Setelah melewati hari yang melelahkan di kantor, Farez pulang dengan hati yang penuh kekhawatiran. Saat pintu rumah terbuka, dia tidak melihat kehadiran istrinya yang biasanya menyambutnya dengan senyum hangat. Rasa cemas semakin menghampirinya, dan dia segera mencari asisten rumah tangga mereka yang setia."Maaf, Mbak, apakah Diana ada di rumah?" tanya Farez dengan nada khawatir kepada asisten rumah tangga.ART itu menatap Farez dengan wajah penuh kekhawatiran. "Tidak, Pak Farez. Tadi siang, Nyonya Diana pergi ke rumah orang tuanya. Nyonya sepertinya butuh waktu untuk dirinya sendiri."Perasaan Farez campur aduk. Dia merasa lega bahwa Diana pergi ke rumah orang tuanya untuk menenangkan diri, tetapi di saat yang sama, dia juga merasa cemas dengan keadaan pernikahannya yang semakin meruncing."Apakah dia baik-baik saja?" tanya Farez dengan suara gemetar.ART itu mengangguk pelan. "Saya tidak begitu yakin, Pak Farez. Tadi pagi, dia tampak sangat sedih dan tegang. Mungkin ada beberapa ma
Dalam keheningan yang menggelayuti dirinya, Farez mengambil telepon dan memutuskan untuk menghubungi Yumna. Suaranya terdengar gemetar ketika nomor tersebut terhubung, dan dia menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara."Yumna, ini Farez," katanya dengan nada rendah dan penuh penyesalan. "Aku ingin memberitahumu sesuatu. Aku... aku tidak pergi bekerja hari ini."Ada keheningan sesaat di ujung telepon, dan Farez bisa merasakan betapa tegangnya situasi ini. Dia melanjutkan dengan hati-hati, mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan."Aku ingin meminta maaf, Yumna. Aku tahu aku telah membuatmu khawatir dan merusak kepercayaan kita. Aku sadar betapa beratnya beban yang kau pikul akibat kebodohan dan ketidakkonsistensi yang telah aku perlihatkan. Aku menyesal."Suara Farez terdengar rapuh, penuh dengan penyesalan yang mendalam. Dia berharap Yumna bisa merasakan kerendahan hati yang ia ungkapkan melalui telepon ini."Aku ingin kita bisa berbicara, Yumn
Farez duduk termenung di kamarnya, memandangi hampa di depannya. Hari ini adalah salah satu hari yang paling sulit baginya. Ia tidak pergi ke kantor, dan keadaan di rumahnya membuatnya kehilangan nafsu makan sejak semalam.Dalam keheningan kamarnya, Farez merenung tentang keputusannya dan semua konsekuensi yang mungkin terjadi. Dia merasa kehilangan, bingung, dan hampa. Pikirannya terus menerawang ke masa lalu, saat kebahagiaan masih mengisi ruang hatinya.Dalam situasi yang sulit ini, Farez merasa terjebak dalam dilema yang tak terelakkan. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya atau bagaimana memperbaiki segala kerusakan yang terjadi. Semua yang ia inginkan adalah menemukan jalan keluar dari kegelapan yang melingkupinya.Dalam kesendirian yang penuh duka, Farez membiarkan dirinya terbenam dalam renungan yang dalam. Ia berharap dapat menemukan kekuatan dan arah baru untuk menghadapi masa depan yang penuh dengan ketidakpastian.Farez, yang sedang melamun di kamarnya, terkej
Andi duduk di ruang tamu dengan ekspresi wajah yang penuh kekecewaan. Pandangannya kosong, seakan tenggelam dalam pikiran yang berat. Farez, anaknya sendiri, berdiri di depannya dengan rasa khawatir yang menghiasi wajahnya."Pa, aku sungguh minta maaf," ucap Farez dengan suara yang terdengar lemah. "Aku tahu aku telah membuatmu sangat kecewa."Andi mengangkat tangan dengan penuh emosi, memberikan isyarat untuk Farez diam sejenak. Setelah beberapa saat, ia mulai berbicara dengan suara yang penuh rasa sedih."Farez, papa tidak pernah berharap melihatmu terjerumus dalam masalah seperti ini," ucap Andi dengan lirih. "Aku telah mengasuhmu dengan baik dan memberikan pendidikan yang kuat, tapi aku merasa seperti aku telah gagal."Farez menundukkan kepala, merasakan beban yang tak terhingga di dadanya. "Papa, aku benar-benar menyesal. Aku tidak bermaksud menyakiti siapapun, termasuk dirimu."Andi menghela nafas dalam, mencoba mengendalikan emosinya. "Farez, kau adalah anakku. Papa mencintaimu
