"Pa, bertahan. Sebentar lagi bantuan datang!" ujar bu Sugiono tergugu. Beberapa ibu-ibu mengusap punggung wanita bertubuh langsing itu, memberikan semangat untuknya. Tanpa ada yang memerintah, kami berkumpul mengelilingi korban, tidak ada satupun yang tidak menangis melihat istri dan anak om Sugiono menangis dan meronta saat sang suami dan ayah tergeletak ditanah. Yang tadinya gagah sekarang sudah tidak berdaya."Papa bangun, Pa. Temanin Bagas main bola!" Anak kecil berusia lima tahun itu menggoyang tubuh papanya yang sudah tidak berdaya lagi."Pa, dengarkan? Apa yang dibilang anak kita?"Sementara istrinya meracau melihat suaminya tidak bergerak lagi. Air matanya berjatuhan membasahi pipi.Siapa yang tidak akan bersedih melihat belahan jiwanya sedang sekarat begitu. Ditambah anaknya yang menangis ingin memeluk papanya tetapi tidak diberikan ijin."Pa, jangan tinggalkan kami! Pa, mana janji Papa akan terus bersama sampai kita menua bersama! Pa, Mama tidak sanggup menjalani hidup ini s
"Mas, gak boleh pergi! Pokoknya Adek gak mau Mas kemana-mana!" Seketika saja sekujur tubuhku gemetar saat mendengar mas Siddik hendak berangkat bertugas mengamankan proyek vital. Banyak sudah prajurit gugur dalam bertugas, dan aku tidak mau itu terjadi pada suamiku."Namanya tugas. Bagaimana gak pergi, Sayang?"Mas Siddik begitu santai tidak ada ketakutannya sedikitpun. Aku membayangkan lelakiku sedang patroli, tiba-tiba diserang dan terjadi kontak senjata dengan kelompok pengacau keamanan, seperti kejadian yang menimpa rombongan ibu-ibu dua hari yang lalu.Tuhan ... aku takut. Seandainya bisa meminta, aku tidak ingin berpisah dengan mas Siddik. Baru juga aku mencintai dan menyayanginya, masak sudah Engkau ambil dia dari sisiku. Tidak terasa air mata mengalir dari pelupuk mata ini. Kupeluk erat imamku, ingin aku masuk saja dalam tubuhnya sehingga aku bisa membantu dia saat diserang orang tak dikenal itu."Kan bisa Mas bilang gak bisa ikut. Alasannya istri Mas sakit!" Aku memberi alasa
"Dek, Mas gak bisa bantu masak, Adek bisa masak sendiri kan?" tanya Mas Siddik seraya menyerahkan plastik kresek berwarna hitam yang berisi daging, dari beratnya aku rasa ada sekitar dua kilo lebih. "Mas buat apa beli daging segini banyak, emang habis untuk kita berdua?" tanyaku. Aku heran melihat mas Siddik kalau berbelanja tidak pernah sedikit."Sisanya bisa Adek simpan dikulkas. Lagian rendang kan tahan lama sih, Dek!" "Apa Mas gak bosan makan daging terus? Dua kilo itu loh. Bukannya dikit!" "Hmmm ... gak apa-apa makan daging yang banyak. Mana tau Adek hamil nanti dapat anak laki-laki!" Mas Siddik tersenyum nakal membuat aku tersipu malu. Baru beberapa hari menikah sudah memikirkan hamil. Duh ... bagaimana ini. Aku belum siap hamil. Masih mau bermanja-manja dulu dengan kekasih halalku."Gak usah hamil dulu, ya? Adek belum siap!" Aku mengajukan keberatan tatkala mas Siddik mengatakan sangat mengjnginkan anak laki-laki dari pernikahan kami yang masih berusia beberapa hari itu. Kat
