“Apa aku boleh—”
“Tentu saja,” sela Irene, mengangguk dan tersenyum sekaligus. Dia meletakkan bayi Cassie yang sudah selesai menyusui. Mengusap bibirnya yang bersisa susu, lalu mengecupnya sekilas.
Bayi perempuan itu tidur nyenyak. Bahkan mulut kecilnya sedikit terbuka. Itu lucu. Menggemaskan.
Austin mematung bingung. Irene yang tadinya menyusui sembari berdiri, kini memilih duduk di sofa besar yang biasa Austin gunakan untuk tidur sejak beberapa malam lalu.
Dengan santainya Irene duduk meluruskan kedua kaki, merapikan selimut, lalu memandang Austin yang masih berdiri dengan raut wajah yang sama.
“Kemarilah,” kata Irene. Menepuk tempat di sisinya.
Setelah menurut, Austin tidak melepas pandangannya dari wajah Irene yang terus berusaha menyembunyikan tawa geli, untuk rasa bingung yang tergambar jelas di wajah tampan itu.
Karena gaun tidur biru lembutnya berbentuk off shoulder, atau dengan bagian
Sia setuju saat Vanth mengajaknya untuk menikah. Dia juga mengalah, dan memilih pergi dari rumah Teratai. Sebenarnya, itu bukan keputusan yang dipaksakan.Tapi yang sangat mengejutkan tentu saja tentang rumah Teratai yang tidak pernah ada. Sia kembali ke sana sore ini untuk mengucapkan salam perpisahan pada Limora dan Buckley, tapi mendapat kenyataan yang berbeda.“Rumah ini sudah ada dan berdiri di sini sejak dua puluh lima tahun yang lalu, Nona. Tidak ada bangunan lain seperti yang Anda maksudkan.”“Ah, begitu. Apa ada orang-orang dengan nama Limora Catty dan Buckley Winton yang tinggal di sekitar sini?” Sia bertanya dengan penuh harap. Mana mungkin semua lenyap begitu saja tanpa jejak sedikit pun. Ini seperti mustahil!Wanita pemilik rumah yang tampak lebih tua beberapa tahun dari Sia itu menggeleng, setelah berpikir. “Sepertinya tidak ada, Nona.”Sia menghela napas, memilih pasrah, tapi hatinya sungguh masih
Rumah yang dituju Vanth. Rumah si wanita tua yang diceritakan Sia padanya barusan. Dia kini berdiri tegak di depan pagarnya yang berkarat. Bahkan bangunan itu nyaris ambruk di tengah-tengah rumah padat lainnya yang megah dan tinggi menjulang.Vanth merasakannya. Aura wanita tua yang bukan manusia. Benar, wanita tua jelmaan makhluk lain. Tidak pernah ada wanita tua yang tinggal di sini. Rumah ini bahkan tidak berpenghuni.Sebuah papan pengumuman jelas tertancap di tanah, mengklaim bahwa tanah beserta rumah ini milik bank swasta setempat. Dan akan segera diratakan dengan tanah setelah semua sengketa diselesaikan.“Keluar kau.” Vanth bicara pelan, tapi dia tahu si wanita tua itu ada tepat dibelakangnya, sekitar lima meter dari tempatnya berdiri.Cekikikan. Wanita tua itu tidaklah tua. Dia muda, pucat, dan kurus dengan rambut merah sebahu.“Lama tidak bertemu, Ares Vanth Dier.”Vanth berbalik, secepat kilat mencapai leher
Entah kenapa, sejak bersama Vanth, Sia menjadi takut bertemu Rigel. Padahal sebelumnya, saat mereka berdua membicarakannya, Sia merasa masih memiliki perasaan mendalam pada Rigel, walau tidak berani dia ungkapkan.Sekarang, saat pria itu berdiri dihadapannya, Sia gelisah. Entah karena beberapa waktu lalu dia mendapat mimpi buruk yang mengabarkan betapa nyata Rigel berdiri di sana dengan dua orang wanita berdarah-darah dan mati.“Boleh aku masuk?” Rigel tidak menyangka ketika reaksi Sia justru terperanjat saat dia bertanya. “Apa aku mengejutkanmu?” Segalanya jadi terasa canggung.Sia merubah raut wajahnya. “Tidak. Tentu saja tidak. Aku hanya sedang melamun.” Dia tersenyum. “Silakan masuk.”Mereka menjadi kaku satu sama lain. Padahal Sia masih begitu menggilai tubuh Rigel. Entah kenapa, semua berubah begitu cepat. Seperti ada yang menghalanginya untuk kembali menyukai Rigel seperti sebelum mereka berpisah.
