Pria dengan kulit putih bertubuh gempal sedang tidur panjang di atar ranjang besi. Tiga orang berharap jika dirinya segera bangun dan sehat seperti sedia kalam.
Ruangan itu nampak mewah lebih mirip kamar hotel bintang lima bukan rumah sakit. Lengkap dengan dua tempat tidur ukuran sedang, lengkap dengan ruang tamu dan kamar mandi di dalamnya.
Sofa warna biru laut di ruangan depan Arya sedang termenung. Sesekali memainkan poselnya.
Intan dan Alma duduk di sebelah Jimmy yang terbaring menutup mata.
Sekilas Intan melihat ruangan rawat inap yang baru pertama kali ia kujungi, hatinya kagum dengan apa yang ia saksikan.
Tiga kali lebih lebih besar kamar tidur Intan. Tapi siapa pun tidak ada ke inginan untuk tidur di kamar ini.
Sesederhan apa pun ruangan kamar seseorang pasti akan lebih memilih tidur di kamarnya sendiri dari pada ruangan rawat inap kelas VIP.
Bara pergi meninggalkan rumah Intan dengan amarah meluap-luap, entah kenapa dia bisa segila ini kepada seorang perempuan.Dirinya benar-benar dikuasai rasa yang tidak menentu. Pertemuannya dengan Intan kemarin benar-benar mengobarkan api yang sudah hampir padam.Sempat hati Bara untuk terima mengiklaskan yang berlalu tapi melihat Intan untuk beberapa saat sudah menghancurkan benteng pertahanan Bara. Rasanya sia-sia tekad untuk menjauh dari Intan selama ini.Hingga muncul ide gila Bara, kesempatan yang tidak akan datang di lain waktu.Polisi pintar dan sangat berpengalaman, Bara tau jika Intan tidak mengerti, hanya saja Intan butuh saksi yang kuat untuk membuktikan ia adalah korban.Otak Bara cerdas, ambil kesempatan dalam kepelikan yang Intan rasakan saat ini.Bara menawarkan jalan pintas yang begitu cemerlang, tapi sayang Intan adalah betina yang menjunjung harga dirinya melebi
Intan menyadari dirinya bukan dari bagian mereka, melangkah keluar. Memberikan kesempatan kepada anak dan orang tua untuk saling melepas rindu.Tersirat perasaan iri pada Intan dengan kelurga kecil itu, begitu salimg terikat. Keharmonisan mereka seperti mimpi dirinya yang mustahil Intan dapat.Dibanding kelurganya, begitu berbanding terbalik. Orang tuanya bercerai setelah menjalani hubungan beracun sekian tahun lama, dan kini Intan tidak pernah mau tau soal Ayah, meskipun dirinya begitu merindukanya.Duduk di kursi besi bersandarkan dinding rumah sakit air mata Intan membasahi pipinya. Meratapi nasip dirinya yang malang. Tapi mau bagaimana lagi suratan takdir tidak bisa ditampik.Wanita malang itu tak punya pilihan lain selain berusaha mejalani hidup yang tersisa, mensyukuri sisa-sisa nikmat Tuhan.Mungkin Tuhan telah meng
Semakin hari kesehatan Jimmy mulai pulih. Tapi tetap dia harus istirahat total untuk kesembuhanya fisik dan psikis, ada secerca trauma yang harus disembuhkan akibat insiden yang menimpa Jimmy.Psikolog pribadi Jimmy melakuan serangkaian terapi untuk memulihkan kesehatan mentalnya.Kini Intan sibuk bolak balik, antara rumah Jimmy dan kantor. Mengantar berkas jika membutuhkan tanda tangga Jimmy. Hal itu cukup melelahkan, karena dalam sehari bisa dua atau tiga kali berkas yang harus di antar ke rumah bosnya.Dengan jarak di tempuh dalam waktu satu jam perjalanan, jika lancar tanpa macet.Belum lagi jika langkahnya terhambat di rumah Jimmy, ketika Ming memaksanya untuk duduk walapun sekedar mendengar cerita yang sudah diulang puluhan kali. Cerita tentang masa mudanya, cerita tentang perjuangan hidupnya yang dulu mlarat hingga kini mendapat julukan “crazy rich Surabaya.” dan semua hal.
