Awas Typo:) Happy Reading .... *** Cklek. Pintu ruangan Raymond terbuka begitu saja tanpa diketuk, sangat tidak sopan namun berhasil membuat kepala tertunduk si mister William mendunga, menatap ke arah sana. "Maria," gumam Raymond menyuarakan nama si pelaku. Tentu saja Maria tidak menyahut, kaum hawa dua puluh lima tahun itu memasuki ruangan Raymond bersama mimik super datar. Fine, Raymond ikuti alur wanita ini. Jika dengan itu bisa menyelesaikan semuanya kenapa tidak? Diam duduk di tempat, Raymond menatap bagaimana wanita di depannya ambil posisi berdiri tepat di belakang kursi untuk pasien jika ada janji temu dengan Raymond. Hening, belum ada yang mau membuka dialog, mereka hanya membisu bersama adegan saling menatap datar. Detik bergerak, suara jarum jam sangat jelas memasuki gendang telinga. Hitungannya jelas dimulai dari satu ..., dua dan, tiga. "Kau ingin aku berhenti bukan?" bertanya, Maria yang memulai dialog. "Itu jelas dari awal." Raymond menjawab. "Temui aku har
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Dia koma," ujar Jefri. Napas Regina tertahan, untuk beberapa saat bom hidup menghantam dirinya, membuat degung di telinga bersama parau-paru yang tidak bekerja. "Ini jauh lebih baik, Miss William," sambung dokter. Kepala Regina menggeleng. "Re, duduk, jangan begini." Julia. "Kenapa harus begini, Kak, hiks ...." Mereka, Regina, Jefri, Julia, plus Bio dan, Mario sudah berada di rumah sakit. Ada dua yang mereka tunggu, sudah pasti Raymond dan Maria. "Shut-shut ..., it's oke, Re." Hanya ini yang bisa Julia lakukan, menenangkan sang adik, menarik dekap tubuh menggigil di sampingnya. "Maria sahabat aku, Kak, satu-satunya hiks ..., hiks ...." Semakin terisak, Regina tidak kuat lagi, tubuhnya siap rubuh, runtuh, andai saja Julia tidak membantu topangan. Berita koma barusan adalah ..., tentang Maria. Wanita itu dengan segala rencananya untuk Raymond pada akhirnya berbalik menyerang diri sendiri. Niat meracuni, namun, Raymond juga cukup cerdas. Hi
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Raymond tidak berhenti menatap Regina yang belum mau menatap dirinya, sama sekali. "Hah ...." Menghela napas, Raymond mencoba membawa tubuh miring menghadap si istri. "Yang benar, Ray, nanti jahitannya terbuka lagi!" Namun, baru ia bergerak eh sudah disambut omelan. "Tidur sini," balas Raymond tidak merespon kalimat Regina. "Nanti." "Kamu sudah mengatakan nanti lebih dari sepuluh kali, sadar?" Diam, Regina menghentikan kegiatan mengupas buah, ia coba mengingat dan menghitung, benarkah sebanyak itu? "Sini, Re." Raymond kembali meminta, sayang Regina tak secepat itu merespon. "I miss you so much ..., Sayang." Deg. Hingga kalimat bernada lembut langsung menarik kepala Regina dari menunduk menjadi mendunga, menatap ke arah Raymond yang memasang pancaran lebih lembut lagi dari nada bicaranya. Tidak pakai lama segera bangkit dari duduknya, Regina dengan debaran untuk Raymond Arthur William bergerak mendekati ranjang, langsung saja naik ke atas s
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Raymond tidak menyangka dengan apa yang ia dengar dari mulut Jefri. "Semoga saat dia sadar nanti dia sudah menerima keadaan yang sebenar-benarnya." Lagi Jefri berucap. Raymond belum ada memberikan respon, demi apa Maria Rosalinda koma? "Sampai kapan?" Akhirnya membuka kalimat, Raymond memakai si tanda tanya, menatap ke arah Jefri. Mereka masih berduaan, Regina dan Julia belum balik dan memang sudah semestinya itu terjadi, kalau bisa Regina kembali sore hari saja- itu mau Raymond agar sang istri istirahat dengan cukup. "Tidak tahu, dokter tidak bisa memberikan data tentang itu," jawab Jefri balas menatap sang sahabat. Diam, hening, Raymond lagi dan lagi memang lebih senang menutup mulut. Ia bergerak menyandarkan punggung ke kepala ranjang. "Apa ini ending yang baik?" bergumam tanya kepada diri sendiri. Bukan, Raymond bukan mengeluh lagi, dia hanya membayangkan apa yang Regina rasakan, dia tahu pasti bagaimana sang istri tidak bisa memilih anta
