Home / Thriller / Hippocampus / Bab 6 - Pelarian

Share

Bab 6 - Pelarian

last update Last Updated: 2021-09-06 09:38:01

Narkoba adalah musuh dari ambisi dan harapan– dan saat kita berjuang melawan narkoba, maka kita sedang berjuang untuk masa depan - Bob Riley -

Antusiasme Gabe membuat dia salah mengambil jalan, sehingga mobil kami salah masuk tol. Aku takut kalau Adi sudah kembali pulang kerumahnya, karena jam sudah menunjukkan pukul dua belas lebih dua puluh menit tengah malam.

Saat ini, aku hanya memiliki satu pilihan bantuan.

Aku terpaksa menelepon Ibnu dan Otniel untuk menyuruh mereka mencari Adi di salah satu warung dekat rumahnya. Untungnya, dua anak itu mau kembali berangkat kerja, meskipun sudah kuusir setelah sukses dengan ingatan Adi.

Dua anggota timku itu adalah yang paling bisa diandalkan untuk mencari orang, jadi aku sudah lega saat mereka menyetujui permintaanku.

"Kalau benar air liur Adi mengandung narkoba, maka Pak Sugeng adalah pemasoknya untuk waktu yang lama," ujar Gabe memecah keheningan di tengah jalan tol yang sepi.

"Dan hal itu akan membuat tersangka pembunuhan Pak Sugeng semakin melebar," sahutku. "Bukan hanya keluarga dan orang terdekat Pak Sugeng, tetapi akan ditambah organisasi yang memasok narkoba ke Pak Sugeng."

Gabe manggut-manggut dengan wajah serius. "Kalau itu terbukti, maka Kepolisian kita akan bekerja keras untuk membasmi setiap orang yang ada di organisasi itu."

rrrrrr!!

Suara getaran ponselku membuat percakapan kami berhenti. Aku membaca layar ponselku dan tertera nama Anugrah Nugraha, lalu aku menekan tombol loudspeaker agar Gabe juga bisa mendengar percakapanku dengan Anugrah.

"Halo, Nug, Ada apa?" ujarku.

"Pak Ian, ada sesuatu yang harus saya informasikan ke Bapak," katanya. "Di mayat Sugeng Srianto terdapat jejak narkoba yang sangat tipis dalam darahnya. Kemungkinan besar, dia memakainya sekitar dua bulan lalu."

Informasi tersebut membuatku dan Gabe langsung saling beradu pandang. Artinya, temuan pihak Forensik sudah menegaskan kalau Pak Sugeng memakai narkoba, dan kemungkinan besar juga menjual benda terlarang itu.

Aku melihat papan petunjuk arah yang ada di depan kami, lalu langsung menepuk pundak Gabe, sambil berseru, "Kita keluar tol sekarang! Ubah arah ke Departemen Forensik!"

Untungnya, Gabe memiliki respon yang baik. Sekitar 100 meter setelah perintahku, dia langsung menuju ke gerbang keluar tol, dan memutar arah ke Departemen Forensik.

Sembari dia memutar arah, aku memerintahkan Ibnu dan Otniel untuk langsung membawa cangkir bekas Adi ke Forensik. Jika semuanya sesuai, maka kasus ini adalah awal dari rusaknya selubung sindikat narkoba yang diam-diam bergerak di Surabaya.

Gabe memacu mobil kami dalam diam, bahkan matanya yang tadi sudah cukup mengantuk, kembali berubah segar.

"Satu lagi Pak Ian!" seru Anugrah, yang menyadarkanku kalau kami masih dalam percakapan telepon. "Narkoba di dalam darah Pak Sugeng adalah jenis Heroin yang sangat kuat, jadi harga benda ini cukup mahal."

"Heroin jenis baru?" aku mengulangi perkataannya. "Apa dia mencampur Heroin dengan hal lain?"

"Betul Pak," jawab Anugrah. "Heroin dicampur dengan morfin yang merupakan zat asalnya, sehingga efek samping untuk penggunanya adalah menjadi sangat kecanduan, hingga sangat liar jika tidak memakainya."

