Vanth menyungging senyum sedih. “Ternyata begitu. Terima kasih, Disi.” Sekali saja. Vanth berjanji ini kali pertama dan terakhirnya dia mengecup puncak kepala Disi.
Disi kembali menangis. Dia merosot cepat turun dari meja, berbalik, meraih wajah Vanth yang dingin dan terlihat sedih.
Kini mereka saling berhadapan, bertatapan.
Mempertemukan kening, Disi merasakan dahi pucat Vanth sangat kontras dengan miliknya. Dia tertawa pelan. “Kau pria tertampan yang pernah kulihat.”
Vanth mengusap air mata Disi. “Kau akan bertemu bukan hanya satu, bahkan banyak pria tampan di tempat lain,” ungkap Vanth, begitu lembut, begitu dingin.
Disi mengangguk. Berusaha tidak menangis lagi karena Vanth sudah mengusap tangisnya, tapi tetap saja bulir-bulir air matanya berjatuhan lagi. “Kau benar. Akan ada Malaikat tampan yang menungguku di surga.”
Vanth bukan manusia. Dia tidak akan pernah tahu rasa kehilangan mereka, wa
“Aku tahu.” Rigel berdiri. Melihat Vanth dalam pandangannya yang seperti terbakar. “Aku sadar sejak awal, bahwa aku hanya dimanfaatkan olehmu.” “Jangan bicara omong kosong. Aku tidak bisa memanfaatkanmu meski aku ingin!” Vanth melangkah cepat, menghampiri Rigel dan mencengkeram kerah kemeja hitamnya. “Dengar, aku tidak pernah memanipulasi perasaanmu sejak awal. Aku tidak tahu kenapa Galexia berubah. Bisa saja karena perang di dalam diri mereka. Antara wanitamu dan wanitaku.” “Itu konyol!” Rigel menepis tangan Vanth. “Mereka satu. Minerva adalah Galexia, begitu juga sebaliknya. Sejak awal aku memang tidak menyadarinya, tapi di saat aku sudah yakin itu memang Minerva, aku masih terus menyangkalmu, tidak terima akan kebenarannya. Tapi aku tahu saat dia berubah, tidak menginginkanku, menyalahi takdir kami bersama. Dari situ aku paham, dia sudah tahu siapa yang harus dipilihnya. Bukan aku, tapi kau!” Rigel menuding Vanth dengan ujung telunjuknya di dada pria itu.
“Ah, Pangeran tampanmu sudah kembali.” Yemima tertawa nyaring. “Itu artinya aku sudah harus pergi.”“Kau mau ke mana?” Vanth melangkah masuk ke kamar, membungkuk untuk mengecup puncak kepala Sia.“Pulang, tentu saja.” Yemima sudah akan pergi.“Memangnya ada yang bersedia menjemputmu tengah malam begini?”Yemima akan mengatakan sesuatu, tapi dia ragu. Karena memang benar, tidak ada utusan yang akan menjemputnya malam ini. Mereka baru bersedia besok atau lusa.“Menginaplah di sini,” kata Sia. Akhirnya dia bicara. Menatap Vanth seolah meminta persetujuan.“Ya, menginaplah di sini. Aku akan sekamar dengan Sia malam ini.”Yemima berdeham. Bergumam sendirian, “Bukannya mereka selalu tidur sekamar?”“Apa katamu?” Vanth berkacak pinggang. Seakan tahu apa yang digumamkan Yemima.“Aku tanya, di mana kamarnya?”