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Faktanya jika kita menikmati waktu sudah pasti geraknya tidak terasa, sangat cepat. Bersama damai dan kebahagiaan Regina merasakan itu, bahwa si waktu berjalan lebih cepat dari biasanya. Sehari dan dua hari tidak terasa sudah berlalu, Raymond keluar dari rumah sakit dihari ketiga pria itu mengalami luka tembak yang disengaja. Empat lima hari pun datang begitu saja. Sesungguhnya mereka semua sudah kembali ke rutinitas masing-masing, kerja, kuliah dan menikmati malam. Namun, tepat dihari keenam setelah malam paling buruk bagi Regina, yaitu hari ini. "Ju, kamu pernah nonton kartun upin ipin tidak?" Suara Jefri terdengar di tengah keramaian bandara. "Ya pernahlah." Suara Julia pun menyusul. Iyaps, mereka sudah berada di bandara, mereka di sini ialah Jefri, Julia, Raymond dan, Regina. "Aku tuh pengen banget jadi kharakter ipinnya." Oke, Raymond dan Regina saling melirik. "Jef, jangan melontarkan kalimat sinting." Regina memperingati setelah liri
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Raymond tidak bisa berkata-kata, serius. Demi para leluhur, rumahnya yang biasa seperti kuburan alias sunyi sepi senyap, kini layaknya pasar pagi, ramai heboh dan gila. Apa yang bisa Raymond lakukan dengan kondisi seperti ini? Tidak ada, hanya berdiri, diam, melihat. Sangkin luar biasanya keturunan William itu tidak bisa berkomentar lagi. Look, halaman belakang rumahnya penuh oleh anak-anak, dari yang usianya sekitar enam tujuh tahun, hingga sembilan sampai sepuluh tahun. keuntungan di sini hanya satu, untung halaman rumahnya, bukan di dalam rumahnya. "Hi, ganteng!" Terdengar sapaan dari belakang tubuhnya, Raymond tahu itu sang istri- Regina. "Kamu tidak mengatakan sebanyak ini." Langsung berujar to the point, Raymond melirik sang istri yang bergerak memeluk lengannya, manja sekali. "Ya namanya anak yatim, Sayang, paling tidak dua sampai tiga puluh lah." Iyaps, right! Benar sekali. Di rumah yang Raymond bangun dengan hasil keringatnya sendir
Awas Typo:) Happy Reading .... *** What?! Kedua netra Regina membulat mendengar kalimat suaminya. "Mau!!!" Awan sendiri berteriak kuat, membuat kedua netra Regina semakin membulat saja, tidak hanya itu, semua mata auto menatap ke arah si anak. Senyum kecil Raymond terbit, untuk Awan Putri Letta. "Oh my god!" gumam Awan terkejut ala-ala anak enam tahun. Si cantik dengan rambut pirang itu menutup mulut menganganya karena mendapati senyum manis seorang Raymond Arthur William, walau kecil. "Oke, welcome to my life, Awan." Titik, Raymond menggerling sebelum pergi dari hadapan dua kaum hawa berbeda usia. ***** "Abang, are you serious?" Raymond baru menegak jus digelasnya, lantas suara Regina sudah terdengar saja. Cepat juga si istri sadar dari keterkejutan. "Ya," jawab Raymond santai, kembali melanjutkan kegiatannya. Kedua mata Regina berkedip, ini dia berhalusinasi apa bagaimana? Dia mabuk ya? Tapi wait, sejak kapan dia meminum alkohol? Artinya dua kemungkinan, ini nyata atau m
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Abang janji akan pulang pukul delapan, awas kalau telat, aku usir dari kamar." "Masih pagi, Re," balas Raymond menarik tali pinggangnya. "Karena masih pagi itu aku ingatkan." Oke, Raymond kalah. Ia tidak mau melawan istri yang semakin hari semakin bawel saja, dan semakin hari semakin posesif, sungguh Raymond tidak tahu apa yang salah dengan istrinya. Namun, saat ia bertanya pada mama, si wanita paruh baya yang melahirkannya itu berkata, sudah wajari saja, namanya juga sedang hamil, Ray. Begitu. "Sini." Tiba-tiba Regina sudah berdiri saja di depan tubuh Raymond, mengambil alih pekerjaan tangan si suami yang sedang memakai tali pinggang. Kalau kata Regina, dikarenakan Raymond bekerja tanpa dasi yang membuat ia tidak bisa melakukan adegan seperti di novel dan film, maka pekerjaan mengancing kemeja atau memakai tali pinggang menjadi urusan Regina. Aneh? Sangat! Raymond pun merasakan itu, istrinya terlalu menikmati tapi Raymond terlalu sengsara k