Bagai disambar geledek, semua orang terkejut dan spontan berlari keluar dari kamar, kecuali Edric tentunya. Zura sendiri melesat dengan cepat sesaat setelah dia mendengar Santi memekik.Santi sedang berdiri di tengah ruangan dengan bersimbah air mata saat Zura tiba. Di atas kepalanya masih melilit sebuah handuk yang menandakan dia baru saja selesai mandi. Zura langsung mencari keberadaan Embun di atas kasur. Kosong! "Embun mana, Mba?!" Dia bertanya dengan perasaan kalut, panik, khawatir yang bercampur menjadi satu.Semua orang sudah menumpuk di ambang pintu. Menyaksikan Santi yang semakin meraung tanpa bisa berkata-kata. Kemudian mereka masuk satu per satu, dimulai dari Chalondra.Zura yang sudah bisa menebak apa yang sedang terjadi, hanya bisa mematung seraya menatap kosong ke arah karpet."Mba Santi, bisa Mba ceritakan apa yang terjadi?" Chalondra bertanya dengan nada pelan dan keibuan.Santi hanya menggeleng. "Sayah ... sayah ... juga nggak tau ... Nyonyah ... saya ... hanya ting
Zoey ... Ayyara ... Louis. Tiga kata yang memberikan efek kejut jantung bagi semua anggota keluarga Louis. Dominic, Chalondra, Edric dan Zac yang sudah tau perihal status Zoey di dalam keluarga mereka, sangat terkejut mendengar pengakuan Morgan. Zoey cucu Morgan? Yang benar? Zura juga tak kalah terkejut mendengar penuturan kakeknya. Bagaimana mungkin?? Bukankah Morgan cuma punya satu puteri, yaitu mamanya? Nama mamanya 'kan Anastasia? Siapa Yuanita? Kemudian Zura mengingat saat Zoey mengajaknya bicara kemarin, dan bertanya apakah Morgan punya puteri lain selain ibunya? Apa Zoey bertanya demikian karena dia sudah tau tentang ini? Apa saat Zoey bertemu Morgan, kakeknya sudah membahas ini kepadanya? Tapi jauh berbeda dengan Zoey. Dia tidak terlalu terkejut ketika Morgan mengaku sebagai kakeknya. Bukankah percakapan mereka kemarin memang sudah mengarah ke sana? Morgan sempat mengatakan kalau dia sama-sama keras kepala seperti ibunya. Zoey sebenarnya sudah punya firasat kalau Morgan me
Adrenalin semua orang terpacu bersamaan dengan langkah Morgan yang kembali mendekati kursi dimana Embun dan Edric diikat hingga hingga tak berdaya. Bahkan tubuh Edric yang besar pun tidak bisa berkutik karena tali tambang yang mengikat seluruh tubuhnya dari dada hingga ke perut. “Putriku … Yunita Zahra Wijaya … meninggal karena sebuah sakit keras yang dia idap waktu itu. Namun seandainya Zura tidak terlambat membawakan dana untuk membereskan administrasi rumah sakit, mungkin saat ini saya masih bisa memeluk raganya.” Morgan mengitari Edric dan Embun dengan langkah perlahan dan dramatis. “Tapi … pemuda sombong dan arogan ini adalah penyebab Zura terlambat datang ke rumah sakit. Dengan tidak sabarannya dia menembus lampu lalu lintas yang masih berwarna merah, sehingga dia menabrak Zura yang sedang buru-buru.”“Saya tidak pernah melanggar lalu lintas, Kakek tua.” Edric menggeram karena dituduh menjadi penyebab kematian Yunita. Jelas-jelas waktu itu Hendry berjalan setelah lampu jalan k
Mata Edric terbelalak lebar melihat wanita pujaan hatinya ditampar tepat di depan wajahnya. Darahnya langsung mendidih dan dengan sisa tenaga yang dia punya, dia berdiri, menghantam kaki kursinya dengan sangat keras ke tembok. Seluruh tali di tubuhnya mengendor saat kayu-kayu itu patah dan berjatuhan di lantai. Semua orang terbelalak, terkejut, dibuatnya. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Bahkan luka tembakan di punggungnya masih mengeluarkan darah.Chalondra dan Zoey, sejak awal mereka sudah berjanji tidak akan menyulitkan. Maka, saat Dom dan Zac memberi perintah untuk tidak overreacted terhadap apapun yang terjadi di dalam tempat penyekapan ini, mereka menurut meski jantung berdetak tidak karuan. Tubuh bergetar, keringat bercucuran, napas tertahan. Dom tadi sudah mengingatkan mereka, bahwa semua tindakan yang gegabah bisa membahayakan Embun dan juga Zura.Edric menghampiri Zura dengan cepat. Dilihatnya wajah wanita itu sudah memerah akibat tamparan ayahnya sendiri."Sakit?" tanyanya
