"Hanan!" bentak Lyra.Hanan menoleh, menatap wajah Lyra yang terlihat kesal pada sikapnya terlihat tidak tegas sama sekali."Mau kamu apa sih?" tanya Lyra."Aku capek Ly, memangnya kamu gak capek? Kita udah kerja delapan jam, kamu gak mau istirahat?" Hanan sepertinya memang enggan membahas hal berat seperti itu dikala tubuhnya butuh istirahat.Lyra menghela napas, merasa tidak tega juga pada Hanan. Akhirnya memilih mengalah dan tidak mau memaksa lagi. Hanan benar, lebih baik pulang dan istirahat. Meskipun hatinya benar-benar kesal."Kamu ke kontrakan aku aja." Lyra memberi saran."Gak usah, Aku pulang ke rumah Papa aja. Kangen berantem sama Amora." Hanan saat ini menolak tawaran Lyra. Padahal biasanya paling betah dan suka jika diajak ke kontrakan Lyra.Bola mata Lyra melotot saat mendengar permintaan Hanan. Akankah Hanan melampiaskan kekesalannya pada Amora, Ibu tirinya? Lyra yakin, meskipun Hanan tidak ada rasa cinta pada Naufal, tetap saja akan terasa sakit jika melihat suami send
"Ngapain kamu melotot sama suami? Dosa loh," tegur Syahreza saat melihat Hanan membelalakkan matanya melihat Naufal berdiri di sisinya."Hem, anaknya datang ke rumah bukannya di sambut dengan senyum. Dipeluk, terus ngomong kalau kangen. Ini enggak, malah marah. Kayak gak tau gimana sikap Hanan aja!" gerutu Hanan.Syahreza tersenyum geli, saat Hanan sudah menunjukkan sisi kekanakannya. Jujur saja pasti ia juga rindu canda dan tawa dengan putri satu-satunya itu. Hanya saja memang sikap Hanan berubah total padanya, tidak sehangat saat masih satu atap dengan Manda, mantan istri."Sini, biar aku aja yang peluk kamu!" Tiba-tiba saja Naufal yang menawarkan diri. Dih, memangnya dikira Hanan mau? Boro-boro mau dipeluk, duduk dekat Naufal saja risih. Sepertinya hanya Yeza yang butuh pelukan dari Naufal."Hehehe, Iya sayang," ucap Hanan.Berharap Naufal akan melompat kegirangan ketika dipanggil sayang oleh Hanan. Bukan Naufal saja yang bisa berakting di depan sang papa, Hanan juga bisa. Eits, te
"Lupakan saja! Gak usah kaget gitu, mulutmu jangan terlalu besar mangapnya. Kalau masuk lalat gimana?" cibir Hanan."Sekarang makan dulu, Aku mau ngomong empat mata sama kamu. Ini serius, Hanan," ucap Naufal. Menyodorkan piring pada Hanan.Hanan sengaja diam tidak merespon. Masih ada rasa gengsi untuk menerima. Padahal cacing di dalam perut sudah meronta-ronta minta makan. Sedangkan di dalam kamar tidak ada satu helai roti pun. Wajar saja sih, Ia sudah tidak tinggal di rumah Syahreza. Mungkin besok-besok jika punya keinginan, Hanan ingin kembali serumah dengan sang papa. Ingat, bukan manja, Ia hanya tidak rela jika Amora menikmati semua harta Syahreza."Hanan, kenapa melamun? Aku capek loh, megangin piring begini."Hanan mencebik. "Memangnya aku nyuruh kamu megangin itu piring? Kurang kerjaan banget deh, Aku bukan anak manja. Jadi taroh aja di atas nakas lagi. Kalau udah lapar bakal aku makan. Gak usah jadi pahlawan kesiangan buat Amora. Miris banget hidup kamu, mau-maunya ditipu sama