Besok mas Siddik akan berangkat. Hati ini sungguh sangat sedih mengingat diri ini akan menghabisi waktu sendirian saja diasrama. Pasti sepi rasanya tanpa suami disisiku.Memang selama ditinggal mas Siddik aku akan ditemani oleh ibu mertua, tapi apa mungkin aku bisa melepaskan rindu dengan beliau? Apa bisa diri ini berpelukan dan bermanjaan seperti aku memeluk mas Siddik. Tidak dapat aku bayangkan tidur tanpa mencium aroma tubuh mas Siddik. Lelakiku bagaikan candu bagiku. Aku belum siap berpisah."Ngapain melamun sendiri disitu? Nanti kesambet!" tanya mas Siddik tatkala melihat aku merenung sendiri dikamar belakang yang sedang berhadapan dengan tas ransel milik mas Siddik."Mas, janji akan pulang kan?" tanyaku menatap lekat manik pria bermata coklat itu, dia ikut duduk disampingku saat ini."Insya Allah, Sayang!" ucapnya lembut membuat air mata ini akhirnya luruh untuk yang kesekian kalinya. "Jangan menangis ya? Mas jadi berat melangkah!" ucapnya lagi seraya mengusap air mata ini."Ya
Setelah mengantar mas Siddik, aku pulang ke rumah dengan langkah gontai. Bagaimana tidak, biasanya hari-hariku selalu ditemani mas Siddik. Kemanapun pergi selalu bersamanya. Namun sekarang, semuanya berubah.Biasanya, walaupun tidak bisa masak tetapi aku selalu berusaha memasak untuk makan siang kami berdua. Dan mas Siddik akan tertawa meledekku saat hasilnya tidak sesuai. Pernah masakan keasinan bahkan pernah kemanisan seperti makan kolak katanya. Namun, lelaki itu tidak pernah marah, dia tetap tersenyum.Kaki ini melangkah masuk kamar. Kurebahkan tubuh ini diatas tempat tidur, dikamar ini merupakan saksi bisu bagaimana dia memperlakukan istrinya. Kuraih baju kaos mas Siddik yang dipakai tadi malam. Kupeluk baju itu dan kucium penuh syahdu.'Mas sehat-sehat disana ya? Semoga Allah selalu melindungi Mas disana. Adek gak mau kehilangan Mas! Janji ya ... Mas harus pulang untuk Adek!' Baju itu masih kudekap erat sekali-kali aku menciumnya.Baju itu tidak akan kucuci sampai lelakiku itu k
"Anita? Ayo masuk!" Ibu mertua mempersilahkan mantan pacar mas Siddik masuk ke rumahku.Sebenarnya aku tidak suka sama dia. Malas saja melihat wanita itu dekat-dekat dengan ibu mertua. Buat apa coba dia kemari lagi? Ingin menggantikan posisiku?"Kamu cemburu, May?" bisik ibu mertua ditelingaku. Untuk apa mertuaku menanyakan aku cemburu atau tidak. Pasti cemburu dong. Wajarkan kalau aku cemburu, mengingat dia itu pernah menjadi wanita nomor satu dihati suamiku. Aku takut mas Siddik belum move on dengan dia dan akan kembali lagi sama dia."Enggak kok, Bu. Mayra percaya cinta mas Siddik hanya untuk Mayra seorang." Walau aku ragu tetapi aku berusaha menenangkan hati ini yang sejak dari tadi bergejolak terus.Ibu mertua berjalan mendekati Anita, meninggalkan aku sendiri dibelakang. Wanita memakai kaos ketat berwarna merah itu sudah duduk dikursi tamu tanpa dipersilahkan terlebih dahulu. Dia tidak merasa sungkan sedikitpun. Mungkin wanita itu sudah sering kemari sehingga merasa tidak asing
Drrt drrt drrt. Dengan semangat aku berlari ke kamar tatkala mendengar suara ponsel berdering. Berharap mas Siddik yang menelpon, namun harapanku sirna saat melihat nomor itu tidak terdaftar di ponselku.Halah ... paling-paling penipu menelpon meminta mengirimkan sejumlah uang. Penipuan jaman sekarang banyak sekali macamnya. Ada saja idenya untuk menipu korban.Suara dering telpon bertubi-tubi sangat mengganggu sehingga ibu mertua menyuruh aku mengangkatnya saja."May, diangkat telponnya. Mungkin dari Siddik, Nak!" titah ibu mertua."Bukan dari mas Siddik. Itu nomor baru. Takutnya penipuan. Malas Mayra tanggapi, Bu. Ujung-ujungnya pasti minta transfer sejumlah uang." Kak Jenny sudah pernah kena tipu oleh penelpon gelap seperti ini. Makanya aku tidak pernah akan mengangkat jika yang menelpon tidak terdaftar diponselku."Angkat ajalah. Bising sekali suaranya gak berhenti-berhenti dari tadi. Nanti kalau dia macam-macam marahin aja!" saran ibu mertuaku akhirnya aku angkat juga telponnya