"Berarti Pak Sugeng berhasil menahan efek obat itu," kataku menyimpulkan. "Karena narkoba yang ditemukan di darahnya adalah jejak tipis sejak dua bulan lalu."

Anugrah menarik napas panjang. "Itulah yang membuat tim Forensik bingung, karena Pak Sugeng berhasil menahan adiksinya selama dua bulan."

Setiap fakta yang kami temukan tentang Pak Sugeng selalu menimbulkan keanehan. Fakta terakhir ini adalah yang paling aneh. Karena kemungkinan besar, Pak Sugeng berhasil menahan konsumsi narkoba selama dua bulan. Atau ada fakta lain yang berada di balik alasannya tidak memuaskan adiksinya selama dua bulan?

"Dia mungkin hanya mencicipi barang itu," ujar Gabe dengan suara cukup pelan dari sebelahku.

Perkataan Gabe cukup masuk akal. Mungkin Pak Sugeng mencicipinya sebelum menjual barng itu Adi.

"Oke, Nug," ujarku. "Terimakasih atas informasinya, dan sekitar sepuluh menit lagi, kami akan sampai di kantormu."

"Baik, sama-sama Pak Ian," jawabnya sebelum menutup panggilan kami.

Setelah telepon dari Anugrah, Gabe kembali memacu mobil dengan cepat, karena kami berjalan lambat untuk mendengarkan kabar dari Anugrah.

****

Kami tiba di Departemen Forensik dalam waktu kurang dari sepuluh menit, dan kami langsung berlari ke tempat autopsi yang sudah kami datangi beberapa jam yang lalu.

"Selamat malam hampir ke subuh, Bapak-bapak Polisi," sapa Anugrah tanpa memandang kami sama sekali. Kepala Forensik itu sedang fokus membaca data di lembaran kertas yang ada di tangannya.

"Kalian datang tepat waktu," katanya. Anugrah melepaskan kacamatanya dan menaruh lembaran kertas itu di atas meja yang di sebelahnya. "Tim Lapangan sudah memberiku laporan Forensik di sekitar tangga rahasia milik Pak Sugeng, dan hasilnya cukup menarik."

Aku hampir lupa, kalau aku juga memanggil Forensik untuk menyelidiki area di sekitar tangga rahasia. Kira-kira, apa hasil menarik yang baru saja disebutkan oleh Anugrah.

"Ada jejak selain Pak Sugeng yyang ada di tangga itu," ujar Anugrah. "Dan jejak itu sudah berumur dua hari."

"Jejak itu menaiki tangga, atau ke arah sebaliknya?" tanya Gabe.

"Menaiki tangga," jawab Anugrah singkat. "Mengapa? ada bedanya antara naik dan turun tangga itu?"

Aku mengangguk. "Pintu untuk akses ke tangga itu hanya bisa dibuka dari dalam rumah, karena pintu rahasia tidak memiliki kenop di bagian luar."

"Berarti...,"Anugrah mencoba menebak. "Pembunuhnya adalah orang yang bisa membuat Pak Sugeng membukakan pintunya?"

Hanya ada satu nama di otakku, dan nama itu adalah Adi. Tetapi, tidak terdapat momen dia menaiki tangga rahasia itu dua hari lalu, saat aku membaca ingatannya. Lagi pula, momen yang terlihat di otakku saat dia menemui Pak Sugeng adalah sembilan hari lalu, bukan dua hari lalu.

Apakah aku gagal melihat ingatan itu, atau jejak itu memang bukan milik Adi?

"Ah!" pekik Anugrah. "Dua orang anak kecil dari tim kalian mengantarkan sebuah cangkir dan meminta Forensik untuk memeriksa air liur yang ada di cangkir itu."

"Lalu bagaimana hasilnya?" tanyaku antusias, karena hasil tes air liur Adi akan menentukan arah kasus ini.

"Hasilnya, si pemilik air liur adalah pecandu narkoba," tukas Anugrah santai.

Aku dan Gabe langsung melakukan tos pelan setelah Anugrah mengonfirmasi adanya jejak narkoba di air liur Adi. Jadi, kertas yang diberikan Adi kepada Pak Sugeng sangat besar kemungkinannya adalah sebuah cek, atau apa pun yang dipakai Adi untuk membayar.

