Anna mengangguk pelan ketika Chris Rowell mengulangi perkataannya. Anna sebenarnya tidak yakin setelah melihat sendiri orang yang sama berdiri di depan gedung apartemennya. Anna bahkan menaruh kecurigaan dengan orang itu terkait kecelakaan yang menimpanya pagi ini. Memang buktinya belum ada, tapi entah kenapa firasat Anna kuat sekali. “Bagaimana kau tahu kalau kau sedang diikuti oleh seseorang? Bisa saja orang itu pelanggan tetap kedai tempatmu bekerja,” kata Chris Rowell menyuarakan pendapatnya. “Mulanya aku berpikiran hal yang sama denganmu. Namun, aku memergokinya beberapa kali melirik ke arahku, Chris. Aku yakin sekali dialah pelakunya,” kata Anna mencoba menjelaskan. Chris Rowell tersenyum dengan tangan yang sudah mendarat di kepala Anna, mengusapnya lembut. “Secret admirer, Anna. Wanita cantik memang selalu menjadi pusat perhatian di mana saja.” “Aku tidak asal bicara, Chris!” Anna tersentak, begitu pula dengan pria itu. Chris Rowell bahkan mengangkat kedua tangannya karena
Ketika Anna tidak melihat respon dari Pamela, Anna langsung memeluk tubuh ibunya. Pamela tampak syok dan itu sangatlah wajar. Siapa pun pasti terkejut bahwa sasaran para pembunuh itu telah berubah. Anna mengusap pelan punggung Pamela yang seketika berubah naik turun. Pamela menangis dalam pelukannya. “Apa yang harus aku lakukan, Anna?” rintih Pamela di sela-sela tangisannya. Pamela bingung. Wanita itu tidak tahu harus melakukan apa untuk menolong putri kecilnya, kecuali … “Aku harus mengatakannya pada kakekmu, Anna,” kata Pamela ketika menguraikan pelukan. “Mom—” Pamela menggeleng pelan. “Sebelum semuanya terlambat, Anna, dia harus tahu jika cucunya sedang diincar seseorang. Tidak akan kubiarkan kau bernasib sama seperti Richie. Tidak akan ….” Anna tidak mencoba mencegahnya lagi begitu Pamela menghilang masuk ke kamarnya. Anna sebenarnya juga takut, hanya saja dia tidak ingin menunjukkan rasa takutnya itu. Kepala Anna mendadak tidak bisa berpikir. Apa yang harus dia lakukan? Apaka
Andrew Lewis menyandarkan punggung di singgasananya. Satu tangannya menjadi penopang kepala sementara tangan satunya telah sibuk memutar-mutarkan bolpoin di sela-sela jemari. Kekhawatiran Andrew Lewis berubah menjadi rasa penasaran yang menggebu-gebu saat perkataan Alex masih terngiang-ngiang di dalam kepalanya. Hasil penyelidikan Alex bahwa pemilik gedung itu telah diberi jaminan uang tutup mulut oleh seseorang untuk memberikan kesaksian palsu apabila polisi mengusut perkara tindakan yang dilakukan pria misterius itu. Dengan kata lain pot bunga yang dikatakan Anna adalah memang sengaja dijatuhkan untuk mencelakainya. Namun, sayangnya Andrew belum menemukan apa motif dibalik semua itu. Menjadi salah satu pewaris dari perusahaan milik kedua orangtuanya membuat Andrew Lewis terbiasa melakukan hal-hal berbau dunia hitam seperti ini. Uang selalu berbicara paling awal sebelum tindak kekerasan jika sesuatu yang dicari berjalan dengan alot. Tidak pernah ada kata kasihan dalam kamus seorang
Anna melihat darah yang keluar dari lengannya. Untung saja Anna memiliki refleks tubuh yang membuatnya lebih sigap merespons sesuatu yang datang mendekat. Ketika Andrew Lewis membelah kerumunan orang demi melihatnya, Anna sedikit lega. Setidaknya, dia tidak sendirian. “Astaga Anna, apa kau baik-baik saja?” tanya Andrew Lewis dengan raut wajah khawatir. Ada peluh serta napas yang terengah saat pria itu menghampiri Anna, lalu berangsur memeluknya. “Apa kau bisa berdiri? Kita harus segera ke rumah sakit sekarang.” Sebelum Anna menjawab, Andrew Lewis telah lebih dulu menggendongnya dengan ala-ala princess yang pernah Anna lihat semasa kecil di televisi. Wajah Anna mendadak merona, tapi Andrew Lewis sama sekali tidak mempedulikan tatapan penuh ketakjuban orang di sekitarnya. Ya, siapa yang tidak akan heboh melihat langsung seorang Andrew Lewis di tengah keramaian dan melakukan atraksi yang membuat semua wanita sejagat Sydney meleleh. Alex membawa mobil menuju rumah sakit terdekat atas pe
Saat Anna melihat Jason Luthor mengepalkan tangannya, Anna sudah tahu ada sesuatu yang sedang disembunyikan pria tua itu darinya dan juga ibunya, Pamela. Jason Luthor tidak langsung menjawab namun sebagai gantinya pria tua itu hanya berdehem dan meminta Anna untuk menemuinya besok, berdua saja. Anna menyetujui lalu menghilang bersama Pamela ke ruangan yang sudah dipersiapkan untuk mereka gunakan malam ini. “Boleh aku tahu rencanamu, Anna?” tanya Pamela saat mereka sudah merebahkan diri di atas ranjang. “Sejujurnya aku cukup kaget kau tidak menolak permintaan kakekmu untuk tinggal di sini.” Anna menggeser posisi tubuhnya, mendekat ke arah Pamela, membuka akses sang ibu untuk memeluknya. Belaian tangan Pamela di atas kepala Anna memberikan ketenangan. “Semua itu kulakukan dengan spontan, Mom. Kau kecewa atas respon Jason yang lambat. Itu cukup membuatku berpikir; kenapa tidak sekalian saja aku bertanya tentang daddy. Kau tentu juga penasaran dengan rencana rahasianya, kan?” “Tentu.
