Sudah tiga puluh satu hari berlalu, dan ketika Yoan berniat menemui Ivory Evangeline, wanita itu justru muncul dihadapannya.
Pagar masih setengah terbuka, Yoan berniat lari pagi sebentar, tapi wanita bergaun putih gading dengan model yang berbeda dari sebelumnya itu tersenyum samar pada Yoan.
“Sejak kapan kau di sini?” Yoan terkejut. Dia melihat ke sekeliling. Beruntung Sia pamit ke toko roti pagi-pagi sekali tadi sehingga dia tidak perlu menjelaskan siapa wanita dihadapannya ini kepada istrinya.
“Sejak malam berganti pagi.” Ivory masuk, melewati pagar yang setengah terbuka.
Yoan kaku seketika. Bagaimana jika Sia pulang dengan tiba-tiba? Mana mungkin istrinya itu percaya bahwa Ivory Evangeline adalah salah satu teman kantor atau rekan kerjanya.
Penampilannya saja sudah sangat mendukung bahwa Ivory bukan temannya. Hari ini dia mengenakan dress putih gading bergaris dengan warna yang sama, terlihat sangat klasik menggunakan de
“Kau ingat nomor yang bisa dihubungi?” Pria itu coba tidak bertanya ‘kenapa bisa dan mengapa’ dan lebih memilih menanyakan kontak yang mungkin bisa membantu Sia kembali ke rumah, pada keluarganya.Sia menggeleng muram. Dia merasa dirinya seperti bukan miliknya. Sesuatu terjadi pada ingatannya. Bahkan tadi dia pergi tidak membawa ponsel, karena mengira hanya ke toko roti dan tidak akan berlama-lama di sana.Berpikir sejenak, akhirnya pria itu memutuskan. “Siapa namamu?”“Aku ... Galexia Pandora.” Sia menatapnya, dan pria itu memegang kepala sesaat. Seperti menahan rasa sakit. “Anda tidak apa-apa?”“Tidak, aku tidak apa-apa.” Dia menggeleng pelan. Kepalanya berdenyut hebat ketika wanita ini menyebutkan namanya. “Aku Rigel Auberon.”Sia mengangguk. “Terima kasih sudah membantu, Tuan Rigel.”“Aku belum membantumu apapun. Ayo, kuantar kau ke kant
Rigel tertawa. “Memangnya kau tahu arah menuju ke apotek?”Sia menggeleng. “Kupikir kau punya persediaan di kotak obatmu.”“Tidak. Aku dan mantan istriku tidak peduli hal-hal seperti menyediakan obat-obatan di kotak obat. Jika sakit atau terluka, kami biasa langsung ke Dokter.”Sia tahu bahwa setiap rumah tangga dan keadaan rumah orang lain pada umumnya berbeda-beda. Tapi rasanya, jika untuk hal sepele mereka tidak saling peduli, itu bisa berarti ada jarak dalam hubungan mereka. Sia menjabarkannya seperti itu.“Tapi mungkin aku bisa coba pergi membeli salep atau obat untukmu. Kau hanya—”“Tidak.” Rigel menggeleng sambil tertawa. “Aku lebih tenang jika kau tetap berada di sini. Mungkin kau berhasil pergi, tapi gagal kembali jika kau benar-benar buta arah.”Sia mengangguk. Benar, ini tepat. Dia buta arah sejak keluar dari toko roti. Tidak salah lagi. “Apa sebai
Sudah tidak begitu canggung lagi, Sia tahu jika menggaruk bukanlah kegiatan yang menggunakan kelembutan. Jadi Sia langsung menggaruk, serupa mencakar di bagian yang di sebutkan Rigel.“Benar yang ini?”Rigel mengangguk. Menikmati penderitaannya hilang perlahan-lahan karena Sia. “Wah, tepat sekali. Terima kasih, Sia. Kurasa sudah cukup.”Sia kembali ke posisinya, duduk dan melipat kedua tangan di atas meja, lalu mulai berpikir tentang perjalanannya dari rumah ke toko roti. Tetap tidak terlintas apapun. Seolah semuanya percuma. Hilang dalam sekejap, tidak dapat kembali.Ketika suara bel pintu depan berbunyi, Sia bangun dari duduknya. “Boleh aku yang membukakan pintu?”“Silakan.”Pesanan Rigel tiba. Ada beberapa obat-obatan pereda nyeri, kasa steril, dan salep. Sia segera mengeluarkan semuanya di atas meja.“Kau bisa melakukannya?” Rigel tampak ragu, memang ragu. Dia selalu terb