"Lalu dimana dua orang itu?" tanya Gabe.

"Dua orang...." Anugrah menimbang sejenak, lalu berkata, "Dua teman polisi kalian sedang tidur di kantin lantai dua. Kalian terlalu keras pada mereka."

Aku sedikit merasa kasihan kepada dua orang itu, karena setiap perintah dan permintaanku selalu mereka kerjakan dengan tepat dan cepat. Tetapi, kasus ini butuh diselesaikan secepatnya. Untuk itu, pertama kali yang harus kami lakukan adalah menangkap Adi untuk penyalahgunaan narkoba.

"Dream, kau minta surat perintah penangkapan ke kantor," usul Gabe. "Aku dan dua bocah itu akan berjaga di sekitar rumah Adi, untuk menghindari kemungkinan kalau dia akan kabur."

Aku mengangguk. "Pinjam mobilmu, dan kita akan bertemu di depan rumah Adi."

Gabe melemparkan kunci mobilnya padaku, lalu dia bergegas pergi ke kantin untuk menemui Ibnu dan Otniel.

"Sebastian Dream!" Anugrah memanggilku sebelum aku keluar dari ruangannya. "Bisa bicara sebentar?"

Anugrah tidak biasanya melihatku dengan tatapan curiga seperti sekarang ini, sebuah tatapan yang sarat akan rasa penasaran dan sangsi.

"Oke, cepat," ujarku mencoba terdengar santai. "Waktumu tiga menit, karena penangkapan Adi harus dilakukan sekarang, dan untuk melakukannya butuh surat perintah."

Anugrah mengibaskan tangannya. "Aku tahu soal itu, tapi aku butuh penjelasan tentang bagaimana kau bisa langsung menyimpulkan orang bernama Adi ini terlibat dengan narkoba?"

"Maksudnya?" aku mendengus kesal. "Aku menyimpulkan dengan membawa sampel air liurnya ke depanmu, dan kau yang memeriksa itu."

Kepala Forensik itu menggelengkan kepalanya. "Bukan soal sampel air liur itu, tapi soal bagaimana kau bisa mencurigai Adi tanpa barang bukti? Kau mengawasinya selama beberapa hari ini?"

Ternyata tukang sindir ini juga memiliki nalar yang baik. Dia bisa sadar akan adanya sebuah kejanggalan di kasus ini yang berkaitan dengan kemampuan anehku. Tetapi, aku harus mencari alasan lain untuk dapat membuatnya percaya kepadaku, dan tidak mencurigai soal kemampuanku.

"Aku menyimpulkan dia memakai narkoba karena gelagatnya, dan keadaan rumahnya," tukasku.

"Hanya dengan itu, dan kau langsung menyuruh anak buahmu untuk membawakan sampel air liur padaku?" balasnya.

"Dokter Forensik tidak akan tahu apa pun soal insting dan firasat," kilahku. "Ini soal pengalaman bertahun-tahun di lapangan."

Dengan balasan yang agak canggung itu, aku meninggalkan ruangannya setelah memberi salam padanya.

Ini pertama kalinya, aku menggunakan kemampuanku kepada orang lain selain Gabe, dan Anugrah sudah langsung curiga. Ada hal lain yang harus kepelajari, yaitu menggunakan kemampuan ini di waktu yang tepat.

Related chapters

  • Hippocampus   Bab 7 - Adiksi

    Kami selalu dibayar berdasarkan kecurigaan kami, dengan menemukan apa yang kami curigai - Henry David Thoreau - Aku langsung memacu mobil Gabe, setelah surat perintah sudah dikeluarkan oleh Kantor Pusat. Untungnya surat perintah untuk penangkapan Adi cepat dikeluarkan, karena kami memiliki bukti tak terbantah. Otakku memikirkan Anugrah selama perjalanan dari Departemen Forensik ke rumah Adi. Aku sangat yakin kalau orang yang cerewet dan mudah penasaran seperti Anugrah bakal langsung melepaskan kecurigaannya padaku. Aku harus sangat berhati-hati dalam memakai kemampuanku setelah kasus ini selesai. Selain Anugrah, ada hal lain yang mengganjal di pikiranku. Hal itu adalah tentang cara Pak Sugeng mendapatkan obat itu, dan bagaimana aku bisa mendapatkan bukti keterlibatan Pak Sugeng dengan adiksi Adi. Pikiranku yang berkelana itu membuat perjalanan terasa singkat. Aku memarkir mobilku di depan gang rumah Pak Sugeng, dan bergegas ke gang sebelah lewat jalan rahasia di rumah Pak Sugeng.