“Siapa Ayahnya?” Rigel bertanya, melihat bayi Cassie yang bergerak aktif seolah meminta untuk diangkat dari kereta bayinya.Perawat paruh baya itu terdiam. Tidak berani berkata apa pun kecuali, “Ibunya Nyonya Irene Wilson, Tuan.”Rigel tersenyum lebar untuk membuat bayi Cassie tertawa. Tidak peduli pada jawabannya, padahal dia yang bertanya. “Boleh aku menggendongnya?”Perawat paruh baya tidak merasa bahwa Rigel pria berbahaya. Walau auranya gelap dan sedikit mencekam, tapi perawat paruh baya yang paham banyak tentang kerasnya hidup, memahami hal itu sebagai bentuk dari rasa kesepian Rigel.“Silakan, Tuan.”Rigel segera mengangkat si tubuh mungil yang sehat, putih kemerahan dengan pipi yang membulat sedikit turun itu sembari tertawa-tawa.Umur bayi Cassie sudah memasuki usia hampir delapan minggu. Tapi dia tumbuh terlalu cepat, tubuhnya sehat, dan tampak kuat.“Siapa yang memberi n
Rigel menjalani harinya seolah semua datar, tanpa tanjakan berarti. Hanya bila sedang mendapatkan tugas penjemputan, dia merasa adrenalinnya lebih terpacu. Jiwanya seakan hidup. “Kau semakin mengerikan dengan tampang dan rambut merah anehmu itu,” kata Yoan. Muncul tiba-tiba ke meja kerja Rigel adalah kebiasaannya. Rigel mengusap rambut auburn miliknya. Seolah selama ini dia lupa memiliki warna semencolok itu sebagai Malaikat pencabut nyawa. Tidak berlebihan memang, rambut Rigel kini mulai berubah semakin gelap dan kusam. Tidak ada lagi pirang merah antara warna merah dan cokelat. Jahe gelap yang menawan bahkan tidak hinggap lagi di rambutnya. “Memangnya tampak seperti apa?” Kali ini Rigel tertarik, dan Yoan tertawa. “Apa kau peduli?” “Jika tidak, untuk apa aku bertanya.” Rigel memperhatikan warna rambutnya dibalik layar ponsel yang mati. “Kurasa kau sudah mulai waras.” Yoan tertawa lagi. “Jadi apa jawabannya?” Kedua mat
Rigel memperhatikan perubahan pada warna rambutnya, dan itu bagus. Dia menyukainya. Ini benar-benar berubah dari warna asli rambutnya menjadi brunette.Lana berdiri dibelakang Rigel dengan posisi ragu-ragu, seolah dia melakukan kesalahan. “Apa Anda menyukainya, Tuan?”“Aku suka. Kerja bagus, Nona.” Rigel memberinya seulas senyum singkat. “Di mana Yoan?”Lana tersentak. “Oh, dia ada di dapur, menemui Betty.” Segera dia mundur beberapa langkah saat Rigel keluar dari kursinya. Tadi dia sempat mengalami kejut jantung sesaat, ketika Rigel mengucapkan bahwa pria itu menyukai hasil kerjanya.Itu artinya, usahanya berhasil untuk mengubah auburn menjadi cokelat klasik yang sesuai bagi seseorang seperti Rigel dengan kulit tidak begitu pucat, tapi juga tidak terlalu putih. Kulitnya cenderung seperti kuning langsat. Sulit bagi Lana, karena Rigel terasa tidak memiliki ketetapan untuk semua yang tampak dalam dirinya.
“Aku menolak, ketika Rigel Auberon melamarku tempo hari.” Sia akhirnya mengatakan hal itu saat Vanth mengantarnya ke bandara.Vanth tidak terkejut, tidak juga memperlihatkannya. Dia bersikap biasa dengan bahasa tubuh yang wajar. Sudah lebih dulu tahu dari Rigel cukup menguntungkan baginya. “Lalu? Kau ingin menceritakan hal itu dan ketinggalan pesawatmu?”“Kau benar. Aku harus pergi,” kata Sia. Dia siap merentangkan kedua tangannya, tapi Vanth lebih dulu memeluknya dengan erat.“Walau hanya dua hari, jangan coba melirik pria lain. Jangan ambil kesempata sekecil apa pun untuk itu, karena aku selalu mengawasimu, Galexia Pandora.” Setelah mengatakan hal itu, pelukan terlepas, dan ciuman bibir yang dalam itu mengejutkan Sia, tapi dia tetap membalasnya.Ciuman singkat yang bermakna, selesai. Sia menyeret koper, melambai dengan wajah dipenuhi senyum walau tidak sampai menghilangkan kedua matanya.Vanth memba
