“Rumahmu?” ulang Caspian. Dia terdengar tidak percaya. “Kau yakin?”
Anehnya, Elora sangat yakin. Ingatan itu menerjangnya seperti badai yang tiba-tiba datang setelah keheningan. Bergemuruh dan memporak-porandakan pikiran Elora. Rasanya hampir mengerikan, karena Elora mengingat sebagian dari masa lalunya hanya dengan datang ke sini dan melihat rumah ini. Elora melangkah dengan ragu, menaiki satu per satu anak tangga hingga tiba di teras yang luas.
“Ini rumahku … aku tinggal bersama ayah dan ibuku, serta saudara-saudaraku.” Elora mengatakan itu nyaris di luar kesadarannya. “Tidak ada anggota kawanan yang tinggal bersama kami, karena—“ Elora meletakkan tangannya ke daun pintu yang menutup. “Kami terlalu berbahaya.”
Hampir tanpa dorongan, pintu itu terbuka. Hanya ada kegelapan di dalamnya yang terlihat melalui celah pintu. “Orang-orang datang dan pergi, memberi laporan keadaan anggota kaw
Elora langsung duduk tegak di pangkuan Caspian.“Kau bilang apa?” desisnya.Caspian menyemburkan tawa singkat lalu tersenyum. Senyum manis yang meluluhkan hati Elora dalam sekejap. Caspian tak menjawab, tangannya sibuk merogoh ke dalam saku celana jins. Elora bergeser sedikit agar Caspian bisa melakukannya dengan lebih mudah.Caspian menyodorkan tangan yang tergenggam, lalu menengadahkannya dan membuka telapak tangannya tepat di hadapan Elora. Dari dalam genggamannya tampak sebuah cincin berlian.“Aku membelinya semalam.”Elora berjengit. “Kau tidak membelinya setelah mabuk-mabukan di bar kan?”“Aku bukan kau.” Caspian berseloroh.“Memangnya aku kenapa?” Elora melipat kedua tangan di depan dada sambil mendengus.“Menghabiskan setengah botol whisky dan memakai pakaian kekasihmu.”“Sudah kubilang itu bukan—“Kata-kata Elora ter
Sebuah ruangan luas menyambut mereka di dasar tangga. Caspian mengarahkan senternya ke segala penjuru, lalu ke langit-langit. Cahayanya tidak bisa menunjukkan setinggi apa ruangan ini. Tempat ini lebih seperti sebuah aula pertemuan ketimbang tempat rahasia untuk mengurung seseorang. Mereka berjalan ke dinding yang paling dekat dan menemukan coretan-coretan rumit di permukaannya.Selain tulisan-tulisan yang tidak Elora mengerti artinya, terdapat juga bekas-bekas cakar yang dalam, serta serpihan-serpihan besar tembok di lantai. Sesuatu yang menghancurkan telah terjadi di sini.“Kau mengerti arti semua ini?” tanya Caspian. Mereka mendongak, dan mendapati coretan-coretan itu tertulis hingga separuh tinggi tembok.“Tidak.” Elora menggeleng. “Tapi semuanya kelihatan tak asing.”Mereka berjalan ke tengah ruangan, dan berhenti saat menemukan sebuah podium. Podium itu hanya berupa meja setinggi dada orang dewasa, berbentuk perse
“Mereka akan melakukannya hari ini.” Jason, yang ikut berjongkok di sebelah Elora di sudut ruang bawah tanah, berbisik di telinga Elora seolah dia takut ada yang mendengar perkataannya. Padahal tidak ada siapapun di sini selain mereka berdua.“Melakukan apa?” Elora mengerjap-ngerjapkan matanya polos. Ia tak mengerti maksud perkataan kakak laki-lakinya.Rambut hitam Jason bergoyang pelan saat mengembuskan napas keras-keras. “Mengusir makhluk itu! Makhluk yang membuat tubuhmu meledak-ledak dan menjadikan anggota kawanan harus tinggal jauh dari keluarga kita!”Jason memekik, masih dalam bisikan. “Setelah makhluk itu pergi kau bisa tidur lagi di kamarmu! Mama sudah menghias kamarmu dengan warna merah muda dan boneka kelinci!”Manik mata Elora melebar mendengar perkataan Jason. Lengkungan senyum tergurat di bibir mungilnya. Elora mengerling ke arah ranjang besi yang sudah usang beberapa meter dari tempatnya berada