    Last Updated : 2021-09-07
  • Hippocampus   Bab 8 - Provokasi

    Jangan percaya dengan apa yang kamu dengar. Percayalah setengah dari yang kamu lihat - Edgar Allan Poe - Harapanku untuk menginterogasi Adi secepatnya runtuh, karena Adi lebih teler daripada yang terlihat. Dokter di Rumah Sakit Polisi mengatakan kalau Adi mengonsumsi dosis dua kali lipat dari biasanya, dan obat itu hampir merenggut nyawanya hari ini. Untungnya, Ibnu dan Otniel membawa Adi ke Rumah Sakit, alih-alih ke kantor seperti perintahku. Kadangkala, kita harus melangkahi perintah atasan jika sudah menyangkut nyawa. "Petugas Forensik sedang memeriksa secara menyeluruh rumah Adi Nugroho," ujar Otniel sambil mengunyah roti isi cokelat yang baru saja dia beli di kantin rumah sakit. "Kita hanya perlu menunggu sebentar, untuk ditemukannya barang bukti." Perkataan Otniel seharusnya benar, namun aku sedikit ragu kalau akan ditemukan barang bukti di rumah Adi. Selain itu, timku juga perlu bukti yang menunjukkan hubungan Pak Sugeng dan Adi lewat barang terlarang itu. Kasus pembunuhan

    Last Updated : 2021-09-08
  • Hippocampus   Bab 9 - Selubung

    Dalam proses interogasi, semua orang menginginkan jawaban-jawaban yang belum siap kuberikan - Lucy Christopher - "Bapak masih sakit?" tanya Otniel begitu aku turun dari mobil. Kabar soal aku yang tidur di tempat parkir bahkan sudah menyebar di kantorku. "Adi Nugroho ada di mana?" tanyaku mengubah topik pembicaraan ke hal yang lebih penting. Untungnya, Otniel bukan pribadi yang mudah penasaran. Anak itu langsung memandu jalan kami melewati berbagai lorong yang sangat kukenal, ke ruang interogasi tempat Adi menunggu. Aku memilih untuk masuk ke ruang kontrol terlebih dahulu, dan ternyata sudah ada Ibnu di dalam ruang gelap yang tepat berada berhadapan dengan ruang interogasi. Aku menyuruh Gabe untuk mengambil alih proses interogasi pertama, sambil memantau gerak-gerik Adi untuk bisa menentukan langkah selanjutnya. "Sudah berapa lama dia dibawa ke sini?" tanyaku. "Sekitar setengah jam yang lalu," jawab Ibnu. "Namun, dia hanya menatap lurus ke ruangan ini sejak tadi." Sesuai perkataa

    Last Updated : 2021-09-10
  • Hippocampus   Bab 10 - Gelap

    Semua manusia adalah bulan dan memiliki sisi gelap, yang tidak akan mereka tunjukkan kepada semua orang - Mark Twain -Setelah menunggu para perawat menyuntikkan obat penenang kepada Adi, akhirnya dia bisa kembali tenang seperti sebelumnya.Aku menyuruh Otniel untuk ke Departemen Forensik demi mengumpulkan bukti-bukti yang belum dimiliki polisi, sedangkan Ibnu cukup kuperintahkan untuk menjaga pintu ruang interogasi agar tidak ada siapa pun yang masuk ditengah interogasi.Gabe memastikan persiapan interogasi akan berjalan tanpa gangguan, sebelum akhirnya kembali membawa Adi yang sudah terlihat letih, kembali ke ruang interogasi.Sejak dibawa dari sel ke ruang interogasi, Adi hanya melihat ke bawah, entah karena efek obat penenang, atau karena Adi sudah sangat kelelahan. Aku sebenarnya merasa kasihan padanya, namun aku tetap harus menggali informasi identitas orang yang memasok uang kepadanya.Karena aku sudah membulatkan tekad, maka aku la

