Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Sesekali tuh manut kenapa sih, Bang, nurut sama istri, jangan istri aja yang disuruh nurut sama suami." "Ingat-ingat lagi," sahut Raymond tanpa menatap Regina, si pria tengah sibuk dengan layar kecil di hadapannya. Setelah membaca majalah agaknya Raymond mau menikmati satu movie sebentar. "Apanya? Apa yang harus aku ingat?" tanya Regina mendekatkan tubuh dengan suaminya. "Berapakali aku mengikuti kemauanmu." "Itu ...." Tidak bisa melanjutkan kalimat, Regina menghela napas kecil. Iya sih, Raymond lebih banyak menurut padanya. "Ck, tapikan kali ini untuk kesehatan kamu juga. Bang, untuk apa kaya kalau endingnya itu uang habis untuk ke rumah sakit, mau sakit ha? Mau?" Memeluk lengan kiri Raymond yang ada di dekatnya, Regina menjatuhkan dagu ke atas bahu lebar suaminya. Saat ini sudah pukul sembilan pagi, tapi masih waktu Melbourne. Namun ya tetap saja, sembilan pagi loh. Raymond tidak ada tidur, kalau kurang waras harusnya jangan gitu juga. "P
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Menatap wajah Raymond yang terlelap adalah kegiatan Regina saat ini, mungkin wanita itu sudah sekitar tiga puluh menit menatap wajah suaminya, menikmati paras yang tidak mempengaruhi Regina saat pertama mereka bertemu. Berani sumpah Regina memang tidak memandang fisik Raymond, ia tertarik karena sikap yang pria ini perlihatkan kepadanya pertamakali. Menarik napas, tangan kiri Regina terangkat, jatuh ke atas rahang kanan Raymond, membawa kepala si pria untuk menghadap dirinya. "Udah cinta belum ya?" bergumam tanya. "Nggak ngerti ini apa, tapi aku selalu khawatir sama kamu, Ray," berbisik, kepala Regina maju lebih mendekat agar jarak wajahnya dan wajah Raymond semakin menipis. Detik bergerak, diam dan menatap adalah kegiatan Regina. Mau tahu apa isi kepala wanita itu? Lumayan banyak, dan hampir rata semua yang berhubungan dengan Raymond Arthur William. Mengusap lembut rahang Raymond dengan ibu jarinya, Regina tersenyum lembut. Dia merasakan itu,
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Diam, hanya saling menatap. Regina menelan liur, sebarbar apapun dia, ini ..., urusan perasaan bukan? Sudah pasti wanita itu akan merasa gugup. Apalagi Raymond menatap sangat intens, sabar pula menunggu walau mereka berdiiri di tengah-tengah bandara internasional Soekarno Hatta. Oke-oke, beri waktu Regina menarik napas sejenak. Huh! Juga berikan dia beberapa detik untuk menghembuskan napas. "Iya." Dia jawab tegas. Sekarang gantian, beri Raymond waktu untuk menangkap jawaban Regina. Ini ..., serius istrinya mengaku? "Iya, Abang, aku sayang. Ya perasaannya bertahap dulu ya," jeda. "Pertama suka, terus sayang, besok ..., cinta," lanjut Regina menggigit bibir bawahnya kecil. Dalam hitungan ketiga Regina digendong ala-ala karung beras oleh Raymond. "Abang!" "Shut up," sahut Raymond menarik koper mereka dengan tangan satunya yang tidak menahan tubuh Regina. Coba-coba, apa yang akan Raymond lakukan kali ini? **** "Egh ...," mengerang, Regina ber