“Dasar manusia sampah.” Vanth memutar tubuh. Membatalkan niatnya mengunjungi Sia di rumah Yoan. Vanth kehilangan jejak Sia sejak pagi.“Tuan, sepertinya Miria juga membuat Sia memakan ganggang emas.” Adlin sengaja mengalihkan Vanth. Pemimpin negeri atas awan itu pasti sedang melihat dua Anak manusia tengah bercinta di penglihatannya yang menembus dinding, meski mereka tidak menginjakkan kaki ke rumah Yoan.“Bukan sepertinya. Itu memang yang sengaja dia lakukan.” Sekarang Vanth tidak bisa untuk tidak peduli. Miria sungguh-sungguh, sementara dia sudah mulai kehilangan. Secara perlahan-lahan, hampir tidak disadarinya.“Apa itu artinya, Rigel dan Sia sudah bertemu saat ini?” Adlin menebak dan tidak asal menebak, dia bertaruh untuk itu.“Aku tidak tahu. Jika sudah berada di sini, kekuatanku memiliki batasan. Tapi sejak awal, keberadaan Rigel memang selalu samar dalam penglihatanku.”Adlin
“Tentu. Coba cium aku.” Rigel memajukan wajahnya, “Maaf, tapi aku tidak bisa memegang wajahmu.”Sia tersenyum, jantungnya berdebar-debar tidak karuan. Tapi Sia coba memulai dari kening, mengecup pelan, lalu turun ke mata. “Tutup matamu, Rigel.” Pria itu menuruti Sia, dan kecupan lembut mendarat bergantian di kiri kanan mata Rigel.Lalu menuju hidung, hidung yang indah. Lurus dari ujung hingga pangkal. Sia mencium dua kali di sana. Dia berhenti sesaat untuk melihat wajah Rigel yang mulai memerah. Tersenyum, dia coba berbisik untuk mengganggu Rigel.“Apa sudah cukup? Atau—”“Lanjutkan, Sia. Aku belum mendapatkan bibirmu.” Sungguh-sungguh, Rigel menatap lekat pada Sia. Menanti dan menikmati kemudian.Meski rasanya seperti wanita murahan, Sia tetap melakukannya. Mencium dengan segenap rasa nyaman yang muncul secara tidak terduga.“Manis,” bisik Rigel, lirih. Dia menyuk
Miria membuat tanda yang biasa dia gunakan ketika membutuhkan pertolongan Adlin—rekannya—di tanah. Tanda ini bisa diberikan walau ganggang emas sudah menghilangkan jejaknya.Sebuah tanda yang meski Adlin atau Vanth sepenuhnya tidak memiliki kekuatannya lagi, akan tetap bisa mereka rasakan. Pasalnya, Miria mengorbankan darah dari nadinya ke sepanjang tiga puluh sentimeter di tanah, berbentuk garis lurus menggunakan darah.Vanth menyadarinya lebih dulu. Dia mengendus dan mengenali darah Miria sebagai bentuk permohonan wanita itu padanya. Sebuah pertolongan. Walau dia tahu Miria punya rencana lain untuk kenekatannya.“Miria membutuhkan pertolongan. Arah kiri, tiga ratus meter.” Vanth merubah arah tujuan mereka. Tidak menunggu Adlin yang masih terengah dibelakangnya.“Ini bukan tentang permohonan. Ini hanya taktik! Awas kau, Miria. Aku sungguh akan memberimu pelajaran!” Masih di dalam hati dan pikirannya, Adlin terus mengut
