Rigel mempersilakan para tamu dan rekan bisnisnya untuk mencicipi semua hidangan istimewa yang telah disiapkan. Kedua matanya kemudian mencari-cari keberadaan istri tercinta dan menemukannya di antara para tamu lain, berjalan cepat menuju ke arahnya.
Dengan senyum manis menyambut, Rigel bisa melihat Sia yang membalas senyumnya. Tidak ada yang mencurigakan dari sang istri, Rigel juga tidak perlu berburuk sangka pada Sia tentang apapun. Mereka saling percaya.
“Apa ada yang terjadi?” tanya Rigel, penuh perhatian, menggenggam tangan Sia dengan lembut.
“Tidak. Apa aku terlihat bermasalah, Sayang?” Sia tiba-tiba gugup. Dia takut Rigel menyadari sesuatu, padahal dia sudah berusaha sebaik mungkin agar tidak mencurigakan di mata suaminya.
“Tentu saja tidak. Aku hanya bertanya karena melihatmu terlambat kembali.” Rigel menatap Sia, dan istrinya segera tertawa riang.
“Oh, itu ...” Sia secepat mungkin memikirkan sesuatu yang bagus untuk dijadikan alasan,
“Aku akan melakukan apapun agar kau bersedia untuk menyembuhkan istriku.” Yoan berdiri di sebuah pondok tepi jurang. Dia tiba semenit lalu.“Termasuk memberikan darahmu setiap sebulan sekali untukku di akhir senja?” Pemilik pondok menatap tajam pada Yoan. Dia sungguh tidak mengira akan ada orang yang mencarinya, lalu berhasil menemukannya. Bukan hanya sulit ditemukan, dia juga tinggal di tempat berbahaya.“Apapun itu.” Yoan tidak ragu-ragu, apalagi takut.Kedua mata wanita berpakaian serba putih gading itu memicing curiga. Dia merasa tidak yakin Yoan hanyalah manusia biasa.“Bagaimana cara kau melewati hutan, sungai, dan tebing sebelum tiba di sini?”Yoan tersenyum. “Kupikir, karena kau memiliki kekuatan penyembuh, kau juga dapat mengetahui caraku bisa tiba sampai ke sini dengan selamat.”Wanita itu tertawa. “Wah, kau berani bicara ternyata. Jadi, di mana istrimu? Aku akan men
Sia terbangun pagi harinya dengan terkejut tanpa kursi roda di sisi ranjang. Dia mengedarkan pandangan ke segala arah, dan yakin selama Yoan tidak pulang, pintu beserta jendela terkunci dengan benar.“Yo-Yoan? Kaukah itu?” Sia menyeret bokongnya maju. Panik saat mendengar suara sendok jatuh di luar kamar.Suara pintu terbuka dan kemunculan Yoan di sana, melegakan hati Sia. Dia hampir saja menangis ketakutan. Beberapa hari lalu rasa-rasanya dia baru saja mengusir Yoan dengan caranya yang halus untuk pergi mencari bahagianya, tapi baru dua hari ditinggal, Sia sudah merasakan dia tidak akan kuat menghadapi segalanya sendirian.“Ya, ini aku. Hei ... kau kenapa, Sayang? Apa kakimu sakit?” Yoan tergesa menghampiri Sia.“Peluk aku,” pinta Sia. Dia bermimpi buruk. Sangat buruk, hingga air matanya tiba-tiba menetes jatuh.Yoan memeluk Sia dengan perasaan gelisah. Yang diingatnya selalu, Sia itu wanita kuat dan hampir tida
Sia berjalan ke sana kemari seperti bayi yang baru bisa menginjakkan kedua kakinya ke bumi untuk pertama kalinya. Dia bahagia, tentu saja.Yoan bahkan sudah menghubunginya empat kali dalam tiga puluh menit. Itu merepotkan, tapi Sia tidak merasakan bahwa Yoan membebaninya. Sama sekali tidak.“Jangan terlalu banyak berjalan. Kedua kakimu masih belum terbiasa dan bisa saja terluka jika kau memaksakan diri.”“Baik, Yoan. Aku mengerti.” Sia cekikikan. Merasa seperti baru kali ini hal baik terjadi dalam hidupnya.“Jangan lupa kirimi aku pesan ke mana saja kau pergi dan di mana kau menungguku.” Yoan mengingatkan lagi.“Baik, Tuan Yoan Bailey. Aku mengerti.”“Senang mendengar kau memahami maksudku, Sia. Sampai nanti.”“Sampai nanti, Yoan.”Panggilan berakhir, setitik dua titik air dari langit jatuh semakin lama semakin deras. Untuk pertama kalinya setelah sekian la
