"I-iya? Ada apa, Rayes?" Tanyaku penasaran.
"Apa saya masih terlihat seksi di matamu?”
"Hah?"
Aku mengedipkan mataku berkali kali mendengarkan pertanyaannya barusan yang tidak pernah kusangka akan keluar dari mulut seorang pimpinan utama perusahaanku. Aku menelan ludahku kasar dan menutup mataku sebelum menarik nafas dalam dalam.
"Tentu, Rayes." Senyumku menatapnya.
"Tentu. Anda sangat seksi." Tambahku berbohong.
Berbohong?
Well, seorang pria dengan kemeja yang tidak terkancing rapi dengan lengan yang dilipat itu memang terlihat menarik perhatianku. Tapi bagaimana kalau yang memakainya itu orang seperti Rayes? Maksudku memang wajahnya masuk dalam kategori tampan untuk pria matang seusianya. Tapi apakah aku sopan baru saja menyebut pria dewasa yang mempunyai anak dan istri ini sebagai pria seksi?
"Serius? Apa saya lebih seksi ketimbang atasan langsungmu itu?" Tanyanya dengan tatapan yang menyindir.
"Tentu saja. Jangan menyamakan diri anda dengan bawahan anda seperti itu. Anda sudah pasti menang di semua aspeknya." Ucapku membujuknya.
Ia tersenyum puas menatapku.
"Lalu apa tadi itu penilaian jujur dari bawahan saya atau dari seorang wanita bernama Joanna Gray? Hm?" Tanyanya menatapku
Aku cukup terkesima dengan kemampuannya menghafalkan nama bawahannya sendiri. Maksudku, siapa aku yang berharap namaku dihafal oleh pimpinan utama perusahaanku. Bahkan berdiri langsung dan berbicara tidak formal seperti ini saja harusnya aku bersyukur. Tapi pantaskah aku bersyukur?
"Dari seorang bawahan, Rayes. Saya belum sampai di fase di mana saya harus menilai fisik seseorang yang baru saya kenal."
"Oh ya? Terus bagaimana dengan komentarmu malam itu?"
"Malam itu? Kapan? Semalam?" Tanyaku bingung.
"Kamu tidak ingat apapun?" Tanyanya lebih bingung.
Aku menggeleng pasti. Kulihat Rayes mengusap wajahnya kasar seakan kesal dengan jawaban yang kuberikan.
Apa??? Apa yang sudah kulakukan? Tolong seseorang, siapa saja, beri aku petunjuk!
"Sampai mana ingatanmu tentang semalam, Anna?" Ia mulai memperbaiki posisinya duduknya agar terlihat lebih santai.
Aku diam dan berpikir sejenak. Mencoba kembali ke momen di mana aku memutuskan untuk minum dengan teman baikku, Liam di salah satu bar atau lebih tepatnya diskotik yang cukup terkenal di kotaku.
"Saya pulang dari klub malam bersama Liam... Karena saya melupakan sesuatu yang sangat penting malam itu, saya memutuskan untuk kembali ke kantor dan mengambilnya. Saat di kantor, seperti yang sudah anda ucapkan sebelumnya... Saya berciuman dengan Liam sebelum memutuskan untuk naik ke atas. Lalu sesampainya di atas, saya sepertinya bertemu dengan seseorang tapi wajahnya terlalu samar untuk saya ingat. Jadi saya pikir, ini apartemen Liam." Aku kembali melongo, melihat dengan penuh kekaguman betapa luasnya apartemen ini.
Rayes kembali terkekeh melihat ekspresiku.
"Baiklah, ada dua hal yang perlu saya luruskan. Yang pertama, ini bukan apartemen Liam. Tetapi ini apartemen saya. Dan yang kedua, orang yang kamu temui malam itu adalah saya, dan saya juga yang mengantarmu pulang karena kamu tertidur persis di dada saya." Jelas Rayes.
"Tertidur di dada? A-astaga naga! Maafkan saya Rayes." Aku berdiri dan menunduk meminta maaf dengan sangat hormat.
"Tenang, Anna. Kita sedang di luar jam kantor jadi ayolah, berbicara selayaknya teman saja." Tawanya.
"Eh? Tapi... Ba-baiklah, akan saya usahakan." Balasku mencoba memakai bahasa antar teman.
Apakah ini lancang? Ta-tapi dia meminta seperti ini. Jadi kurasa tidak masalah. Terlebih wajah tersenyum Rayes mengembang sempurna di wajahnya. Apa memang pimpinan utama orangnya murah senyum ya?