    Last Updated : 2021-09-11
  • Hippocampus   Bab 11 - Adinata

    Kadangkala, beberapa hal yang muncul di kepala kita lebih buruk daripada segala hal yang dapat mereka tampilkan di buku atau film - C. K. Webb - Aku tertidur lebih lama daripada yang aku bayangkan. Saat akhirnya aku mulai terbangun, aku memeriksa sekitarku. Aku terbangun di ruanganku sendiri, alih-alih di meja interogasi. Hal pertama yang kuperiksa adalah waktu saat ini, dan ternyata jam di ponselku menunjukkan pukul tujuh malam. Artinya, aku tertidur hampir dua belas jam. Meskipun aku memperoleh banyak informasi dari ingatan Adi, tetapi aku tidak yakin apakah informasi itu layak ditukar dengan waktu yang terbuang karena aku harus jatuh tertidur setelahnya. Kemampuan anehku ini memiliki efek samping yang cukup merepotkan. Aku langsung memberi pesan singkat kepada Gabe, untuk memberi kabar kalau aku sudah sadar. Kemungkinan besar, pasti dia adalah orang yang membawaku dari ruang interogasi ke ruangan pribadiku. Beberapa menit kemudian, Gabe sudah masuk ke ruanganku dan langsung dud

    Last Updated : 2021-09-13
  • Hippocampus   Bab 12 - Tujuan Pertama

    Saat seekor rubah mendengar jeritan kelinci, dia akan berlari ke arahnya. Tetapi, kita semua tahu kalau dia tidak berniat menolong - Thomas Harris - Menyusuri jalan yang kulalui saat berada di ingatan Adi, jauh berbeda dengan menyusuri jalan di kehidupan nyata. Setiap jengkal dari jalan yang kulihat di ingatan Adi memiliki nuansa suram dengan warna hitam yang memperjelas bagaimana Adi mengingat momen itu. Sedangkan jalan yang sekarang kususuri bersama Gabe diterangi lampu yang terang benderang ditengah malam kota Surabaya. Aku semakin bersimpati kepada Adi, karena di ingatannya pun, semua lampu ini dapat mati total karena kecanduannya akan narkoba. "Kau yakin ini jalannya?" keluh Gabe. "Kenapa kita tidak menunggu informasi dari Otniel, lalu baru mulai mencari satu per satu?" Logika Gabe memang lebih masuk akal, namun aku merasa kalau tubuhku tidak akan sanggup untuk kembali menunggu. Tidur lebih dari dua belas jam membuatku ingin terus bergerak, dengan harapan menemukan sesuatu yan

    Last Updated : 2021-09-14
  • Hippocampus   Bab 13 - Persembunyian

    Misteri dari eksistensi manusia bukan hanya tentang bertahan hidup, namun juga tentang apa arti dari hidup - Fyodor Dostoevsky - "Kau yakin ini jalannya?" tanya Gabe dengan ragu. Aku tidak menjawab pertanyaannya, karena aku sedang mencoba untuk memusatkan ingatanku saat mengikuti Adi berjalan ke rumah besar itu. Jalan yang sekarang sedang kulalui bersama Gabe memiliki pola identik yang sama dengan yang Adi lalui tiga bulan lalu. Beberapa hal memang sudah berubah, namun aku sangat yakin kalau lokasi rumah kedua yang dikirimkan Otniel padaku adalah rumah yang kami cari. Rumah kedua yang kami datangi hanya berjarak sekitar tiga ratus meter dari rumah pertama, namun ada suasana berbeda yang menguar dari masing-masing rumah itu. Perbedaan paling jelas adalah rumah pertama memiliki suasana kehidupan, sedangkan rumah kedua yang sekarang ada dihadapanku memiliki suasana yang hampir sama dengan pemakaman. "Dua kantor yang berdekatan, namun memiliki suasana yang berbeda jauh bak bumi dan la