Spontan Vanya mencubit perut Bara, hingga Bara merintih kesakitan. Bara membalas mencubit hidung mungil Vanya.Mereka tertawa bersama layaknya seperti anak kecil. Spontan Bara menarik Vanya dekat denganya lalu mencium bibir Vanya kembali. Kali ini ciuman Bara lebih cepat dan ganas. Vanya mebalas ciuman itu, dua bibir kini bertemu kembali untuk kedua kalinya.Tanggan Bara tidak bisa diam, mulai mengusap punggung Vanya dan menuju perut Vanya, lalu tanggannya menyusup masuk ke dalam kaos Vanya. Tanggan Vanya membelai kepala Bara. Gairah mulai panas. Tanggan Bara meremas gundukan di dada Vanya.Vanya kini mulai merintih, tidak seperti di teras dia menahan suara keluar dari mulutnya. Entah mengapa bayangan Intan muncul kembali di ingatanya.Bayangnya di kepalanya saat ini Intan bersamanya, mekipun pelukanya adalah Vanya. Bara menepisnya mencoba dengan cara terus melumat bibir Vanya penuh gaira
Seperti bunga kaktus yang mekar di gurun tandus. Vanya menjadi warna baru di hidup Bara. Meskipun hubungan tanpa status mereka layaknya orang pacaran pada umumnya. Saling menghitung, jalan bersama, bahkan Alvaro sering ikut bersama, dan mereka juga sudah biasa mesra.Perlahan Bara mampuh ambisius dan rasa cintanya pada Intan.
Feri adalah teman kuliah Alma, bertemu Alma saat sedang jalan di mall bersama Intan. Lalu tertarik dengan Intan, setelah tiga bulan berusaha mendekati Intan tapi tak berhasil. Feri terus mendesak Alma agar membantu dekat dengan Intan. Atas desakan Alma mereka jadian.Tepat tiga hari Feri dan Intan resmi pacaran, malam minggu mereka pergi nonton bioskop. Tepat pukul sepuluh malam film sudah kelar. Parkiran monbil nampak sepi. Orang-orang beranjak meninggalkan mall. Di sana hanya ada satu mobil dengan dua insan.“Kita baru pacaran, aku belum siap ciuman! Harus ya ciuman, aku belum pernah melakukanya ” ujar Intan sangat kesal.“Ayolah Intan! Aku ini pacarmu. masak kamu belum pernah ciuman sama mantanmu dulu?" wajah Feri sangat kecewa, apa yang ia inginkan enggan di turuti Intan.“Sampek kapanpun aku ngak mau dicium apa lagi ciuman.” Intan berhenti sejenak, dan melanjutkan ucapnya, “sebelum a
Setelah beberapa hari Alma cuti kerja, untuk liburan ke Bali bersama Arya. Terpancar kebahagian dari wajahnya. Terlihat hari ini dia berkerja dengan aura lebih segar. Semua rekan kerja setiap ruangan mendapat bingkisan yang ia bawa dari Pulau Dewata, termasuk Intan mendapatkan bingkisan special, beda dari yang lain.Alma melangkah menuju ruangan Intan sambil membawa sebuah tas dari kertas karton tebal.“Ini buat loe!” Alma meletakkan di atas meja kerja Intan.“Makasih ya! Gimana liburanya?” tanya Intan.“Ya begitulah biasalah Bali tak pernah sepi dari turis." Alma mengakat bahu dan melanjutkan ucapnya, "hari Minggu ke taman yuk temenin gue sama Cellin,” ujar Alma tanpa basa basi.Intan tersenyum tipis, “Suamimu kemana?”“Sama ayah mertua pergi ke pabrik, biasa urusan laki-laki. Temenin ya?”“Iya tenang aja.”