“Ini menu kesukaanmu?” Rigel melihat isi wadah makanan berisi asparagus, wortel, selada, stoberi, dan kacang pecan. Semua bahan itu dibuat menjadi satu, salad buah dan sayur. Lalu Rigel menatap Sia yang mengangguk dengan wajah gembira.Sejak kapan Stevan tahu menu makanan kesukaan Sia? Mereka tidak saling mengenal sebelumnya, bukan? Aneh sekali. Lagipula, memangnya Stevan tahu siapa yang sedang bersamanya saat ini? Jangan katakan bahwa semua ini hanya kebetulan belaka. Rigel tidak mempercayai hal-hal seperti itu.Rigel seketika curiga meski tetap menikmati kiriman makanan itu bersama Sia di atas ranjangnya. Wanita ini begitu baik hati, menyuapinya dengan perlahan-lahan, hingga dia tidak perlu sampai tersedak. Sekarang Rigel lupa tujuannya mencurigai Stevan.“Kau suka? Akan kuminta Stevan membuatnya lagi kalau begitu. Tolong ambilkan ponselku, biar kuhubungi dia sekarang.”“Ah, tidak usah. Ini sudah cukup.” Sia menutup w
“Aku ingin tidur dipeluk olehmu.” Rigel meminta dengan berani. Tidak peduli akan rasa malu yang mungkin hadir setelah dia mengucapkannya.Sia mengusap perlahan kening Rigel, mengangguk mengiyakan. “Tanganmu bagaimana?” Dia menarik selimut, lebih dulu menutupi tubuh Rigel daripada dirinya.“Masih sedikit nyeri, tapi tidak apa-apa.” Rigel benar-benar melakukannya, dia merapatkan tubuhnya pada Sia yang siap memeluknya. “Saat mandi tadi, rasanya aku ingin sekali menelanmu.”“Menelan?” Sia terkejut, melihat sedikit ke wajah Rigel yang disembunyikan pria itu di dadanya.“Maksudku ... aku ingin bercinta denganmu.”“Kau masih terluka. Akan sulit untukmu, bukan untukku.”Rigel bergumam tidak jelas. Yang pasti, itu hanya berisi tentang keluhan. Dia mengeluh kenapa tangannya terluka, sementara hasratnya sudah melompat-lompat dengan liar.“Rigel Auberon, kau
Ratu Nimfa. Wanita culas yang tidak menginginkan siapa pun berada didekat Penguasa langit selain dirinya. Janji Vanth untuk mencabut nyawa wanita itu benar-benar diwujudkan, meski akhirnya Penguasa langit melindungi Ratu Nimfa demi dirinya dan kerajaan yang mereka bangun bersama.Minerva tidak menyangka bahwa Vanth mengikutinya ke dunia langit, mengumpulkan banyak tenaga demi bisa menghunuskan belati ke dada kiri Minerva.“Pergilah. Mulai hari ini, kau bukan Putriku. Dan tidak akan ada bahagia yang kau dapatkan setelah berani melakukan banyak hal buruk pada kami. Satu hal yang harus kau ingat, apa pun yang terjadi padamu dan Putra-Putrimu, itu tidak akan ada lagi hubungannya denganku.” Penguasa Langit berbalik, membawa tubuh Ratu Nimfa yang sekarat, tapi wanita itu tidak akan mati. Sekali lagi, mereka bukan manusia. Hidup abadi adalah salah satu hal paling membosankan yang tidak bisa mereka banggakan.“Kau tidak menyesalinya?” Vanth terba
“Dia bukan cinta lamaku,” protes Vanth. Kenyataannya memang begitu.“Ya, aku percaya itu.” Yemima mencibir. Menyeringai dibalik punggung Rigel.“Susul Hortensia. Dia mungkin tidak bisa berada di satu ruangan yang sama dengan Sia.” Vanth menatap Rigel yang mulai menggerakkan tangannya.“Yeah, dua wanitamu bersatu.”“Diam dan pergilah.” Vanth dibuat kesal setiap waktu oleh Yemima, meski dia membutuhkan rekan seperti wanita itu di sisinya.Yemima pergi sembari menyeringai, dia tahu Vanth hanya mencintai Minerva, tapi terjebak birahi dengan Aura. Dan dirinya sendiri tidak pernah peduli untuk jatuh cinta, apalagi berkembang biak.*****Sia memperhatikan dua wajah yang terbaring di kiri dan kanannya. Vanth memang baru saja memejamkan kedua matanya, pria itu lelah pastinya. Sementara Rigel sudah terbaring tidur lebih dulu sebelum dirinya merangkak ke sisi