“Itu tidak mungkin.” Vanth berusaha meyakinkan dirinya sendiri.“Oh, kau ragu, kawan.” Yemima duduk dan menepuk pundak Vanth dengan tangannya yang basah.“Hentikan itu Yemima, kumohon.” Vanth melihat telapak tangan basah Yemima tertinggal di pundaknya, di kemeja putih yang jarang dikenakannya.Yemima tertawa. Keluar dari kolam dan menggerutu. “Ratu Nimfa memintaku untuk memperingatkan Minerva agar tidak lupa jalan pulangnya. Sementara sang Penguasa langit sangat mengharapkan Minerva lenyap karena sudah menentang aturannya dengan cara mencintaimu.”Menggeram, Vanth bicara di antara celah-celah giginya. “Ayah macam apa itu? Kenapa dia justru menginginkan Putrinya lenyap?”“Karena dia tidak menyukai pemberontak. Para pembangkang yang melanggar aturan. Dia hanya tidak ingin Minerva menjadi contoh buruk untuk semua makhluk langit. Yah, walau benar. Itu sedikit berlebihan.”&l
“Kau bercanda.” Sia memasangkan sendiri cincin itu ke jari manis kirinya dengan santai, berusaha santai.“Lepas, jika menurutmu itu candaan.” Rigel membalas dengan setengah bercanda, setengahnya serius.“Wah, kau tampak tidak berniat melamarku.”“Ini ... sedikit memalukan bagiku,” aku Rigel, menatap ke lantai, “aku tidak ingat bagaimana aku mencintaimu di masa sebelumnya.”“Bohong!” Kedua mata Sia menyipit sedikit melirik, bibirnya menyungging senyum tipis.Rigel membalas senyum yang sama tipisnya. Dia bergumam lagi. “Kupikir kau tidak akan menerima lamaranku.”“Memang tidak.” Sia menjawab cepat. “Tentu saja tidak, karena aku akan menikah dengan Vanth.” Melepas cincin itu dengan gerak yang sama cepatnya, mengembalikannya ke tempat semula.“Apa?” Samar suara Rigel terasa bagai gaung di telinganya sendiri.&ldqu
Perlahan, Rigel melepas cengkeraman tangannya dari leher Sia. Dia berbalik dengan perasaan yang tidak akan mudah diungkapkan. Tidak menghiraukan panggilan Minerva beserta dengan ucapannya.“Rigel, terima kasih. Sampai kapan pun, kau bukanlah seorang pembunuh. Ingat itu.”Suara samar itu tenggelam saat Rigel membuka pintu, saat hujan masih deras di luar, dan saat air mata Rigel mengalir deras di kedua belah pipinya seolah tak tampak karena hujan yang juga membasahi wajahnya.Rigel sadar pada apa yang dilakukannya. Dia tahu risikonya. Semua hanya akan jadi rasa sakit untuknya.Di kamar, Minerva menutup mata dan bicara pada Sia. “Bangun, dan jangan lemah. Kau tidak boleh mencintai keduanya, di saat aku juga hanya memilih satu di antara mereka, kau tidak berhak melakukan lebih dariku.”Ucapan Minerva membuat Sia tersentak. Seperti terbangun dari mimpi, dia terbatuk dan memegangi lehernya. Tidak lagi ada rasa sakit. Terburu dia t
Vanth menyungging senyum sedih. “Ternyata begitu. Terima kasih, Disi.” Sekali saja. Vanth berjanji ini kali pertama dan terakhirnya dia mengecup puncak kepala Disi.Disi kembali menangis. Dia merosot cepat turun dari meja, berbalik, meraih wajah Vanth yang dingin dan terlihat sedih.Kini mereka saling berhadapan, bertatapan.Mempertemukan kening, Disi merasakan dahi pucat Vanth sangat kontras dengan miliknya. Dia tertawa pelan. “Kau pria tertampan yang pernah kulihat.”Vanth mengusap air mata Disi. “Kau akan bertemu bukan hanya satu, bahkan banyak pria tampan di tempat lain,” ungkap Vanth, begitu lembut, begitu dingin.Disi mengangguk. Berusaha tidak menangis lagi karena Vanth sudah mengusap tangisnya, tapi tetap saja bulir-bulir air matanya berjatuhan lagi. “Kau benar. Akan ada Malaikat tampan yang menungguku di surga.”Vanth bukan manusia. Dia tidak akan pernah tahu rasa kehilangan mereka, wa