"Nuduh aku selingkuh?" tanya Naufal.Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja membuat Hanan tertawa terbahak-bahak. Entah itu menertawakan kebodohan Naufal dalam berbohong, atau menertawakan dirinya sendiri yang masih mau bersabar."Ngapain kamu ketawa? Memangnya ada yang lucu?" gerutu Naufal."Kamu gak salah nanya kayak gitu sama aku? Udah dewasa, tapi pemikiran dan sikap masih kekanakan. Pantesan aja gak punya pendirian, miris banget, apalagi cowok. Tapi sayang sekali, kesialan itu tertimpa padaku yang harus menikah sama kamu. Bisa gak sih, kalau kita cerai, Aku tetap menyandang status gadis?" Hanan sudah mulai ngawur, sebab hatinya sudah kesal. Amarah sudah ada di ubun-ubun kepala. Ingin segera diluapkan, tetapi masih ditahan."Maksud kamu apa sih? Kalau ngomong itu yang jelas, Aku bukan ahli dalam membaca isi pikiran perempuan. Terserah kamu mau bilang gak peka juga."Hanan mengangkat sebelah alisnya, menatap wajah Naufal yang sok polos itu. Sungguh memuakkan sekali. Jika ada segelas
"Udah malam, waktunya tidur. Gak usah dilanjutkan omonganmu. Sia-sia juga, Aku dah gak nyambung diajak ngomong. Oh iya, baru ingat, Kamu 'kan hobi ngoceh panjang-panjang. Silakan aja mau ngomong, tapi maaf aja, aku gak mau dengerin!" ucap Hanan.Hanan sebenarnya bukan benar-benar mengantuk. Ia hanya enggan bicara dengan Naufal yang tidak ada habisnya. Sangat membosankan sekali, tidak ada manfaatnya. Bahkan ia kini sudah memunggungi Naufal."Baiklah, lalu aku tidur di mana?" tanya Naufal.Pertanyaan macam apa itu? Memangnya baru pertama kali tidur dalam satu kamar dengan Hanan? Haish, tidak bermutu sekali pertanyaan yang dilontarkan Naufal."Di kamar tamu saja, kosong 'kan?" Sebenarnya Hanan enggan merespon, tetapi gatal juga bibirnya untuk tetap diam."Kamu tega nyuruh suami sendiri buat tidur di kamar tamu?"Sepertinya Naufal sedang menabuh genderang perang pada Hanan. Sengaja mengganggunua agar tidak jadi tidur. Bahkan sekadar memejamkan mata saja tidak jadi. Ocehan Naufal terlalu b
Naufal yang posisinya sedang antre di pabrik, mengantar buah kelapa sawit dengan muatan berkisar tiga ton. Ia kini sedang duduk-duduk dengan teman sesama sopir di kantin pabrik. Terdengar sesekali temannya menggoda sang pelayan kantin, kebetulan seorang janda beranak satu. Tentu saja masih bisa dikatakan muda, usianya berkisar sebaya dengan Naufal. Sudah hal biasa, jika pembeli bersenda gurau dengan pelayan maupun pemilik kantin tersebut."Cuman Naufal yang selalu kalem." Celetuk temannya yang bwradai di ujung bangku."Dia itu tipe suami setia.""Bukan, Naufal itu suami takut isteri.""Naufal takut gak dikelonin sama isteri kalau bercanda sama cewek lain.""Maklum masih ada aura pengantin baru, maunya cuma nempel sama isteri di rumah. Kerja pun, yang ada dalam benaknya hanya isteri. Hahahaha!"Begitulah teman-teman seperjuangan Naufal, selalu menggoda disaat sedang berkumpul. Ia selalu menjadi objek canda dan tawa mereka. Hanya ditanggapi dengan senyuman oleh Naufal. Sudah biasa, agar
Saat sudah tiba di rumah, mata Hanan menatap heran sekeliling halaman. Sunyi dan senyap, lampu-lampu tidak ada yang hidup satu pun. Kemana sang mama pergi? Sepertinya pergi sejak siang hari. Hingga membiarkan suasana rumah yang ditinggal menyeramkan seperti itu. Entah apa kesibukannya, Hanan tidak mengerti. Lebih tepatnya enggan untuk bertanya dan ikut campur.Dengan bibir yang terus bicara, Hanan membuka pintu rumah. Seram juga ternyata, jika melihat rumah gelap gulita seperti itu. Hanan meraba saklar dan menghidupkan semua lampu di seluruh ruangan. Bergegas menuju kamar, badannya terasa gatal-gatal."Entah apa yang dikerjakan Mama, memangnya gak bisa diam aja di rumah? Mentang-mentang janda, gak ada yang ngelarang ini itu. Setidaknya pikirin anak di rumah. Harus banget pergi sampai malam begini. Biasanya juga paling lambat sebelum adzan magrib berkumandang udah di rumah." Hanan terus saja mengoceh, seakan-akan ada orang yang mendengar. Hanan merogoh mini bag, mencari ponsel nya. He