Mata Edric terbelalak lebar melihat wanita pujaan hatinya ditampar tepat di depan wajahnya. Darahnya langsung mendidih dan dengan sisa tenaga yang dia punya, dia berdiri, menghantam kaki kursinya dengan sangat keras ke tembok. Seluruh tali di tubuhnya mengendor saat kayu-kayu itu patah dan berjatuhan di lantai. Semua orang terbelalak, terkejut, dibuatnya. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Bahkan luka tembakan di punggungnya masih mengeluarkan darah.Chalondra dan Zoey, sejak awal mereka sudah berjanji tidak akan menyulitkan. Maka, saat Dom dan Zac memberi perintah untuk tidak overreacted terhadap apapun yang terjadi di dalam tempat penyekapan ini, mereka menurut meski jantung berdetak tidak karuan. Tubuh bergetar, keringat bercucuran, napas tertahan. Dom tadi sudah mengingatkan mereka, bahwa semua tindakan yang gegabah bisa membahayakan Embun dan juga Zura.Edric menghampiri Zura dengan cepat. Dilihatnya wajah wanita itu sudah memerah akibat tamparan ayahnya sendiri."Sakit?" tanyanya
“Bagi saya, seorang ayah yang menampar darah dagingnya sendiri adalah makhluk terhina di buma bumi ini. Jika ayahnya saja sudah menamparnya, tidak menghargainya, lantas kepada siapa lagi dia berpegang?” Edric menatap Radesh penuh amarah. Tangan kanannya mengepal kuat sedangkan tangan kirinya menggenggam tangan Zura lebih erat. Radesh berdecih. Di matanya Edric tak lebih dari seorang anak muda yang sombong. Yang bicara hanya berdasarkan emosinya sesaat. “Jaga mulutmu! Seperti kau bisa jadi ayah yang baik saja. Kemana kau saat wanita yang kau gauli selama setahun lamanya, hamil dan mengandung anakmu?! Kemana kau saat dia menderita melahirkan antara hidup dan mati?! Kemana kau saat Embun sekarat dan butuh donor darah yang banyak dari orang terdekat yang seharusnya adalah kau?!” Kepala Edric bagai dihantam satu ton batu yang begitu keras. Diingatkan akan kelalaian dan kesalahannya di masa lalu, membuatnya kembali merasa terpojok di sini. Radesh dan Morgan sepertinya memang sengaja men
"Chris Ellordi." Morgan berbalik sehingga menghadap ke arah tangga sepenuhnya. Menyambut kedatangan seseorang yang sudah lama tidak jumpai dalam beberapa tahun terakhir.Chris Ellordi, berjalan dipapah Brandon dan juga Calvin cucunya. Wajahnya tampak kelelahan mengingat akhir-akhir ini dia sangat kepikiran akan keluarga sang puteri yang sedang tidak kondusif. "Kau harus berhenti menyalahkan orang lain atas kepergian Yunita," pinta Chris pada pria yang usianya hampir sama dengannya. Kini mereka sudah berhadap-hadapan."Ada apa gerangan, seorang teman lama tiba-tiba datang dan memberiku nasehat?" Morgan bertanya dengan skeptis."Aku hanya sudah muak dengan dirimu yang tidak ingin jujur pada diri sendiri. Semuanya terlalu aneh dan mencurigakan."Dominic mengerutkan dahi. Apa yang diketahui ayah mertuanya???Sebelas dua belas dengan Dom, Brandon dan Calvin pun melakukan hal yang sama. Mengerutkan dahi karena ucapan kedua orang tua ini."Aku tidak mengerti apa maksudmu, Chris. Dan tolong
“Don’t cross your line, Chris. Aku tidak punya urusan denganmu.” Morgan memberi peringatan karena sepertinya Chris tidak main-main ingin membongkar semua rahasianya. Sial sekali! Dari mana Chris tau tentang semua ini?“Kau lupa sudah menghancurkan Eco Paper? Kau juga sedang cari masalah denganku, Morgan.” Chris tetap tenang meski Morgan memberinya ultimatum untuk tidak ikut campur. Morgan ini harus diberi pelajaran.Morgan menahan rahangnya kuat-kuat. Si tua bangka itu sepertinya tidak main-main. Morgan harus menarik ulur dulu. Dia jelas akan kalah kalau Chris sudah turun tangan. Dia dan Dominic adalah founder Eco Paper. Sudah pasti mereka akan membuat ini lebih ramai dari kemarin. Dia menarik napas kuat-kuat sambil tidak melepaskan sorot matanya dari Chris. “Mari kita pergi.” Dia memberi aba-aba kepada Radesh dan puluhan anak buahnya yang berdiri mengelilingi ruangan. Sepertinya, kali ini dia memang harus mundur. Tapi Dominic tentu saja tidak mengijinkannya. Langkah pertama Morgan