    Last Updated : 2021-09-15
  • Hippocampus   Bab 14 - Pilihan

    Kita berhenti memeriksa monster yang ada di bawah tempat tidur kita, saat kita sadar bahwa mereka ada di dalam kita - Charles Darwin - Ibnu dan Otniel memandang ke arahku dengan tatapan curiga, sedangkan Gabe menatapku dengan pandangan mencemooh yang menusuk hatiku. Mulutku baru saja membuka sebuah rahasia yang seharusnya tetap menjadi rahasia. Namun, karena ada hal yang lebih mendesak, maka mereka mengesampingkan kecurigaan yang mereka miliki padaku. "Katakan identitasmu!" ujar Gabe dengan lembut, yang lebih terdengar seperti sebuah permintaan tulus, alih-alih perintah yang mendesak. Wanita itu menatap Gabe dengan pandangan mengerikan, namun Gabe hanya memandang wanita itu dengan santai. Ketenangan Gabe adalah salah satu modal utama bagi tim kami, untuk dapat mengorek informasi dari banyak informan disaat interogasi, sebelum aku mendapat kemampuan anehku. Wanita itu mulai menata napasnya yang tersengal, lalu saat dia sudah tenang, akhirnya dia menjawab, "Florence Geraldine, kalia

    Last Updated : 2021-09-16

Latest chapter

  • Hippocampus   Bab 21 - Pengakuan

    Kebohongan bisa berlari cepat, sedangkan kebenaran hanya bisa berlari marathon - Michael Jackson Anugrah adalah orang pertama yang menyambut kedatanganku dan Gabe di kantor polisi. "Kalian menemukan alat pembunuhan?" tanyanya tanpa berbasa-basi. Gabe mengeluarkan novel yang kami temukan di rumah Adi dari tasnya. Novel yang dapat menjadi bukti tak terbantah itu dibungkus plastik dengan rapi, agar tidak menghilangkan jejak sidik jari, maupun sianida. Sahabatku itu memberikan novel itu kepada Anugrah. "Bagian samping yang dipakai untuk membalik ke halaman selanjutnya." Dia menunjuk bagian yang dia maksud, dengan nada tegas dan cepat. "Sianida kemungkinan besar dioleskan ke bagian itu." Kepala Departemen Forensik mengambil barang bukti tersebut dari tangan Gabe. "Kalian memiliki tersangka?" Aku mengangguk muram. "Kau hanya perlu memastikan kalau ada sidik jari tersangka, di novel itu, karena sang tersangka sudah ada di kantor ini sejak tadi pagi." "Sejak tadi pagi?" tanya Anugrah k

  • Hippocampus   Bab 20 - Bukti

    Kejahatan adalah nafsu yang terdidik. Kepandaian, seringkali adalah kelicikan yang menyamar. Adapun kebodohan, acapkali, adalah kebaikan yang yang bernasib buruk. Kelalaian adalah itikad baik yang terlalu polos. Dan kelemahan adalah kemuliaan hati yang terlalu berlebihan - Emha Ainun Nadjib - Aku dan Gabe langsung menuju rumah Adi, setelah aku menelepon Ibnu agar segera menyusul ke sana. Kami bertiga akan menggeledah rumah Adi untuk membuktikan dugaan Gabe tentang novel Agatha Christie yang menjadi alat pembunuhan. "Mengapa harus novel?" tanyaku. Gabe mengangkat bahunya. "Mungkin karena Flo dan Adi adalah anggota komunitas pecinta misteri?" Dugaan yang terdengar konyol, namun bisa jadi juga adalah sebuah fakta. Namun, hubungan Flo dan Adi tidak tampak seperti hubungan yang baik, karena Flo selalu menyebut Adi dengan sebutan 'sampah'. Jika benar novel milik Flo ada di rumah Adi, maka seluruh kesaksian wanita itu memang adalah kebohongan. "Aku menemukan semua data tentang Flo," ujar