"Good. It's okay. Jadi apa perlu saya lanjutkan?" Tanyanya meminta izin dariku.
"Si-silahkan Rayes."
Rayes tersenyum lalu kembali mengambil posisinya untuk berbicara lebih serius.
"Jadi waktu kamu tertidur di dada saya waktu itu, saya berniat untuk mengantarkanmu pulang. Tapi sayangnya, saya tidak bisa melepaskan pelukanmu yang sangat kencang itu. Bahkan untuk mengambil ponsel di celana saya saja, saya tidak bisa. Akhirnya saya memutuskan untuk membawamu ke parkiran dan meminta supir pribadi saya untuk mengantarkanmu ke apartemen pribadi saya yang sebenarnya letaknya tidak terlalu jauh dari kantor. Lihat, kamu mengenali gedung pencakar langit di sana bukan?" Tanyanya menunjuk ke arah luar jendela.
Aku mengikuti arahan telunjuknya yang sedang menunjuk sesuatu. Meski samar kulihat gedung kantorku yang terhalangi kabut asap kotaku, aku hanya mengangguk untuk meng-iya-kan pertanyaannya.
"Jadi begitulah ceritanya kenapa kamu bisa sampai ke kamar saya." Jelasnya mengakhiri pembicaraan.
Aku berdehem paham akan penjelasannya yang sepertinya masih kurang lengkap.
"Lalu, pakaian dalam dan bekas di leher ini bagaimana?" Tanyaku menyentuh leherku yang terlihat lebam.
***
Ekspresi Rayes terlihat sedikit kaget namun ia terlihat berusaha menutupinya. "Oh, kamu sudah melihatnya. Yah, itu... Bagaimana ya menjelaskannya." Aku mempunyai firasat tidak enak. "A-apa kita me-melakukan itu? Rayes?" Tanyaku ragu. Rayes melotot menatapku. Firasatku semakin tidak enak. Rayes lalu mengusap tengkuknya yang kusadari tidak gatal sama sekali. Dia mencoba menyembunyikan sesuatu, atau sedang mencoba untuk menjelaskan sesuatu? "I-itu... Hm, begini..." Aku memperbaiki postur tubuhku untuk mendengarkan penjelasannya dengan baik. "Baiklah. Begini, waktu kita sudah sampai di apartemen ini... Kamu... Memuntahkan isi perutmu karena katanya kamu mual mencium wewangian di ruangan ini. Dan begitulah ceritanya kenapa pakaianmu berakhir di tempat laundry." Jelas Rayes sambil menahan tawanya. Wajahku merona padam karena malu. Segera kuambil bantalan sofa yang ada di sampingku lalu menutupi wajahku yang semakin panas ini. "Belum selesai Anna. Tolong dengarkan saya. Setelah puas
Kenapa Rayes berlebihan seperti itu? Oh astaga betapa bodohnya aku. Saking kagetnya aku melihat pakaian baru nan mahal ini, aku berlari pada Rayes tanpa mempedulikan tampilanku yang hanya terbungkus handuk putih dengan rambut basah sempurna berjalan begitu saja ke hadapannya dengan pakaian mahal pemberiannya itu di tanganku. Tentu saja Rayes akan menyemburkan air yang baru saja masuk memenuhi mulutnya itu sebelum mengomeliku dengan eksresi terkejutnya. "Ma-maaf, bukan begitu maksudku. Tapi ini?" "Ambil saja. Kamu berhak itu. Anggap saya yang sudah membuat pakaianmu menjadi kotor, okay? Lagi pula kemeja yang kamu pakai dan jas yang kamu ikat untuk menutupi pahamu tadi itu harganya melebihi pakaianmu sekarang. Jadi anggap saja itu hadiah, Anna." Pintanya. "Tapi saya-" Aku masih sangat tidak enak! "Anna, tolong." Rayes mulai berjalan mendekatiku. "Itu dari pemberian seorang teman. Okay?" Ucapnya menyentuh bahuku dengan kedua tangannya. Ada sensasi hangat yang menggeliat melalui ta