Tentu saja Sia tidak bersedia. Dengan senyum sewajarnya, Sia menolak dan meminta pada pelayan itu untuk meyampaikan maaf darinya kepada si pria yang berniat sesuatu pada dirinya.“Maaf sekali, aku sudah ada janji dan akan pergi sekarang.” Cepat beranjak tanpa berniat melihat ke arah mana pun di dalam kafe, Sia melangkah bersama tas belanjaannya.Perasaannya tidak nyaman. Ini di negara asing, tanpa teman, tanpa orang dikenal. Sia merasa sendirian, dia tahu itu tidak akan aman untuknya.Pria dari meja 9A mengikuti Sia keluar diiringi tatapan dari kedua mata Rigel. Tapi karena Pedrick Cullen terus menunjukkan bahwa dia akan beraksi, Rigel segera mengabaikan Sia.Sia mulai kembali memusatkan perhatiannya pada tujuan penting dia ke sini. Tugas pertamanya akan gagal total jika dia tidak pintar memanfaatkan peluang dan waktunya dengan baik.Memasuki sebuah toko yang menjual kacamata, Sia harus membeli dua pieces warna bingkai berbeda untuk seo
Sebelum sempat Rigel menjawab, Sia sudah maju untuk membungkam tawa Pierre dengan tamparan darinya. Setengah dirinya memang sedang dikuasai Minerva, terkadang.“Tutup mulutmu, bajingan!” Sia mendesis geram. Wajah tampan menyebalkan, untuk apa semua itu?Pierre tidak merasakan sakit, ingat, dia Iblis. Tapi harga dirinya terusik. Dengan geram dia mencekik Sia dan mengangakat tubuh wanita itu tinggi-tinggi di atas kepalanya, di udara.Rigel mendekat, meninju dada Pierre dan tangannya terlepas dari leher Sia. Pukulan dengan tenaga dalam yang dimanfaatkan Rigel sekuat tenaga.Tubuh Sia terjatuh ke tanah dengan bunyi keras. Rigel bahkan tidak menangkap tubuh Sia hingga wanita itu mengaduh kesakitan dengan suara pelan dibelakangnya.“Mau dilanjutkan?” tanya Rigel, dengan senyum sinis. Jiwa bertarungnya juga sama terusiknya dengan Pierre.Suasana mulai gaduh. Beberapa orang memotret, bahkan sejak tubuh Sia diangkat tinggi-tin
Ratu Nimfa. Wanita culas yang tidak menginginkan siapa pun berada didekat Penguasa langit selain dirinya. Janji Vanth untuk mencabut nyawa wanita itu benar-benar diwujudkan, meski akhirnya Penguasa langit melindungi Ratu Nimfa demi dirinya dan kerajaan yang mereka bangun bersama.Minerva tidak menyangka bahwa Vanth mengikutinya ke dunia langit, mengumpulkan banyak tenaga demi bisa menghunuskan belati ke dada kiri Minerva.“Pergilah. Mulai hari ini, kau bukan Putriku. Dan tidak akan ada bahagia yang kau dapatkan setelah berani melakukan banyak hal buruk pada kami. Satu hal yang harus kau ingat, apa pun yang terjadi padamu dan Putra-Putrimu, itu tidak akan ada lagi hubungannya denganku.” Penguasa Langit berbalik, membawa tubuh Ratu Nimfa yang sekarat, tapi wanita itu tidak akan mati. Sekali lagi, mereka bukan manusia. Hidup abadi adalah salah satu hal paling membosankan yang tidak bisa mereka banggakan.“Kau tidak menyesalinya?” Vanth terba