  • Hippocampus   Bab 19 - Alat

    Banyak orang seringkali menggunakan psikologi terbalik untuk menutupi reaksi sesungguhnya. Jadi, di saat mereka mengatakan sesuatu, artinya adalah sebaliknya - Peter Moore - Aku tidak sedang berhalusinasi, karena temuan Anugrah soal potongan kuku Adi yang mengandung sianida membuatku sangat percaya kalau pembunuhnya akan segera terkuak. Kami hanya harus membuat benang merah yang sedikit kusut ini kembali terurai. "Apa yang kau lihat di ingatan Raden?" tanya Gabe. "Hanya sebuah adegan yang menegaskan alibinya saat pembunuhan Adi terjadi," jawabku. "Dia memang berada di pusat kebugaran itu saat Adi dibunuh di meja interogasi." Gabe merenung sejenak. Sahabatku itu sudah melepaskan kacamatanya saat dia sedang menyetir, karena dia berpikir bahwa menyetir bukanlah sebuah tindakan serius. Kacamatanya hanya terpasang di wajahnya kala dia sudah menentukan target. Kebiasaan itu sudah lama mengakar dalam dirinya, bahkan sejak kami masih ada di sekolah kepolisian. Gabe tidak memiliki kelainan

  • Hippocampus   Bab 18 - Alibi

    Dunia adalah tragedi bagi yang memakai perasaannya, namun dunia adalah komedi bagi yang memakai otaknya - Horace Walpole Kedua mataku langsung membelalak, karena respon otomatis atas jawaban pria ini. Di sebelahku, Gabe bahkan langsung terbatuk hingga menyemburkan air putih yang sedang dia minum. "Anda tidak apa-apa Pak?" tanya Raden dengan raut wajah khawatir. Dia menyobek tiga kertas tisu dari kotak tisu di depannya, dan memberikan benda itu kepada Gabe. "Tidak apa-apa," jawab Gabe, sambil meraih tisu dari tangan Raden, dan segera menyeka tumpahan air yang baru saja dia semburkan. Setelah memastikan semua percikan air sudah berhasil dia bersihkan, Gabe mendongak ke pria yang baru saja memberinya tisu. "Nama Anda sungguh Raden Mas Adinata?" Raden mengangguk dengan tenang untuk menjawab pertanyaan konfirmasi dari Gabe. "Ada apa Pak, Anda mencari saya?" Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tidak merasa emosional di hadapan orang yang sangat aku yakini sebagai tersangka. Sesuatu

  • Hippocampus   Bab 17 - Prasangka

    Iblis itu selayaknya anjing yang setia, dia akan datang saat kau memanggilnya - Remy de Gourmont - "Apa hasil autopsi mayat Adi?" tanyaku pada Otniel lewat panggilan telepon. "Adi meninggal setelah mengonsumsi racun sianida," jawab Otniel. "Namun, di bagian tubuhnya tidak ditemukan jejak sianida sama sekali." Sianida? Mengapa si pelaku tiba-tiba mengganti metode pembunuhannya? Apakah pelaku pembunuhan Pak Sugeng dan Adi adalah orang yang berbeda? "Bagaimana dengan jari kelingking Adi? Masih utuh?" tanya Gabe yang sedang menyetir. "Benar sekali Pak," sahut Otniel. "Sepertinya, pembunuh Adi adalah orang yang berbeda dengan kasus sebelumnya." "Selain itu, Pak Anugrah juga meminta ijin untuk menyelidiki TKP pembunuhan Adi sekali lagi," papar Otniel. Anugrah meminta penyelidikan ulang, berarti dia mencurigai ada sesuatu yang dapat digunakan sebagai alat pembunuhan Adi, yang tertinggal di ruang interogasi. Aku harus tahu dasar kecurigaan Anugrah. "Berikan ponselmu ke Anugrah, aku i

  • Hippocampus   Bab 16 - Batas

    Seorang kriminal pasti akan kembali ke Tempat Kejadian Perkara - H. G. Wells - "Aku dan Gabe akan menginterogasi Florence Geraldine," kataku kepada Otniel dan Ibnu lewat radio. "Kalian berusahalah untuk mencari petunjuk dari rekaman kamera pengawas, atau kesaksian petugas polisi lain tentang orang yang masuk atau keluar dari ruangan interogasi." Aku melihat jam tanganku yang menunjukkan pukul delapan malam. "Kita akan berkumpul di ruang autopsi sekitar jam sembilan malam ini, aku sudah meminta Forensik untuk membiarkan Anugrah melakukan autopsi kepada mayat Adi." Radioku kumatikan sebelum mereka berdua menjawab perintahku. "Kau berniat menginterogasinya atau membaca ingatannya?" sindir Gabe. "Menurutmu, pilihan mana yang membuat kita selesai hanya dalam satu jam?" balasku. "Kita akan memakai metode interogasi biasa, dan jika kita kehabisan waktu, maka aku akan menggunakan kemampuanku," "Kalau begitu, aku yang melakukan interogasi lebih dahulu?" usul Gabe. Aku menyetujui usulnya,

