui Manda dan Ayana. Sudah pasti ditunggu, tak baik berlama-lama di dalam kamar berdua. Nanti bisa-bisa dua wanita satu generasi tersebut berpikir yang tidak-tidak."Mana Naufal?" tanya Ayana."Masih di kamar, Mi. Mungkin masih merapikan penampilan biar terlihat necis.""Halah, kayak mau ke mana aja. Memang siapa yang mau ngelirik dia? Wong beres-beres di dalam rumah, bukan mau tebar pesona. Ngapain diizinkan bergaya? Naufal jangan dibiarkan bergaya seperti masih bujangan. Dia kadang suka narsis, gak tebar pesona aja masih ada yang ngelirik godain." Ayana terus saja
"Seriusan nyuruh aku buat ngertiin kamu?" cibir Hanan.Naufal terdiam, mungkin saja menyadari ucapannya yang salah. Bisa jadi juga ia sedang sibuk merangkai kata untuk terus menyudutkan Hanan. Tidak tahu saja, Naufal selalu pandai bersilat lidah. Bahkan kemampuan bicaranya melebih Hanan, yang seorang perempuan."Selamat malam." Pada akhirnya Hanan menutup pembicaraan untuk malam ini. Ia bergegas masuk ke dalam ruang sholat. Bahkan saat terlihat sedikit kesusahan mengangkat kasur, Naufal sama sekali tidak menawarkan bantuan pada Hanan. Ah, sudahlah, Hanan bukan perempuan manja, Ia sudah terbiasa serba mandiri. Kenapa harus berharap bantuan pada Naufal?Hanan membaringkan tubuhnya, menatap langit-langit kamar. Ada sesal yang semakin mendalam, ketika mengingat semua hal yang sudah terjadi. Ingin rasanya kembali pada masa di mana ia masih bisa tertawa bebas dan tidak ada hak orang lain mengekang hidupnya. Ya, meskipun ia tidak punya rumah untuk pulang dan mengadu. Orang bilang, rumah oran
'Jangan-jangan Naufal cari kesempatan dalam kesempitan. Aku harus bagaimana ini? Percuma juga memberontak, tenaga dia sudah pasti lebih kuat dibandingkan denganku. Memang sialan bener jadi orang! Curi-curi kesempatan, memanfaatkan kelengahanku. Benar-benar menyesal, andai tadi gak keukeuh masuk ke kandang singa. Aku pasti malam ini selamat dan bebas jungkir balik di kamar. Argh! Aku gak akan memaafkan diriku sendiri jika terjadi sesuatu malam ini!' batin Hanan."Jangan kedip-kedip begitu matanya. Apa kamu sedang berusaha menggodaku, Hanan?" tanya Naufal."A-aku sedang menahan sesak di dada, bisa lepaskan aku dari pelukanmu? Tenang saja, kasal buntung, Aku gak akan kabur dari kamarmu ini. Lagian sama kamu udah dikunci, gak mungkin aku lompat dari jendela, kayak maling aja." Hanan berusaha membujuk Naufal. Detak jantungnya sudah tidak aman, jika terus-terusan berdekatan dengan Naufal."Jangan banyak protes, sekarang pejamkan saja matamu. Lihat saja besok pagi, apa yang akan terjadi pada
Naufal senyum-senyum tanpa sebab, mirip orang gila saja. Ingin sekali Hanan menampol wajah Naufal yang sok ganteng itu. Pada awalnya menyetujui untuk pisah rumah dengan Manda secepatnya itu ada maksud tertentu, ingin bebas meluapkan segala rasa kesal ketika tahu Naufal bertingkah. Namun, sepertinya Hanya malah semakin tidak bebas untuk bergerak."Kamu kerja sif sore?" tanya Naufal disela-sela kunyahan."Hm.""Aku tinggal kerja gak papa?" Hanan mendengus sebal, sok perduli sekali jadi orang. Sejak kapan mau berangkat kerja ngomong dulu ke Hanan. Ah, terserah, mau jungkir balik sekalipun. Hanan memilih menganggukkan kepalanya."Aku berangkat dulu, hati-hati di rumah, ya? Jangan lupa kunci semua pintu rumah saat berangkat kerja. Satu lagi, persiapkan diri untuk nanti malam saat aku pulang kerja.""Gak usah lebay!" dengus Hanan."Cuman sama kamu kok." Naufal memberikan ponsel Hanan yang sengaja ia sembunyikan.Sepertinya Naufal memang kurang waras, mungkin saja sedang merindukan sang man