Naufal meruntuki kebodohannya, merasa tidak becus menjadi seorang suami. Tidak tahu sedikit pun tentang Hanan. Ya, meskipun ia sadar, pernikahan mereka seperti sebuah permainan belaka. Ia juga paham betul, Hanan belum sepenuhnya menerima pernikahan mereka. Dirinya sendiri juga masih berusaha untuk menerima takdir."Apa Hanan akan marah padaku?" gumam Naufal.Tubuh yang letih usai pulang kerja, ditambah melihat situasi seperti itu. Semakin membuat hati Naufal tidak tenang. Ia memilih menuju dapur, berniat memberikan segelas air putih hangat pada Hanan. Setidaknya ia masih punya rasa iba pada sang istri, meskipun tidak ada rasa cinta.Ceklek...Hanan terlihat meringkuk di atas tempat tidur. Sepertinya sudah tertidur dengan pulas. Tubuh yang tertutup selimut terlihat tidak bergerak sama sekali. Naufal tidak tega juga membangunkan Hanan. Memilih untuk segera membersihkan diri. Mata sudah tidak bisa diajak kompromi, ingin segera berlabuh di pulau kapuk."Kirain pemberani, galaknya minta am
Hanan kikuk, terdiam seribu bahasa hingga memakan waktu satu jam. Ia hanya mampu menundukkan kepalanya. Bingung harus menjawab apa, padahal belum ada satu kalimat pun yang dilontarkan Ayana. Hanan benar-benar seperti tersangka, yang akan diintrogasi habis-habisan oleh penegak hukum. Wajahnya juga sudah pias, menahan rasa takut.Hanan dan Ayana hanya saling sikut sejak tadi. Ayana juga sepertinya sedang menguji kejujuran dari Hanan. Tidak ada niat untuk membuka percakapan lebih dulu. Apalagi Hanan, usai memberikan segelas jus jeruk dan menyajikan beberapa cemilan, Ia langsung terdiam dan duduk di samping Ayana. Hanan benar-benar meruntuki kebodohannya, sangat ceroboh. "Minuman nya gak bakalan abis sendiri, kalau cuman diliatin doang, Mi." Hanan takut-takut saat berusaha mengajak Ayana berbicara.Ya, saat mendengar Hanan marah-marah dan memaki Naufal, lalu ternyata yang menelepon adalah Ayana. Tidak perlu menunggu waktu lama, Ayana sudah berada di ambang pintu rumah. Lalu ke mana Naufa
Kejam, jahat, tega? Julukan apalagi yang akan disematkan untuk Hanan tadi malam? Hm, Hanan rasa ia tak peduli, tidak ambil pusing. Baginya itu masih wajar saja, jika dibandingkan dengan kejamnya mulut Naufal. Rela memakai dan memfitnah istri sendiri, tanpa mau bertanya lebih dulu. Seolah-olah Hanan tersangka yang tidak patut didengar suaranya.Ya, tadi malam Hanan memang sengaja dan tidak akan peduli lagi pada Naufal. Ia mengunci pintu kamar, agar Naufal tidak bisa masuk ke dalam. Hanan juga tidak memberikan selimut pada Naufal. Membiarkan suami yang hanya menyandang status saja itu meringkuk kedinginan. Ia juga berusaha menulikan pendengaran saat Naufal tadi malam memangil namanya."Hari bermalas-malasan!" gumam Hanan.Ya, Hanan memang mengambil cuti kerja untuk hari ini. Setelah menikah ia memang sangat gila kerja. Tidak pernah libur, lebih senang menghabiskan waktu di tempat kerja.Hanan sudah bangun sejak satu jam yang lalu. Namun, ia hanya berguling-guling di atas tempat tidur. P