  • Hippocampus   Bab 15 - Kuasa

    Tanpa memfungsikan Hippocampus, maka setiap nama, tanggal, dan informasi lainnya tidak akan tertampung di otak kita - Sam Kean - Pak Komisaris pasti menghadiahi hukuman untuk timku, karena Adi memang berada di bawah pengawasan timku. Namun, itu buka masalah utamanya, karena pembunuhan di dalam kantor polisi adalah sebuah pembunuhan yang sangat gila. "Periksa semua kamera pengawas yang ada di kantor ini, terutama setiap orang yang masuk ke ruangan ini!" perintahku kepada Otniel dan Ibnu, yang langsung direspon dengan sigap oleh keduanya. Selepas dua orang itu pergi, aku berbisik kepada Gabe, "Selalu ada di sebelahku untuk berjaga-jaga jika aku tertidur." "Jangan bilang kalau kau akan memeriksa ingatan semua orang," tebak Gabe. "Kau punya saran lain?" pungkasku. "Kalau tidak ada, lebih baik kau fokus untuk melihatku dari belakang." Gabe masih ingin mendebatku, namun dia juga tidak memiliki saran yang lebih bagus dari ideku. Karena itu, dia hanya berjalan di belakangku sesuai perint

  • Hippocampus   Bab 14 - Pilihan

    Kita berhenti memeriksa monster yang ada di bawah tempat tidur kita, saat kita sadar bahwa mereka ada di dalam kita - Charles Darwin - Ibnu dan Otniel memandang ke arahku dengan tatapan curiga, sedangkan Gabe menatapku dengan pandangan mencemooh yang menusuk hatiku. Mulutku baru saja membuka sebuah rahasia yang seharusnya tetap menjadi rahasia. Namun, karena ada hal yang lebih mendesak, maka mereka mengesampingkan kecurigaan yang mereka miliki padaku. "Katakan identitasmu!" ujar Gabe dengan lembut, yang lebih terdengar seperti sebuah permintaan tulus, alih-alih perintah yang mendesak. Wanita itu menatap Gabe dengan pandangan mengerikan, namun Gabe hanya memandang wanita itu dengan santai. Ketenangan Gabe adalah salah satu modal utama bagi tim kami, untuk dapat mengorek informasi dari banyak informan disaat interogasi, sebelum aku mendapat kemampuan anehku. Wanita itu mulai menata napasnya yang tersengal, lalu saat dia sudah tenang, akhirnya dia menjawab, "Florence Geraldine, kalia

  • Hippocampus   Bab 13 - Persembunyian

    Misteri dari eksistensi manusia bukan hanya tentang bertahan hidup, namun juga tentang apa arti dari hidup - Fyodor Dostoevsky - "Kau yakin ini jalannya?" tanya Gabe dengan ragu. Aku tidak menjawab pertanyaannya, karena aku sedang mencoba untuk memusatkan ingatanku saat mengikuti Adi berjalan ke rumah besar itu. Jalan yang sekarang sedang kulalui bersama Gabe memiliki pola identik yang sama dengan yang Adi lalui tiga bulan lalu. Beberapa hal memang sudah berubah, namun aku sangat yakin kalau lokasi rumah kedua yang dikirimkan Otniel padaku adalah rumah yang kami cari. Rumah kedua yang kami datangi hanya berjarak sekitar tiga ratus meter dari rumah pertama, namun ada suasana berbeda yang menguar dari masing-masing rumah itu. Perbedaan paling jelas adalah rumah pertama memiliki suasana kehidupan, sedangkan rumah kedua yang sekarang ada dihadapanku memiliki suasana yang hampir sama dengan pemakaman. "Dua kantor yang berdekatan, namun memiliki suasana yang berbeda jauh bak bumi dan la

DMCA.com Protection Status