"Gak usah melotot, Aku hanya membicarakan fakta. Aku tau, kamu bisa melewatinya. Jangan menyerah sebelum mencoba. Kamu gak bisa teru menerus menghindari, harus bisa menerima kenyataan. Aku paham, Hanan, semuanya sulit. Sebelumnya aku minta maaf, kalau kesannya memaksa kamu dan menyudutkan. Seolah-olah gak berpihak ke kamu.Percayalah, lihat kamu bahagia itu juga bagian kebahagiaanku. Aku juga sebenarnya kurang suka sama Naufal yang kurang tegas. Tetapi, Kamu yang punya sifat tegas dan keras kepala, Aku yakin bisa bikin Naufal berubah. Kamu perlu menyentil si ulat bulu itu."Hanan terdiam, mendengar nasihat dari Lyra. Biasanya tak pernah sibuk mengurusi rumah tangganya. Kecuali Hanan yang sering kabur-kaburan menghindari masalah. Memang tidak salah yang diucapkan oleh Lyra, tetapi tidak lupa semuanya benar. Hanan merasa seolah-olah semua orang sedang menyudutkan dirinya, agar mau menerima Naufal. Lalu, bagaimana dengan Naufal sendiri?"Kok kamu gitu sih? Sekarang aja, kamu belum menika
Hanan kikuk, terdiam seribu bahasa hingga memakan waktu satu jam. Ia hanya mampu menundukkan kepalanya. Bingung harus menjawab apa, padahal belum ada satu kalimat pun yang dilontarkan Ayana. Hanan benar-benar seperti tersangka, yang akan diintrogasi habis-habisan oleh penegak hukum. Wajahnya juga sudah pias, menahan rasa takut.Hanan dan Ayana hanya saling sikut sejak tadi. Ayana juga sepertinya sedang menguji kejujuran dari Hanan. Tidak ada niat untuk membuka percakapan lebih dulu. Apalagi Hanan, usai memberikan segelas jus jeruk dan menyajikan beberapa cemilan, Ia langsung terdiam dan duduk di samping Ayana. Hanan benar-benar meruntuki kebodohannya, sangat ceroboh. "Minuman nya gak bakalan abis sendiri, kalau cuman diliatin doang, Mi." Hanan takut-takut saat berusaha mengajak Ayana berbicara.Ya, saat mendengar Hanan marah-marah dan memaki Naufal, lalu ternyata yang menelepon adalah Ayana. Tidak perlu menunggu waktu lama, Ayana sudah berada di ambang pintu rumah. Lalu ke mana Naufa
Kejam, jahat, tega? Julukan apalagi yang akan disematkan untuk Hanan tadi malam? Hm, Hanan rasa ia tak peduli, tidak ambil pusing. Baginya itu masih wajar saja, jika dibandingkan dengan kejamnya mulut Naufal. Rela memakai dan memfitnah istri sendiri, tanpa mau bertanya lebih dulu. Seolah-olah Hanan tersangka yang tidak patut didengar suaranya.Ya, tadi malam Hanan memang sengaja dan tidak akan peduli lagi pada Naufal. Ia mengunci pintu kamar, agar Naufal tidak bisa masuk ke dalam. Hanan juga tidak memberikan selimut pada Naufal. Membiarkan suami yang hanya menyandang status saja itu meringkuk kedinginan. Ia juga berusaha menulikan pendengaran saat Naufal tadi malam memangil namanya."Hari bermalas-malasan!" gumam Hanan.Ya, Hanan memang mengambil cuti kerja untuk hari ini. Setelah menikah ia memang sangat gila kerja. Tidak pernah libur, lebih senang menghabiskan waktu di tempat kerja.Hanan sudah bangun sejak satu jam yang lalu. Namun, ia hanya berguling-guling di atas tempat tidur. P