Hanan tidak takut sama sekali dengan ancaman Naufal. Kalau perlu diingatkan lagi, Hanan tidak pernah lagi hidup damai dan tentram sejak perceraian kedua orang tuanya. Nenek lampir itu merusak kebahagiannya, Syahreza yang lebih percaya dan tidak mau mendengar sedikit saja kejujuran sang putri. Lalu Manda yang selalu egois, semua keinginannya harus dipenuhi.Ingat baik-baik dan camkan! Jadi, ancaman seperti itu sangat tidak berlaku untu Hanan. Ia menghentikan langkahnya bukan karena mengurungkan niat untuk pergi. Hanan sangat membenci, ketika memiliki masalah dengan orang lain, lalu disangkut pautkan pada Syahreza. Ia cukup mandiri sejak sini, mampu menyelesaikan masalah seorang diri."Kamu kira aku takut? Ancamanmu sama sekali gak berlaku buat aku, suami sampah!" cibir Hanan."Apakah kamu terlahir sebagai pembangkang?" tanya Naufal.Hanan mengepalkan tangan, padahal sejak tadi berusaha untuk tidak bertingkah brutal dan mengendalikan emosi. Naufal sepertinya memang sedang benar-benar me
"SUDAH KUBILANG, NANTI DULU JIKA MAU BICARA. BIARKAN AKU MANDI SEBENTAR!" teriak Hanan. Hanan sudah bisa membaca suasana, pasti ada yang tidak beres. Akan ada pertengkaran antara dirinya dengan Naufal. Hati Hanan juga teramat sakit, saat mendengar kalimat sindiran yang diucapkan Naufal. Bukan berarti Hanan sedang berusaha mengelak, Ia juga penasaran. Namun, tubuhnya juga lelah, Ia harus membersihkan diri terlebih dahulu.Setelah dibentak oleh Hanan, Naufal langsung terdiam. Duduk menunggu di ruang keluarga, bersantai di atas sofa. Meskipun Hanan tahu, tatapan Naufal tak lepas dari gerak-gerik nya. Berusaha tenang dan mengontrol emosi, Hanan mandi juga terkesan buru-buru. Ia bahkan membiarkan kepalanya masih dibungkus handuk."Ada apa? Aku sudah siap untuk adu jotos denganmu!" ketus Hanan. Ia berdiri tak jauh dari Hanan duduk."Begitu sikapmu pada suami?" sindir Naufal.Hanan menatap sinis pada Naufal. "Berharap dianggap suami?""Jangan buat kesabaranku habis, Hanania Onella!" bentak
"Kerja saja dulu, gajian 'kan nanti sore kalau mau pulang." Hanan berlalu keluar dari ruangan. Jam kerja sudah dimulai. Efek kalimat dari Lyra ternyata memberikan pengaruh besar juga. Hanan terlihat lebih bersemangat sekali. Bahkan jam kerja yang biasanya terasa cepat sekali usai, kini berubah. Terasa begitu lambat, sesekali Hanan melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, disela-sela kesibukan melayani pengunjung."Kenapa gajian bisa bikin kita bahagia?" tanya Lyra."Karena bakalan dapat duit.""Pinter kamu, Hanan." "Gitu doang masa gak tau, terlalu bego namanya."Saat yang ditunggu akhirnya tiba juga. Dengan wajah sumringah Hanan dan Lyra keluar dari ruangan bos besar. Masing-masing menerima amplop hasil jerih payah selama satu bulan. Jam kerja telah usai. Hanan dan Lyra tentu saja berniat menyenangkan diri terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah."Kita makan bakso dulu, yuk!" ajak Lyra."Aku gak lapar, pulangnya aja gimana?" Lyra mengangguk tanda menyetujui
Ah, benar, hanya mimpi belaka. Bunga tidur yang biasa menemani saat sedang terlelap. Naufal sadar, kini ia bahkan sedang berusaha memeluk tubuh Hanan. Yang tentu saja keheranan dengan sikapnya. Pengaruh mimpi untuknya ternyata cukup besar. Hingga kini ia merasa begitu ketakutan akan kehilangan."Aku gak bisa napas, Naufal! Kamu mau bunuh aku, ha?!" Hanan akhirnya mengigit tangan Naufal yang memeluk erat tubuhnya."Aduh, Kamu ini nyeremin banget. Main gigit-gigit begitu," keluh Naufal. Mengelus tangan kanannya, ada bekas gigi Hanan."Bodo amat, lepasin gak?"Naufal memutuskan melepaskan pelukan, takut juga jika digigit kembali. Ternyata selain galak dan jutek, Hanan juga hobi mengigit.Hanan menendang tubuh Naufal agar menjauh. "Jangan modus, Gak mempan sama aku!""Iya deh, Iya. Makasih udah mau mengkhawatirkan aku."Hanan memilih abai, semenjak bangun tidur, Naufal sepertinya semakin aneh. Ia juga sebenarnya penasaran, mengapa bisa sampai Naufal mengigau menyebut namanya.'Manusia sat
