Sofia terpaku di depan cermin tanpa melepaskan pandangan dari tubuhnya. Penampilannya terlihat begitu berbeda kali ini. Di belakang wanita itu, El duduk dengan mulut sedikit terbuka.
“Mom cantik sekali,” ucap El penuh pujian. Ini pertama kalinya dia melihat sang ibu berpakaian seperti ini.
Sofia menoleh ke belakang. Wajahnya terlihat begitu ragu dengan pakaian yang dia kenakan. Dress berwarna merah hati, dengan belahan di sisi kanan hingga mencapai paha. Tubuhnya benar-benar terlihat begitu indah.
“Mom tidak percaya diri.” Sofia tersenyum kaku. Dia lupa kapan terakhir kali memakai dress seperti ini. Mungkin, saat dia masih gadis dulu.
Selama ini Sofia terbiasa mengenakan pakaian sehari-hari yang terkesan simpel. Lagi pula dia tidak ada acara formal yang mengharuskannya mengenakan pakaian seperti ini.
El menggeleng cepat. “Mommy cantik.” Dua kata yang kembali terdengar di telinga Sofia.
Sofia berjalan mende
Hiruk pikuk ibu kota kembali terjadi di awal pekan. Hari di mana semua orang akan lebih sibuk dari biasanya. Hari di mana semua orang akan berangkat lebih pagi untuk bekerja.Namun, hal itu tidak berlaku bagi Arnold. Pria itu justru menepikan mobilnya di dekat gedung besar tempatnya bersekolah dulu.Rasanya dia rindu dengan masa itu. Masa di mana dia bisa merasa sedikit bebas, walau hanya sesaat.Pria berdarah Belanda itu duduk dengan bibir tersungging. Kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya.Tanpa sadar, pria itu terus saja memerhatikan keramaian di depan sana. Netra abu di balik kacamata hitam itu berbinar bahagia, seolah menemukan apa yang selama ini hilang dari kehidupannya.“Ah, rasanya aku rindu masa kecil.”Arnold mengambil satu batang rokok yang dia simpan di dalam dasbor. Menyulutnya lalu mengepulkan asap putih yang membumbung. Terkadang pria itu merindukan rasa nikotin yang akhir-akhir ini jarang dia konsumsi.
Arzan menatap heran ke arah Arnold, yang tampak berbeda pagi ini. Wajah pria itu terlihat sedikit berbinar dari biasanya.Arnold melirik asistennya itu sekilas. Kemudian, melanjutkan langkah untuk membuka pintu ruangannya.“Ar, kau baik-baik saja?” tanya Arzan menghentikan langkah Arnold seketika.Arnold menoleh. “Memangnya aku kenapa? Kau selalu bertanya hal-hal aneh beberapa hari ini,” sinis pria itu.Entah apa yang membuat Arzan selalu mempertanyakan hal-hal seperti ini. Bahkan, rasanya Arnold sudah bosan mendengar pertanyaan yang selalu sama di setiap harinya.Memangnya apa yang berubah dalam dirinya? Arnold merasa tidak ada yang berubah sama sekali. Tidak ada yang terjadi sama sekali. Kecuali, pertemuannya dengan El kemarin, yang masih membekas.“Ah, lupakan.” Arzan menggeleng.Arnold mengendikan bahu, lalu melanjutkan langkah untuk masuk dan menutup pintu. Sementara, Arzan masih menatap
Jakarta, 2013Siapa yang tidak mengenal Arnold Danique. Seorang pria berdarah Belanda, yang sudah terkenal di usia mudanya. Bukan karena sebuah prestasi, melainkan karena kebiasaan buruk dan rumor yang berkembang di kalangan para pengusaha.Pria berusia 26 tahun itu sudah memegang sebuah perusahaan sejak 2 tahun lalu. Selama ini, dia memang dipersiapkan untuk hal itu.Tidak ada upaya penolakan, atau yang lainnya. Sejatinya, Arnold memang dilahirkan untuk menjadi penerus bisnis milik keluarga Danique. Walaupun dia sama sekali tidak menginginkan hal tersebut.“Ar, kau mau ke mana?”Arnold menoleh. Menatap pria yang sedang bertanya padanya. Dia adalah asisten yang diberi tugas oleh ayahnya langsung. Secara tidak langsung boleh dikatakan, orang yang diminta untuk mengawasinya.“Kau ingin ikut?” tanya Arnold. Dia tidak menjawab pertanyaan Arzan.Arzan menggeleng. Dia tahu tempat apa yang akan jadi tujuan bosnya itu.