“Yang kuinginkan?” Vanth menaikkan kedua alis matanya yang hitam lebat menawan. “Inilah yang kau inginkan, Galexia Pandora.”“Apa maksudmu? Kau bicara seolah-olah aku mengingat semua masa laluku. Apa kau—”Vanth mencium bibir Sia, menghentikan semua aliran darah di tubuh Sia kecuali di kepalanya. Tubuh Sia tidak bergerak sama sekali, masih dikendalikan oleh Vanth sepenuhnya. Hanya kedua mata Sia yang mengerjap-ngerjap karena terkejut.Vanth bicara di depan bibir Sia, masih bisa melihat bibir wanita itu bergetar. “Sampai kapan pun, kau tidak akan pernah bisa mengalahkanku, Galexia.”Kembali melakukan hal yang sama, Vanth menggigit lembut bagian bawah bibir Sia. Melakukannya lagi dan lagi, sementara Sia hanya bisa diam. Untuk kali keempat, Sia baru bisa menikmati sensasinya dan mengikuti alur ciuman Vanth.Sia seakan lupa siapa yang dicintainya, siapa yang dipujanya, siapa yang selalu ada untuknya
“Menemuimu. Memangnya ada yang lain?” Sia memijat keningnya. “Pelankan suaramu. Yoan bisa saja ke dapur untuk membuat sesuatu.” Tawa Vanth membahana di seluruh kamar mandi. Bergema dan membuat Sia panik. “Tidak bisakah kau menjaga agar keadaan tetap aman?” Sia membekap mulut Vanth. Kedua mata pria itu menyipit karena dia sedang tersenyum lebar saat ini. Vanth menarik tubuh Sia hingga terduduk dipangkuannya. Jantung Sia yang berdetak-detak ribut semakin menarik minat Vanth untuk menikmati wanita yang sudah dibuat hidup dan mati berulang kali oleh kekuatan si Pemimpin negeri atas awan ini. “Semua aman terkendali. Jangan samakan aku dengan manusia biasa. Kau mengerti, Sayang?” Sia merasakan tangan Vanth menuntun kedua lengannya untuk dilingkarkan di leher pria itu. Sedangkan telapak tangan Vanth yang kiri mulai menjelajahi tubuh Sia. “Oh, ya ampun. Jangan lagi, kumohon.” Sia meminta dengan suara yang lirih. Menahan diri dan hasrat yang in
Sudah tiga puluh satu hari berlalu, dan ketika Yoan berniat menemui Ivory Evangeline, wanita itu justru muncul dihadapannya.Pagar masih setengah terbuka, Yoan berniat lari pagi sebentar, tapi wanita bergaun putih gading dengan model yang berbeda dari sebelumnya itu tersenyum samar pada Yoan.“Sejak kapan kau di sini?” Yoan terkejut. Dia melihat ke sekeliling. Beruntung Sia pamit ke toko roti pagi-pagi sekali tadi sehingga dia tidak perlu menjelaskan siapa wanita dihadapannya ini kepada istrinya.“Sejak malam berganti pagi.” Ivory masuk, melewati pagar yang setengah terbuka.Yoan kaku seketika. Bagaimana jika Sia pulang dengan tiba-tiba? Mana mungkin istrinya itu percaya bahwa Ivory Evangeline adalah salah satu teman kantor atau rekan kerjanya.Penampilannya saja sudah sangat mendukung bahwa Ivory bukan temannya. Hari ini dia mengenakan dress putih gading bergaris dengan warna yang sama, terlihat sangat klasik menggunakan de