Sesampainya di rumah, segera kubuka pintu garasi dan memasukkan mobilku tepat di samping motor sport, Nathaniel, Kakak laki-lakiku yang sangat jarang pulang lebih awal dari jam pulang kantornya. Aku segera berlari masuk ke dalam rumah untuk mencarinya. Dan benar saja, dia sedang mengobrak-abrik lemari pakaianku. "YA AMPUN! KAKAK NGAPAIN?" Kagetku. Niel yang bingung melihat kehadiranku hanya bisa terdiam kaku menatapku yang sibuk menghentikan aktivitasnya. "Kantormu baru saja meneleponku karena mereka bilang tidak bisa menghubungimu karena ponselmu mati. Katanya kau akan berangkat besok pagi untuk mengikuti program-apalah itu. Jadi aku segera pulang dan membantumu berpacking. Karena kupikir kau akan pulang malam atau bahkan tidak pulang lagi." Jawabnya santai. "Iya ponselku mati, tapi aku pasti pulang. Aku tidak mau jadi anak durhaka." Segera kututup koperku yang masih berantakan itu. "Terus... Bisa kau jelaskan alasan kenapa tidak pulang semalam?" Tanyanya. "Aku lembur. Banyak ya
"Halo, Anna." "Ra-Rayes? Apa ini ulahmu?" Tanyaku bingung. Ia tersenyum. Pramugari tersebut mempersilahkanku duduk tepat di sebelah Rayes. Dan tanpa banyak bertanya, aku segera menuruti arahan pramugari tersebut. "Apa ini ulahmu?" Tanyaku memastikan. Rayes hanya memberikanku senyuman penuh maknanya. "Bagaimana kalau pegawai yang lain melihatnya?" Tanyaku panik. Yang mengikuti program itu bukan hanya aku saja, ada beberapa orang lagi dari departemen lain yang mengikutinya. Tentu saja aku khawatir dengan reputasi pimpinanku yang akan tercoreng hanya demi melindungi bawahannya yang baru saja dilecehkan oleh orang asing atau yang lebih buruk lagi, kalau ada gosip jelek yang beredar mengenai kami berdua. "Dan membiarkanmu terus digoda oleh mereka itu?" Ia balik bertanya. "Hm? Dari mana kamu tau?" "Insting pria memang seperti itu, Anna." Aku hanya terdiam tidak membalas sama sekali ucapan Rayes karena merasa tidak enak pada pria yang lagi-lagi menyelamatkanku ini. "Permisi." Sela
"Hah?! Kok bisa?" Pekikku kaget mendengar pertanyaan randomnya. "Permisi Mbak, ini minumannya." Ucap pramugari yang berhasil menghentikan kata-kata makian yang hampir saja kuucapkan pada pimpinanku sendiri. "Terima kasih banyak, Mbak. Tapi, seingatku aku cuma mesan air putih hangat. Kenapa yang datang teh hangat beserta camilan ini?" Tanyaku penasaran. "Captain’s treat, Miss." Balasnya tersenyum. "Oh. Hm, baiklah. Ucapkan terima kasihku pada sang Captain, dan maaf sekali lagi untuk kejadian tadi." Ucapku sopan. "Tentu, Mbak. Nanti akan saya sampaikan. Semoga lekas sembuh." Ucapnya menunduk pamit sambil tersenyum manis. "Something has already happened." Tegur Rayes mencurigai sesuatu. "Tidak ada apa-apa, Rayes." "Semoga kamu beneran tidak sedang hamil." Balasnya ketus. Aku hanya menatap pimpinan utamaku dengan ekspresi yang tersenyum memaksa karena aku sedang sibuk mencaci makinya di dalam otakku. Bagaimana mungkin aku bisa hamil, dasar pria tua! . . . 2 jam kemudian, pesaw
"Hai. It's so good to see you again, Anna." Sapa sang kapten yang berdiri tepat dihadapanku saat ini. Aku tersenyum kikuk atas situasi yang aneh ini. Kebetulan yang sangat luar biasa kami bisa bertemu kembali di tempat yang tidak terduga seperti ini. "Tidur di sini juga ya, Capt?" Tanyaku basa-basi. "Hotel ini homebase kami. Jadi, ya. Sepertinya saya akan tidur di sini." Balasnya tersenyum. Aku kembali tersenyum kikuk menjawab pertanyaannya. "Oh... Lantai berapa?" Tanyaku basa-basi mencoba mencairkan suasana yang sangat diluar ekspektasi seperti ini. "Sepertinya kita tidur di lantai yang sama." Balasnya menatap ke arah lampu tombol lift angka sebelas yang menyala. "Oh, i-iya." Aku menggaruk telingaku yang tidak gatal. "Ada acara apa di sini, Anna? Liburan?" Tanyanya basa-basi. "Apa? Oh? Tidak. Kenapa bisa berpikir aku akan liburan?" Aku mulai memberanikan diri menatap matanya. "Tebakan saja? Apa salah? Sepertinya kamu bersama dengan suamimu tadi. Kemana dia?" "Apa?! Suami ma