“Dia bukan cinta lamaku,” protes Vanth. Kenyataannya memang begitu.“Ya, aku percaya itu.” Yemima mencibir. Menyeringai dibalik punggung Rigel.“Susul Hortensia. Dia mungkin tidak bisa berada di satu ruangan yang sama dengan Sia.” Vanth menatap Rigel yang mulai menggerakkan tangannya.“Yeah, dua wanitamu bersatu.”“Diam dan pergilah.” Vanth dibuat kesal setiap waktu oleh Yemima, meski dia membutuhkan rekan seperti wanita itu di sisinya.Yemima pergi sembari menyeringai, dia tahu Vanth hanya mencintai Minerva, tapi terjebak birahi dengan Aura. Dan dirinya sendiri tidak pernah peduli untuk jatuh cinta, apalagi berkembang biak.*****Sia memperhatikan dua wajah yang terbaring di kiri dan kanannya. Vanth memang baru saja memejamkan kedua matanya, pria itu lelah pastinya. Sementara Rigel sudah terbaring tidur lebih dulu sebelum dirinya merangkak ke sisi
Rigel pernah punya kenangan di rumah ini. Rumah pertama kali dia dipertemukan kembali dengan Sia, dan rumah yang menjadi tempatnya menghabiskan waktu bersama Yoan Bailey.Beruntung dia tidak pernah membiarkanYoan menjual rumah ini. Walau tampak tidak berpenghuni, tapi Rigel ingat, Yoan mempekerjakan sepasang suami istri untuk menjaga dan merawat rumah ini, serta menyantuni mereka setiap bulan.Mereka disambut, benar, sepasang suami istri yang ramah. Rigel tidak mengenal mereka. Yoan yang selalu mengurus hal yang sering kali tidak dia ketahui.“Jadi selama ini siapa yang membayar gaji kalian?” Rigel bicara tanpa basa-basi, setelah tadi dia mengantarkan Sia masuk ke kamar, agar wanita itu bisa beristirahat.“Tuan Vanth Dier.”Ah, seketika Rigel tidak lagi curiga. Ares Vanth Dier memang selalu bisa diandalkan.*****Vanth menginjak kepala penyerang terakhir, yang lebih tepat disebut pem
Selama sepekan, Vanth dan Rigel terus ada di sisi Sia dengan bergantian berjaga, bahkan mereka tidur di ranjang bersama, bertiga.Malam itu, Sia merasa gerah. Dia meminta Rigel melepas pakaiannya dan menggantinya dengan gaun tidur tipis. Saat dengan hati-hati Rigel melakukannya, Vanth sedang berada di dapur bersama Aura, dan Yemima yang baru saja pergi keluar rumah karena bosan.Dua wanita itu sudah diminta pulang ke negeri atas awan, tapi mereka bersikeras tinggal dengan alasan ingin berjaga-jaga jika kemungkinan buruk yang bisa datang dari luar rumah.“Dia akan baik-baik saja, bukan?” Suara halus Aura, terdengar di dapur Sia yang tidak luas, juga tidak sempit.Sejak tadi, Vanth lebih banyak diam. Aura tahu, itu bukan pertanda yang baik.“Pasti.” Hanya itu jawaban Vanth.“Aku merindukanmu,” ucap Aura dengan sadar posisi, tempat, dan waktu saat dia mengakuinya.“Lalu, apa yang kau inginkan?&rd
Sia melihat perseteruan di depan matanya. Berkali-kali dia memutar tubuh ke kiri dan kanan hanya untuk memastikan keberadaannya.Mimpi dan penglihatan itu lagi. Anehnya kali ini, ada pihak lain yang tampak tidak terima dan menyulitkan Rigel.Sia ingin mendekat, tapi rasa kram di perutnya menahan dia untuk melakukan itu. Dia hanya bisa berada di jarak lima meter untuk memandangi mereka, dan terasa aman bagi kondisi perutnya.Saat umpatan wanita histeris itu mengudara, saat itulah Sia bisa melihat cahaya putih sangat menyilaukan, menghantam mereka.Rigel terpental, lalu menghilang di udara yang membuat tubuhnya sempat mengambang. Begitu juga dengan dua lainnya yang sudah hilang tidak berjejak apa pun.Sia tersedot dari sana dan terlempar untuk membuka kedua matanya kembali. Sensasi seolah ini perjalanan waktu.Terengah, Sia membulatkan sepasang matanya dalam kengerian teramat sangat.“Kau bermimpi buruk lagi?” Yemima hadir d