“Kau ingat nomor yang bisa dihubungi?” Pria itu coba tidak bertanya ‘kenapa bisa dan mengapa’ dan lebih memilih menanyakan kontak yang mungkin bisa membantu Sia kembali ke rumah, pada keluarganya.Sia menggeleng muram. Dia merasa dirinya seperti bukan miliknya. Sesuatu terjadi pada ingatannya. Bahkan tadi dia pergi tidak membawa ponsel, karena mengira hanya ke toko roti dan tidak akan berlama-lama di sana.Berpikir sejenak, akhirnya pria itu memutuskan. “Siapa namamu?”“Aku ... Galexia Pandora.” Sia menatapnya, dan pria itu memegang kepala sesaat. Seperti menahan rasa sakit. “Anda tidak apa-apa?”“Tidak, aku tidak apa-apa.” Dia menggeleng pelan. Kepalanya berdenyut hebat ketika wanita ini menyebutkan namanya. “Aku Rigel Auberon.”Sia mengangguk. “Terima kasih sudah membantu, Tuan Rigel.”“Aku belum membantumu apapun. Ayo, kuantar kau ke kant
Rigel tertawa. “Memangnya kau tahu arah menuju ke apotek?”Sia menggeleng. “Kupikir kau punya persediaan di kotak obatmu.”“Tidak. Aku dan mantan istriku tidak peduli hal-hal seperti menyediakan obat-obatan di kotak obat. Jika sakit atau terluka, kami biasa langsung ke Dokter.”Sia tahu bahwa setiap rumah tangga dan keadaan rumah orang lain pada umumnya berbeda-beda. Tapi rasanya, jika untuk hal sepele mereka tidak saling peduli, itu bisa berarti ada jarak dalam hubungan mereka. Sia menjabarkannya seperti itu.“Tapi mungkin aku bisa coba pergi membeli salep atau obat untukmu. Kau hanya—”“Tidak.” Rigel menggeleng sambil tertawa. “Aku lebih tenang jika kau tetap berada di sini. Mungkin kau berhasil pergi, tapi gagal kembali jika kau benar-benar buta arah.”Sia mengangguk. Benar, ini tepat. Dia buta arah sejak keluar dari toko roti. Tidak salah lagi. “Apa sebai
Ratu Nimfa. Wanita culas yang tidak menginginkan siapa pun berada didekat Penguasa langit selain dirinya. Janji Vanth untuk mencabut nyawa wanita itu benar-benar diwujudkan, meski akhirnya Penguasa langit melindungi Ratu Nimfa demi dirinya dan kerajaan yang mereka bangun bersama.Minerva tidak menyangka bahwa Vanth mengikutinya ke dunia langit, mengumpulkan banyak tenaga demi bisa menghunuskan belati ke dada kiri Minerva.“Pergilah. Mulai hari ini, kau bukan Putriku. Dan tidak akan ada bahagia yang kau dapatkan setelah berani melakukan banyak hal buruk pada kami. Satu hal yang harus kau ingat, apa pun yang terjadi padamu dan Putra-Putrimu, itu tidak akan ada lagi hubungannya denganku.” Penguasa Langit berbalik, membawa tubuh Ratu Nimfa yang sekarat, tapi wanita itu tidak akan mati. Sekali lagi, mereka bukan manusia. Hidup abadi adalah salah satu hal paling membosankan yang tidak bisa mereka banggakan.“Kau tidak menyesalinya?” Vanth terba
“Dia bukan cinta lamaku,” protes Vanth. Kenyataannya memang begitu.“Ya, aku percaya itu.” Yemima mencibir. Menyeringai dibalik punggung Rigel.“Susul Hortensia. Dia mungkin tidak bisa berada di satu ruangan yang sama dengan Sia.” Vanth menatap Rigel yang mulai menggerakkan tangannya.“Yeah, dua wanitamu bersatu.”“Diam dan pergilah.” Vanth dibuat kesal setiap waktu oleh Yemima, meski dia membutuhkan rekan seperti wanita itu di sisinya.Yemima pergi sembari menyeringai, dia tahu Vanth hanya mencintai Minerva, tapi terjebak birahi dengan Aura. Dan dirinya sendiri tidak pernah peduli untuk jatuh cinta, apalagi berkembang biak.*****Sia memperhatikan dua wajah yang terbaring di kiri dan kanannya. Vanth memang baru saja memejamkan kedua matanya, pria itu lelah pastinya. Sementara Rigel sudah terbaring tidur lebih dulu sebelum dirinya merangkak ke sisi