Alex menyentuh bahuku dan mencoba meluruskan badanku yang mulai oleng. "Saya bersama beberapa kolega yang akan mengisi acara besok. Anna, kenapa kamu tidak menghubungi saya sampai sekarang, hah? Apa yang kamu pikirkan sampai memutuskan untuk minum seperti ini sendirian? Besok hari penting! Jangan melakukan hal yang berbahaya seperti ini." Omelnya. "Sssst! Diem ih! Jangan berisik." Aku menyentuh bibirnya yang lembut dengan jari telunjukku. Mata hitam Rayes menatap mataku yang terfokus melihat ke arah bibirnya. "Udah ya. Aku mau pulang." Ucapku kemudian. "Anna, tunggu saya saja. Saya yang akan mengantarkanmu ke kamar." Aku terkekeh. "Rayes. Lihat aku!" Aku melompat dari kursiku dan berdiri lalu berputar dihadapannya. "Aku mabuk... Bukan lumpuh. Aku masih bisa jalan. Tidak usah khawatir. Aku pulang dulu ya. Da daaah~" Pamitku berjalan sempoyongan. "Anna!" Teriak Rayes. "Mr. Rayes?" Tegur seseorang yang berhasil menghentikan langkahnya mendekatiku. Aku bisa mendengar suara Rayes
Om Roger lalu pergi meraih telepon yang memang tersedia di setiap kamar dan menghubungi bagian receptionist untuk memberitahukan mereka agar segera membawakan kartu duplikat. Setelah itu ia kembali mengambil gelas tehku dan bersimpuh di hadapanku yang sedang duduk dengan kebingungan. "Hei, tenanglah. Semua akan baik-baik saja. Seseorang akan datang membawakanmu kunci yang baru. Minumlah dulu." Ia menyodorkan gelas teh itu kembali. Aku menatapnya dan meraih gelas itu sebelum menyisipnya. Ia menatap wajahku yang terbungkus rasa khawatir berlebihan, ia kemudian mengelus rambutku pelan. "Maaf, saya tidak bermaksud apa-apa. Tapi sepertinya kamu membutuhkannya dan semoga semua hal ini bisa menenangkanmu." Senyumnya. Aku hanya diam sibuk menyesapi teh hangat yang anehnya bisa menenangkanku. Ini berkat teh atau perlakuan Om Roger? Tunggu! Apa? Kenapa aku harus menikmati sentuhan Om Roger? "Makasih banyak buat semuanya Om..." Balasku mengembalikan gelasnya yang sudah kosong. Ia tersenyum.
Tri semester terakhir menjadi tantangan terbesar bagiku yang semakin kesulitan untuk bernafas karena rasa sesak memenuhi perutku yang sudah terlalu besar. Layaknya ibu hamil pada umumnya, semua ukuran baju dan sepatuku mendadak berubah. Dan untuk alasan tertentu, dokter menyarankan agar aku terus melakukan olahraga ringan di pagi dan sore hari demi mempertahankan posisi bayi kami yang sudah berada pada tempatnya."Baby? Are you ready?" Tanya Roger yang sudah siap dengan pakaian olahraganya.Sepulang dinas dan sebelum berangkat kerja, sudah menjadi tugas tambahan untuk Roger menemaniku jalan-jalan di sekitar taman. Dengan senang hati Roger menemaniku karena selain meniduri wanita, olahraga merupakan salah satu kegiatan favoritnya."Let's go." Ajakku bersemangat.Roger tersenyum sebelum berjalan beriringan bersamaku menuju ke lift apartemen. Namun untuk kali ini sepertinya sesuatu yang tidak beres sedang melandaku ketika lift yang kami tumpangi sedang bergerak turun ke lantai dasar."Mh
Kondisi perutku mulai terlihat lebih menonjol di usia kandunganku yang sudah memasuki tri semester kedua. Setelah puas bergulat dengan rasa mual dan ngidam yang aneh-aneh, kini aku harus memasuki fase dimana gairah seksualku mendadak berubah.Beberapa kali aku harus memancing nafsu para serigala yang sedang tampak tenang itu, namun mereka tolak mentah-mentah mengingat dokter melarangku untuk berhubungan intim di awal kehamilan demi menjaga keselamatan kandunganku yang masih sangat rentan.Tapi untuk malam ini, rasanya aku sudah tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Karena terus dianggurkan selama beberapa bulan belakangan ini, sekarang aku ingin menjamah tubuh mereka seperti yang biasanya kulakukan setiap malam sebelum aku menyadari kalau aku sedang hamil."Papa Dan~" R