Suara desahan dan erangan terdengar memenuhi sebuah kamar, di hotel bintang lima di tengah kota metropolitan. Pendingin ruangan yang ada di sana seolah tidak berfungsi dengan benar, sebab udara yang terasa benar-benar panas.Arnold masih memacu tubuhnya di atas tubuh wanita yang dia temui tadi. Entah sudah berapa lama, tetapi dia belum juga mendapatkan pelepasan yang diinginkan.Sementara, Grace bergerak liar tidak karuan di bawah. Sungguh, perkataan orang-orang tentang Arnold memang benar adanya. Pertahanan pria itu terlalu kuat. Terlebih lagi, dia sudah mengalami pelepasan untuk yang kedua kalinya. Menandakan betapa kuatnya pria itu.“Ar—“ panggil Grace dengan napas tersengal-sengal. Wanita itu mencengkeram kuat pinggang pria yang ada di atasnya.“Sedikit lagi, Honey.” Arnold menurunkan tubuhnya. Membungkam bibir Grace yang terus mengeluarkan suara seksi, sehingga membuat hasratnya kian menggebu.Peluh sudah membasah
Tidak ada yang dapat mengubah kebiasaan buruk Arnold. Kelab malam, alkohol, dan para wanita, sudah menjadi kebiasaan sehari-hari yang tidak lagi terasa asing.Semua hal itu adalah tempat Arnold berlari, dari kemunafikan hidup yang dia jalani. Tempat dia singgah, saat rasa lelah dan perih mendera. Bolehkah sekali saja Arnold memiliki pilihan?Arnold ingin sekali memberontak? Ah tidak, semua ini adalah bentuk pemberontakan kecil yang dia lakukan. Dia hanya berharap, suatu saat kebiasaan buruk ini, akan membuat Tuan Danique memikirkan kembali, tentang keputusannya terhadap Arnold.Tak hanya itu, ada sang kakek yang juga memiliki peranan penting, dalam memerintahkan semua. Meski pria paru baya itu tinggal di Belanda, tetap saja seluruh kendali perusahaan ada di tangannya.“Opa, aku tidak mau menjadi seorang pengusaha. Aku kurang berminat di bidang itu.” Arnold menatap kakeknya dengan penuh permohonan.“Tidak ada penolakan, Ar. Kau ada
Jakarta, 2018Lamunan Arnold tentang masa lalu, buyar begitu saja karena suara seseorang yang berbicara kepadanya, secara tiba-tiba. Pria itu menengadahkan kepala, untuk memastikan siapa orang yang telah berani mengganggu waktunya.“Kenapa aku ada di sini? Aku sudah bilang, suasana hatiku sedang buruk, dan aku akan kembali ke kantor jika sudah membaik.” Arnold menatap kesal pria yang duduk di hadapannya saat ini.Perdebatannya dengan Grace beberapa saat lalu, masih menyisakan sedikit rasa kesal. Belum lagi, kejadian ketika Arnold benar-benar melihat Sofia ada di depan mata, tetapi dia gagal menemui wanita itu. Rasa kesal itu semakin bertambah, dan membuat suasana hatinya kian memburuk.“Ini sudah jam makan siang. Aku tidak sengaja melihatmu di sini.” Arzan menunjukkan jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Menandakan bahwa pria itu tidak berniat mengikuti atau menguntit Arnold.Namun, entah mengapa di kantor tadi, dia
Sofia terlihat mengusap wajahnya dengan sedikit kasar. Wanita itu ketiduran dari sore sepulang dari kafe. Entah apa yang kini dilakukan oleh El, dia juga tidak tahu.Dengan mata yang masih sedikit mengantuk, Sofia melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Dia belum memasak makanan, untuk makan malam.Wanita itu bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Menanggali setiap pakaian yang menempel di tubuhnya. Lalu mulai mengguyur tubuh dengan air yang terasa sedikit dingin.Rasa lelah yang beberapa saat lalu sempat mendera, hilang begitu saja. Dinginnya air yang menyentuh kulitnya langsung, membuat Sofia merasa lebih segar.Tak butuh waktu lama, wanita itu segera menyelesaikan kegiatan di dalam kamar mandi. Dia harus segera memasak, sebelum El benar-benar kelaparan......“El!” panggil Sofia ketika sudah ke luar dari dalam kamarnya. Mata berwarna cokelat itu mencari keberadaan anak laki-lakinya di dalam ruang