Rigel pernah punya kenangan di rumah ini. Rumah pertama kali dia dipertemukan kembali dengan Sia, dan rumah yang menjadi tempatnya menghabiskan waktu bersama Yoan Bailey.Beruntung dia tidak pernah membiarkanYoan menjual rumah ini. Walau tampak tidak berpenghuni, tapi Rigel ingat, Yoan mempekerjakan sepasang suami istri untuk menjaga dan merawat rumah ini, serta menyantuni mereka setiap bulan.Mereka disambut, benar, sepasang suami istri yang ramah. Rigel tidak mengenal mereka. Yoan yang selalu mengurus hal yang sering kali tidak dia ketahui.“Jadi selama ini siapa yang membayar gaji kalian?” Rigel bicara tanpa basa-basi, setelah tadi dia mengantarkan Sia masuk ke kamar, agar wanita itu bisa beristirahat.“Tuan Vanth Dier.”Ah, seketika Rigel tidak lagi curiga. Ares Vanth Dier memang selalu bisa diandalkan.*****Vanth menginjak kepala penyerang terakhir, yang lebih tepat disebut pem
Selama sepekan, Vanth dan Rigel terus ada di sisi Sia dengan bergantian berjaga, bahkan mereka tidur di ranjang bersama, bertiga.Malam itu, Sia merasa gerah. Dia meminta Rigel melepas pakaiannya dan menggantinya dengan gaun tidur tipis. Saat dengan hati-hati Rigel melakukannya, Vanth sedang berada di dapur bersama Aura, dan Yemima yang baru saja pergi keluar rumah karena bosan.Dua wanita itu sudah diminta pulang ke negeri atas awan, tapi mereka bersikeras tinggal dengan alasan ingin berjaga-jaga jika kemungkinan buruk yang bisa datang dari luar rumah.“Dia akan baik-baik saja, bukan?” Suara halus Aura, terdengar di dapur Sia yang tidak luas, juga tidak sempit.Sejak tadi, Vanth lebih banyak diam. Aura tahu, itu bukan pertanda yang baik.“Pasti.” Hanya itu jawaban Vanth.“Aku merindukanmu,” ucap Aura dengan sadar posisi, tempat, dan waktu saat dia mengakuinya.“Lalu, apa yang kau inginkan?&rd
Sia melihat perseteruan di depan matanya. Berkali-kali dia memutar tubuh ke kiri dan kanan hanya untuk memastikan keberadaannya.Mimpi dan penglihatan itu lagi. Anehnya kali ini, ada pihak lain yang tampak tidak terima dan menyulitkan Rigel.Sia ingin mendekat, tapi rasa kram di perutnya menahan dia untuk melakukan itu. Dia hanya bisa berada di jarak lima meter untuk memandangi mereka, dan terasa aman bagi kondisi perutnya.Saat umpatan wanita histeris itu mengudara, saat itulah Sia bisa melihat cahaya putih sangat menyilaukan, menghantam mereka.Rigel terpental, lalu menghilang di udara yang membuat tubuhnya sempat mengambang. Begitu juga dengan dua lainnya yang sudah hilang tidak berjejak apa pun.Sia tersedot dari sana dan terlempar untuk membuka kedua matanya kembali. Sensasi seolah ini perjalanan waktu.Terengah, Sia membulatkan sepasang matanya dalam kengerian teramat sangat.“Kau bermimpi buruk lagi?” Yemima hadir d