Hanan tidak takut sama sekali dengan ancaman Naufal. Kalau perlu diingatkan lagi, Hanan tidak pernah lagi hidup damai dan tentram sejak perceraian kedua orang tuanya. Nenek lampir itu merusak kebahagiannya, Syahreza yang lebih percaya dan tidak mau mendengar sedikit saja kejujuran sang putri. Lalu Manda yang selalu egois, semua keinginannya harus dipenuhi.Ingat baik-baik dan camkan! Jadi, ancaman seperti itu sangat tidak berlaku untu Hanan. Ia menghentikan langkahnya bukan karena mengurungkan niat untuk pergi. Hanan sangat membenci, ketika memiliki masalah dengan orang lain, lalu disangkut pautkan pada Syahreza. Ia cukup mandiri sejak sini, mampu menyelesaikan masalah seorang diri."Kamu kira aku takut? Ancamanmu sama sekali gak berlaku buat aku, suami sampah!" cibir Hanan."Apakah kamu terlahir sebagai pembangkang?" tanya Naufal.Hanan mengepalkan tangan, padahal sejak tadi berusaha untuk tidak bertingkah brutal dan mengendalikan emosi. Naufal sepertinya memang sedang benar-benar me
"SUDAH KUBILANG, NANTI DULU JIKA MAU BICARA. BIARKAN AKU MANDI SEBENTAR!" teriak Hanan. Hanan sudah bisa membaca suasana, pasti ada yang tidak beres. Akan ada pertengkaran antara dirinya dengan Naufal. Hati Hanan juga teramat sakit, saat mendengar kalimat sindiran yang diucapkan Naufal. Bukan berarti Hanan sedang berusaha mengelak, Ia juga penasaran. Namun, tubuhnya juga lelah, Ia harus membersihkan diri terlebih dahulu.Setelah dibentak oleh Hanan, Naufal langsung terdiam. Duduk menunggu di ruang keluarga, bersantai di atas sofa. Meskipun Hanan tahu, tatapan Naufal tak lepas dari gerak-gerik nya. Berusaha tenang dan mengontrol emosi, Hanan mandi juga terkesan buru-buru. Ia bahkan membiarkan kepalanya masih dibungkus handuk."Ada apa? Aku sudah siap untuk adu jotos denganmu!" ketus Hanan. Ia berdiri tak jauh dari Hanan duduk."Begitu sikapmu pada suami?" sindir Naufal.Hanan menatap sinis pada Naufal. "Berharap dianggap suami?""Jangan buat kesabaranku habis, Hanania Onella!" bentak
"Kerja saja dulu, gajian 'kan nanti sore kalau mau pulang." Hanan berlalu keluar dari ruangan. Jam kerja sudah dimulai. Efek kalimat dari Lyra ternyata memberikan pengaruh besar juga. Hanan terlihat lebih bersemangat sekali. Bahkan jam kerja yang biasanya terasa cepat sekali usai, kini berubah. Terasa begitu lambat, sesekali Hanan melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, disela-sela kesibukan melayani pengunjung."Kenapa gajian bisa bikin kita bahagia?" tanya Lyra."Karena bakalan dapat duit.""Pinter kamu, Hanan." "Gitu doang masa gak tau, terlalu bego namanya."Saat yang ditunggu akhirnya tiba juga. Dengan wajah sumringah Hanan dan Lyra keluar dari ruangan bos besar. Masing-masing menerima amplop hasil jerih payah selama satu bulan. Jam kerja telah usai. Hanan dan Lyra tentu saja berniat menyenangkan diri terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah."Kita makan bakso dulu, yuk!" ajak Lyra."Aku gak lapar, pulangnya aja gimana?" Lyra mengangguk tanda menyetujui
Ah, benar, hanya mimpi belaka. Bunga tidur yang biasa menemani saat sedang terlelap. Naufal sadar, kini ia bahkan sedang berusaha memeluk tubuh Hanan. Yang tentu saja keheranan dengan sikapnya. Pengaruh mimpi untuknya ternyata cukup besar. Hingga kini ia merasa begitu ketakutan akan kehilangan."Aku gak bisa napas, Naufal! Kamu mau bunuh aku, ha?!" Hanan akhirnya mengigit tangan Naufal yang memeluk erat tubuhnya."Aduh, Kamu ini nyeremin banget. Main gigit-gigit begitu," keluh Naufal. Mengelus tangan kanannya, ada bekas gigi Hanan."Bodo amat, lepasin gak?"Naufal memutuskan melepaskan pelukan, takut juga jika digigit kembali. Ternyata selain galak dan jutek, Hanan juga hobi mengigit.Hanan menendang tubuh Naufal agar menjauh. "Jangan modus, Gak mempan sama aku!""Iya deh, Iya. Makasih udah mau mengkhawatirkan aku."Hanan memilih abai, semenjak bangun tidur, Naufal sepertinya semakin aneh. Ia juga sebenarnya penasaran, mengapa bisa sampai Naufal mengigau menyebut namanya.'Manusia sat