“Aku tahu.” Rigel berdiri. Melihat Vanth dalam pandangannya yang seperti terbakar. “Aku sadar sejak awal, bahwa aku hanya dimanfaatkan olehmu.” “Jangan bicara omong kosong. Aku tidak bisa memanfaatkanmu meski aku ingin!” Vanth melangkah cepat, menghampiri Rigel dan mencengkeram kerah kemeja hitamnya. “Dengar, aku tidak pernah memanipulasi perasaanmu sejak awal. Aku tidak tahu kenapa Galexia berubah. Bisa saja karena perang di dalam diri mereka. Antara wanitamu dan wanitaku.” “Itu konyol!” Rigel menepis tangan Vanth. “Mereka satu. Minerva adalah Galexia, begitu juga sebaliknya. Sejak awal aku memang tidak menyadarinya, tapi di saat aku sudah yakin itu memang Minerva, aku masih terus menyangkalmu, tidak terima akan kebenarannya. Tapi aku tahu saat dia berubah, tidak menginginkanku, menyalahi takdir kami bersama. Dari situ aku paham, dia sudah tahu siapa yang harus dipilihnya. Bukan aku, tapi kau!” Rigel menuding Vanth dengan ujung telunjuknya di dada pria itu.
Ratu Nimfa. Wanita culas yang tidak menginginkan siapa pun berada didekat Penguasa langit selain dirinya. Janji Vanth untuk mencabut nyawa wanita itu benar-benar diwujudkan, meski akhirnya Penguasa langit melindungi Ratu Nimfa demi dirinya dan kerajaan yang mereka bangun bersama.Minerva tidak menyangka bahwa Vanth mengikutinya ke dunia langit, mengumpulkan banyak tenaga demi bisa menghunuskan belati ke dada kiri Minerva.“Pergilah. Mulai hari ini, kau bukan Putriku. Dan tidak akan ada bahagia yang kau dapatkan setelah berani melakukan banyak hal buruk pada kami. Satu hal yang harus kau ingat, apa pun yang terjadi padamu dan Putra-Putrimu, itu tidak akan ada lagi hubungannya denganku.” Penguasa Langit berbalik, membawa tubuh Ratu Nimfa yang sekarat, tapi wanita itu tidak akan mati. Sekali lagi, mereka bukan manusia. Hidup abadi adalah salah satu hal paling membosankan yang tidak bisa mereka banggakan.“Kau tidak menyesalinya?” Vanth terba
“Dia bukan cinta lamaku,” protes Vanth. Kenyataannya memang begitu.“Ya, aku percaya itu.” Yemima mencibir. Menyeringai dibalik punggung Rigel.“Susul Hortensia. Dia mungkin tidak bisa berada di satu ruangan yang sama dengan Sia.” Vanth menatap Rigel yang mulai menggerakkan tangannya.“Yeah, dua wanitamu bersatu.”“Diam dan pergilah.” Vanth dibuat kesal setiap waktu oleh Yemima, meski dia membutuhkan rekan seperti wanita itu di sisinya.Yemima pergi sembari menyeringai, dia tahu Vanth hanya mencintai Minerva, tapi terjebak birahi dengan Aura. Dan dirinya sendiri tidak pernah peduli untuk jatuh cinta, apalagi berkembang biak.*****Sia memperhatikan dua wajah yang terbaring di kiri dan kanannya. Vanth memang baru saja memejamkan kedua matanya, pria itu lelah pastinya. Sementara Rigel sudah terbaring tidur lebih dulu sebelum dirinya merangkak ke sisi