Elora gemetar saat berdiri di dasar tangga. Sudah sejak lama area ini menjadi area terlarang untuknya. Arthur dan Sophia selalu mengingatkan Elora untuk tidak naik ke atas sana. Padahal Elora ingin sekali mengetahui ada apa di sana. Ia pernah melihat sekelebat cahaya yang lebih terang dari cahaya lampu-lampu kristal, saat Jacinda masuk dan Elora tengah berada di dekat tangga bersama Jason.“Ayo, El. Naiklah,” perintah Sophia lembut. “Kami ada di belakangmu.”Elora menoleh kepada Arthur dan Sophia, lalu ia mengangguk. Satu. Dua. Tiga. Elora menghitung setiap anak tangga yang ia jamah dengan kakinya. Ada lima puluh anak tangga totalnya, jumlah yang cukup banyak dan melelahkan untuk kaki kecilnya. Sesampainya di atas sana, di anak tangga yang terakhir, tembok di hadapan Elora terbuka dengan sendirinya. Lalu ia mendapati dirinya kini berada di sebuah ruangan kecil, lagi-lagi tanpa jendela. Elora mendesah kecewa. Apa orangtuanya bermaksud memindahkan
“Kenapa buku satunya tidak diambil juga?”“Buku hitam itu ada banyak di perpustakaan, tetapi jurnalnya hanya ada dua, dan yang satu ada di tempat teman Papa yang letaknya sangat jauh dari sini. Kalau kau membawa keduanya, Papa akan butuh waktu sangat lama untuk bisa menjemputmu dari bawah sana.”“Tapi aku tidak mau masuk ke situ lagi, Papa.” Elora nyaris meringik saat mengatakannya. Matanya melirik sedih ke arah tangga yang menuju ke tempat gelap di bawah sana.Arthur kembali berjongkok di hadapan Elora. “Hey, El.” Arthur mengusap lembut pipi Elora yang tahu-tahu sudah basah oleh air mata. “Semoga saja tidak terjadi apa-apa, dan kita bisa segera pergi dari sini. Tetapi, Papa mohon kau mau menuruti Papa jika benar terjadi sesuatu. Papa tidak mau kehilanganmu.”“Aku juga tidak mau kehilangan Papa, atau Mama, atau Jacinda, atau Jason.”Elora mendekap Arthur dengan tangan kecilnya,
Elora terbangun dan merasakan dingin di salah satu pipinya. Tangannya masih memeluk erat buku hitam pemberian Arthur. Wajah Elora basah dan lengket oleh air mata dan ingus. Elora mengerjap-ngerjap pelan. Butuh beberapa lama baginya untuk tahu ada di mana ia sekarang. Elora berada di ruang utama rumahnya. Ia bisa melihat pintu ganda yang terbuka beberapa meter darinya.“Papa?” panggil Elora. Suaranya serak. Elora berdiri. Hari sudah hampir malam. Elora mencium bau gosong, ada bekas-bekas hitam di beberapa tempat di lantai, dengan tumpukan abu yang terbang perlahan tertiup angin dari luar. Tetapi yang menyita perhatian Elora sekarang adalah pemandangan yang berada tak jauh dari tempatnya terbaring.Arthur. Tergeletak di lantai marmer. Cairan merah kehitaman menggenang di sekitarnya.“Papa?” Elora menghampiri Arthur, setengah menyeret kakinya yang terasa sakit. “Papa,” panggilnya lagi. Tak ada jawaban. Elora menggoncang-goncang t
