Masalah yang sempat menimpa perusahaan Danique Corp's, saat ini sudah teratasi dengan baik. Para investor yang akan lari, sudah kembali karena upaya Arzan di dalam rapat hari itu.
Melihat hal itu, Arnold semakin bangga dengan kerja keras Arzan, begitu juga dengan anggota keluarga Danique yang lain.
Setelah serangan jantung yang membuat Tuan Danique tidak sadarkan diri untuk beberapa hari, kini perlahan keadaan pria paru baya itu mulai membaik. Semua tidak lepas dari dukungan keluarga Danique sendiri.
Hubungan Sofia dengan Nicholas juga perlahan semakin erat. Wanita yang pada awalnya belum yakin sama sekali akan Nicholas, kini perlahan mulai memercayai cinta dari pria bermata biru tersebut.
Tak dipungkiri, siapa yang mampu menolak jika diperlakukan begitu manis. Ya, Nicholas memang pria penuh cinta yang selalu menunjukkan perasaan yang selama ini dia miliki.
“Kau lelah?” Nicholas memerhatikan wajah lesu Sofia.
Kafe yang dibangun S
“Huh.” Sofia menyandarkan tubuhnya ke sofa. Ini adalah akhir pekan yang sangat melelahkan bagi tubuh mungilnya.“Kau terlihat begitu kelelahan, Sayang.” Nicholas muncul dari balik pintu. Dia baru saja meletakkan El yang sudah tertidur di dalam kamar.Sofia mengangguk membenarkan perkataan Nicholas.“Kau mau minum?” tanya Nicholas. Pria itu masih berdiri dengan menatap lekat wajah Sofia.“Boleh,” jawab Sofia singkat.Nicholas tersenyum kecil lalu berjalan menuju dapur.Akhir pekan kali ini Nicholas mengajak Sofia dan El menghabiskan banyak waktu bersama. Pria Italia itu mengajak Sofia dan juga El berjalan-jalan ke pantai. Bahkan, hampir tengah malam mereka baru sampai di apartemen Nicholas.Nicholas sengaja mengajak mereka mengunjungi pantai. Selain udara yang lebih segar dari pada di ibukota, pria itu juga ingin memiliki waktu yang lebih intim. Serta jauh dari pusat keramaian.Nic
Sofia terpaku di depan cermin tanpa melepaskan pandangan dari tubuhnya. Penampilannya terlihat begitu berbeda kali ini. Di belakang wanita itu, El duduk dengan mulut sedikit terbuka.“Mom cantik sekali,” ucap El penuh pujian. Ini pertama kalinya dia melihat sang ibu berpakaian seperti ini.Sofia menoleh ke belakang. Wajahnya terlihat begitu ragu dengan pakaian yang dia kenakan. Dress berwarna merah hati, dengan belahan di sisi kanan hingga mencapai paha. Tubuhnya benar-benar terlihat begitu indah.“Mom tidak percaya diri.” Sofia tersenyum kaku. Dia lupa kapan terakhir kali memakai dress seperti ini. Mungkin, saat dia masih gadis dulu.Selama ini Sofia terbiasa mengenakan pakaian sehari-hari yang terkesan simpel. Lagi pula dia tidak ada acara formal yang mengharuskannya mengenakan pakaian seperti ini.El menggeleng cepat. “Mommy cantik.” Dua kata yang kembali terdengar di telinga Sofia.Sofia berjalan mende
Hiruk pikuk ibu kota kembali terjadi di awal pekan. Hari di mana semua orang akan lebih sibuk dari biasanya. Hari di mana semua orang akan berangkat lebih pagi untuk bekerja.Namun, hal itu tidak berlaku bagi Arnold. Pria itu justru menepikan mobilnya di dekat gedung besar tempatnya bersekolah dulu.Rasanya dia rindu dengan masa itu. Masa di mana dia bisa merasa sedikit bebas, walau hanya sesaat.Pria berdarah Belanda itu duduk dengan bibir tersungging. Kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya.Tanpa sadar, pria itu terus saja memerhatikan keramaian di depan sana. Netra abu di balik kacamata hitam itu berbinar bahagia, seolah menemukan apa yang selama ini hilang dari kehidupannya.“Ah, rasanya aku rindu masa kecil.”Arnold mengambil satu batang rokok yang dia simpan di dalam dasbor. Menyulutnya lalu mengepulkan asap putih yang membumbung. Terkadang pria itu merindukan rasa nikotin yang akhir-akhir ini jarang dia konsumsi.