Intan memutuskan langsung pulang, pertemuanya dengan Bara sudah memudarkan gairahnya untuk menikmati suasana taman pagi itu.Tas mungil Intan terasa bergetar pelan, dilihatnya ada notifikasi panggilan untuknya“Selamat pagi Bu? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Intan dengan ramah“Nanti malam makan malam di rumah ya! Amin nanti jemput kamu sebelum pukul tujuh !” ujar Ming.“Iya Bu, terimakasih sebelumya.”Alma yang duduk di sebelah Intan sambil nyetir mobil tidak bisa menahan rasa penasaranya, ingin tau siapa yang telefon Intan.“Kamu dapat undangan lagi dari ibu bos besar?” tanya Alma.Intan nyengir sekilas, sambil menganggukan kepala pelan.“Anak buah bos loe itu ada puluhan bahkan ratusan, tapi gue heran kenapa cuma sama loe doang dia baik banget?” tutur Alma.“Mana aku tau? Mungkin kar
Intan menarik nafas panjang, matanya tertuju pada lampu-lampu warna warna di langit-langit cafe. Semakin malam semakin banyak pengunjung yang datang. Rata-rata mereka berpasangan, duduk berdua dan larut dalam sebuah obrolan.Ponsel Bara bergetar kembali, untuk kedua kalinya. Dan saat itu juga Bara segera menekan salah satu symbol. Ponsel itu berhenti berdering. “Kenapa sih dimatiin? Sudahlah angkat aja dulu, siapa tau penting!” ujar Intan.“Dia biasa telefon di jam-jam tertentu, paling mengingatkan makan.” Bara mengangkat bahu.“Bagus dong, dia sangat perhatian.” Mata Intan terbuka lebar, sangat antusias.Bara tak menjawab hanya tersenyum nyengir. Lalu tangganya meraih kopi susu di hadapann
Dari jarak lima meter Jimmy tersenyum melambaikan tangganya lalu bergegas masuk mobil, perlahan meninggalkan parkiran. “Hati-hati di jalan!” ujar Jimmy.“Kamu juga!” Intan tersenyum sangat manis.Intan tak menyangka jika bos besarnya yang sekarang menjadi kekasihnya begitu manis padanya, memang lain tak seperti yang dulu yang sikapnya begitu dingin terkesan angkuh.Dua bola matanya kini memandang laju mobil kekasihnya hingga keluar dari gedung kantor. Kini Intan melangkah masuk mobil dan memaju mobilnya menuju café tempat dirinya janjian dengan Bara.Derung mobil Intan melesat menembus jalanan kota yang mulai padat, mobilnya berhenti tepat di bawah lampu merah. Di samping mobil Intan, dua pasang manusia terlihat sedang perdebatan, terlihat dari raut marah wanita yang sedang di belakang. Sesaat wanita itu turun dan berlari meninggalkan pria yang bersamanya.Pria itu nampak kebinggunan tapi untuk meng
Baju tidur sudah menempel di tubuh Intan, dirinya sudah siap tidur, iseng mengecek notifikasi gawainya. Wajahnya sedikit terkejut dengan pesan singkat yang ia baca, mengetik beberapa kata tapi ia hapus. Hal itu diulang beberapa kali.Intan urungkan, ia malas membalasnya mungkin jika sempat besok pagi ia akan mengirim balasan, akirnya membuka pesan singkat dari Jimmy terlihat baru lima menit lalu ia kirim.Intan tersipu malu untuk kebeberapa kalinya, tubuhnya terasa ringan melayang keudara. Hatinya menari-nari sangat riang. Rasanya malam ini Intan menjadi tuan putri. Halusinasi orang yang sedang jatuh cinta memang aneh. {Terimakasih telah menerima aku jadi kekasihmu. Aku bahagia.}Sebaris pesan singkat itu yang membuat Intan kepayang malam ini. Tanpa berfikir panjang Intan balas pesan singkat itu. 
Jimmy manfaatkan moment makan siangnya untuk menyatap makanan di kedai Mama Eva, meskipun itu bukan itu tujuan utama. Tapi dengan melakukan itu Jimmy mejadi lebih paham pola hidup dan kebiasan keluarga wanita, yang membuatnya jatuh cinta.Meskipun tidak mendekati keluarga yang ideal tapi Jimmy mengerti Intan yang sekarang adalah bagian dari masalalu yang telah berlalu dan tidak harus dibesar-besarkan.Toh ia mengerti tidak semua keluarga benar-benar utuh, Jimmy sendiri sebagai anak pertama merasakan orang tuanya yang berliku-liku.Rasa grogi Intan semakin menghilang, ia lebih tenang sekarang. Suasana rumahnya kini semakin hangat, ditambah gerimis telah berganti hujan dan angin malam membawa udara semakin dingin.Jimmy dan Stif membicarakan soal bisnis terlihat semakin seru. Jimmy yang lebih jauh bergelut dengan bisnis, jual beli dan berkorelasi mempunyai segudang pengalaman. Moment ini tidak disia-siakan