Waktu penjemputan. Rigel harus segera bersiap. Dia melihat Aura Hortensia Dikova yang berdiri di ambang pintu saat dia keluar untuk membuka dan melihat dengan perasaan tidak menentu di sana.“Kau?”“Bukan hanya dia, tapi juga aku.” Yemima Zvon Yolanthe bahkan ikut muncul dibalik punggung Aura.Rigel mengernyit. Dia tahu siapa wanita ini, bahkan keduanya. “Seharusnya kau datang untuk menjaga Sia.”“Yap. Tapi Ratu Nimfa sudah membebaskan aku. Dia memberikan pilihan padaku. Membantunya atau mantan rekanku. Jelas bukan, aku memilih siapa. Aku di sini sekarang.”Mendengus, Rigel meninggalkan pintu, mendekat ke arah kamar Sia. “Kupikir Ratu pendamping Penguasa langit itu tidak akan pernah mudah melepas sanderanya.”“Aku bukan sandera mereka. Aku hanya melakukan kesalahan kecil hingga harus menjalani hukuman.”Aura melangkah maju hingga berada di antara mereka. “Ba
Austin ingin tertawa mendengarnya. Ini kesalahpahaman yang bahkan tidak pernah terjadi padanya dan Disi. Kenapa bisa Irene berpikir terlalu jauh seperti itu? “Aku punya kesibukan yang lain beberapa waktu lalu hingga ketika tiba di rumah, aku lebih mengutamakan bayi Cassie karena dia jarang sekali bisa bertemu denganku. Denganmu, aku bisa melihatmu selalu. Kita tidur bersama sepanjang malam. Jadi kupikir, aku tidak ingin kehilangan momenku sebagai seorang Ayah bersamanya. Dan ... aku memikirkan ini lebih jauh Irene. Ketika kita bercinta, aku selalu lepas kendali. Kekuatanku menindih tubuhmu bisa mematahkan ranjang. Kau sedang hamil, dan aku tidak ingin lepas kendali yang bisa berakhir dengan menyakitimu dan bayinya. Apa hal itu justru menyakiti hatimu?” Austin mengangkat dagu Irene agar berani menatapnya. “Tidak. Kau tidak pernah menyakitiku. Justru aku takut diriku bisa membuatmu terluka dan kecewa.” Irene meraih tangan Austin, menggenggamnya sesaat,
Rigel mengangkat tubuh Sia ke tempat tidur. Wanita itu kembali pingsan untuk kesekian kalinya.“Temani dia. Aku harus kembali sebentar ke negeri atas awan.” Vanth sudah bergerak untuk pergi.“Aku tidak bisa meninggalkan Sia seorang diri saat akan melakukan penjemputan.”“Aku tahu.” Vanth mengusap kusen, merapalkan mantra di sana. “Jika aku terlambat kembali, seorang teman akan datang menemani Sia.”“Harus seseorang yang tahu tentang kondisi kehamilannya.” Rigel memperingatkan. Seorang manusia normal pasti akan panik saat menghadapi situasi kesakitan Sia, dan pasti memilih untuk membawanya ke Rumah Sakit.“Ya. Dia temanku, bukan teman Sia. Jadi sudah pasti dia paham akan kondisinya.” Setelah bicara, Vanth pergi. Ada rasa sedih yang disimpannya rapat-rapat di dalam hati, dia harus kembali karena ada beberapa tugasnya sebagai Pemimpin yang belum selesai.Rigel melihat wajah
Tersadar dari pingsannya, Sia mengalami sesak napas.“Sayang, cobalah bernapas dengan perlahan.” Vanth yang tidak tidur sama sekali dan terus terjaga saat Sia terlelap, tetap tenang walau ada gelisah yang menghantuinya.Sia coba mengikuti saran Vanth, tapi tetap tidak membuahkan hasil apa pun. Sia terus kesulitan bernapas dan Vanth segera membawanya ke Rumah Sakit.“Selain kesulitan bernapas, tubuhnya juga kehilangan cairan cukup banyak. Dan ...” Dokter wanita itu melepas kacamatanya, mencubit pangkal hidungnya, dan bingung harus bagaimana menyampaikannya, “maaf, Tuan.Seperti ada parasit yang coba menyerap darah dan mengganggu kinerja organ tubuh lainnya. Parasit yang sampai saat ini belum bisa kami temukan berada di bagian tubuh mana di dalam tubuh istri Anda. Jujur saja, ini aneh. Seperti di luar akal sehat kami, para Dokter. Bukan tidak mungkin, tapi—”“Aku mengerti.” Vanth menarik diri, per