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Ternyata oh ternyata Raymond sudah menyiapkan semua keperluan mereka berlibur sebaik mungkin, pria itu ingin trip selama tiga sampai lima hari dengan Regina di pulau Jawa, hanya Jawa ujung ke ujung. Jadi kota-kota yang ada di sini adalah incaran Raymond, hal uniknya mereka pergi tanpa supir, benar-benar hanya mereka berdua. Lalu untuk apa keturunan William itu meminta disediakan apartemen di Jakarta? Satu jawabannya, hanya untuk istirahat satu malam agar jet lag hilang terlebih dulu. Lucunya ternyata bukan hanya untuk menghilangkan jet lag, apartemen itu saksi bisu Regina berulang kali mengerangkan nama suaminya penuh rasa sayang. Juga menjadi saksi bahwa Raymond bahagia mendengar pernyataan si istri. "Abang yakin tanpa supir? Nanti Abang capek bagaimana?" "Yakin." Sekarang mereka berdua sama-sama sedang sibuk, Regina sibuk mengepang rambut, Raymond sibuk mengabari bawahannya agar ia tidak diganggu selama seminggu ini, kecuali ada hal yang san
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Yuhuuu liburan!!!" Regina berteriak kuat mengangkat kedua tangannya. Raymond yang mendengar dan melirik itu tersenyum kecil, terus menyetir mobil Lamborghini pesanannya. Ya benar sekali, mereka sudah di jalan, dan detik ini sudah memasuki tol. Incaran pertama Regina adalah Jogja, dan Raymond memenuhi permintaan itu. Ini memang liburan mereka, maka apa yang Regina minta sebisa mungkin akan ia kabulkan, termasuk menjadikan Jogja sebagai kota pertama. Well, setelah berteriak kuat Regina menoleh ke arah Raymond, sumpah suaminya terlihat sepuluh juta kali lebih tampan saat menyetir sesantai itu, mana sedang memakai kacamata hitam lagi, semakin menjadi-jadi saja. Regina pun yang memakai kacamata mendorong benda itu ke atas kepalanya, pasang senyum lebar penuh rasa bahagia. "Abang!" memanggil Raymond. "Abang, aku mau nyetir! Boleh ya?!" lanjut menyuarakan apa yang ia mau, Regina langsung mendapatkan jawaban, "Tidak." "Abang please, setengah jam saj
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Aku sudah membaca surat kontrak dari Aris, dan aku menolaknya." Raymond menaiki ranjang hotel yang mana di atasnya ada Regina. "Why? Kenapa Abang tolak?" bertanya bingung, Regina mematikan ponsel yang sedari tadi ada dalam genggamannya, wanita itu baru menghubungi Mario lagi, ia sangat ingin tahu perkembangan Maria. "Produknya tidak bagus," jawaban seadanya, Raymond sudah duduk di samping Regina, wanita itu menoleh guna tetap menatap wajah suaminya. "Memangnya apa? Kenapa nggak diskusi dulu sama aku? Abang main ambil keputusan sendiri ih." Regina sebal tapi tidak untuk marah. Kedua bahu Raymond mengedik ringan, malas banyak berdebat, dia tidak suka perdebatan antara dirinya dan Regina. "Beritahu aku apa produknya, atau Abang bobok di bawah," mengancam. Raymond langsung menoleh, menatap ke arah Regina, mimik si wanita serius sih, tapi ya pasti tidak tega, 'kan? "Yang sedang kamu pakai." "Yang aku pakai? Apaan?" Menunduklah kepala Regina, m
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Rahang wanita dua puluh lima tahun itu mengetat dalam waktu cepat, kepalan di tangan kirinya pun sama eratnya, hal lebih parah genggaman tangan di ponselnya, sangat, amat, erat! Ada apa? Ada sebuah foto yang mengundang emosi Maria, itu foto Regina bersama Raymond. "Shit!" Prang! Mengumpat dan melempar si benda pipi ke atas lantai kamar kosnya. "Argh!!!" Prang! Sekarang Maria berteriak bersama tangan yang melempari ponsel tersebut dengan barang-barang di dekatnya. "Perebut! Perusak! Pria sialan!" ***** Well, di sisi lain ada yang tersenyum-senyum pagi ini, senyum antara happy, malu dan, malu-maluin. Iyaps, itu senyum nyonya muda William. Wanita itu baru saja membuka kedua netranya, masih berbaring di atas ranjang. Pemandangan pagi yang ia dapat indah sih, jadi jangan heran ada adegan senyum-senyum tidak jelas di sini. Apalagi kemarin malam ia baru mendengar pengakuan. 'Aku mulai berdebar.' Aaa!!! Masih tiga kata begitu aja Regina sudah ba