Tapi Stif memilih lekas menjauh dari tempat itu. Dia menyapa sopan Jimmy dan pergi, tak ingin terlalu lama bertatap muka dengan Fani.Stif sudah memaafkan kesalahan Ayah tapi dia belum terima dengan keberadaan Fani, tidak mudah memaafkan kesalahan orang yang menghancurkan istanah yang dibuat dengan susah payah. “Stif!” teriak Intan.Stif berhenti melangkah dan menoleh. “Aku nebeng! mobilku di kantor.” Suara Intan sedikit meninggi karena Stif lumayan jauh darinya. “Mbak bawa helm?” tanya Stif.Intan mengeleng, tak mungkin naik motor tanpa helm jika tak mau berurusan dengan polisi lalu lintas.Jimmy dibelakangnya tersenyum nyengir. “Biar kakakmu aku yang antar.” Jimmy be
Nasfu sudah menguasai otak manusia. Persetan dengan kewarasan! Itu nomor sekian.Yang ia inginkan hanya terpenuhi kenikmatan di bawah pusar yang sudah bergelora, meskipun hanya tersalurkan selama dua menit.Mata Aldi semakin ganas, melihat Eva meronta-ronta, mulut yang masih dibungkam membuat kesulitan bernafas, tubuh Eva mulai lemas. Gerakanya semakin tidak bertenaga.Terdengar suara pintu dibuka. Secepat kilat Aldi berdiri, berusaha menutupi perbuatan binatangnya.Nafas Eva tersengal-segal sambil terbatuk-batuk. Melihat Hadi yang berdiri di depan pintu lantas berdiri, berlari dan memeluk suaminya. Tak perduli dengan kimono yang porak poranda. Kini ia merasa lebih aman. “Apa yang kalian lakukan?” Merah padam wajah Hadi.Aldi berusaha memasang wajah setenang mungkin.&n
Stif masih membeku berdiri tepat di samping ayah. Fani melangkah keluar meninggalkan mereka berdua seolah-olah sedang memberi waktu untuk bapak dan anak berkumpul.Tubuh Stif membeku melihat seorang laki-laki yang begitu ia hormati terbaring lemah. Dialah seorang laki-laki yang sangat di rindukan Stif, rindu yang tak pernah sampai karena keangkuhan hati yang terlalu keras.Kadang hidup memang cukup runyam untuk sekedar dijalani tanpa ditelaah. “Duduklah!” tutur sapa Ayah sangat lembut. Mungkin ini pertama kali Stif mendengar Ayah begitu lembut.Stif duduk kursi yang telah di sediakan tepat berada di sebelah tempat tidur ayah. Wajah anak laki-laki itu tertunduk. Perasaanya begitu berkecambuk. Ini tidak mudah untuknya tapi di banding Intan Stif lebih kuat untuk urusan perasaan.&nbs
Hari mulai gelap di kantor hanya tersisa beberapa petugas keamanan yang berjaga di luar ruangan, hanya ada Jimmy dan Intan yang masih di dalam ruangan.Tanggan Jimmy yang masih menyentuh tanggan Intan, merasakan suhu dingin dan getaran lembut dari tubuh Intan.“Kamu masih cemas?” tanya Jimmy.Intan mengangguk pelan, bibirnya ingin mengatakan sesuatu tapi masih keluh. Dirinya masih jauh dari kata stabil, otaknya sedang berusaha melawan segala kecemasan berusaha menguasai pikiranya.Tehnik yang diajarkan Farhan selaku dokter psikologi, saat mengalami kecemasan atau perasaan negative lainnya, hal yang pertama dilakukan yaitu merubah cara pandang atau prespektif. Mengoptimalkan otak dan pikiran agar lebih mendominasi pikiran positif dan optimis dari pada semua hal negative yang mulai masuk ke pikiran.Bagi Intan atau siapapun yang terbiasa dengan gangguan kecemasan ini tidak lah mudah, otak dan pikiran
Dalam meja bundar di sebuah cafe berkeliling empat orang. Lengkap dengan minuman di atas meja. Mereka nampak serius membiacarkan gangguan mental yang diderita Intan. “Fobia jatuh cinta atau secara medis disebut pilophobia yang Intan alami murni karena trauma masa kecil dan kejadian menyakitkan yang ia alami , dia teramat interovet tidak pernah curhat tentang isi hatinya.” Farhan menarik nafas panjang sejenak dan melanjutkan tutur katanya, “saat remaja dan pola pikir berkembang, stimulus dari orang tuanya negative dan semua ditelan mentah-mentah hingga menghasilkan pikiran yang keliru tentang cinta.”Jimmy mengerutkan kening dan bertanya, “apakah pilophobia bisa disembuhkan?” “Bisa, tapi butuh waktu untuk prosesnya dan Intan butuh dukungan banyak dari orang terdekat. Dan itu juga tergantung dari dalam diri Intan bagaimana dia mengalahakan pikiran negativenya.” Farhan menatap