Arzan menatap heran ke arah Arnold, yang tampak berbeda pagi ini. Wajah pria itu terlihat sedikit berbinar dari biasanya.Arnold melirik asistennya itu sekilas. Kemudian, melanjutkan langkah untuk membuka pintu ruangannya.“Ar, kau baik-baik saja?” tanya Arzan menghentikan langkah Arnold seketika.Arnold menoleh. “Memangnya aku kenapa? Kau selalu bertanya hal-hal aneh beberapa hari ini,” sinis pria itu.Entah apa yang membuat Arzan selalu mempertanyakan hal-hal seperti ini. Bahkan, rasanya Arnold sudah bosan mendengar pertanyaan yang selalu sama di setiap harinya.Memangnya apa yang berubah dalam dirinya? Arnold merasa tidak ada yang berubah sama sekali. Tidak ada yang terjadi sama sekali. Kecuali, pertemuannya dengan El kemarin, yang masih membekas.“Ah, lupakan.” Arzan menggeleng.Arnold mengendikan bahu, lalu melanjutkan langkah untuk masuk dan menutup pintu. Sementara, Arzan masih menatap
Jakarta, 2013Siapa yang tidak mengenal Arnold Danique. Seorang pria berdarah Belanda, yang sudah terkenal di usia mudanya. Bukan karena sebuah prestasi, melainkan karena kebiasaan buruk dan rumor yang berkembang di kalangan para pengusaha.Pria berusia 26 tahun itu sudah memegang sebuah perusahaan sejak 2 tahun lalu. Selama ini, dia memang dipersiapkan untuk hal itu.Tidak ada upaya penolakan, atau yang lainnya. Sejatinya, Arnold memang dilahirkan untuk menjadi penerus bisnis milik keluarga Danique. Walaupun dia sama sekali tidak menginginkan hal tersebut.“Ar, kau mau ke mana?”Arnold menoleh. Menatap pria yang sedang bertanya padanya. Dia adalah asisten yang diberi tugas oleh ayahnya langsung. Secara tidak langsung boleh dikatakan, orang yang diminta untuk mengawasinya.“Kau ingin ikut?” tanya Arnold. Dia tidak menjawab pertanyaan Arzan.Arzan menggeleng. Dia tahu tempat apa yang akan jadi tujuan bosnya itu.
Suara desahan dan erangan terdengar memenuhi sebuah kamar, di hotel bintang lima di tengah kota metropolitan. Pendingin ruangan yang ada di sana seolah tidak berfungsi dengan benar, sebab udara yang terasa benar-benar panas.Arnold masih memacu tubuhnya di atas tubuh wanita yang dia temui tadi. Entah sudah berapa lama, tetapi dia belum juga mendapatkan pelepasan yang diinginkan.Sementara, Grace bergerak liar tidak karuan di bawah. Sungguh, perkataan orang-orang tentang Arnold memang benar adanya. Pertahanan pria itu terlalu kuat. Terlebih lagi, dia sudah mengalami pelepasan untuk yang kedua kalinya. Menandakan betapa kuatnya pria itu.“Ar—“ panggil Grace dengan napas tersengal-sengal. Wanita itu mencengkeram kuat pinggang pria yang ada di atasnya.“Sedikit lagi, Honey.” Arnold menurunkan tubuhnya. Membungkam bibir Grace yang terus mengeluarkan suara seksi, sehingga membuat hasratnya kian menggebu.Peluh sudah membasah
Tidak ada yang dapat mengubah kebiasaan buruk Arnold. Kelab malam, alkohol, dan para wanita, sudah menjadi kebiasaan sehari-hari yang tidak lagi terasa asing.Semua hal itu adalah tempat Arnold berlari, dari kemunafikan hidup yang dia jalani. Tempat dia singgah, saat rasa lelah dan perih mendera. Bolehkah sekali saja Arnold memiliki pilihan?Arnold ingin sekali memberontak? Ah tidak, semua ini adalah bentuk pemberontakan kecil yang dia lakukan. Dia hanya berharap, suatu saat kebiasaan buruk ini, akan membuat Tuan Danique memikirkan kembali, tentang keputusannya terhadap Arnold.Tak hanya itu, ada sang kakek yang juga memiliki peranan penting, dalam memerintahkan semua. Meski pria paru baya itu tinggal di Belanda, tetap saja seluruh kendali perusahaan ada di tangannya.“Opa, aku tidak mau menjadi seorang pengusaha. Aku kurang berminat di bidang itu.” Arnold menatap kakeknya dengan penuh permohonan.“Tidak ada penolakan, Ar. Kau ada
Jakarta, 2018Lamunan Arnold tentang masa lalu, buyar begitu saja karena suara seseorang yang berbicara kepadanya, secara tiba-tiba. Pria itu menengadahkan kepala, untuk memastikan siapa orang yang telah berani mengganggu waktunya.“Kenapa aku ada di sini? Aku sudah bilang, suasana hatiku sedang buruk, dan aku akan kembali ke kantor jika sudah membaik.” Arnold menatap kesal pria yang duduk di hadapannya saat ini.Perdebatannya dengan Grace beberapa saat lalu, masih menyisakan sedikit rasa kesal. Belum lagi, kejadian ketika Arnold benar-benar melihat Sofia ada di depan mata, tetapi dia gagal menemui wanita itu. Rasa kesal itu semakin bertambah, dan membuat suasana hatinya kian memburuk.“Ini sudah jam makan siang. Aku tidak sengaja melihatmu di sini.” Arzan menunjukkan jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Menandakan bahwa pria itu tidak berniat mengikuti atau menguntit Arnold.Namun, entah mengapa di kantor tadi, dia