Waktu penjemputan. Rigel harus segera bersiap. Dia melihat Aura Hortensia Dikova yang berdiri di ambang pintu saat dia keluar untuk membuka dan melihat dengan perasaan tidak menentu di sana.“Kau?”“Bukan hanya dia, tapi juga aku.” Yemima Zvon Yolanthe bahkan ikut muncul dibalik punggung Aura.Rigel mengernyit. Dia tahu siapa wanita ini, bahkan keduanya. “Seharusnya kau datang untuk menjaga Sia.”“Yap. Tapi Ratu Nimfa sudah membebaskan aku. Dia memberikan pilihan padaku. Membantunya atau mantan rekanku. Jelas bukan, aku memilih siapa. Aku di sini sekarang.”Mendengus, Rigel meninggalkan pintu, mendekat ke arah kamar Sia. “Kupikir Ratu pendamping Penguasa langit itu tidak akan pernah mudah melepas sanderanya.”“Aku bukan sandera mereka. Aku hanya melakukan kesalahan kecil hingga harus menjalani hukuman.”Aura melangkah maju hingga berada di antara mereka. “Ba
Austin ingin tertawa mendengarnya. Ini kesalahpahaman yang bahkan tidak pernah terjadi padanya dan Disi. Kenapa bisa Irene berpikir terlalu jauh seperti itu? “Aku punya kesibukan yang lain beberapa waktu lalu hingga ketika tiba di rumah, aku lebih mengutamakan bayi Cassie karena dia jarang sekali bisa bertemu denganku. Denganmu, aku bisa melihatmu selalu. Kita tidur bersama sepanjang malam. Jadi kupikir, aku tidak ingin kehilangan momenku sebagai seorang Ayah bersamanya. Dan ... aku memikirkan ini lebih jauh Irene. Ketika kita bercinta, aku selalu lepas kendali. Kekuatanku menindih tubuhmu bisa mematahkan ranjang. Kau sedang hamil, dan aku tidak ingin lepas kendali yang bisa berakhir dengan menyakitimu dan bayinya. Apa hal itu justru menyakiti hatimu?” Austin mengangkat dagu Irene agar berani menatapnya. “Tidak. Kau tidak pernah menyakitiku. Justru aku takut diriku bisa membuatmu terluka dan kecewa.” Irene meraih tangan Austin, menggenggamnya sesaat,
Rigel mengangkat tubuh Sia ke tempat tidur. Wanita itu kembali pingsan untuk kesekian kalinya.“Temani dia. Aku harus kembali sebentar ke negeri atas awan.” Vanth sudah bergerak untuk pergi.“Aku tidak bisa meninggalkan Sia seorang diri saat akan melakukan penjemputan.”“Aku tahu.” Vanth mengusap kusen, merapalkan mantra di sana. “Jika aku terlambat kembali, seorang teman akan datang menemani Sia.”“Harus seseorang yang tahu tentang kondisi kehamilannya.” Rigel memperingatkan. Seorang manusia normal pasti akan panik saat menghadapi situasi kesakitan Sia, dan pasti memilih untuk membawanya ke Rumah Sakit.“Ya. Dia temanku, bukan teman Sia. Jadi sudah pasti dia paham akan kondisinya.” Setelah bicara, Vanth pergi. Ada rasa sedih yang disimpannya rapat-rapat di dalam hati, dia harus kembali karena ada beberapa tugasnya sebagai Pemimpin yang belum selesai.Rigel melihat wajah
Tersadar dari pingsannya, Sia mengalami sesak napas.“Sayang, cobalah bernapas dengan perlahan.” Vanth yang tidak tidur sama sekali dan terus terjaga saat Sia terlelap, tetap tenang walau ada gelisah yang menghantuinya.Sia coba mengikuti saran Vanth, tapi tetap tidak membuahkan hasil apa pun. Sia terus kesulitan bernapas dan Vanth segera membawanya ke Rumah Sakit.“Selain kesulitan bernapas, tubuhnya juga kehilangan cairan cukup banyak. Dan ...” Dokter wanita itu melepas kacamatanya, mencubit pangkal hidungnya, dan bingung harus bagaimana menyampaikannya, “maaf, Tuan.Seperti ada parasit yang coba menyerap darah dan mengganggu kinerja organ tubuh lainnya. Parasit yang sampai saat ini belum bisa kami temukan berada di bagian tubuh mana di dalam tubuh istri Anda. Jujur saja, ini aneh. Seperti di luar akal sehat kami, para Dokter. Bukan tidak mungkin, tapi—”“Aku mengerti.” Vanth menarik diri, per