"Siapa Humairah, Mas?" tanyaku dengan nada sedih. Aku disini memikirkan keselamatan dan kesehatan dia disana, sementara lelakiku malah menyimpan wanita lain. Hatiku sangat sakit mendengar mas Siddik memanggil nama Humairah itu."Mas, jujur. Siapa Humairah?" tanyaku semakin kesal. Mas Siddik disana hanya tersenyum seperti tanpa berdosa. Kami sedang vidio call sehingga aku tahu betul bagaimana ekspresi wajahnya saat ini. Wajah yang selalu aku kangenkan ternyata manis didepan tetapi menusuk aku dari belakang."Adek mau tau apa mau tau banget?" tanya pria itu yang kata kak Jenny mirip abu ubaidah. Dia malah mempermainkanku dengan membolak balikkan pertanyaan. Dia tidak tahu emosiku sudah naik ke ubun-ubun. Kalau mas Siddik ada disini mungkin sudah kugigit hidung mancungnya biar dia tidak ganteng lagi."Mas, jangan jahat sama Adek, ya! Kena karma nantinya." Aku berteriak kesal. Tidak peduli ada mertua. Tapi aku bersyukur juga mertuaku tidak pernah mencampuri kehidupan rumah tangga anak d
"Maafkan Mayra tidak bisa melayani Mas seperti seorang istri pada umumnya!" ujarku tergugu tatkala melihat mas Sidik mencuci baju sendiri.Biasanya selain ada ibuku dan ibu mertua, dirumah kami juga juga membayar tukang cuci.. Tapi hari ini izin libur karena ada urusan keluarga yang tidak bisa ditinggal. Sementara ibuku dan ibu mertua sudah pulang."Gak apa-apa, Sayang!" Mas Sidik masuk ke kamar dan merebahkan diri disisiku dan meraih tangan ini kemudian diletakkan dipipinya."Kasian Mas. Gara-gara Mayra jadi begini!" Aku berbalik arah tidur menatap kearah suamiku."Menurut Mas, tidak ada yang perlu dikasihani, sudah biasa dalam berumah tangga kita saling membantu, May. Kalau Mas sakit siapa yang bantu? Pasti istri kan?" tanyanya dengan suara lemah lembut seraya mengelus pucuk kepalaku. Mas Satria meraih pundak ini dan meletakkan didadanya."Sayang, Mas tidak pernah merasa Kamu repotkan. Jadi jangan pernah merasa bersalah, ya?" Mas Satria mengecup pucuk kepalaku, lama. Tuhan ... terim
"Mas, Mayra pendarahan!" aduku pada mas Siddik yang sedang berbaring ditempat tidur. Tadi aku juga ikut berbaring disebelahnya, tapi aku bangun hendak ke kamar mandi. Tiba-tiba dikejutkan tatkala melihat darah banyak bercecetan di lantai."Apa?" Mas Siddik tersentak dan langsung bangun dari pembaringannya. "May, jangan banyak gerak dulu!" ujar mas Siddiq panik seraya membawa tubuh ini ke ranjang untuk tidur. Walaupun aku berjalan pelan tapi darah masih menetes juga."Tidur aja ya? Begini saja, nyamankan?" Aku hanya mengangguk sebagai respon atas pertanyaan Mas Siddik. Lelakiku mengambil bantal dan menyangga kaki ini. Mungkin untuk menghentikan pendarahan.Pandangan mata sudah mulai kabur, aku sudah mulai hoyong. Tatapanku juga berkunang-kunang dan mutar. Tuhan ... selamatkan aku dan bayiku."Mas kerumah dan-ki dulu!" pamitnya seraya berlari keluar rumah. "Bu, tolong lihat istri saya sebentar. Istri Saya pendarahan!" teriak mas Siddik terdengar sampai ke telingaku."Iya, ya, Om. Saya