Arzan menghempaskan tubuhnya begitu saja di atas sofa. Dia baru saja mengantarkan dokter keluarga yang memeriksa kondisi Arnold. Kondisi pria itu sedang tidak baik-baik saja. Entah apa yang sebenarnya dipikirkan oleh Arnold sehingga dia mengalami gangguan kecemasan seperti ini lagi. Entah sudah yang ke berapa kalinya Arnold mengalami hal seperti ini. Awalnya memang terlihat begitu sepele, tetapi semakin kemari kondisi pria itu benar-benar menakutkan. Arzan mendongakkan kepalanya. Menatap langit-langit apartemen milik Arnold. Sepertinya, malam ini dia akan menginap di sini, untuk menemani Arnold. Arzan tidak bisa jika harus meninggalkan sahabatnya itu sendirian. “Siapa dia?” Tiba-tiba Arzan teringat akan perkataan Arnold sebelum pria itu benar-benar kehilangan kesadarannya. Dahi Arzan sedikit mengernyit. Dia tidak tahu siapa orang yang dimaksud oleh Arnold. “Apakah Sofia?” Mendadak kepalanya terasa berdenyut nyeri. Dia kembali m
Ettan mendorong kursi roda milik ibunya dengan perasaan hampa. Wanita paru baya itu juga terlihat tidak sehat beberapa hari terakhir. Hari ini tepat empat belas hari setelah kejadian jatuhnya pesawat Air 367. Pencarian sudah ditutup, dan para korban yang sampai saat ini belum ditemukan, dinyatakan tiada. Sama seperti Sofia dan juga El. Ibu dan anak itu sama sekali tidak ditemukan. Hanya koper milik Sofia saja yang berhasil ditemukan dan dikembalikan kepada pihak keluarga. Tentu saja hal ini menjadi pukulan yang amat berat untuk Ettan dan juga ibunya, tidak terkecuali untuk Bagas, seorang ayah yang selama ini menganggap putrinya tidak pernah ada. Ettan menatap lautan dari balik kacamata hitamnya. Hari ini semua awak media, dan keluarga korban berkumpul di tepi pantai. Rencananya mereka akan melakukan upacara tabur bunga untuk memberi penghormatan yang terakhir. “Ettan, Sofia—“ Suara Soraya tertahan ketika ingin melanjutkan percakapannya. Ettan menunduk, kemudian berjongkok di hada
Nicholas menatap laut biru di hadapannya dengan dada yang terasa sesak. Sudah tujuh hari sejak kecelakaan pesawat yang ditumpangi Sofia terjadi, dan mereka masih belum bisa menemukan Sofia dan juga El. Bangkai dari badan pesawat sudah mulai bisa dievakuasi satu-persatu, begitu juga dengan para korban yang semuanya ditemukan dalam kondisi tidak selamat. Potongan tubuh manusia sudah seperti penampakan yang biasa bagi Nicholas dalam tujuh hari terakhir. Tentu, dia tidak diam berpangku tangan saja. Nicholas mengerahkan semua orang-orangnya untuk membantu proses pencarian. Namun, sampai detik ini baik tubuh maupun barang Sofia belum bisa ditemukan. “Ke mana kalian pergi? Apa kau ingin menghukumku dengan cara seperti ini, Fia?” Suara Nicholas terdengar lirih. Kulit pria itu sudah terlihat pucat dengan tubuh yang sedikit kurus. Dia sama sekali tidak pulang ke rumah, atau makan dengan teratur selama tujuh hari terakhir. Nicholas menghabiskan hari-harinya untuk bermalam di sini dengan para