Caspian membiarkan Elora berendam dengan air hangat sekembalinya mereka ke hotel. Pasti berat untuk Elora mengingat kejadian paling mengerikan dalam hidupnya. Caspian bisa merasakan kesedihan dari Elora saat dia menceritakan semuanya. Tak ada yang bisa menanggung kehilangan keluarga dengan cara seperti itu. Itu terlalu keji untuk seorang anak berumur lima tahun.Sebelum mereka kembali tadi, Caspian menyempatkan diri untuk memotret tembok-tembok di ruangan tempat Elora dikurung. Sama seperti pemikiran Caspian, menurut Elora coretan-coretan itu mempunyai arti, dan ada hubungannya dengan kekuatan Elora. Caspian mengirimkan foto-foto itu kepada Zed dan meminta Zed untuk mencetak serta mengurutkannya. Sekembalinya mereka ke Queenstown, mereka akan mulai mempelajari simbol-simbol itu dan semoga mereka bisa menemukan petunjuk berarti.“Hai.” Elora keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan sehelai handuk yang melilit tubuhnya sampai ke pertengahan paha. Suaranya se
Hampir tengah malam saat Elora, Caspian, dan Brittany sampai di rumah besar berpagar besi yang sangat tinggi. Brittany membuka kaca jendela dan melambai ke atas pagar, ke sebuah kamera yang mengawasi mereka. Pintu gerbang berwarna hitam itu terbuka beberapa saat kemudian.Elora semakin yakin manusia serigala memang senang tinggal di pinggiran kota, punya rumah super besar, dan cenderung membenci cahaya. Rumah besar ini contohnya. Cahaya di sepanjang jalan masuk yang membelah halaman hanya berupa sinar oranye yang samar. Di depan sana, rumah tiga lantai bergaya eropa klasik berdiri menjulang, lengkap dengan lampu kristal gantung di bagian teras.Brittany bersiul. “Super kaya,” katanya.“Ingin mencoba untuk merayunya? Siapa tahu dia adalah jodohmu,” seloroh Caspian.Brittany, yang berada di balik kemudi, menyipitkan mata sembari melihat Caspian melalui kaca spion tengah. “Kau sudah memperlakukanku seperti supir dengan duduk di
“Apa yang sudah aku lakukan?” tanya Archer. Ia tidak terdengar takut, malah cenderung penasaran.“Tak usah pura-pura bodoh. Kami mengawasi gerak-gerikmu di North Island, dan kami tahu kedatanganmu ke sini membawa sebuah misi.”Rahang Kate terkatup rapat. Seharusnya ia mendesak Archer agar mau mengatakan yang sebenarnya tadi, sehingga Kate tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Apakah Archer tengah menyelidiki sebuah kejahatan besar yang berkaitan dengan kawanan manusia serigala?Apa mereka termasuk dalam jaringan obat-obatan terlarang yang dulu diperdagangkan oleh Cooper?Terlalu banyak kemungkinan di dalam benak Kate, hingga membuat kepalanya sakit.“Aku tidak mengerti apa yang kalian katakan,” ucap Archer.Satu tembakan terdengar, disusul oleh suara sesuatu yang berat jatuh ke tanah.“Berani berboohong lagi, dan kali ini nyawa Alphamu akan melayang.”Kate mematung. Apa merek
Kate tak bisa menemukan Caspian dimanapun pagi ini. Dia tidak ada di ruang kerja, di kamar, di bagian manapun di kastil. Ia baru saja hendak menelepon Caspian, saat ponselnya berbunyi dan sebuah pesan masuk. Itu dari Caspian.Tolong berikan dokumen yang ada di atas meja kerjaku kepada Aiden. Kau harus memberikannya pagi ini juga.Kate mengangkat satu alis dan mengerenyit. Dokumen apa yang membuat Caspian memberi perintah yang begitu mendesak? Kate pun kembali ke ruang kerja Caspian dan mengambil sebuah amplop cokelat dari atas meja kerjanya. Sebuah amplop dengan tulisan RAHASIA berwarna merah.Karena hari masih pagi dan jarak yang ditempuh tidak begitu jauh, Kate memutuskan untuk berjalan kaki menuju ke tempat Aiden. Sesampainya di sana, bukannya bertemu dengan Aiden, Kate justru disambut oleh Archer di depan pintu masuk.“Aku mau bertemu Aiden.”“Ada apa?”Kate mengacungkan amplop cokelat ke hadapan Archer. “Ca