Rigel pernah punya kenangan di rumah ini. Rumah pertama kali dia dipertemukan kembali dengan Sia, dan rumah yang menjadi tempatnya menghabiskan waktu bersama Yoan Bailey.Beruntung dia tidak pernah membiarkanYoan menjual rumah ini. Walau tampak tidak berpenghuni, tapi Rigel ingat, Yoan mempekerjakan sepasang suami istri untuk menjaga dan merawat rumah ini, serta menyantuni mereka setiap bulan.Mereka disambut, benar, sepasang suami istri yang ramah. Rigel tidak mengenal mereka. Yoan yang selalu mengurus hal yang sering kali tidak dia ketahui.“Jadi selama ini siapa yang membayar gaji kalian?” Rigel bicara tanpa basa-basi, setelah tadi dia mengantarkan Sia masuk ke kamar, agar wanita itu bisa beristirahat.“Tuan Vanth Dier.”Ah, seketika Rigel tidak lagi curiga. Ares Vanth Dier memang selalu bisa diandalkan.*****Vanth menginjak kepala penyerang terakhir, yang lebih tepat disebut pem
Selama sepekan, Vanth dan Rigel terus ada di sisi Sia dengan bergantian berjaga, bahkan mereka tidur di ranjang bersama, bertiga.Malam itu, Sia merasa gerah. Dia meminta Rigel melepas pakaiannya dan menggantinya dengan gaun tidur tipis. Saat dengan hati-hati Rigel melakukannya, Vanth sedang berada di dapur bersama Aura, dan Yemima yang baru saja pergi keluar rumah karena bosan.Dua wanita itu sudah diminta pulang ke negeri atas awan, tapi mereka bersikeras tinggal dengan alasan ingin berjaga-jaga jika kemungkinan buruk yang bisa datang dari luar rumah.“Dia akan baik-baik saja, bukan?” Suara halus Aura, terdengar di dapur Sia yang tidak luas, juga tidak sempit.Sejak tadi, Vanth lebih banyak diam. Aura tahu, itu bukan pertanda yang baik.“Pasti.” Hanya itu jawaban Vanth.“Aku merindukanmu,” ucap Aura dengan sadar posisi, tempat, dan waktu saat dia mengakuinya.“Lalu, apa yang kau inginkan?&rd
Sia melihat perseteruan di depan matanya. Berkali-kali dia memutar tubuh ke kiri dan kanan hanya untuk memastikan keberadaannya.Mimpi dan penglihatan itu lagi. Anehnya kali ini, ada pihak lain yang tampak tidak terima dan menyulitkan Rigel.Sia ingin mendekat, tapi rasa kram di perutnya menahan dia untuk melakukan itu. Dia hanya bisa berada di jarak lima meter untuk memandangi mereka, dan terasa aman bagi kondisi perutnya.Saat umpatan wanita histeris itu mengudara, saat itulah Sia bisa melihat cahaya putih sangat menyilaukan, menghantam mereka.Rigel terpental, lalu menghilang di udara yang membuat tubuhnya sempat mengambang. Begitu juga dengan dua lainnya yang sudah hilang tidak berjejak apa pun.Sia tersedot dari sana dan terlempar untuk membuka kedua matanya kembali. Sensasi seolah ini perjalanan waktu.Terengah, Sia membulatkan sepasang matanya dalam kengerian teramat sangat.“Kau bermimpi buruk lagi?” Yemima hadir d