Rigel pernah punya kenangan di rumah ini. Rumah pertama kali dia dipertemukan kembali dengan Sia, dan rumah yang menjadi tempatnya menghabiskan waktu bersama Yoan Bailey.Beruntung dia tidak pernah membiarkanYoan menjual rumah ini. Walau tampak tidak berpenghuni, tapi Rigel ingat, Yoan mempekerjakan sepasang suami istri untuk menjaga dan merawat rumah ini, serta menyantuni mereka setiap bulan.Mereka disambut, benar, sepasang suami istri yang ramah. Rigel tidak mengenal mereka. Yoan yang selalu mengurus hal yang sering kali tidak dia ketahui.“Jadi selama ini siapa yang membayar gaji kalian?” Rigel bicara tanpa basa-basi, setelah tadi dia mengantarkan Sia masuk ke kamar, agar wanita itu bisa beristirahat.“Tuan Vanth Dier.”Ah, seketika Rigel tidak lagi curiga. Ares Vanth Dier memang selalu bisa diandalkan.*****Vanth menginjak kepala penyerang terakhir, yang lebih tepat disebut pem
Selama sepekan, Vanth dan Rigel terus ada di sisi Sia dengan bergantian berjaga, bahkan mereka tidur di ranjang bersama, bertiga.Malam itu, Sia merasa gerah. Dia meminta Rigel melepas pakaiannya dan menggantinya dengan gaun tidur tipis. Saat dengan hati-hati Rigel melakukannya, Vanth sedang berada di dapur bersama Aura, dan Yemima yang baru saja pergi keluar rumah karena bosan.Dua wanita itu sudah diminta pulang ke negeri atas awan, tapi mereka bersikeras tinggal dengan alasan ingin berjaga-jaga jika kemungkinan buruk yang bisa datang dari luar rumah.“Dia akan baik-baik saja, bukan?” Suara halus Aura, terdengar di dapur Sia yang tidak luas, juga tidak sempit.Sejak tadi, Vanth lebih banyak diam. Aura tahu, itu bukan pertanda yang baik.“Pasti.” Hanya itu jawaban Vanth.“Aku merindukanmu,” ucap Aura dengan sadar posisi, tempat, dan waktu saat dia mengakuinya.“Lalu, apa yang kau inginkan?&rd
Sia melihat perseteruan di depan matanya. Berkali-kali dia memutar tubuh ke kiri dan kanan hanya untuk memastikan keberadaannya.Mimpi dan penglihatan itu lagi. Anehnya kali ini, ada pihak lain yang tampak tidak terima dan menyulitkan Rigel.Sia ingin mendekat, tapi rasa kram di perutnya menahan dia untuk melakukan itu. Dia hanya bisa berada di jarak lima meter untuk memandangi mereka, dan terasa aman bagi kondisi perutnya.Saat umpatan wanita histeris itu mengudara, saat itulah Sia bisa melihat cahaya putih sangat menyilaukan, menghantam mereka.Rigel terpental, lalu menghilang di udara yang membuat tubuhnya sempat mengambang. Begitu juga dengan dua lainnya yang sudah hilang tidak berjejak apa pun.Sia tersedot dari sana dan terlempar untuk membuka kedua matanya kembali. Sensasi seolah ini perjalanan waktu.Terengah, Sia membulatkan sepasang matanya dalam kengerian teramat sangat.“Kau bermimpi buruk lagi?” Yemima hadir d
Waktu penjemputan. Rigel harus segera bersiap. Dia melihat Aura Hortensia Dikova yang berdiri di ambang pintu saat dia keluar untuk membuka dan melihat dengan perasaan tidak menentu di sana.“Kau?”“Bukan hanya dia, tapi juga aku.” Yemima Zvon Yolanthe bahkan ikut muncul dibalik punggung Aura.Rigel mengernyit. Dia tahu siapa wanita ini, bahkan keduanya. “Seharusnya kau datang untuk menjaga Sia.”“Yap. Tapi Ratu Nimfa sudah membebaskan aku. Dia memberikan pilihan padaku. Membantunya atau mantan rekanku. Jelas bukan, aku memilih siapa. Aku di sini sekarang.”Mendengus, Rigel meninggalkan pintu, mendekat ke arah kamar Sia. “Kupikir Ratu pendamping Penguasa langit itu tidak akan pernah mudah melepas sanderanya.”“Aku bukan sandera mereka. Aku hanya melakukan kesalahan kecil hingga harus menjalani hukuman.”Aura melangkah maju hingga berada di antara mereka. “Ba