“Aku rasa aku bertemu jodohku.” Caspian melengkungkan sebelah alis mendengar kata-kata Kate. “Aku rasa?” ulang Caspian, sangsi. “Kalau kau masih ragu dan menggunakan kata ‘aku rasa’, kupikir dia bukan benar-benar jodohmu. Kau bisa langsung mengetahui jodohmu begitu kalian bertatapan mata. Seperti aku dan—“ Kate mengangkat satu tangan ke hadapan wajah Caspian, memintanya untuk berhenti. “Aku tahu.” Ia lalu menggaruk bagian belakang kepala yang tidak gatal. “Maksudku—yeah… dia jodohku.” “Tapi?” sahut Caspian. “Tapi … aku tidak tahu apakah dia merasakannya juga.” Caspian meletakkan buku yang tengah ia baca ke atas meja kerja. Dia sedang membaca jurnal peninggalan Alpha yang menyinggung soal keluarga leluhur Elora saat tiba-tiba Kate masuk ke ruang kerja dan mengatakan hal yang membuat Caspian mengernyit. “Begini saja,” kata Caspian sembari memijat pangkal hidung, “ceritakan padaku dari awal pertemuanmu dengannya.” Kate mengangkat bahu lal
Pesta tahunan manusia serigala.Menurut Amber ini adalah acara paling konyol yang diadakan oleh sekumpulan makhluk mitos terkuat di muka bumi. Sebagai keturunan langsung dari salah satu pimpinan kawanan manusia serigala terbesar di Inggris, sedari kecil ayah Amber sudah menanamkan pikiran bahwa pesta perjodohan membuat manusia serigala terlihat lemah. Romansa bukanlah hal yang cocok untuk kaum mereka.“Kau akan mengenakan pakaian seperti itu ke pesta?” Brittany menusuk Amber dengan tatapan khasnya yang sinis dan menyebalkan. “Lebih baik kau kembali ke Inggris sekarang juga dan katakan pada ibumu kalau aku tidak akan membantumu mencari pasangan.”“Kenapa aku harus punya pasangan?” protes Amber, yang lalu menoleh ke cermin panjang di sampingnya. Benda itu memantulkan sosok Amber yang pucat, dengan rambut merah keriting yang mencolok, serta sebuah sweater usang warna biru dan celana jins yang robek di bagian paha dan lutut. Oh, j
Elora bergeming saat pria yang hampir memasuki usia seratus tahun itu menjatuhkan cangkir teh dari tangannya. Itu wajar. Tidak akan ada orang yang tidak terkejut menyaksikan kehadiran tamu tak diundang di salah satu ruangan pribadi di rumah penuh penjagaan seperti ini. Lelaki ini pastilah hendak bersantai, mungkin sembari membaca buku favoritnya, menikmati masa pensiun di rumah megah yang dibangunnya dari kerja keras.“Selamat malam,” sapa Elora. Ia berusaha bersikap sopan, setidaknya mungkin itu bisa menebus kelancangannya karena sudah menerobos masuk ke rumah Alfonso. Ya, dia adalah pria kaya raya yang dulu pernah Elora kunjungi bersama Caspian dan Brittany. Secara teknis mereka belum pernah bertemu dan bercakap-cakap dengan layak, karena yang Elora temui waktu itu adalah manusia serigala yang menyamar menjadi Alfonso.Elora melepaskan diri dari dinding, setelah cukup lama bersandar di sana sembari menunggu kedatangan Alfonso.“Maaf karena ak