"Dek, sini!" Mas Siddik menepuk sofa disebelahnya untuk aku duduki.Aku melangkahkan kaki menuju sofa dimana mas Siddik duduk saat ini. Kulihat suamiku tidak seperti biasanya. Entah apa gerangan yang membuat suamiku bersedih hati."Mas kenapa agak lain hari ini? Mas sedang ada masalah?" tanyaku ragu-ragu. Biasanya kalau pulang dinas mas Siddik selalu tersenyum bahkan sering bercanda. Ada saja bahan yang sehingga membuat aku tertawa. Dia juga suka sekali meledek perutku yang semakin membuncit ini. Katanya kayak badut. "Nampaknya Mas sedang bersedih?" Aku kembali bertanya."Hmmm ... Adek ingat Nasir?" Mas Siddik mengusap sudut matanya. Aku tahu dia hendak menangis tetapi mungkin dia malu jika dihadapanku."Nasir yang mana? Yang membantu Mas keluar dari markas kelompok bersenjata itu, ya?" tanyaku dan mas Siddik mengangguk lemah."Kenapa dengan om Nasir, Mas?" Aku membaca ada sesuatu yang tidak mengenakkan telah terjadi pada pria berdarah Aceh tersebut."Tadi malam dia ditembak oleh ora
"Loh siapa ini ndusel-ndusel kayak anak kucing?" kelakarku saat melihat Mayra bangun tidur langsung memeluk tubuh ini. Dia kelihatan sangat manja. Semakin hari tingkah Mayra semakin membingungkan. Tadi malam katanya aku ini bau sehingga membuat dia muntah-muntah. Sekarang malah kayak anak kangguru menempel sama induknya. Tidak bisa dilepas. Entah apa maunya."Mas wangi banget. Adek jadi kepingin ciumin terus!" ujarnya seraya mengendus-endus leher dan ketiakku. Betul-betul membuat aku tidak mengerti tingkah ibu hamil yang satu ini."Wangi dari mana? Mandi aja belum apalagi sikat gigi. Nafas Mas masih bau naga!" ujarku hendak beranjak dari tidur tetapi ditahan oleh Mayra."Jangan pergi. Adek masih kangen, candu mencium aroma tubuh Mas. Peluk!" ujarnya dengan nada manja. Aku yang masih kaget melihatnya terpaksa juga memeluknya."Gak mual dekat-dekat dengan Mas? Katanya Mas bau?" tanyaku keheranan."Gak bau kok. Tadi malam bau banget, sekarang malah wangi!" ujarnya dan Mayra masih ndusel-
"Mas Siddik!" Aku berteriak histeris tatkala melihat pria yang selama ini aku nanti-nantikan sudah berada dihadapanku."Mayra, Mas pulang, Sayang!" ujar mas Siddik dengan suara gemetar.Kenapa mataku melihat sosok mas Siddik sedang mendekati diri ini? Apakah itu betukan suamiku atau hanya ilusiku saja?Nampaknya aku sangat merindukan pria itu sehingga bayangan dia terus saja menghantui pikiranku."Mas?"Aku merasa semua ini hanya mimpi atau hanya halusinasiku saja? Tidak mungkin mas Siddik yang telah gugur hidup kembali. Disini saja, kami sedang mengirim doa untuknya, masak tiba-tiba dia hadir diacara tahlilan dia sendiri? Sangat tidak lucu."Hai, aku suami kamu!" Pria itu mengibaskan tangannya didepan kedua mataku."Kamu suamiku? Mas, Adek tidak sedang bermimpi, kan?" Aku mendekatinya. Pria itu memakai baju compang camping bagaikan seorang pengemis."Kamu sedang tidak bermimpi, Sayang! Nih pegang!" Mas Siddik meraih tanganmu untuk menyentuh pipinya. Aku masih ragu juga, bisa jadi ka
"Banyak-banyak berdoa, May. Siapa tau mas Siddik masih hidup tapi tidak tau jalan pulang. Bisa jadi dia tersesat dalam hutan, kan?" Jenny berusaha menghiburku selama ini tidak ada satupun di rumah ini ataupun semua pihak yang mengerti isi hatiku kecuali Kak Jeni."Aku juga berpikir begitu kak bisa jadi 'kan, mas Siddik di itu masih hidup dan dia tidak tahu jalan pulang!"Perasaanku sebagai istrinya, mengatakan jika imamku itu masih hidup."Kita berdoa saja May. Nanti malam kita baca Yasin bersama, memohon kepada Allah semoga suami kamu ditemukan dalam keadaan hidup atau mati." Kak Jenny tidak bosan-bosannya memberikan aku semangat. Sehingga dengan kehadirannya sedikit membuatku terhibur. Walau kadang disaat sedang sendirian aku kembali menangis mengingat suamiku yang baru beberapa bulan kami hidup bersama dan sudah direnggut kebahagiaan oleh takdir.***Sementara itu, sersan Siddik dan praka Nasir akhirnya sampai juga di tepi jalan. Mereka mengendap-ngendap karena banyaknya lalu lala