Waktu penjemputan. Rigel harus segera bersiap. Dia melihat Aura Hortensia Dikova yang berdiri di ambang pintu saat dia keluar untuk membuka dan melihat dengan perasaan tidak menentu di sana.“Kau?”“Bukan hanya dia, tapi juga aku.” Yemima Zvon Yolanthe bahkan ikut muncul dibalik punggung Aura.Rigel mengernyit. Dia tahu siapa wanita ini, bahkan keduanya. “Seharusnya kau datang untuk menjaga Sia.”“Yap. Tapi Ratu Nimfa sudah membebaskan aku. Dia memberikan pilihan padaku. Membantunya atau mantan rekanku. Jelas bukan, aku memilih siapa. Aku di sini sekarang.”Mendengus, Rigel meninggalkan pintu, mendekat ke arah kamar Sia. “Kupikir Ratu pendamping Penguasa langit itu tidak akan pernah mudah melepas sanderanya.”“Aku bukan sandera mereka. Aku hanya melakukan kesalahan kecil hingga harus menjalani hukuman.”Aura melangkah maju hingga berada di antara mereka. “Ba
Austin ingin tertawa mendengarnya. Ini kesalahpahaman yang bahkan tidak pernah terjadi padanya dan Disi. Kenapa bisa Irene berpikir terlalu jauh seperti itu? “Aku punya kesibukan yang lain beberapa waktu lalu hingga ketika tiba di rumah, aku lebih mengutamakan bayi Cassie karena dia jarang sekali bisa bertemu denganku. Denganmu, aku bisa melihatmu selalu. Kita tidur bersama sepanjang malam. Jadi kupikir, aku tidak ingin kehilangan momenku sebagai seorang Ayah bersamanya. Dan ... aku memikirkan ini lebih jauh Irene. Ketika kita bercinta, aku selalu lepas kendali. Kekuatanku menindih tubuhmu bisa mematahkan ranjang. Kau sedang hamil, dan aku tidak ingin lepas kendali yang bisa berakhir dengan menyakitimu dan bayinya. Apa hal itu justru menyakiti hatimu?” Austin mengangkat dagu Irene agar berani menatapnya. “Tidak. Kau tidak pernah menyakitiku. Justru aku takut diriku bisa membuatmu terluka dan kecewa.” Irene meraih tangan Austin, menggenggamnya sesaat,
Rigel mengangkat tubuh Sia ke tempat tidur. Wanita itu kembali pingsan untuk kesekian kalinya.“Temani dia. Aku harus kembali sebentar ke negeri atas awan.” Vanth sudah bergerak untuk pergi.“Aku tidak bisa meninggalkan Sia seorang diri saat akan melakukan penjemputan.”“Aku tahu.” Vanth mengusap kusen, merapalkan mantra di sana. “Jika aku terlambat kembali, seorang teman akan datang menemani Sia.”“Harus seseorang yang tahu tentang kondisi kehamilannya.” Rigel memperingatkan. Seorang manusia normal pasti akan panik saat menghadapi situasi kesakitan Sia, dan pasti memilih untuk membawanya ke Rumah Sakit.“Ya. Dia temanku, bukan teman Sia. Jadi sudah pasti dia paham akan kondisinya.” Setelah bicara, Vanth pergi. Ada rasa sedih yang disimpannya rapat-rapat di dalam hati, dia harus kembali karena ada beberapa tugasnya sebagai Pemimpin yang belum selesai.Rigel melihat wajah
Tersadar dari pingsannya, Sia mengalami sesak napas.“Sayang, cobalah bernapas dengan perlahan.” Vanth yang tidak tidur sama sekali dan terus terjaga saat Sia terlelap, tetap tenang walau ada gelisah yang menghantuinya.Sia coba mengikuti saran Vanth, tapi tetap tidak membuahkan hasil apa pun. Sia terus kesulitan bernapas dan Vanth segera membawanya ke Rumah Sakit.“Selain kesulitan bernapas, tubuhnya juga kehilangan cairan cukup banyak. Dan ...” Dokter wanita itu melepas kacamatanya, mencubit pangkal hidungnya, dan bingung harus bagaimana menyampaikannya, “maaf, Tuan.Seperti ada parasit yang coba menyerap darah dan mengganggu kinerja organ tubuh lainnya. Parasit yang sampai saat ini belum bisa kami temukan berada di bagian tubuh mana di dalam tubuh istri Anda. Jujur saja, ini aneh. Seperti di luar akal sehat kami, para Dokter. Bukan tidak mungkin, tapi—”“Aku mengerti.” Vanth menarik diri, per