"Ma, tiga tahun yang lalu, saat kita sedang mengalami masa-masa sulit dalam pernikahan kita, aku bertemu dengan Yumna," ujar Farez dengan jujur. "Kami berdua merasa terhubung satu sama lain, dan hubungan itu berkembang menjadi lebih dari sekadar persahabatan. Aku tahu aku salah, dan aku menyesalinya."Sinta merasakan kepedihan dalam kata-kata anaknya, namun dia berusaha untuk tetap tenang dan mendengarkan. Matanya dipenuhi dengan air mata, tetapi dia tetap mengendalikan diri agar bisa memberikan dukungan penuh kepada Farez."Farez, Mama menghargai kejujuranmu," kata Sinta sambil menggenggam tangan anaknya erat. "Tidak ada hubungan yang terbentuk dari kesalahpahaman dan keputusan yang salah yang dapat bertahan lama. Tetapi yang penting sekarang adalah kita belajar dari pengalaman ini dan berusaha memperbaiki diri kita sendiri."Farez mengangguk dengan penuh penyesalan. "Aku berjanji, Ma, aku akan belajar dari kesalahan ini. Aku akan fokus pada perbaikan diri dan berusaha menjadi suami
Dengan hati yang berdebar-debar dan rasa tegang yang melingkupinya, Farez memutuskan untuk mengumpulkan keberanian dan mendatangi rumah Diana. Meskipun ia takut akan penolakan dan kemarahan yang mungkin akan dihadapinya, keinginannya untuk memperbaiki kesalahan dan meminta maaf kepada Diana menjadi dorongan yang kuat.Farez tiba di depan pintu rumah Diana dengan langkah yang ragu. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan gelombang emosi yang memenuhi dirinya. Dengan tangan yang gemetar, ia menekan bel pintu dan menunggu dengan harap-harap cemas.Sesaat kemudian, pintu terbuka dan Diana muncul di hadapannya. Wajahnya masih mencerminkan kesedihan dan kehancuran yang dirasakannya, namun Farez melihat kekuatan dan keberanian di matanya."Diana," panggil Farez dengan suara lembut. "Aku datang ke sini untuk meminta maaf. Aku mengerti bahwa aku telah membuatmu menderita dan aku sangat menyesal."Diana menatap Farez dengan tatapan campuran antara kehancuran dan keraguan. Ia terdiam
Diana duduk sendirian di ruang keluarga dengan tatapan kosong di matanya. Pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran yang menghantui hatinya. Perasaan tidak aman dan rasa takut akan masa depannya merasuki setiap sudut pikirannya.Dia merasa takut bahwa Farez akan meninggalkannya karena dia tidak bisa memberikan keturunan. Pemikiran itu membuat hatinya terasa hancur dan penuh dengan keputusasaan. Setiap kali melihat Farez, dia merasa terbebani oleh perasaan tidak berharga dan tidak sempurna.Diana merenung, mencoba mencari jawaban di dalam dirinya. Dia berjuang dengan pertanyaan yang tak kunjung mendapatkan jawaban. Apakah dia bisa mempertahankan pernikahannya tanpa memiliki keturunan? Apakah cinta Farez akan tetap bertahan tanpa hadirnya anak-anak?Dalam keheningan yang membisu, Diana merasakan getaran kegelisahan yang semakin dalam. Dia tidak ingin kehilangan Farez, orang yang dicintainya seiring berjalannya waktu. Namun, kekhawatirannya semakin merajalela, menghantui setiap langkahnya.
Yumna merasa khawatir yang mendalam saat melihat Aurora tiba-tiba jatuh sakit. Tanpa ragu, dia segera membawa putrinya ke rumah sakit terdekat, sambil ditemani oleh Mbok Marni, pengasuh setia mereka. Di dalam mobil, Yumna memegang erat tangan Aurora yang terasa hangat dan berkata lembut, "Tenang, sayang. Mama akan membawa kamu ke dokter dan semuanya akan baik-baik saja." Namun, kecemasan tergambar jelas di wajahnya. Ia tidak bisa menahan kegelisahan dalam dirinya, khawatir dengan apa yang sedang terjadi pada anaknya yang begitu ia cintai. Sambil berdoa dalam hati, Yumna berharap agar Aurora segera pulih dan kembali bugar seperti biasanya.Setelah tiba di rumah sakit, Yumna dengan cepat membawa Aurora ke ruang pemeriksaan yang ditunjukkan oleh perawat. Ia duduk tegang di samping meja pemeriksaan sambil memegang tangan kecil Aurora dengan penuh kekhawatiran. Dokter yang ramah mendekati mereka, dan dengan penuh perhatian, mulai memeriksa kondisi Aurora. Yumna berusaha menjaga ketenanga