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Please ...," bisik Regina dengan napas terengah menahan kedua tangan Raymond yang ingin menyentuh tubuhnya. "Aku mau," lanjut berucap, Regina sudah memasang tatapan super sayu. "Kenapa aku harus menuruti maumu, Darling?" tanya Raymond serak, belum berusaha melepas kedua tangannya yang dikunci oleh Regina, padahal kalau dia mau itu sangat mudah untuk ia lakukan. "Karena aku mau Abang, aku ..., mau." "Apa hadiah untuk suamimu?" Sialan, pria ini sangat tidak mau rugi. "Apapun." Dan hebat, Regina sukses membuat seringai kemenangan ala Raymond Arthur William tercetak mengerikan. "Aku milikmu ..., Regina." Cup. Maka dimulai sudah apa yang Regina mau, memimpin permainan sebagaimana Raymond biasa memimpin. ***** Touch, menyentuh. Demi dewa dan dewi kayangan, Regina tidak pernah membayangkan adegan ini akan terjadi di hidupnya, dimana dialah yang mencari kepuasannya sendiri. Dimana dia ingin melihat pasangannya pasrah dan diam di bawahnya, tidak
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Cklek. Raymond membuka pintu kamar mandi bertepatan dengan gerakan tangan istrinya yang duduk ke pinggir ranjang, memakai kaos super kebesaran milik Raymond sendiri. Mereka baru selesai, tepat pukul satu siang dan thanks tidak ada yang mengganggu. Gairah Raymond rasanya tidak habis kepada Regina, selalu berdebar setiap menyentuh kulit lembut sang istri. Memang yang halal rasanya jauh jauh jauh!!! Lebih nikmat. "Husband ...." Regina memanggil lirih sambil menoleh untuk menatap Raymond yang diam bersandar di ambang pintu kamar mandi, dan hal itu sudah membuat Raymond siap bertempur lagi jika tidak ingat kondisi kehamilan wanita itu. "Iya, Sayang, ada apa?" menyahut tanya, tangan Raymond terlipat di depan dada. Regina bergerak berdiri, berbalik menatap suaminya yang pun menatapnya. "Kerja?" tanya Regina mengusap keringat sendiri di bagian leher dengan punggung tangan. "Tidak minat," jawab Raymond sambil tersenyum kecil akan pemandangan seksi itu
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Aku janji akan pelan." Tangan Raymond menyentuh pipi kiri Regina, mengusap dengan gerakan lembut namun erotis. Regina memejakan mata, menikmati apa yang memang ia incar, sentuhan suaminya. "Janji?" tanya Regina masih menikmati usapan jari Raymond di pipi. "Of course." Regina membuka mata, menatap Raymond yang sudah menindihnya. "Suamiku tidak bekerja?" Oh ya ayolah, kenapa bertanya perihal itu jika adik di bawah sana sudah menggeliat bangun? "Setelah makan siang?" Raymond balik bertanya, mencoba sabar walau tenggorokannya sendiri sudah tercekat oleh gairah. Masa bodoh dulu dengan kerjaan, sebulan lebih dia berpuasa, belum lagi kemarin lembur, biarkan Raymond melepas lelah. "Oke, sini." Lembut Regina tersenyum genit yang langsung disambut Raymond dengan lumatan manis ala mereka. Raymond mendapatkan lampu hijau tentu harus mengumandangkan janjinya dalam otak, pelan, harus lembut. Argh! Sebulan lebih Raymond berpuasa, sudah seperti bulan ramadh