Hanan merapikan penampilan saat hendak berangkat kerja, Ia kini sangat rajin memasak. Usai adzan subuh berkumandang, Hanan sudah selesai bersih-bersih rumah. Lalu memasak untuk sarapan. Setiap hari menu sarapan selalu berbeda-beda. Ia benar-benar melakoni tugas sebagai Ibu rumah tangga. Namun, tetap ada yang berbeda. Hanan yang biasanya marah-marah, bahkan selalu bersikap ketus pada Naufal, kini berubah total. Ya, bukan berarti berubah menerima Naufal sebagai seorang suami. Melainkan dianggap patung oleh Hanan. Tidak ada obrolan atau perdebatan lagi yang menemani hari-hari mereka."Hanan, kenapa kamu selalu menyibukkan diri dengan bekerja?" tanya Naufal. Sepertinya ia memang sengaja membuka obrolan saat sarapan."Tidak perlu bertanya jika sudah tau jawabannya, " jawab Hanan. Ia beranjak dari duduknya, menuju wastafel untuk mencuci piring bekas sarapan.Nyeri, ada yang menyayat hati Naufal. Tapi tidak berbekas. Biasanya jika membahas soal pekerjaan, Hanan akan bicara ketus dengan ciri
"Gak usah aneh-aneh, ya!" ancam Naufal."Lah, terserah aku dong! Udah deh, mending aku buang aja ini mie." Hanan benar-benar memiringkan kembali mangkuk yang ia pegang. Kasihan, mie yang tidak bersalah itu menjadi korban keegoisan antara Hanan dan Naufal. Padahal sudah terlihat menggendut, akibat terlalu lama diabaikan."Gak boleh buang-buang makanan, Hanan. Nyari uang itu susah, jadi hargailah hasil jerih payah biar bisa beli mie itu."Hati Hanan seperti tersayat sembilu, mengartikan ucapan Naufal seolah-olah tidak ikhlas bekerja demi memenuhi kebutuhan sehari-hari."Heh! Asal kamu tau, Aku juga kerja. Jadi gak usah dikasih tau hal kayak gitu. Hello! Kamu nyadar gak sih? Udah ada ngasih aku uang belanja? Udah pernah ngasih nafkah? Biar kamu inget ya, ini isi kulkas semua belinya pakai uang pribadi aku. Gak ada campur tangan dari hasil keringat kamu! Jadi terserah aku dong, suka-suka aku!" kecam Hanan.Entah mengapa, akhir-akhir ini emosi Hanan memang tidak terkontrol lagi. Ia jadi mu
Hanan mengendarai motor sport kesayangannya dengan laju yang cukup lambat. Ia melamun di atas motor, pikirannya bercabang ke mana-mana. Hanan masih tidak menyangka, doa yang ia ucapkan dalam hati dikabulkan seketika. Jujur saja, tadi Hanan sempat berharap ada Naufal yang tiba-tiba datang menjemput. Sebab ia juga merasa takut harus kembali ke rumah seorang diri. Apalagi belum cukup hapal dengan seluk beluk jalan menuju rumah baru Naufal.Hingga tak disadari, motor yang dikendarai oleh Hanan melewati rumah mereka. Dari belakang, Naufal membunyikan klakson panjang. Memberi kode pada Hanan. Sayang sekali, Hanan mengira Naufal hanya iseng belaka. Hingga tiba di depan supermarket. Ia menyadari, jika jalan menuju rumah sudah terlewati. "Ya ampun! kok bisa sih, Aku sampai melamun begini?" gerutu Hanan. Bergegas memutar haluan, berbalik lagi. Beruntung jalanan masih ramai.Tiba di rumah, raut wajah Hanan sangat tidak enak dipandang. Ia mulai misuh-misuh saat melihat Naufal yang sedang duduk s