Arnold memukul kemudi setirnya berkali-kali. Pria itu sudah terjebak macet hampir satu jam lamanya, dan di sinilah dia berada dengan rasa kesal yang luar biasa. Pria itu mematikan radio yang sejak tadi dia nyalakan. Berita di dalam sana itu-itu saja, dan Arnold mulai merasa bosan.Arnold menghela napas malas ketika ponselnya kembali berdering. Nama Arzan tertera di sana, dan ini entah sudah panggilan ke berapa dari temannya itu. “Halo, apalagi, Ar? Kau tidak bisa mencarikan aku solusi? Aku jenuh berada di tengah-tengah kemacetan ini!” bentak Arnold tanpa menunggu terlebih dahulu Arzan berbicara. Pria itu benar-benar kesal dan butuh sesuatu untuk melampiaskan kekesalannya tersebut. “Arnold.” Suara Arzan terdengar lirih. Pria itu sama sekali tidak terdengar kesal setelah mendapatkan omelan dari Arnold. “Ada apa? Kenapa dengan suaramu?” tanya Arnold dengan raut wajah bingung. Arzan bukanlah orang yang bisa berbicara lirih seperti ini setelah dimarahi oleh Arnold. Biasanya pria itu ak
“Mommy, apa nanti dad akan menyusul kita?” Entah sudah pertanyaan keberapa yang Sofia dengar mulut anak laki-laki yang duduk di sampingnya itu. El menatap Sofia dengan serius. Sejak tadi Sofia belum memberikan jawaban yang memuaskan rasa penasarannya. Sofia terlihat bingung untuk sesaat. Namun, wanita itu sudah bertekad apa pun yang terjadi, mereka tidak akan lagi menyusahkan Nicholas. “Sepertinya tidak. Dengar El—“ Sofia langsung berusaha menyela ketika anak laki-lakinya itu ingin berkomentar. “Daddy mungkin ... maksud Mommy, sekarang kita harus bisa hidup mandiri. Di hidup daddy tidak hanya ada kita saja. Daddy juga punya kehidupan yang lain. Pekerjaan dia terlalu banyak sehingga menghabiskan banyak waktu. El mengerti maksud Mommy, kan, Sayang?” tanya Sofia dengan lembut. Tangan Sofia mengusap kepala El dengan penuh kasih sayang. Hanya penjelasan seperti ini yang bisa Sofia katakan. Usia El masih terlalu kecil untuk bisa memahami segala persoalan di hidup mereka. El menatap Sofia
“Pada pukul 13:00 wib pesawat Air 367, penerbangan Jakarta dengan tujuan kota Helsinki-Finlandia, dinyatakan hilang kontak di atas perairan laut Banten. Pesawat yang diawaki oleh 2 pilot dan co-pilot, dan 10 awak kabin, serta 99 penumpang yang merupakan warga negara asing maupun WNI juga dinyatakan hilang.Hingga berita ini diturunkan, baik pihak bandara maupun tim-tim yang bertugas sedang berupaya mencari keberadaan pesawat Air 367.” Nicholas menaikkan kepalanya yang tertunduk sejak duduk di ruang tunggu—yang sedang menunggu kepastian dari pihak bandara, mengenai mengapa penerbangan mereka harus tertunda. Namun, setelah mendengar berita yang baru saja disiarkan oleh media di televisi, mata pria itu menatap layar besar di hadapannya dengan sedikit ragu. Terdengar tarikan napas Nicholas dengan wajah sedikit gusar. Pria berkulit putih itu lalu berdiri dan berlari, menerobos keramaian. Sejak kembali dari luar tadi, dia baru sadar jika keadaan bandara sudah lebih ramai, dengan keberad
Arnold menyetir mobil dengan keadaan tidak karuan. Gugup, panik, marah, dan kecewa. Benaknya selalu bertanya-tanya sejak tadi, mengapa Sofia berniat pergi lagi? Mengapa Sofia melakukan hal ini lagi—meninggalkan dirinya dalam ketidakpastian? “Ah, sial!” Arnold memukul kemudi mobil dengan kuat. Amarah pria itu benar-benar membuncah saat ini. Kemarin-kemarin dia memang sengaja tidak menemui Sofia sampai fakta tentang siapa El jelas, tetapi bukan berarti dia akan melepaskan Sofia lagi, bukan? Sampai kapan pun Arnold tidak akan bisa menerima jika Sofia pergi lagi dari hidupnya, apalagi wanita itu membawa El. Anaknya! Entah apa dan bagaimana pikiran itu terus mengusik Arnold. Apakah saat ini Sofia sudah tahu jika Arnold menyelidiki El? Apa Sofia lari karena merasa takut jika El memang terbukti putranya, maka Arnold akan mengambil anak laki-laki itu? “Oh, Sofia! Tidak mungkin! Kalau memang kau berpikir seperti itu, itu hal yang mustahil. Aku tidak akan mengambil El dirimu, atau berniat