“Siapa kau?”“Kau tak punya hak untuk tahu.”Elora memastikan tali yang melilit seorang pria di hadapannya bersama dengan kursi yang didudukinya sudah kuat, sebelum Elora menyeret kursi pria itu melintasi ruang tamu, menuju ke luar.“Hei! Apa yang kau lakukan! Ke mana kau akan membawaku!” Pria itu berteriak, setengah marah setengah takut. “Lepaskan aku! Aku akan memberikan apapun yang kau inginkan! Lepaskan aku!”Awalnya Elora tak menanggapi teriakan itu, tetapi lama kelamaan ia merasa terganggu. Walapun tak ada orang lagi dalam jarak setidaknya satu kilometer dari tempat Elora berada sekarang, dan saat ini sudah lewat tengah malam, tetap saja Elora merasa gelisah, khawatir jika ada orang yang mendengar mereka. Bagaimanapun juga, pekerjaan seperti ini tidak pernah Elora lakukan sebelumnya.Hëna lah yang menuntunnya ke rumah ini, yang berada jauh di tengah hutan, tempat di mana nyaris mustahil ada
Suasana malam di bulan Maret membawa kenangan tersendiri pada Elora. Ia memandang jernihnya langit gelap dan terangnya rembulan dari balik pepohonan lebat di hutan utara South Island. Satu tahun hampir berlalu setelah Elora berada dalam pengasingan. Hidup berpindah-pindah seperti manusia zaman dahulu. Tanpa rumah. Tanpa keluarga. Tanpa harta.Untungnya Elora sudah terbiasa. Ya, ia sempat punya keluarga, dan mendapatkan perhatian penuh dari orang yang mencintainya bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilupakan. Namun, kesendirian sudah menjadi takdir hidup Elora.Sejauh ini Hëna belum pernah menampakkan wujudnya langsung. Dia hanya muncul dalam mimpi-mimpi, di tengah tidur Elora yang selalu gelisah. Dalam dunia di bawah alam sadar itu, Elora selalu berada di tempat yang sama. Padang rumput tanpa batas, dan wanita bercahaya itu bersuara dalam bahasa yang tidak pernah Elora dengar, tetapi ia mengerti artinya.Hëna memerintahkan Elora untuk hidup layaknya pen
Sepuluh tahun kemudian ….Caspian mematut diri di depan cermin panjang yang ada di kamarnya. Hari ini merupakan hari yang sangat penting dalam hidupnya. Hari yang ia tunggu-tunggu kedatangannya selama sepuluh tahun terakhir.Caspian sengaja membuka pintu kamar, karena ia tengah menunggu kedatangan seseorang. Saat Caspian sedang membetulkan posisi jas yang melekat di tubuhnya, pintu kamar menyentak terbuka dan seseorang berlari masuk sambil berteriak.“Paman!!”“Sudah ibu bilang, panggil dia Alpha!”Satu pukulan keras terdengar, dan suara anak kecil yang berteriak kesakitan menyusul setelahnya. Caspian mengernyit, ikut merasakan sakit di kepala anak lelaki itu. “Tidak apa-apa, Kate. Dia kan keponakanku.”“Kalau aku biarkan, dia akan bersikap seenaknya padamu, Cas!”“Mama menyebalkan!” teriak Cooper, lalu dia berlari pergi meninggalkan Caspian dan Kate.Caspian te
“Elora!”Caspian berteriak memanggilnya, tetapi Elora terus berlari. Mereka memporak-porandakan salju di bawah kaki mereka, menerobos ranting-ranting kering dan menantang udara yang menggigit kulit. Elora berada dalam wujud manusia serigala, dan dia berlari lebih cepat dari pada Caspian.Caspian terus mengejarnya, tetapi yang bisa ia lihat hanyalah punggung Elora yang semakin menjauh. Sampai mereka tiba di tepi sungai yang gelap dan nyaris membeku. Elora tiba-tiba berhenti, lalu berbalik. “Jangan mendekat!” pekiknya. Caspian berhenti beberapa meter dari Elora. Paru-parunya terasa nyeri, dan lukanya berdenyut seperti jantung kedua.“Elora.” Caspian mengucapkan nama Elora dengan hati-hati, seakan namanya begitu sakral dan mengandung sihir. Satu kata itu mampu menggambarkan betapa rindu dan putus asanya Caspian. Dia berjalan mendekat, mengubah dirinya menjadi manusia lagi. Seketika, hawa dingin menyerbu Caspian, memperparah kondi