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Raymond ada di posisi urut pelipis sebab keinganan aneh Regina. Ini masih terlalu pagi, perlu diketahui jarum jam masih menunjukan angka tiga pagi. Dan kepala Raymond serasa siap meledak karena mata lelah dan telinga menjerit marah. "Husband ...." Istrinya merengek lagi dan dia bingung mau bagaimana. "Abang ...." Kalau boleh Raymond memilih, ia lebih memilih mengurusi semua pekerjaan saja daripada mendengar rengekan Regina dikala matanya sangat amat berat. "Regina, kita tunggu matahari naik," bisik Raymond yang sudah duduk di atas ranjang, menoleh lemas ke arah istrinya yang menatap cemberut. "Babynya mau sekarang!" Regina mulai memakai nada ngegas. "Kita cari ke mana, Re?" tanya Raymond pada Regina bersungut-sungut lelah agar wanita itu paham. For your information, Raymond baru pulang pukul satu sebab lembur memeriksa essai mahasiswa, dan begitu pulang Raymond belum bisa langsung tidur karena masih harus mengisi beberapa pendataan ke dalam
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Raymond melumat bibir Regina, kali ini dengan gairahnya. Jika tadi sesi mereka saling mengungkapkan isi kepala dan hati maka sekarang sesi Raymond Arthur William menerima hadiahnya. "Hah ...." Napas Regina terengah. Well, nyonya muda William sudah menyiapkan itu. Setelah acara syukuran Raymond sangat sibuk bekerja, suaminya jauh lebih sibuk dari yang Regina bayangkan, maka dari itu hadiah darinya double. "Suamiku tegang aku senang," bisik Regina genit, sukses membuat Raymond menggendong tubuhnya ala ibu koala. "Kita butuh kamar utama." Raymond juga berbisik, segera mengambil langkah menuju anak tangga. Kepala Regina mengangguk, senyumnya masih genit pakai banget. Oke jangan ragukan Regina Adinda Putri dalam menggoda Raymond Arthur William, wanita itu sudah wisuda, tamat! Bersama mata yang saling menyelami, bersama debaran yang saling terasa, Raymond selalu memimpin, maka kakinya melangkah lembut menaiki anak tangga. Cklek. Tidak mau lama-la
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Udah kali natapnya, Abang, nanti tambah cinta baru tahu," ujar Regina tersenyum bersama kepala menunduk, wanita itu sedang sibuk memotong bolu gulung buatan suaminya sendiri. Raymond diam, tidak menjawab. Pria itu mana ambil peduli, selama ia mau maka akan ia lakukan. Well, detik ini jarum jam sudah ada diangka setengah dua belas malam. Awan tidak mungkin masih bergabung dengan kedua orangtuanya, anak itu sudah terlelap di dalam kamar, Regina sendiri membuat pesta kecil-kecilan berdua dengan sang suami. Mereka duduk di meja makan, niatnya akan pindah ke ruang televisi, tapi tunggu, Regina ingin mencicipi hasil tangan Raymond bersama Awan. "Selesai," ujar Regina setelah memindahkan dua potong bolu gulung ke atas piring. Kepala Regina terangkat dari tunduk, menatap ke arah Raymond yang ternyata oh ternyata masih betah menatapnya. "Udah jatuh cintanya?" tanya Regina bermaksud menggoda si suami. Raymond tersenyum manis, sangat tiba-tiba! Jangan
Awas Typo:) Happy Reading... *** Raymond tidak tahu lagi harus berkata apa. "Hahaha!!! Daddy, lucu!" "Ah ..., suamiku seksi." Ia habis-habisan ditertawai oleh Awan karena permintaan konyol istrinya sendiri, mana yang minta pakai acara menatap mupeng segala alias muka pengen. Ya Tuhan. Raymond tidak tahu harus malu atau bangga, satu sisi ditertawakan, satu lagi ditatap penuh cinta. Jadi, dia memilih keduanya, malu dan, bangga. "Awan, diam atau Daddy ke sana?" tanya Raymond sedang menuang tepung ke dalam mangkuk sedang. Istrinya meminta bolu, sudah pasti ia butuh tepung juga pengembang. "Awan saja yang ke sana!" Semangat Awan menyahuti, si gadis kecil itu menoleh menatap ke arah Regina. "Boleh, 'kan Mom?" Meminta izin kepada mommynya. "Hm? Ya, sure. Ganggu daddy," jawab Regina pasang senyum manis. Tentu saja ia memberi izin, sedang ia bayangkan Raymond bekerjasama dengan Awan untuk memenuhi keinginannya, pasti manis. "Okay, Mommy juga belgabung kalau ingin," bisik Awan, mengec