Austin ingin tertawa mendengarnya. Ini kesalahpahaman yang bahkan tidak pernah terjadi padanya dan Disi. Kenapa bisa Irene berpikir terlalu jauh seperti itu? “Aku punya kesibukan yang lain beberapa waktu lalu hingga ketika tiba di rumah, aku lebih mengutamakan bayi Cassie karena dia jarang sekali bisa bertemu denganku. Denganmu, aku bisa melihatmu selalu. Kita tidur bersama sepanjang malam. Jadi kupikir, aku tidak ingin kehilangan momenku sebagai seorang Ayah bersamanya. Dan ... aku memikirkan ini lebih jauh Irene. Ketika kita bercinta, aku selalu lepas kendali. Kekuatanku menindih tubuhmu bisa mematahkan ranjang. Kau sedang hamil, dan aku tidak ingin lepas kendali yang bisa berakhir dengan menyakitimu dan bayinya. Apa hal itu justru menyakiti hatimu?” Austin mengangkat dagu Irene agar berani menatapnya. “Tidak. Kau tidak pernah menyakitiku. Justru aku takut diriku bisa membuatmu terluka dan kecewa.” Irene meraih tangan Austin, menggenggamnya sesaat,
Rigel mengangkat tubuh Sia ke tempat tidur. Wanita itu kembali pingsan untuk kesekian kalinya.“Temani dia. Aku harus kembali sebentar ke negeri atas awan.” Vanth sudah bergerak untuk pergi.“Aku tidak bisa meninggalkan Sia seorang diri saat akan melakukan penjemputan.”“Aku tahu.” Vanth mengusap kusen, merapalkan mantra di sana. “Jika aku terlambat kembali, seorang teman akan datang menemani Sia.”“Harus seseorang yang tahu tentang kondisi kehamilannya.” Rigel memperingatkan. Seorang manusia normal pasti akan panik saat menghadapi situasi kesakitan Sia, dan pasti memilih untuk membawanya ke Rumah Sakit.“Ya. Dia temanku, bukan teman Sia. Jadi sudah pasti dia paham akan kondisinya.” Setelah bicara, Vanth pergi. Ada rasa sedih yang disimpannya rapat-rapat di dalam hati, dia harus kembali karena ada beberapa tugasnya sebagai Pemimpin yang belum selesai.Rigel melihat wajah
Tersadar dari pingsannya, Sia mengalami sesak napas.“Sayang, cobalah bernapas dengan perlahan.” Vanth yang tidak tidur sama sekali dan terus terjaga saat Sia terlelap, tetap tenang walau ada gelisah yang menghantuinya.Sia coba mengikuti saran Vanth, tapi tetap tidak membuahkan hasil apa pun. Sia terus kesulitan bernapas dan Vanth segera membawanya ke Rumah Sakit.“Selain kesulitan bernapas, tubuhnya juga kehilangan cairan cukup banyak. Dan ...” Dokter wanita itu melepas kacamatanya, mencubit pangkal hidungnya, dan bingung harus bagaimana menyampaikannya, “maaf, Tuan.Seperti ada parasit yang coba menyerap darah dan mengganggu kinerja organ tubuh lainnya. Parasit yang sampai saat ini belum bisa kami temukan berada di bagian tubuh mana di dalam tubuh istri Anda. Jujur saja, ini aneh. Seperti di luar akal sehat kami, para Dokter. Bukan tidak mungkin, tapi—”“Aku mengerti.” Vanth menarik diri, per