Hampir tiga bulan lamanya aku menjalani kehidupan baruku sebagai wanita yang sedang berbadan dua. Meski pada awalnya berat menerima kehadiran makhluk hidup baru yang tumbuh dan berkembang di dalam perutku. Suami dan kedua sugar daddyku terus memberikanku support yang tidak pernah berhenti. Bahkan mereka tidak ingin mempertanyakan anak siapa yang sedang kukandung, karena bagi mereka ini adalah anak dari buah cinta mereka.Jadi kunikmati seluruh kasih sayang yang mereka limpahkan padaku tanpa henti sampai makhluk kecil ini hadir diantara kami berempat dan merebut semua perhatian kami. Seperti saat jadwal check up rutin datang, aku bahkan sampai harus mengacuhkan pandangan orang-orang Rumah Sakit yang kebingungan melihatku dikawal oleh suami serta dua sugar daddyku yang sampai harus izin tidak masuk kerja hanya untuk melihat tumbuh kembang anak mereka dalam perutku. Kini tantangan terbesar yang harus kulewati adalah fase mual dan ngidam yang berlebihan. Ah- Membayangkan kombo mematikan
Beberapa bulan setelah kunjungan Mama dan Papaku, kujalani hari-hari sibukku sebagai istri rumah tangga yang baik untuk suami dan kedua sugar daddyku. Mengurusi segala kebutuhan mereka lahir maupun batin. Dan sesuai keinginanku yang disepakati bersama, kegiatan panas kami akhirnya berjalan teratur sesuai jadwal. Malam tertentu aku hanya milik mereka seorang dan malam khusus dimana aku akan menjadi milik mereka bertiga. Khusus untuk Daniel, malam kami hanya diisi dengan kegitan manis di ranjang bersama. Tanpa sedikitpun aktivitas panas yang akan memicuku untuk menggodanya, Daniel akan terus mencurahkan perasaannya melalui perlakuan manisnya yang membuatku semakin mencintainya sebagai pasangan hidupku yang sah. Namun untuk pertama kalinya semenjak kami memutuskan untuk tidur di ranjang yang sama, perutku merasakan sesuatu yang membuat tubuhku tidak karuan. Rasanya aku ingin memuntahkan makan malam yang barusan kami santap berempat sebelum berpisah untuk tidur di kamar masing-masing kar
"Halo? Ya Ma?" Sapaku ketika mengangkat telepon dari Mama yang jarang sekali menghubungiku di pagi hari seperti ini."Dek, Mama dan Papa sudah boarding pesawat ya. Jemput kami nanti di bandara ya." Pinta Mama yang berhasil membuat jantungku berhenti berdetak untuk beberapa saat kemudian."Hah?! Mama mau ke sini? Kok nggak bilang dari kemarin?" Keluhku yang membuat Roger kebingungan karena aku segera terbangun dari pahanya."Ya namanya juga kejutan. Ini saja Mama ngabarin kamu dulu, takutnya kamu lagi nggak di rumah. Gimana kalau Mama dan Papa langsung gedor pintu rumahmu, hayo." Mama membela dirinya."Iya iya iya.. Ya sudah, Mama Papa safe flight ya. Aku bersih-bersih rumah dulu." Ucapku yang segera beranjak dari tempatku bersantai dengan Roger."Baby? Kenapa? Apa orang tuamu mau ke sini?" Tanya Roger melihatku berlari panik."IYA!" Teriakku menuju ke kamar utama tempat dimana barang pribadiku berada.Segera kuraih tas hitamku yang setahun lalu pernah kugunakan untuk kabur bersama den