Hari ini malam kedua acara kirim doa dirumahku. Para ibu-ibu udah mulai berdatangan untuk membantu memasak segala keperluan nanti malam."Kasian om Siddik ya. Padahal dia prajurit berprestasi. Tidak akan mungkin kalah jika melawan pemberontak." bisik bu Saidi pelan tapi masih bisa aku dengar."Mungkin istri dan anaknya ini bikin hidup dia sial terus ya! Gak bisa dipake!" Anita melirik sinis kearahku. Jika bukan sedang dalam situasi berkabung aku sudah merobek mulutnya hingga hancur lebur. Bila perlu mulut dia kupindahkan sekalian kebawah, disekitar bokong aja. Lebih terhormat anus dibandingkan mulutnya. Wanita berhati iblis memang begitu ya, tidak memiliki hati nurani sedikitpun."Iya. Dia wanita pembawa sial!" ujar bu Saidi seakan mengaskan perkataan adiknya."Hust ... bu Saidi gak boleh ngomong begitu! Mereka sedang dalam keadaan berkabung, jangan ditambah lagi dengan kata-kata yang membuat bu Siddik semakin terpuruk!" tegur bu Danu yang berdiri disebelah bu Saidi. Mereka berdua mem
"May, makan dulu. Dari kemarin kamu belum makan, loh!" Ibu menawari makan siang karena sejak kemarin pagi perut ini belum terisi satu sendok pun makanan.Padahal ibu tadi membeli nasi padang kesukaanku tapi diri ini belum berselera untuk menyentuhnya. Saat ini, yang aku inginkan hanyalah kehadiran mas Siddik. Hanya dia yang bisa membuat aku bahagia. Hanya dia yang bisa membuat aku berselera makan."Mayra tunggu mas Siddik pulang aja, Bu!" Aku yakin suamiku akan pulang dalam waktu dekat ini. Aku yakin pria itu tidak akan meninggalkan aku sendiri di dunia ini. Apalagi sebentar lagi akan hadir buah cinta kami berdua meramaikan rumah mungil kami."Gak boleh gitu, May. Kamu harus makan walaupun sedikit. Kasian bayi dalam kandunganmu!" nasehat ibuku. Beliau datang kemari setelah mendapat berita hilangnya mas Siddik dari ibu mertua. Mereka semua begitu percaya jika mas Siddik sudah tidak ada. Tapi aku tidak semudah itu mempercayainya. Sebelum jenazah mas Siddik ditemukan aku tetap mengangg
Pov authorEmpat hari kemudian situasi keamanan sudah kondusif. Beberapa wilayah sudah tidak masuk dalam status siaga lagi. Atasan mereka memerintahkan untuk mencari keberadaan Siddik.Tim regu yang pernah menjadikan Siddik sebagai komandan regunya menawarkan diri untuk mencari keberadaan pria yang sebentar lagi akan menjadi seorang ayah itu.Mereka harus tetap waspada karena para musuh tidak akan mundur sebelum diberikan kemerdekaan untuk enuh oleh pemerintah."Aku kok gak yakin sersan Siddik masih ada!" tanya salah satu rekan pada kopda Romi."Kenapa kamu bicara seperti itu? Kita harus optimis!" jawab sersan Ridwan dsn menjatuhkan bobot tubuhnya diatas tanah.Mereka sudah mencari keberadaan sersan Siddik kesana kemati tetapi mereke tidak menemukan juga."Hei, bukankan ini punya Danru?" prada Sucipto mendapatkan kalung milik sersan Siddik tergeletak diatas tanah. Kopral Romi kaget dan langsung menghampiri prada Sucipto yang memegang dogtag atas nama serka Siddik."Iya. Ini punya Danr