“Ar!” Arnold tersentak ketika mendengar suara Arzan yang memanggilnya dengan cukup kuat. Pria itu membuang napas dengan kasar lalu menatap Arzan dengan penuh tanya. “Kita ada rapat siang ini. Kau tidak lupa, bukan?” tanya Arzan dengan wajah heran. Arnold terlihat tidak sehat selama beberapa hari ini. “Kau baik-baik saja?” Arzan berjalan mendekati meja kerja Arnold, dan duduk di kursi yang saling berhadapan dengan temannya itu. Arnold mengangguk pelan. “Sudah dapat kabar dari rumah sakit?” “Belum.” Arzan kembali menatap Arnold dan memastikan jika pria itu benar-benar baik-baik saja. “Mereka bilang dalam 2 atau tiga hari lagi hasilnya akan keluar.”Arnold kembali mengangguk dengan wajah gelisah. Pria itu melepaskan kacamata dan meletakkan berkas-berkas yang sedang dibaca. “Bagaimana dengan Sofia? Kalian sudah menemukan di mana dia tinggal?” tanya Arnold dengan penuh harap. Semenjak Sofia pergi begitu saja di hari itu, Arnold sama sekali tidak bisa tenang.Arzan mengambil ponsel yang
Kenzo berlari dengan terus meneriaki nama Sofia, ketika melihat wanita itu berjalan dengan El. Tidak! Dia tidak mungkin salah. Wanita yang sedang berjalan itu adalah Sofia. “Sofia!” panggil Kenzo dengan napas terengah-engah. Pria itu menatap Sofia dengan heran. Mengapa Sofia bisa ada di bandara? “Sofia, tunggu!” teriak Kenzo, tetapi sepertinya Sofia tidak mendengar sama sekali. Kenzo melihat ke pergelangan tangan kirinya. Jadwal penerbangannya sebentar lagi, tetapi dia juga tidak bisa pergi begitu saja setelah melihat Sofia. Apalagi setelah tahu ada seorang pria yang pergi bersama Sofia. “Shit! Sialan! Dia pergi begitu saja setelah mencampakkan Nicholas!” maki Kenzo dengan wajah kesal. Tangan pria itu mengambil ponsel di dalam saku jasnya. Demi apa pun jika dia tidak ingat bagaimana kondisi Nicholas sekarang, Kenzo tidak ingin memberitahu jika dia melihat Sofia di bandara. “Halo, Nic.” “Kau belum berangkat? Pesawatmu akan lepas landas sebentar lagi, bukan?” “Sofia!” jelas Kenzo d
Sofia menatap pagar rumah mewah di hadapannya dengan bimbang. Entah bagaimana, dan mengapa hingga wanita itu bisa berakhir di tempat ini. Tempat di mana dia pernah menghabiskan masa kecilnya dulu. “Mommy, ini rumah siapa?” tanya El dengan wajah bingung. Sepulang dari sekolah Sofia tidak langsung mengajaknya pulang, melainkan kemari—ke sebuah rumah yang tidak tahu siapa pemiliknya. Sofia berjongkok di hadapan El lalu meraih tangan mungil putranya tersebut. Andai El tahu jika ini adalah rumah keluarga mereka juga. “Mommy menangis?” El mengusap pipi Sofia yang mendadak basah. Kenapa ibunya justru menangis? Anak laki-laki itu terlihat bingung. Akhir-akhir ini ibunya terlihat sering menangis. Sebenarnya siapa yang menyakiti ibunya? “Mom, apa semua orang jahat?” tanya El dengan lembut. Apa semua orang menyakiti ibunya? Sofia mengusap pipinya yang basah dengan senyum tipis. Wanita itu menggeleng pelan, dia sadar dengan pertanyaan El. Mungkin saja anak laki-laki itu sudah terlalu sering