Beberapa haripun berlalu, berkat segala bantuan Rayes dan Roger akhirnya secara hukum aku sudah sah menjadi Nyonya Henery. Tidak ada acara mewah setelah kami menandatangani akta pernikahan kami. Yang ada kedua Daddyku hanya mempersiapkan acara makan siang sederhana di yacht pribadinya. Mereka berpesan agar aku tetap menjaga stamina sebelum pulang kembali ke kotaku untuk melaksanakan resepsi yang sebenarnya. Tidak masalah untukku. Aku juga merasa tidak terlalu merasa nyaman dengan keramaian Ibu Kota. Lebih menyenangkan berkumpul bersama mereka bertiga. Menikmati indahnya sinar matahari dengan hembusan angin laut yang menyegarkan. "Baby, jangan berjemur disana. Kulitmu bisa terbakar. Ingat kamu masih punya resepsi minggu ini." Pesan Roger yang sedang duduk dengan Rayes serta Daniel dengan segelas champagne di tangan mereka masing-masing. "Sayang sekali rasanya kalau tidak berjemur di laut." Keluhku. "Seharusnya kamu pakai bikinimu. Kalau tidak, kulitmu akan belang." Rayes menambahka
"Honey?" "Honey??" "Sayang???" Sayup-sayup suara Daniel yang sedang memanggilku berulang kali berhasil menyadarkan dari tidur pulasku semalam. Sampai-sampai aku tidak menyadari sentuhan tangan hangat Daniel yang terus membelai rambutku seolah sedang berusaha menyadarkanku. "Sayang, bangun." Daniel mengusap keningku berkali-kali. "Mhh~" Lenguhku manja karena rasanya aku masih mau melanjutkan tidurku. "Bangun sayang. Aku dan Tuan Rayes akan segera berangkat kerja. Roger belum pulang karena terjebak delay. Apa kamu tidak masalah ditinggal sendirian?" Tanya Daniel mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Aku mengernyitkan dahi sambil berusaha membuka mataku. "Iya." "Minumlah dulu. Aku sudah menyiapkan sarapan di atas meja untuk kalian berdua nanti. Sekarang bangunlah dulu. Aku sedikit trauma meninggalkanmu dalam kondisi tidur seperti ini." Pinta Daniel. Tanpa bantahan meski dengan kondisi mata yang masih terasa sangat berat, Daniel melihatku terbangun dari tempat tidur dan berjalan l
Mataku yang terbuka secara tiba-tiba membuat tubuhku tersentak pelan seakan aku baru saja mengalami kejadian yang sangat menegangkan. Kesadaranku yang perlahan pulih sejalan dengan nafasku yang berburu seperti mencoba menenangkan detak jantungku yang tidak beraturan untuk kembali pada ritmenya. "Baby?" Kaget Rayes yang ikut terbangun masih dengan lengan kokohnya yang kujadikan sebagai bantal tidur. Aku menatap Rayes yang tertidur di sebelah kiriku dan Daniel tertidur disebelah kananku dengan tangannya yang berada di atas perutku. Masih dengan detak jantung yang belum tertata, aku tersenyum menanggapi pertanyaan Rayes. "Daddy Roger sudah berangkat ya?" Tanyaku kemudian. Rayes mengangguk. "Sekarang masih jam setengah dua belas malam. Do you need something, Baby?" Tanya Rayes dengan suaranya yang serak-serak basah. Aku mengangguk. "I need to clean that part. Sepertinya aku tidur terlalu lama. Rasanya badanku segar sekali." "Baiklah, sayang. Bersihkan tubuhmu dulu. Kamu terlalu
Dengan sorot matanya yang semakin dibutakan oleh kabut gairahnya sendiri, Daniel terus memijat batang kejantanannya yang sudah menegang di ujung sana. Tidak sedikitpun ia berniat mendekatiku yang sedang sibuk bersetubuh dengan Rayes sembari memeluk Roger yang tak henti-hentinya memberikanku rangsangan kecilnya dengan memijat kedua gunung kembarku. Desahan dan lenguhan terus kulanturkan karena kenikmatan tanpa ujung yang diberikan oleh kedua sugar daddyku. "Damn, you're hot as hell." Desis Rayes yang kembali menghentakku agar kembali fokus pada genjotannya. "Daddy~" Rengekku pada Roger yang kini meraih bibirku untuk menciumku dengan rakus. "Ah- Kau sangat spesial sayang." Rayes kembali mendesis dan memukul-mukul buritan sintalku secara bergantian. "Nggh, capek." Keluhku saat kulepas bibirku dari pagutan bibir Roger. Tak ambil pusing, tanpa melepas miliknya dari kewanitaanku. Rayes lalu menarik tubuhku dari pelukan Roger dan segera menjatuhkanku di atas pangkuannya yang sedang terdu