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Abang janji akan pulang pukul delapan, awas kalau telat, aku usir dari kamar." "Masih pagi, Re," balas Raymond menarik tali pinggangnya. "Karena masih pagi itu aku ingatkan." Oke, Raymond kalah. Ia tidak mau melawan istri yang semakin hari semakin bawel saja, dan semakin hari semakin posesif, sungguh Raymond tidak tahu apa yang salah dengan istrinya. Namun, saat ia bertanya pada mama, si wanita paruh baya yang melahirkannya itu berkata, sudah wajari saja, namanya juga sedang hamil, Ray. Begitu. "Sini." Tiba-tiba Regina sudah berdiri saja di depan tubuh Raymond, mengambil alih pekerjaan tangan si suami yang sedang memakai tali pinggang. Kalau kata Regina, dikarenakan Raymond bekerja tanpa dasi yang membuat ia tidak bisa melakukan adegan seperti di novel dan film, maka pekerjaan mengancing kemeja atau memakai tali pinggang menjadi urusan Regina. Aneh? Sangat! Raymond pun merasakan itu, istrinya terlalu menikmati tapi Raymond terlalu sengsara k
Awas Typo:) Happy Reading .... *** What?! Kedua netra Regina membulat mendengar kalimat suaminya. "Mau!!!" Awan sendiri berteriak kuat, membuat kedua netra Regina semakin membulat saja, tidak hanya itu, semua mata auto menatap ke arah si anak. Senyum kecil Raymond terbit, untuk Awan Putri Letta. "Oh my god!" gumam Awan terkejut ala-ala anak enam tahun. Si cantik dengan rambut pirang itu menutup mulut menganganya karena mendapati senyum manis seorang Raymond Arthur William, walau kecil. "Oke, welcome to my life, Awan." Titik, Raymond menggerling sebelum pergi dari hadapan dua kaum hawa berbeda usia. ***** "Abang, are you serious?" Raymond baru menegak jus digelasnya, lantas suara Regina sudah terdengar saja. Cepat juga si istri sadar dari keterkejutan. "Ya," jawab Raymond santai, kembali melanjutkan kegiatannya. Kedua mata Regina berkedip, ini dia berhalusinasi apa bagaimana? Dia mabuk ya? Tapi wait, sejak kapan dia meminum alkohol? Artinya dua kemungkinan, ini nyata atau m
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Raymond tidak bisa berkata-kata, serius. Demi para leluhur, rumahnya yang biasa seperti kuburan alias sunyi sepi senyap, kini layaknya pasar pagi, ramai heboh dan gila. Apa yang bisa Raymond lakukan dengan kondisi seperti ini? Tidak ada, hanya berdiri, diam, melihat. Sangkin luar biasanya keturunan William itu tidak bisa berkomentar lagi. Look, halaman belakang rumahnya penuh oleh anak-anak, dari yang usianya sekitar enam tujuh tahun, hingga sembilan sampai sepuluh tahun. keuntungan di sini hanya satu, untung halaman rumahnya, bukan di dalam rumahnya. "Hi, ganteng!" Terdengar sapaan dari belakang tubuhnya, Raymond tahu itu sang istri- Regina. "Kamu tidak mengatakan sebanyak ini." Langsung berujar to the point, Raymond melirik sang istri yang bergerak memeluk lengannya, manja sekali. "Ya namanya anak yatim, Sayang, paling tidak dua sampai tiga puluh lah." Iyaps, right! Benar sekali. Di rumah yang Raymond bangun dengan hasil keringatnya sendir