Jason Luthor sepertinya tidak menyangka jika Anna akan benar-benar pergi tidak lama setelah perdebatan mereka beberapa saat lalu. Dia mengira Anna adalah sosok cucu perempuan yang mudah diatur serta diperdaya namun tampaknya dia salah perhitungan. Jason Luthor melupakan bahwa berdebat dengan Anna tidak bisa menggunakan cara yang biasa saja, perlu taktik atau perencanaan matang karena Anna bukanlah wanita bodoh. Dia adalah cucu dari seorang Luthor dan seorang Luthor sudah sewajarnya memiliki sifat seperti itu. Jason Luthor mengarahkan kursi rodanya ke arah jendela raksasa tepat di depannya. Perkataan Anna membuatnya terusik. Masa lalu. Sebenarnya, semenjak mengetahui isi dari ketiga surat Richie waktu itu, Jason Luthor langsung segera menjalankan rencananya. Pemikirannya saat itu sama dengan tebakan Anna, yakni mengaitkan semua yang terjadi dengan masa lalunya yang cukup kelam. Jason Luthor mengerahkan bawahannya mencari keberadaan seseorang yang telah lama menghilang selama dua puluh
Rasanya Anna sangat malu sekali. Hampir seumur hidupnya dia tidak pernah bergantung pada uluran tangan orang lain. Bukannya Anna tidak ingin, tapi Anna tidak terbiasa. Lagi pula kedua orangtua Anna mendidiknya hidup mandiri bukan tanpa alasan mengingat Anna hanya hidup berdua saja selama ini bersama sang ibu. Anna mengunci pintu apartemennya tergesa-gesa untuk mengejar jadwal bus yang sebentar lagi akan singgah di halte. Lorong apartemen yang biasanya sepi entah kenapa pagi ini terlihat sangat sibuk sekali. Banyak orang berlalu lalang serta naik turun tangga mengeluarkan barang. Anna mengernyit seketika dengan rasa penasaran yang sebenarnya ingin sekali dia tuntaskan kalau saja tidak dikejar-kejar oleh waktu. “Halo, Anna ….” Sapaan pria tua dengan perut buncit mengalihkan pandangan Anna. “Halo, Paman Spencer. Kau terlihat sibuk sekali pagi ini,” kata Anna dengan terpaksa berbàsà-bàsi membalas sapaan tetangga sebelah pintu. “Ya, karena mulai hari ini aku akan pindah dan kau akan pun
“Kau sudah melewati batasan, Andrew,” timpal Andreas. Andrew Lewis hanya menempelkan bokongnya di ujung meja ketika Andreas datang dengan murka. Pria berwajah sama dengannya itu tampak kecewa sekaligus marah karena nasihat yang pernah dikatakannya tidak sedikit pun didengarkan oleh saudara kembarnya. “Anna saja memikirkan reputasimu sebagai seorang Lewis. Tapi, kenapa justru kau bertingkah seolah tidak mempedulikannya? Biarkan Alex yang melakukan dengan caranya dan kau cukup mengawasi semua dari kejauhan,” tambah Andreas lagi. Andrew Lewis mendesah. “Berdebat denganmu tidak pernah ada habisnya, Andreas. Percuma saja aku memberimu pengertian karena kau tidak pernah belajar untuk mengerti.” “Justru kau yang tidak kumengerti, Andrew. Jangan buta karena cinta. Dulu kau mampu hidup tanpa mengenal siapa pun, tapi kenapa kau justru menggantungkan hidupmu seolah kau tidak bisa hidup tanpanya? Bukankah ini sungguh menggelikan?” Andrew Lewis mengetatkan long coat di tubuhnya. Perkataan Andr