Hanan merapikan penampilan saat hendak berangkat kerja, Ia kini sangat rajin memasak. Usai adzan subuh berkumandang, Hanan sudah selesai bersih-bersih rumah. Lalu memasak untuk sarapan. Setiap hari menu sarapan selalu berbeda-beda. Ia benar-benar melakoni tugas sebagai Ibu rumah tangga. Namun, tetap ada yang berbeda. Hanan yang biasanya marah-marah, bahkan selalu bersikap ketus pada Naufal, kini berubah total. Ya, bukan berarti berubah menerima Naufal sebagai seorang suami. Melainkan dianggap patung oleh Hanan. Tidak ada obrolan atau perdebatan lagi yang menemani hari-hari mereka."Hanan, kenapa kamu selalu menyibukkan diri dengan bekerja?" tanya Naufal. Sepertinya ia memang sengaja membuka obrolan saat sarapan."Tidak perlu bertanya jika sudah tau jawabannya, " jawab Hanan. Ia beranjak dari duduknya, menuju wastafel untuk mencuci piring bekas sarapan.Nyeri, ada yang menyayat hati Naufal. Tapi tidak berbekas. Biasanya jika membahas soal pekerjaan, Hanan akan bicara ketus dengan ciri
"Gak usah aneh-aneh, ya!" ancam Naufal."Lah, terserah aku dong! Udah deh, mending aku buang aja ini mie." Hanan benar-benar memiringkan kembali mangkuk yang ia pegang. Kasihan, mie yang tidak bersalah itu menjadi korban keegoisan antara Hanan dan Naufal. Padahal sudah terlihat menggendut, akibat terlalu lama diabaikan."Gak boleh buang-buang makanan, Hanan. Nyari uang itu susah, jadi hargailah hasil jerih payah biar bisa beli mie itu."Hati Hanan seperti tersayat sembilu, mengartikan ucapan Naufal seolah-olah tidak ikhlas bekerja demi memenuhi kebutuhan sehari-hari."Heh! Asal kamu tau, Aku juga kerja. Jadi gak usah dikasih tau hal kayak gitu. Hello! Kamu nyadar gak sih? Udah ada ngasih aku uang belanja? Udah pernah ngasih nafkah? Biar kamu inget ya, ini isi kulkas semua belinya pakai uang pribadi aku. Gak ada campur tangan dari hasil keringat kamu! Jadi terserah aku dong, suka-suka aku!" kecam Hanan.Entah mengapa, akhir-akhir ini emosi Hanan memang tidak terkontrol lagi. Ia jadi mu
Hanan mengendarai motor sport kesayangannya dengan laju yang cukup lambat. Ia melamun di atas motor, pikirannya bercabang ke mana-mana. Hanan masih tidak menyangka, doa yang ia ucapkan dalam hati dikabulkan seketika. Jujur saja, tadi Hanan sempat berharap ada Naufal yang tiba-tiba datang menjemput. Sebab ia juga merasa takut harus kembali ke rumah seorang diri. Apalagi belum cukup hapal dengan seluk beluk jalan menuju rumah baru Naufal.Hingga tak disadari, motor yang dikendarai oleh Hanan melewati rumah mereka. Dari belakang, Naufal membunyikan klakson panjang. Memberi kode pada Hanan. Sayang sekali, Hanan mengira Naufal hanya iseng belaka. Hingga tiba di depan supermarket. Ia menyadari, jika jalan menuju rumah sudah terlewati. "Ya ampun! kok bisa sih, Aku sampai melamun begini?" gerutu Hanan. Bergegas memutar haluan, berbalik lagi. Beruntung jalanan masih ramai.Tiba di rumah, raut wajah Hanan sangat tidak enak dipandang. Ia mulai misuh-misuh saat melihat Naufal yang sedang duduk s